Hari pertama gw masuk SMA. Udah keburu BT duluan karena harus bawa ini itu dan yang paling nggak masuk akal; kenapa sih harus pake kaos kaki bola yang tingginya sampai paha gw! Jadi, gw lipet dong tuh kaos kaki supaya nggak tinggi banget kayak stoking. Eh, ujung-ujungnya malah kena tegur senior.

Ke BT-an pertama tiba-tiba sirna saat gw ketemu Dita, Sekar dan Rio. Sebelumnya, gw sama Sekar emang udah janjian untuk masuk SMA ini. Sementara Dita dan Rio, masuk SMA ini karena kena ‘lempar’ dari SMA yang mereka daftarin sebelumnya.

Ke BT-an kedua. Sesaat sebelum masuk ke dalam kelas, gw sempet ngeliat cowok, tinggi dan ganteng. Duh, padahal masih pake seragam SMP, kaos kaki bola yang warnanya beda, tapi nih cowok masih aja keliatan ganteng. Waktu itu, kami sempat saling bertatapan. Gw senyum, melambai dan menyapanya; “Hai…”

And you know what? Doi melengos gitu aja dong!! Sebel nggak? Sebel kan!

Ke BT-an Kedua sirna setelah gw tau kalau ternyata, si Cowok itu sekelas sama gw! Yeay! Dan hebatnya lagi, doi duduk di sebelah gw.

Di awal ketemu, memang agak sulit berkomunikasi dengannya. Entah karena orangnya pendiam, sombong atau sok cool dan belaga jual mahal.

“Hei…” gw memanggilnya. Sementara si cowok tersebut nggak bergeming.

“Ssst.. hei…” Gw memanggilnya lagi, kali ini sambil menyenggol lengannya dengan pulpen.

Ia lalu berpaling, menoleh ke arah gw. Gw langsung pasang senyum terbaik dan melambai. Dan respon darinya masih sama; Diam. Duh, semakin penasaran dong.

Ehem… Namanya Abian Richard by the way. Bagus kan namanya?

Kenalan? belom dong… gw tau namanya dari panggilan absen yang dilakukan wali kelas.

“Bian, Nama lo Bian kan?” Gw berusaha membuka obrolan. Yang lalu direspon hanya dengan anggukan pelan.

“Lo dari SMP mana?” Gw kembali bertanya.

Cowok tadi kembali merespon tanpa bicara. Ia hanya mengangkat jarinya. Memberikan kode nama sekolah sebelumnya ke gw.

Sayang, Sekar dan Dita keburu mengganggu proses perkenalan gw dengan mengajak gw ke kantin sekolah.

Selepas dari kantin, gw mendapati Bian yang sepertinya nggak beranjak dari kursi.

“Lo nggak ke kantin?” Lagi-lagi gw mengambil inisiatif membuka obrolan. Yang lalu di jawab olehnya dengan gelengan kepala.

“Mau nggak?” Kali ini gw menyodorkan Bengbeng ke arahnya. (Lagi) ia kembali menggelengkan kepalanya, menolak pemberian gw. OK, sampai sini gw cukup yakin kalau si Bian ini Bisu.

Gw memaksa, kemudian meletakan Bengbeng di atas mejanya. Kemudian, berlagak sok cool dengan memperkenalkan diri; “Nama gw Larissa by the way…” ucap gw sambil duduk di kursi.

“Hai..” untuk pertama kali, gua mendengarnya bicara.

“Wow, akhirnya Bian ngomong…” gw bersorak. Suara gw tentu saja membuat beberapa anak lain menoleh ke arah kami.

---

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan.

Banyak banget hal baru yang bisa gw ceritain tentang kehidupan awal masa SMA gw. Mungkin kalo semuanya gw tulis disini, kertasnya nggak bakal cukup dan tentu saja tangan gw bakal patah. Tapi, tentu yang paling berkesan adalah sosok cowok bernama Bian. So, gw bakal nyeritain semuanya tentang Bian.

Selama beberapa bulan ini, gw hampir nggak pernah dengar Bian ngomong. Kalau pun ia kedapatan bicara, hanya hal-hal yang dirasa penting dan perlu. Sampai suatu ketika, Bian rela mengorbankan buku Paket Fisikanya untuk gw. Dan gara-gara hal tersebut, dia nggak boleh ikut mata pelajaran Fisika. Duh… so sweet banget nggak sih!

Selesai mata pelajaran, gw ngembaliin buku paket miliknya sambil menawarkan traktiran. Namun, seperti yang udah gw tebak sebelumnya; Tawaran gw di tolak dong!

Besoknya, gw nyiapin bekal; Roti Sosis. Eh ini bikin bekalnya dibantu sama Mbak Sum sih, atau lebih tepatnya gw yang bantu Mbak Sum.

Kali ini gw nggak mau melakukan penawaran lagi. Cukup letakan bekal berisi roti sosis di atas mejanya. Sukur-sukur dimakan, kalo nggak dimakan yaudah. Nggak apa-apa! Tapi, yang terjadi berikutnya sungguh menyayat hati. Hingga jam istirahat, Bian sama sekali nggak menggubris bekal yang sengaja gw letakan di mejanya. Huhuhu.. pengen nangis…

Tapi…

Sekembalinya gw dari kantin, Posisi Kotak bekal milik gw diatas mejanya berubah. Gw buru-buru mengambil dan membuka isinya; Kosong. Akhirnya, Bian mau makan pemberian gw.

“Yeaaay…. abiss, enak nggak, Bian?” Tanya gw sambil menatap wajahnya yang ia sembunyikan di balik buku pelajaran.

Biang nggak langsung menjawab. Mulutnya masih penuh dengan roti sosis. Disaat seperti itu pun Bian masih terlihat menggemaskan.

“Enak nggak?” gw mengulang pertanyaan.

Bian lalu mengangguk.

Duh, mau meleleh rasanya. And somehow, samar terdengar lantunan Show me the meaning of being lonely-nya Backstreet Boys dikepala;

Is this the feeling I need to walk with?
Tell me why I can't be there where you are
There's something missing in my heart

---

Takdir. Buat Gw takdir itu bukan hanya suratan ilahi yang menentukan nasib manusia. Takdir bisa jadi merupakan buah campur tangan manusia yang kemudian dipersatukan oleh kekuatan Tuhan. Sederhananya, Takdir itu gabungan dari potongan-potongan kesempatan dan harapan yang disusun manusia.

Hari ini kepala gw pusing seharian, badan lemas, kayak nggak ada tenaganya. Entah sudah berapa suplemen penambah darah gw minum. Tapi, nyaris nggak ada efeknya.

Terhitung sejak Awal SMP, gw kerap mengalami kejadian seperti ini. Mendadak pusing dan Lemas, interval pusing menyerang semakin lama semakin sering, seiring dengan bertambahnya usia gw. Dan sejak lulus SMP, gw semakin sering mengalaminya.

Diagnosa awal dokter mengatakan gw mengalami anemia akut. Terjadi kurang lebih karena jumlah sel darah merah lebih rendah dari jumlah normal; pemeriksaan lanjutan dibutuhkan saat kondisi gw nggak kunjung membaik.

Namun, karena seringnya hal ini menimpa gw, Dokter juga sempat mengatakan kalau gw harus bersiap-siap dengan kemungkinan terburuk seperti Thalasemia atau ‘amit-amit’ Leukimia. Duh!!

Stres setelah dapet kabar kurang asik dari dokter, akhirnya bisa terobati dengan ketemu Bian. Iya, Bener! Bian!. Sore itu, gw dan Bian tanpa sengaja bertemu. Dengan ‘sedikit’ paksaan, akhirnya doi mau menemani gw makan. Cukup lama waktu yang kami habiskan berdua, namun hanya sedikit kalimat yang terucap dari bibirnya. Well, dia beneran pendiam.

Dalam satu hari ini, dua kali takdir menyerempet hidup gw; Perihal penyakit dan Ketemu Bian diluar sekolah.

—
Sejak kejadian ketemu Bian, gw tentu saja tambah semangat untuk datang ke sekolah. Mau tau apa yang gw harapkan setiap bersiap ke sekolah? Ngobrol sama Bian! Atau kalau memang harapan gw ketinggian, di senyumin olehnya juga merupakan sebuah pencapaian.

Hari berganti hari, tak ada satupun dari harapan gw tercapai.

Iya, memang gw setiap hari ketemu dan ngobrol dengan Bian. Namun sepertinya, jika hanya gw yang ngomong dan dia hanya diam mendengarkan, agak kurang pantas ya disebut sebagai obrolan, malah lebih mirip seperti gw memberikan orasi.

But wait,

Siang itu. Setelah 4 bulan sejak perkenalan pertama gw dan Bian, akhirnya ia ngomong. Iya! Beneran ngomong, kayak manusia!

“Lo suka lagu itu?” Tanyanya sambil menoleh ke arah gw.

Sementara, gw langsung berhenti menyenandungkan ‘Island in the sun’-nya Weezer dan mulai menatapnya, lama. Cukup menyebalkan memang, setelah 4 bulan, dan hanya itu kalimat yang ia lontarkan. Namun, disisi lain, ini juga merupakan suatu pencapaian.

Berawal dari kalimat pertanyaan sederhana, akhirnya perlahan-lahan Bian mau membuka dirinya. Hari ke hari, kalimat demi kalimat mulai ia lontarkan. Dari hal tersebut gw baru menyadari kalau Bian bukanlah sosok yang pendiam; ia hanya tak terbiasa bicara dan bersosialisasi.

Acap kali Bian salah atau tertukar dalam menggunakan kata, frasa ataupun kalimat. Beberapa kali pula kedapatan ia terlihat bingung jika ingin menyampaikan sesuatu; seperti tengah mencari kata dan frasa yang tepat. Semakin yakin dengan tebakan gw kala tau kalau Bian nggak terbiasa dengan lingkungan yang asing dan ramai. Mentalnya seperti nggak terlatih dengan hal seperti itu.

—

Hal menyenangkan tentang Bian harus terinterupsi.

Malam itu, Gw, Dita, Sekar, Rio dan tentu saja Bian kumpul-kumpul di rumah Dita.

‘Breaking News!’: Rumah Dita dan Bian ternyata satu komplek!

Rencana bakar ayam kandas karena pemadaman listrik. Ditengah kegelapan, ditambah Dita yang selalu histeris karena habis nonton film horor, Rio menarik lengan gw; “Sa, mau ngomong dong sebentar…” Ujarnya waktu itu.

“Yaudah ngomong aja…” Jawab gw santai.

“Berdua…” Balasnya, sambil mengacungkan dua jari ke atas.

Rio lantas menarik lengan gw keluar menuju teras. Ia terdiam cukup lama, hanya suara hujan yang mengisi ruang kosong diantara kami berdua.

“Gw suka sama elo…” Rio tiba-tiba bicara, memecah keheningan.

“Hah!?” Gw pura-pura kaget. Jujur aja, ini kali kedua Rio ‘nembak’ gw setelah usahanya gagal setahun yang lalu.

“Duh, Jawaban gw masih sama rio…” Balas gw.

“Kenapa, Sa?” Tanyanya.

“...”

“Ada yang elo suka?” Ia menambahkan. Yang lalu gw jawab dengan anggukan kepala.

“Siapa?” Ia kembali bertanya.

“Orangnya ada disini!” Jawab gw.

Rio lantas mengalihkan pandangannya ke dalam rumah. Mencari-cari sosok Bian yang tengah menemani Dita menggoreng ayam di dapur.

Lalu tiba-tiba, rasa pusing di kepala kembali muncul tanpa sebab. Gw memegangi kepala sambil berusaha mencari pegangan. Kemudian terduduk di kursi teras rumah Dita. Tak tahan dengan rasa sakit yang semakin menjadi, gw bergegas masuk ke dalam ruang tamu, mencari sosok Sekar dan memintanya untuk mengantar gw pulang.

“Jangan bilang Bian…” Bisik gw ke Sekar kala itu.

Sigap, Sekar kemudian bersiap, masuk ke mobil dan bergegas mengantar gw pulang.

Nyatanya, setiba di rumah rasa pusing di kepala nggak kunjung mereda. Papi akhirnya membawa gw ke rumah sakit. Dokter pun langsung melakukan pemeriksaan, kali ini pemeriksaan dilakukan lebih mendalam. Dan hasilnya; kemungkinan besar gw mengidap gejala awal Thalasemia!

Lalu, apa buruknya Thalasemia? Ya gw harus terus menerus menerima transfusi darah, karena sel darah merah di tubuh gw selalu berkurang. Penyebabnya; Bisa jadi faktor genetik atau hal lain yang sampai saat ini gw masih belum paham dengan penjelasan ilmiah dokter.

Hari itu, gw langsung menerima transfusi 4 kantong darah. Setelah proses pemulihan selama 2 hari, gw diizinkan untuk pulang.

Hal pertama yang terpikir saat tiba di rumah? Telepon Bian!

—