- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
![JANJI? (MINI SERIES)](https://s.kaskus.id/images/2021/11/29/8270809_202111290417520151.png)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
![ippeh22](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/02/06/avatar9575917_1.gif)
![kuda.unta](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/03/09/avatar7742361_18.gif)
![ndoro_mant0](https://s.kaskus.id/user/avatar/2008/02/20/avatar404250_9.gif)
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
#9
Episode 7
Spoiler for Episode 7:
Fika ke luar dari kamar mandi dengan handuk yang masih menutupi tubuhnya, ia berjalan menuju lemari pakaian miliknya. Pintu lemari terbuka, ia melihat seisi lemari tersebut dengan seksama. Beberapa baju ia keluarkan dan ia letakkan di atas tempat tidur. Beberapa saat beralu, akhirnya ia memutuskan memilih satu set pakaian.
Setelah mengenakan pakaian tersebut, ia duduk di bangku dengan pengering rambut yang sudah menyala. Dengan sisirnya, ia mulai mengeringkan rambutnya yang masih basah. Ting!Sebuah pesan masuk di handphonenya, ia hanya membacanya namun tidak membalasnya.
Setelah selesai, ia melihat beberapa aksesoris yang bergantung di dekat mejanya. Terpilihlah satu ikat rambut berwarna merah yang senada dengan pakaian yang ia pilih. Fika mulai mengikat rambutnya ke belakang. Setelah itu, ia mengenakan make up sederhana yang tidak membutuhkan waktu lama.
Fika ke luar dari kamarnya menuju lantai bawah, ia berhenti di depan pintu untuk mengenakan sepatu. Setalah itu ia ke luar lalu mengunci pintu, tak lama berselang datanglah Taksi yang kemudian parkir di depan rumahnya. Fika menutup gerbang Rumahnya lalu masuk ke dalam Taksi tersebut.
Jalanan pada siang hari di akhir pekan memang tidak akan pernah bersahabat, kemacetan sudah menyebar di mana-mana. Fika menatap ke arah luar sambil memainkan jari-jemarinya, berharap ia akan tiba tepat pada waktunya.
Taksi yang dinaiki Fika pun berhenti, ia ke luar setelah membayar. Dari kejauhan Fika sudah melihat seseorang yang ia kenal, ia berjalan sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Eh, sorry banget ya gue telat, Jalanan macet banget.” Ucap Fika.
Tian tersenyum, “Nggapapa kok Fik, wajar aja namanya juga akhir pekan. Malahan tadi gue mikir kalau gue yang bakalan telat, ternyata lo yang telat.”
Kecanggungan terjadi begitu saja.
“Masuk yuk.” Ucap Fika.
Tian mengikuti Fika, mereka berjalan bersampingan dengan santai. Tak jarang Fika melihat sekeliling, tak jarang pula ia mencuri pandang ke arah Tian yang tidak menyadari. Mereka naik dengan eskalator dan tiba di depan Bioskop.
“Lumayan juga ya antreannya.” Ucap Fika.
“Lo tunggu aja Fik di sana, biar gue yang antre.” Ucap Tian.
“Berdua aja deh, gue ngga enak.” Ucap Fika.
Mereka pun mulai mengantre bersama dengan beberapa orang lain. Selagi mengantre, Tian melihat ke arah Fika. Sayangnya Fika menyadari akan hal tersebut.
“Ngeliatin apa?” Tanya Fika.
“Tebakan gue bener ternyata, lo lebih cantik kalau dikuncir rambutnya.” Ucap Tian.
Fika mengalihkan pandangannya, “Kemarin kalau lo inget kan gue cerita, kalau di Sekolah emang gue ngga pernah dikuncir. Sekarang kan lagi ngga di sana, jadi bisa gue kuncir.”
Tian mengangguk sambil tersenyum menatapnya. Satu demi satu antrean mulai memendek, hingga mereka tiba di depan meja pemesanan tiket.
“Tiket untuk dua orang ya.” Ucap Tian.
Tiket pun diberikan, Tian mengeluarkan beberapa lembar uang. Mereka meninggalkan meja pemesanan tiket untuk menuju tempat makan.
“Tadi berapa harganya?” Tanya Fika.
“Ngga usah Fik, gue yang traktir.” Jawab Tian.
“Jangan gitu dong, gue ngga enak. Gini aja deh, lo udah beliin tiket jadi gue yang beli makan biar sama-sama enak.” Kata Fika.
Tian menyetujuinya dengan menganggukkan kepalanya. Fika memesan dua minuman dan satu pop corn ukuran sedang. Setelah itu mereka duduk di sebuah bangku panjang sambil menunggu Studio dibuka.
“Sini Fik biar gue aja yang pegang, lo yang pegang tiket aja.” Ucap Tian.
Mereka pun bertukar barang bawaan, bersamaan dengan itu pula terdengar pengumuman bahwa Studio yang mereka tuju sudah dibuka. Mereka pun bangun dari duduk lalu berjalan bersama dengan beberapa orang lain.
Mereka masuk ke dalam Studio, hanya membutuhkan waktu singkat untuk menentukan tempat duduk yang mereka tempati. Fika menduduki bangku yang dekat dengan akses jalan, sementara Tian duduk di sebelahnya. Beberapa saat berlalu, film pun dimulai.
“Lo nggapapa nonton film ini?” Tanya Tian.
“Nggapapa, emang serem banget ya?” Tanya Fika.
“Katanya sih gitu, kita tonton aja deh.” Kata Tian.
Awal film dimulai, semua penonton dibuat terkejut luar biasa. Efek suara dramatis menambah kesan seram dari film yang mereka tonton. Tian sempat menatap ke arah Fika, ia sedang menghalangi sedikit pandangannya dengan minuman miliknya.
“Lo nggapapa?” Tanya Tian.
Fika menatap ke arahnya sambil mengangguk pelan, sangat menunjukkan bahwa ia cukup merasa takut. Film berlanjut dengan adegan-adegan menegangkan lainnya, teriakkan penonton menambah ketegangan di dalam Studio.
Berlanjut ke adegan berikutnya di mana ketegangan semakin memuncak, hingga tidak ada yang bisa menahan teriakan ketika melihat adegan tersebut. Fika menutup matanya hingga ia tak sadar menggenggam lengan Tian dengan kuatnya.
Akhirnya film pun selesai, sebuah film yang berhasil menguras tenaga para penontonnya. Lampu mulai menyala, Tian melihat ke arah Fika yang duduk bersandar sambil mengatur nafasnya.
“Nggapapa Fik?” Tanya Tian.
Fika mengangguk pelan, “Ngga nyangka aja kalau bakalan seserem ini, gue kira horor yang standar aja. Ternyata dari awal aja udah dibikin sekaget itu.”
Tian tersenyum, “Yaudah ayo kita ke luar.”
Fika dan Tian bangun dari duduknya, mereka melangkah dengan pelan meninggalkan Studio lalu ke luar dari Bioskop pada hari menjelang sore ini. Sambil berjalan bersampingan, Tian sesekali menatap ke arah Fika.
“Lo mau makan?” Tanya Tian.
Fika menggeleng, “Ngga deh, gue udah janji mau makan di Rumah.”
“Kalau gitu gimana kalau kita ke sana dulu?” Ajak Tian.
Tian dan Fika beranjak menuju sebuah tempat wahana permainan. Setelah mengisi saldo permainan, Tian mengajak Fika untuk bermain permaianan bola basket.
“Lo bisa main basket?” Tanya Tian.
“Kalau cuma masukin ke dalam ring kayaknya bisa deh, kita coba aja.” Jawab Fika.
Pertandingan pun berlangsung. Fika mencoba memasukkan semua bola basket tersebut, sayangnya usahanya tidak selalu berhasil. Sesekali ia melihat ke arah Tian, hampir semua bola yang ia lempar masuk dengan sempurna. Tian tersenyum melihat Fika dengan usahanya, dan akhir pertandingan pun sudah bisa ditebak hasilnya.
“Lo jago juga ternyata.” Ucap Tian.
“Lo ngeledek gue ya?” Tanya Fika.
Tian menggeleng, “Ngga kok Fik, sumpah deh. Awalnya gue mikir kalau lo ngga bakalan masukin bola ke sana, ternyata nilai lo di atas yang gue kira. Eh, gimana kalau kita main itu?”
Tian mengajak Fika untuk bermain permainan lain, kali ini menembak sebuah papan target dengan senjata peluru karet. Mereka sudah berdiri bersampingan, senjata sudah mereka pegang masing-masing. Permainan berikutnya pun dimulai, satu persatu peluru mulai keluar menuju target hingga tak ada lagi peluru yang tersisa.
“Gue ngga nyangka akan kalah di permainan ini.” Ucap Tian.
Fika tersenyum, “Basket boleh lo yang menang, tapi kalau ini gue bisa percaya diri.”
“Lo tambah cantik kalau senyum.” Ucap Tian.
Ucapan yang tak terduga dari Tian membuat pipi Fika merona merah hingga ia harus mengalihkan pandangannya dengan cepat ke arah lain. Tian yang menyadari akan hal itu pun tersenyum menatapnya.
Mereka kembali melanjutkan permainan lain, dimulai dengan permainan balap mobil, memukul buaya, hingga yang terakhir mereka mainkan adalah mesin capit. Sebuah permainan yang terkenal cukup sulit untuk mendapatkan boneka-boneka sebagai hadiahnya.
“Lo mau coba ini?” Tanya Fika.
“Saldonya masih cukup buat tiga kali main ini Fik, siapa tau di antara kita ada yang beruntung buat dapetin salah satu boneka yang ada di sana.” Jelas Tian.
Tian mulai terlebih dahulu, ia membidik ke arah boneka harimau. Capit mulai turun setelah Tian menekan tombol, sayangnya boneka yang telah terbidik tidak berhasil didapatkan.
“Aduh, dikit lagi padahal.” Ucap Tian.
“Sekarang giliran gue nih?” Tanya Fika.
Tian mengangguk dan mempersilahkan Fika untuk memulai. Fika mengarahkan capitnya ke boneka kucing berwarna jingga. Capit kembali turun dan lagi-lagi boneka tidak berhasil terangkat.
“Aduh, hampir Fik.” Ucap Tian.
“Yah, malah lepas pas udah di atas.” Ucap Fika.
Tian menghela nafasnya, “Ini kesempatan terakhir, kalau emang ngga dapet juga berarti emang kita dikerjain sama mesin capit ini. Jadi, lo mau yang kucing ya?”
Fika mengangguk pelan, Tian kembali menggerakkan capit ke arah boneka kucing yang sudah dipilih Fika tadi. Tian menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu ia menekan tombol.
Capit mulai turun, Tian dan Fika memperhatikan dengan seksama. Capit itu berhasil mengangkat boneka kucing hingga ke aras, sama seperti apa yang tadi Fika lakukan. Pertaruhannya, apakah akan mendapatkan hasil yang sama atau mereka akan berhasil mendapatkan boneka tersebut.
“Yes!!”
Boneka berhasil masuk ke dalam lubang, akhirnya mereka pun mendapatkan boneka kucing tersebut. Dengan perasaan senang, Tian meloncat-loncat kegirangan sementara Fika bertepuk tangan beberapa kali.
Tian mengambil boneka tersebut dari lubangnya, kemudian ia memberikan boneka tersebut kepada Fika. Fika menerimanya dengan heran.
“Kenapa lo heran begitu?” Tanya Tian.
“Buat gue?” Tanya Fika balik.
“Iya, gue emang sengaja ngambil itu buat lo...”
Fika terdiam menatap Tian.
“...kemungkinannya kecil banget kalau gue yang main atau koleksi boneka, jadi udah pasti itu buat lo Fik.” Jelas Tian.
“Makasih ya buat bonekanya.” Ucap Fika.
Tian tersenyum menatapnya. Sore akan segera menjadi malam, Fika dan Tian sedang berjalan bersampingan menuju lobby depan.
“Lo mau gue anterin pulang?” Tanya Tian.
Fika menggeleng, “Makasih, tapi kayaknya ngga usah. Mungkin lain kali aja.”
“Kalau gitu makasih banyak ya Fik buat hari ini. Hati-hati pulang ke Rumahnya, kalau gitu gue duluan ya.” Ucap Tian.
Fika mengangguk pelan, Tian berjalan menjauh menuju parkiran. Fika berjalan dengan santai menuju sebuah Taksi yang sedang berada di tepi jalan. Fika masuk ke dalam Taksi tersebut dan tak lama kemudian Taksi berjalan.
Beberapa jam di perjalanan, akhirnya Fika tiba di. Ia ke luar dari Taksi lalu menemukan Rama sudah duduk di bangku yang berada di halaman depan.
“Loh Ram, dari kapan?” Tanya Fika.
“Kamu janji jam berapa tadi? Sekarang kamu liat udah jam berapa.” Jawabnya.
Fika berjalan mendekat, “Ya ampun maaf Ram, tadi jalanan macet banget. Handphone aku mati, jadi aku ngga tau kalau kamu ngabarin.”
Rama memandang malas ke arahnya, kemudian ia melihat ke arah boneka yang sedang Fika pegang dengan tangan kanannya. Ia kembali menatap ke arah Fika.
“Kamu abis beli boneka?” Tanya Rama.
Fika melihat bonekanya, “Nanti aku jelasin deh, mending kita masuk dulu ke dalem terus kita makan.”
Fika dan Rama masuk ke dalam Rumah. Beberapa saat berlalu, Fika sedang mempersiapkan makanan di dapur sementara Rama hanya memperhatikannya.
“Aku baru tau kalau kamu bisa masak Fik.” Ucap Rama.
“Semenjak Mama ngga ada kan aku masak sendiri. Ngga sering sih, cuma seenggaknya aku bisa lah kalau tiba-tiba aku atau Papa mau makan apa gitu.” Jelasnya.
“Mama yang ngajarin semuanya ya?” Tanya Rama.
Fika mengangguk, “Sebenernya dari SD tuh aku udah mulai diajarin masak sama Mama, bukan yang susah-susah. Untungnya aku juga mau belajar buat masak, kamu bayangin aja semisal aku ngga mau dan kondisinya kayak sekarang.”
Rama mengangguk mendengarkan penjelasannya. Fika mulai memasukkan potongan bawang ke dalam wajan berisi minyak seperlunya, beberapa menit berselang ia memasukkan udang yang telah dikupas.
“Kamu masak apa ini Fik?” Tanya Rama.
“Kalau kamu nanya nama menunya sih aku ngga tau, anggep aja tumis udang saus tiram.” Jawabnya.
Fika menuangkan saus tiram, kemudian ia memasukkan sayuran. Tak butuh waktu lama, Fika meletakkan makanan tersebut ke dalam piring besar.
“Udah jadi.” Ucapnya.
“Wah, menjanjikan dari penampilannya.” Sahut Rama.
“Pasti lah, Mama aku yang ngajarin pasti baik penampilan maupun rasanya sepadan.” Jawab Fika.
Mereka mulai makan bersama pada malam ini. Fika mengambil udang dengan sendoknya beserta sejumlah sayuran, ia memberikan suapan kepada Rama.
“Panas ngga?” Tanya Fika.
Rama menggeleng sambil mengunyah suapan Fika. Matanya terbuka lebih lebar dari biasanya, Rama mengacungkan ibu jari tangan kirinya.
“Asli Fik ini enak banget.” Kata Rama.
Fika tersenyum setelah mendengar pujian Rama, ia pun ikut makan. Beberapa saat berlalu, makanan pun sudah habis tak bersisa. Rama dan Fika sedang mencuci sisa piring dan alat masak yang telah digunakan. Fika beralih menuju laci lalu mengeluarkan dua buah kantung teh, ia menyeduhnya dengan air panas di dalam dua cangkir. Setelah semuanya beres, mereka beranjak menuju kamar Fika yang berada di lantai atas. Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet.
“Kenyang juga...” Rama mengepalkan tangannya, “terima kasih Ma udah ngajarin Fika masak, makananya enak banget. Pasti Mama bangga liat Fika sekarang.”
Fika tersenyum menatap Rama.
“Eh, kamu udah ke tempat Mama lagi belum?” Tanya Rama.
Fika menggeleng, “Gimana kalau besok kita ke sana, sekalian kita ke tempat Ayah kamu. Kamu pasti juga udah lama ngga ke sana kan? Sekalian aja besok.”
Rama mengangguk pertanda setuju. Mereka meminum teh masing-masing secara perlahan, mata Rama kembali tertuju pada boneka kucing yang sekarang ada di atas meja.
“Jadi, boneka itu gimana ceritanya?” Tanya Fika.
Fika cukup dibuat gugup dengan pertanyaan Rama. Rama menyadari akan hal itu.
“Yaudah anggep aja kalau kamu beli. Eh iya...” Rama mengalihkan pembicaraan, “aku mau liat buku catatan Bahasa kamu dong.”
“Bahasa? Emang ada apaan ya Ram?” Tanya Fika.
“Aku kan belum nyalin catatan yang kemarin Fik.” Jawabnya.
Fika memukul lengan Rama dengan pelan seperti biasa. Rama menatap heran ke arah Fika sambil mengusap lengannya.
“Kemarin aku diomel-omelin gara-gara ngga ngerti Kimia. Kamu sendiri malah begitu di Bahasa, emang dasar ngeselin.” Protes Fika.
“Bahasa tuh gampang Fik, makanya aku santai. Kamu tuh yang aneh, udah tau masuk IPA tapi Kimia malah ngga ngerti.” Ucap Rama.
“Ih emang dasar ngeselin.”
Fika kembali memukul lengan Rama, namun berkali-kali hingga Rama menunduk sambil memohon kepada Fika.
“Fik, ampun Fik. Aku minta maaf.” Ucap Rama.
“Dasar ngeselin.” Ucap Fika.
Rama berhasil menghindar, ia pun menyerang balik Fika dengan menggelitikinya. Fika yang tidak tahan dengan geli pun kali ini memohon kepada Rama agar dihentikan.
“Rama, udahan. Aku minta maaf.” Ucapnya.
“Enak aja, gantian.” Ucap Rama.
Mereka pun tertawa bersama pada malam ini.
Setelah mengenakan pakaian tersebut, ia duduk di bangku dengan pengering rambut yang sudah menyala. Dengan sisirnya, ia mulai mengeringkan rambutnya yang masih basah. Ting!Sebuah pesan masuk di handphonenya, ia hanya membacanya namun tidak membalasnya.
Setelah selesai, ia melihat beberapa aksesoris yang bergantung di dekat mejanya. Terpilihlah satu ikat rambut berwarna merah yang senada dengan pakaian yang ia pilih. Fika mulai mengikat rambutnya ke belakang. Setelah itu, ia mengenakan make up sederhana yang tidak membutuhkan waktu lama.
Fika ke luar dari kamarnya menuju lantai bawah, ia berhenti di depan pintu untuk mengenakan sepatu. Setalah itu ia ke luar lalu mengunci pintu, tak lama berselang datanglah Taksi yang kemudian parkir di depan rumahnya. Fika menutup gerbang Rumahnya lalu masuk ke dalam Taksi tersebut.
Jalanan pada siang hari di akhir pekan memang tidak akan pernah bersahabat, kemacetan sudah menyebar di mana-mana. Fika menatap ke arah luar sambil memainkan jari-jemarinya, berharap ia akan tiba tepat pada waktunya.
Taksi yang dinaiki Fika pun berhenti, ia ke luar setelah membayar. Dari kejauhan Fika sudah melihat seseorang yang ia kenal, ia berjalan sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Eh, sorry banget ya gue telat, Jalanan macet banget.” Ucap Fika.
Tian tersenyum, “Nggapapa kok Fik, wajar aja namanya juga akhir pekan. Malahan tadi gue mikir kalau gue yang bakalan telat, ternyata lo yang telat.”
Kecanggungan terjadi begitu saja.
“Masuk yuk.” Ucap Fika.
Tian mengikuti Fika, mereka berjalan bersampingan dengan santai. Tak jarang Fika melihat sekeliling, tak jarang pula ia mencuri pandang ke arah Tian yang tidak menyadari. Mereka naik dengan eskalator dan tiba di depan Bioskop.
“Lumayan juga ya antreannya.” Ucap Fika.
“Lo tunggu aja Fik di sana, biar gue yang antre.” Ucap Tian.
“Berdua aja deh, gue ngga enak.” Ucap Fika.
Mereka pun mulai mengantre bersama dengan beberapa orang lain. Selagi mengantre, Tian melihat ke arah Fika. Sayangnya Fika menyadari akan hal tersebut.
“Ngeliatin apa?” Tanya Fika.
“Tebakan gue bener ternyata, lo lebih cantik kalau dikuncir rambutnya.” Ucap Tian.
Fika mengalihkan pandangannya, “Kemarin kalau lo inget kan gue cerita, kalau di Sekolah emang gue ngga pernah dikuncir. Sekarang kan lagi ngga di sana, jadi bisa gue kuncir.”
Tian mengangguk sambil tersenyum menatapnya. Satu demi satu antrean mulai memendek, hingga mereka tiba di depan meja pemesanan tiket.
“Tiket untuk dua orang ya.” Ucap Tian.
Tiket pun diberikan, Tian mengeluarkan beberapa lembar uang. Mereka meninggalkan meja pemesanan tiket untuk menuju tempat makan.
“Tadi berapa harganya?” Tanya Fika.
“Ngga usah Fik, gue yang traktir.” Jawab Tian.
“Jangan gitu dong, gue ngga enak. Gini aja deh, lo udah beliin tiket jadi gue yang beli makan biar sama-sama enak.” Kata Fika.
Tian menyetujuinya dengan menganggukkan kepalanya. Fika memesan dua minuman dan satu pop corn ukuran sedang. Setelah itu mereka duduk di sebuah bangku panjang sambil menunggu Studio dibuka.
“Sini Fik biar gue aja yang pegang, lo yang pegang tiket aja.” Ucap Tian.
Mereka pun bertukar barang bawaan, bersamaan dengan itu pula terdengar pengumuman bahwa Studio yang mereka tuju sudah dibuka. Mereka pun bangun dari duduk lalu berjalan bersama dengan beberapa orang lain.
Mereka masuk ke dalam Studio, hanya membutuhkan waktu singkat untuk menentukan tempat duduk yang mereka tempati. Fika menduduki bangku yang dekat dengan akses jalan, sementara Tian duduk di sebelahnya. Beberapa saat berlalu, film pun dimulai.
“Lo nggapapa nonton film ini?” Tanya Tian.
“Nggapapa, emang serem banget ya?” Tanya Fika.
“Katanya sih gitu, kita tonton aja deh.” Kata Tian.
Awal film dimulai, semua penonton dibuat terkejut luar biasa. Efek suara dramatis menambah kesan seram dari film yang mereka tonton. Tian sempat menatap ke arah Fika, ia sedang menghalangi sedikit pandangannya dengan minuman miliknya.
“Lo nggapapa?” Tanya Tian.
Fika menatap ke arahnya sambil mengangguk pelan, sangat menunjukkan bahwa ia cukup merasa takut. Film berlanjut dengan adegan-adegan menegangkan lainnya, teriakkan penonton menambah ketegangan di dalam Studio.
Berlanjut ke adegan berikutnya di mana ketegangan semakin memuncak, hingga tidak ada yang bisa menahan teriakan ketika melihat adegan tersebut. Fika menutup matanya hingga ia tak sadar menggenggam lengan Tian dengan kuatnya.
Akhirnya film pun selesai, sebuah film yang berhasil menguras tenaga para penontonnya. Lampu mulai menyala, Tian melihat ke arah Fika yang duduk bersandar sambil mengatur nafasnya.
“Nggapapa Fik?” Tanya Tian.
Fika mengangguk pelan, “Ngga nyangka aja kalau bakalan seserem ini, gue kira horor yang standar aja. Ternyata dari awal aja udah dibikin sekaget itu.”
Tian tersenyum, “Yaudah ayo kita ke luar.”
Fika dan Tian bangun dari duduknya, mereka melangkah dengan pelan meninggalkan Studio lalu ke luar dari Bioskop pada hari menjelang sore ini. Sambil berjalan bersampingan, Tian sesekali menatap ke arah Fika.
“Lo mau makan?” Tanya Tian.
Fika menggeleng, “Ngga deh, gue udah janji mau makan di Rumah.”
“Kalau gitu gimana kalau kita ke sana dulu?” Ajak Tian.
Tian dan Fika beranjak menuju sebuah tempat wahana permainan. Setelah mengisi saldo permainan, Tian mengajak Fika untuk bermain permaianan bola basket.
“Lo bisa main basket?” Tanya Tian.
“Kalau cuma masukin ke dalam ring kayaknya bisa deh, kita coba aja.” Jawab Fika.
Pertandingan pun berlangsung. Fika mencoba memasukkan semua bola basket tersebut, sayangnya usahanya tidak selalu berhasil. Sesekali ia melihat ke arah Tian, hampir semua bola yang ia lempar masuk dengan sempurna. Tian tersenyum melihat Fika dengan usahanya, dan akhir pertandingan pun sudah bisa ditebak hasilnya.
“Lo jago juga ternyata.” Ucap Tian.
“Lo ngeledek gue ya?” Tanya Fika.
Tian menggeleng, “Ngga kok Fik, sumpah deh. Awalnya gue mikir kalau lo ngga bakalan masukin bola ke sana, ternyata nilai lo di atas yang gue kira. Eh, gimana kalau kita main itu?”
Tian mengajak Fika untuk bermain permainan lain, kali ini menembak sebuah papan target dengan senjata peluru karet. Mereka sudah berdiri bersampingan, senjata sudah mereka pegang masing-masing. Permainan berikutnya pun dimulai, satu persatu peluru mulai keluar menuju target hingga tak ada lagi peluru yang tersisa.
“Gue ngga nyangka akan kalah di permainan ini.” Ucap Tian.
Fika tersenyum, “Basket boleh lo yang menang, tapi kalau ini gue bisa percaya diri.”
“Lo tambah cantik kalau senyum.” Ucap Tian.
Ucapan yang tak terduga dari Tian membuat pipi Fika merona merah hingga ia harus mengalihkan pandangannya dengan cepat ke arah lain. Tian yang menyadari akan hal itu pun tersenyum menatapnya.
Mereka kembali melanjutkan permainan lain, dimulai dengan permainan balap mobil, memukul buaya, hingga yang terakhir mereka mainkan adalah mesin capit. Sebuah permainan yang terkenal cukup sulit untuk mendapatkan boneka-boneka sebagai hadiahnya.
“Lo mau coba ini?” Tanya Fika.
“Saldonya masih cukup buat tiga kali main ini Fik, siapa tau di antara kita ada yang beruntung buat dapetin salah satu boneka yang ada di sana.” Jelas Tian.
Tian mulai terlebih dahulu, ia membidik ke arah boneka harimau. Capit mulai turun setelah Tian menekan tombol, sayangnya boneka yang telah terbidik tidak berhasil didapatkan.
“Aduh, dikit lagi padahal.” Ucap Tian.
“Sekarang giliran gue nih?” Tanya Fika.
Tian mengangguk dan mempersilahkan Fika untuk memulai. Fika mengarahkan capitnya ke boneka kucing berwarna jingga. Capit kembali turun dan lagi-lagi boneka tidak berhasil terangkat.
“Aduh, hampir Fik.” Ucap Tian.
“Yah, malah lepas pas udah di atas.” Ucap Fika.
Tian menghela nafasnya, “Ini kesempatan terakhir, kalau emang ngga dapet juga berarti emang kita dikerjain sama mesin capit ini. Jadi, lo mau yang kucing ya?”
Fika mengangguk pelan, Tian kembali menggerakkan capit ke arah boneka kucing yang sudah dipilih Fika tadi. Tian menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu ia menekan tombol.
Capit mulai turun, Tian dan Fika memperhatikan dengan seksama. Capit itu berhasil mengangkat boneka kucing hingga ke aras, sama seperti apa yang tadi Fika lakukan. Pertaruhannya, apakah akan mendapatkan hasil yang sama atau mereka akan berhasil mendapatkan boneka tersebut.
“Yes!!”
Boneka berhasil masuk ke dalam lubang, akhirnya mereka pun mendapatkan boneka kucing tersebut. Dengan perasaan senang, Tian meloncat-loncat kegirangan sementara Fika bertepuk tangan beberapa kali.
Tian mengambil boneka tersebut dari lubangnya, kemudian ia memberikan boneka tersebut kepada Fika. Fika menerimanya dengan heran.
“Kenapa lo heran begitu?” Tanya Tian.
“Buat gue?” Tanya Fika balik.
“Iya, gue emang sengaja ngambil itu buat lo...”
Fika terdiam menatap Tian.
“...kemungkinannya kecil banget kalau gue yang main atau koleksi boneka, jadi udah pasti itu buat lo Fik.” Jelas Tian.
“Makasih ya buat bonekanya.” Ucap Fika.
Tian tersenyum menatapnya. Sore akan segera menjadi malam, Fika dan Tian sedang berjalan bersampingan menuju lobby depan.
“Lo mau gue anterin pulang?” Tanya Tian.
Fika menggeleng, “Makasih, tapi kayaknya ngga usah. Mungkin lain kali aja.”
“Kalau gitu makasih banyak ya Fik buat hari ini. Hati-hati pulang ke Rumahnya, kalau gitu gue duluan ya.” Ucap Tian.
Fika mengangguk pelan, Tian berjalan menjauh menuju parkiran. Fika berjalan dengan santai menuju sebuah Taksi yang sedang berada di tepi jalan. Fika masuk ke dalam Taksi tersebut dan tak lama kemudian Taksi berjalan.
Beberapa jam di perjalanan, akhirnya Fika tiba di. Ia ke luar dari Taksi lalu menemukan Rama sudah duduk di bangku yang berada di halaman depan.
“Loh Ram, dari kapan?” Tanya Fika.
“Kamu janji jam berapa tadi? Sekarang kamu liat udah jam berapa.” Jawabnya.
Fika berjalan mendekat, “Ya ampun maaf Ram, tadi jalanan macet banget. Handphone aku mati, jadi aku ngga tau kalau kamu ngabarin.”
Rama memandang malas ke arahnya, kemudian ia melihat ke arah boneka yang sedang Fika pegang dengan tangan kanannya. Ia kembali menatap ke arah Fika.
“Kamu abis beli boneka?” Tanya Rama.
Fika melihat bonekanya, “Nanti aku jelasin deh, mending kita masuk dulu ke dalem terus kita makan.”
Fika dan Rama masuk ke dalam Rumah. Beberapa saat berlalu, Fika sedang mempersiapkan makanan di dapur sementara Rama hanya memperhatikannya.
“Aku baru tau kalau kamu bisa masak Fik.” Ucap Rama.
“Semenjak Mama ngga ada kan aku masak sendiri. Ngga sering sih, cuma seenggaknya aku bisa lah kalau tiba-tiba aku atau Papa mau makan apa gitu.” Jelasnya.
“Mama yang ngajarin semuanya ya?” Tanya Rama.
Fika mengangguk, “Sebenernya dari SD tuh aku udah mulai diajarin masak sama Mama, bukan yang susah-susah. Untungnya aku juga mau belajar buat masak, kamu bayangin aja semisal aku ngga mau dan kondisinya kayak sekarang.”
Rama mengangguk mendengarkan penjelasannya. Fika mulai memasukkan potongan bawang ke dalam wajan berisi minyak seperlunya, beberapa menit berselang ia memasukkan udang yang telah dikupas.
“Kamu masak apa ini Fik?” Tanya Rama.
“Kalau kamu nanya nama menunya sih aku ngga tau, anggep aja tumis udang saus tiram.” Jawabnya.
Fika menuangkan saus tiram, kemudian ia memasukkan sayuran. Tak butuh waktu lama, Fika meletakkan makanan tersebut ke dalam piring besar.
“Udah jadi.” Ucapnya.
“Wah, menjanjikan dari penampilannya.” Sahut Rama.
“Pasti lah, Mama aku yang ngajarin pasti baik penampilan maupun rasanya sepadan.” Jawab Fika.
Mereka mulai makan bersama pada malam ini. Fika mengambil udang dengan sendoknya beserta sejumlah sayuran, ia memberikan suapan kepada Rama.
“Panas ngga?” Tanya Fika.
Rama menggeleng sambil mengunyah suapan Fika. Matanya terbuka lebih lebar dari biasanya, Rama mengacungkan ibu jari tangan kirinya.
“Asli Fik ini enak banget.” Kata Rama.
Fika tersenyum setelah mendengar pujian Rama, ia pun ikut makan. Beberapa saat berlalu, makanan pun sudah habis tak bersisa. Rama dan Fika sedang mencuci sisa piring dan alat masak yang telah digunakan. Fika beralih menuju laci lalu mengeluarkan dua buah kantung teh, ia menyeduhnya dengan air panas di dalam dua cangkir. Setelah semuanya beres, mereka beranjak menuju kamar Fika yang berada di lantai atas. Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet.
“Kenyang juga...” Rama mengepalkan tangannya, “terima kasih Ma udah ngajarin Fika masak, makananya enak banget. Pasti Mama bangga liat Fika sekarang.”
Fika tersenyum menatap Rama.
“Eh, kamu udah ke tempat Mama lagi belum?” Tanya Rama.
Fika menggeleng, “Gimana kalau besok kita ke sana, sekalian kita ke tempat Ayah kamu. Kamu pasti juga udah lama ngga ke sana kan? Sekalian aja besok.”
Rama mengangguk pertanda setuju. Mereka meminum teh masing-masing secara perlahan, mata Rama kembali tertuju pada boneka kucing yang sekarang ada di atas meja.
“Jadi, boneka itu gimana ceritanya?” Tanya Fika.
Fika cukup dibuat gugup dengan pertanyaan Rama. Rama menyadari akan hal itu.
“Yaudah anggep aja kalau kamu beli. Eh iya...” Rama mengalihkan pembicaraan, “aku mau liat buku catatan Bahasa kamu dong.”
“Bahasa? Emang ada apaan ya Ram?” Tanya Fika.
“Aku kan belum nyalin catatan yang kemarin Fik.” Jawabnya.
Fika memukul lengan Rama dengan pelan seperti biasa. Rama menatap heran ke arah Fika sambil mengusap lengannya.
“Kemarin aku diomel-omelin gara-gara ngga ngerti Kimia. Kamu sendiri malah begitu di Bahasa, emang dasar ngeselin.” Protes Fika.
“Bahasa tuh gampang Fik, makanya aku santai. Kamu tuh yang aneh, udah tau masuk IPA tapi Kimia malah ngga ngerti.” Ucap Rama.
“Ih emang dasar ngeselin.”
Fika kembali memukul lengan Rama, namun berkali-kali hingga Rama menunduk sambil memohon kepada Fika.
“Fik, ampun Fik. Aku minta maaf.” Ucap Rama.
“Dasar ngeselin.” Ucap Fika.
Rama berhasil menghindar, ia pun menyerang balik Fika dengan menggelitikinya. Fika yang tidak tahan dengan geli pun kali ini memohon kepada Rama agar dihentikan.
“Rama, udahan. Aku minta maaf.” Ucapnya.
“Enak aja, gantian.” Ucap Rama.
Mereka pun tertawa bersama pada malam ini.
![i4munited](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/04/04/avatar6638442_7.gif)
i4munited memberi reputasi
1
Kutip
Balas