Kaskus

Story

fthhnfAvatar border
TS
fthhnf
Roda Kehidupan
Roda Kehidupan


"Roda itu bernama kehidupan. Saat kita berada diatas kadang berputar sangat cepat, namun ketika kita berada dibawah roda itu terlalu lambat berputar kembali. Kamu tau kenapa? Karena kehidupan tak semudah mengayuh sepeda untuk tetap berjalan diatas aspal yang halus.​"

Sebelumnya mohon maaf dan mohon izin untuk memberanikan diri menuliskan sebuah catatan sederhana seorang lelaki yang hidup di sebuah kota kecil namun sangat nyaman, Magelang.

Gue nulis ini sebagai catatan dan memory gue untuk melukiskan tentang kehidupan yang seperti roda. Silahkan berpendapat cerita ini true story atau fiktif belaka, disini gue hanya menulis sebuah roda kehidupan.

Gue sadar tulisan gue masih acak-acakan. Mohon maaf jika terdapat banyak umpatan kasar dalam bahasa jawa dan beberapa pikiran liar yang terkandung dalam cerita. Semoga bisa disikapi secara bijak. Cerita ini dimulai tahun 2003 anggap aja tahun segitu gw berada di bangku SMA. Nama tokoh dan tempat instansi juga sengaja disamarkan atau gue ganti demi kebaikan kita semua.

Ah... kurasa cukup. Dan kamu akan tetap menjadi ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan...


© Uhuk.. Wis keren? Sip mas! Oke.


Index Cerita:

Part 1 Aku dan Kalian

Part 2 Kaliurang Sore Itu

Part 3 Bella Namanya

Part 4 PHK Massal

Part 5 Warung Baru Ibu

Part 6 Bapak Semangatku

Ketahuan Bini

Part 7 Kak Siska Kenapa?

Part 8 Hape Baru

Part 9 Pelukan Hangat Kak Siska

Part 10 Pelangi Di Sekar Langit

Part 11 Cemburu, Bell?

Part 12 Kasihan Bapak

Part 13 Minuman Cinta

Part 14 Pekerjaan Pertama

Part 15 Pulau Dewata

Part 16 Tersenyum Kembali

Part 17 Mumi Sekolah

Part 18 Desember Terbaik

Part 19 Happy New Year

Part 20 Gosip Fara

Part 21 Konser Jikustik

Part 22 Maaf, Nov

Part 23 Si Gundul

Part 24 Sebuah Takdir

Part 25 Must On

Part 26 Kejutan

Part 27 Thanks, Nov!

Part 28 Ujian Nasional

Part 29 Janji Bella

Part 30 Babak Baru Kehidupan

Part 31 Vita!

Part 32 Pacar Cadangan

Part 33 Suroboyo Rek!

Part 34 Semalam Bersama Bella
Diubah oleh fthhnf 01-04-2023 20:40
custinayulia645Avatar border
fhy544Avatar border
junti27Avatar border
junti27 dan 33 lainnya memberi reputasi
32
22.9K
434
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
fthhnfAvatar border
TS
fthhnf
#72
Part 24 Sebuah Takdir
Minggu siang di penghujung Maret

Hari ini aku kerumah Gatot untuk meminjam motor buat jemput Ayah di terminal karena hari ini beliau pulang dari Jakarta.

Sesampainya dirumah Gatot, kata Mbak Laras Gatot pergi sama temen sekolahnya. Aku bilang mau pinjem motor buat jemput Ayah, dan Mbak Laras malah nyuruh pake motornya aja. Baik bener mbak laras ini, love you deh mbak.

"Eh tapi itu kenapa rambutmu kayak gitu Dit? Hahaaha." Kata Mbak Laras. Njir sial kena bully juga aku sama dia sekarang.

Lalu kuceritakan kenapa aku jadi gundul seperti ini, Mbak Laras malah ketawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Aku juga cerita ke Mbak Laras tentang Novi. Setelah kejadian di kos Prapto itu, sikap Novi jadi sedikit aneh walaupun dia bilang gk ada apa-apa kemarin.

"Inget ya Dit, di dunia ini gk pernah ada yg namanya sahabat sejati antara cowok dan cewek!"

"Kok gitu Mbak?" Tanyaku sambil mengkerenyitkan dahi.

"Aku berani taruhan persahabatan kalian itu gk murni hubungan sahabat aja..."

"Maksudnya?"

"Kita diciptakan Tuhan dengan nafsu lawan jenis entah itu nafsu untuk memiliki atau nafsu setan, tau kan maksud Mbak?" Ucap Mbak Laras. "Jadi kalo ada cowok dan cewek sahabatan, pasti ada salah satu diantaranya yg menggunakan nafsunya buat memiliki lebih dari sekedar sahabat..."

"Aku gk ngerti deh Mbak..."

"Huuu... Dasar!" Seru Mbak Laras seraya noyor kepalaku.

"Itu temenmu si Novi suka sama kamu, ndul gundul!"

"Ah... Masa sih Mbak?"

"Yeee... Dibilangin!"

"Jangan anggap remeh masalah cinta Dit!"

"Lha katanya suruh jalanin aja Mbak? Sekarang malah nyuruh jangan anggap remeh... Gimana sih?" Protesku.

Sialan kan Mbak Laras, sesat banget nasihatnya. Tapi entah kenapa aku selalu nurut sama Mbak Laras ini. Dia sedikit banyak ikut berperan dalam membentuk karakter di dalam diriku.

"...."

Hari ini setelah sedikit curhat sama Mbak Laras dan minjem motornya, aku berada di Terminal Magelang untuk menjemput Ayah.

Beliau pulang dari petualangannya di Jakarta. Entah apa yg akan tetjadi selanjutnya, namun sedikit lega saat Ayah bilang kalo beliau tak akan kembali lagi kesana.

Kupandang beberapa bus yg datang dan pergi di terminal ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00, namun Ayah belum ada kabar. Ayah bilang sekitar jam 15.00 tadi seharusnya sudah sampai Magelang. Karena lama menunggu dan khawatir maka kutelepon nomor Ayah untuk menanyakan sampai mana saat ini.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada........"

"Sial kenapa pake gk aktif!" Gerutuku.

Detik berdetak dengan cepat, senja pun mulai meredup. Kulihat jam di layar hape telah menunjukkan pukul 18.30. Karena tak ada kabar dari Ayah, aku memutuskan untuk pulang. Siapa tau Ayah malah sudah sampe rumah.

Kupacu santai motor milik Mbak Laras yg aku pinjam tadi menuju rumah, Mbak Laras bilang suruh bawa dulu motornya. Selama perjalanan aku memikirkan Ayah kenapa tak ada kabar. Takutnya kalo beliau sampe terminal, tapi aku malah udah pulang. Ah bodo amat, lagian juga kenapa pake gk aktif.

Sesampainya dirumah, Ayah pun tak nampak. Ibu menanyakan kenapa aku pulang sendiri tanpa Ayah.

"Lho Bapakmu mana? Kok pulang sendiri?" Tanya Ibu menyambutku.

"Gk tau Buk... Adit nunggu tiga jam lebih gk ada dateng-dateng..."

"Uwis ditelpon? (Sudah kamu telpon?)"

"Sampun Buk, nomore mboten aktif... (Sudah Buk, nomornya gk aktif...)"

"Yowis mungkin macet... Ditunggu aja!" Kata Ibu. "Makan dulu kamu! Belum makan to?" Suruh Ibu kemudian.

"Nggeh Buk..."

Kemudian aku melangkahkan kaki ini menuju dapur. Njiir Ibu masak sup snerek, lauknya ada ayam goreng, tempe goreng. Wah ini sih masakan favorit keluarga, gk biasanya Ibu masak kayak gini. Mungkin karena mau menyambut Ayah pulang, jadi dimasakin kayak gini.

Beberapa saat aku makan terdengar suara ketukan pintu. Sekilas aku pikir Ayah sudah datang, duh bisa diomelin nih, suruh jemput malah makan kayak gini.

Kudengar suara seorang pria berbincang dengan Ibu di ruang tamu. Samar-samar kudengar pria itu memastikan alamat rumah yg ia maksud. Ibu pun membenarkan alamat tersebut. Beberapa saat kemudian Ibu memanggilku.

"Diiitt...."

Kuhampiri Ibu yg ada di ruang tamu, disitu ada dua orang pria seumuran Ayah yg sedang memandang sayu Ibu yg tengah menangis.

"Ono opo iki?" Seruku emosi karena melihat Ibu menangis.

"...."

"...."

Kedua orang itu masih terdiam, aku sangat emosi karena Ibu tiba-tiba nangis seperti itu. Pikirku mereka pasti telah berbuat seseuatu ke Ibu.

"Heh Pak! Ngopo Ibuku nangis!" Seruku dengan nada tinggi.

Ibu menatapku dengan tatapan nanar. Air matanya keluar deras membasahi seluruh pipinya. Kemudian beliau beranjak dari duduknya lalu memelukku erat, sangat erat. Tangis Ibu semakin menjadi di pelukanku. Aku tak tau apa yg sebenarnya terjadi pada Ibu.

Kubiarkan Ibu menangis di pelukanku, kedua orang itu kulihat menundukkan kepalanya. "Bapak Dit Bapak...." Ucap Ibu sesenggukan dalam tangisnya.

"Bapak kenapa?"

"..."

"Bapak kenapa Buk?" Tanyaku seraya melepaskan pelukan Ibu.

"Bapakmu... Bapakmu Dit.... Bapak.................." Kata Ibu lalu beliau pingsan dihadapanku.

"...."

"...."

DEG.... Untuk sesaat aku terdiam. Aku paham apa yg Ibu akan katakan. Aku merasa waktu berhenti berputar. Kutangkap Ibu yg pingsan dan kubiarkan Ibu pingsan di pelukanku. Kakiku bergetar, entah kenapa rasanya tak kuat kaki ini menopang badanku. Tubuhku terasa lemas begitu saja, aku masih terdiam memeluk Ibu yg tak sadarkan diri di pelukanku. Air mataku keluar deras membasahi pundak Ibu.

Kemudian kupapah Ibu untuk tidur di sofa kecil. Aku tak tau apa yg harus aku lakukan saat ini.

"Bapak Sulaiman menjadi korban kecelakaan bus Dek..." Ucap kedua orang itu yg kuketahui adalah polisi.

"Kejadiannya dimana Pak?" Tanyaku dengan sesenggukan menahan tangis.

"Di daerah Weleri Dek..." Ucapnya lalu menjelaskan kronologis kejadian.

Mereka hanya diutus untuk menyampaikan kabar duka ini ke pihak keluarga korban. Dengan hati yg kalut dan pikiran yg kacau, kucoba mencerna perkataannya. Aku tak pernah menyangka semua ini. Sekuat tenaga aku mencoba tegar menghadapinya.

Kemudian kubiarkan Ibu yg belum sadar diruang tamu dan menitipkan sebentar kepada kedua polisi tanpa seragam itu. Lalu aku berjalan menuju rumah Pak lik yg letaknya tak jauh dari rumah untuk mengabarkan berita ini serta meminta tolong untuk membantu segalanya.

"Ngopo Dit?" Tanya Paklik heran.

"Bapak Lik Bapak..."

"Ngopo mas sulaiman?"

"Bapak kecelakaan..." Kataku lemas dan tiba-tiba saja aku pingsan di depan pintu rumahnya.

----

Kubuka mataku pelan, kulihat Mbak Laras membelai rambutku, aku tersenyum tipis memandang Mbak Laras.

"Ibu dimana Mbak?" Tanyaku ketika sadar dari pingsanku.

"Di kamar sama Ibukku..."

Lalu aku beranjak menuju kamar Ibu untuk melihat keadaannya. Sesampainya dikamar, ternyata sudah banyak orang. Para tetangga mencoba menenangkan Ibu dan memberi semangat ke Ibu.

Kulangkahkan kaki ini menuju Ibu yg sedang berbaring. Kupeluk erat beliau diatas ranjangnya, kami berpelukan dan menangis sejadinya. Lama aku memeluk Ibu hingga kulepas pelukan dan mencoba memberikan senyumku agar Ibu bisa tabah menghadapi ujian ini. Ibu mengangguk paham apa yg aku maksud, lantas Ibu menghapus air matanya yg membasahi seluruh wajah sayu Ibu.

"Adit kedepan dulu ya Buk..." Kataku.

"..." Ibu mengangguk dengan senyum yg sangat tipis.

Aku mencari keberadaan Pak Lik untuk menanyakan jenazah Ayah. Banyak tetangga-tetangga yg datang dirumahku. Kulihat anak-anak juga ikut membantu memasang tenda di halaman rumah. Kuhampiri mereka semua untuk berterima kasih karena telah membantu.

"Cuk seng kuat yo.... (Cuk yg tabah ya...)" Kata Gatot lalu ia memelukku. Aku masih bisa merasakan pelukannya saat itu. Pelukan hangat seorang Gatot.

"Maturnuwun yo... Mohon maaf kalo Bapakku punya salah..." Kataku lalu anak-anak yg lain satu persatu memeluk dan menyalamiku juga. Mereka paham bagaimana membuatku sedikit tenang.

"Cah lanang raoleh nangis cuk! (Cowok gk boleh nangis cuk!)" Ucap Gatot lalu menawarkan rokok miliknya.

"Maturnuwun cuk..." Kataku berusaha tegar didepan anak-anak dan menerima rokok gatot.

Lalu kusulut rokok pemberian Gatot ini dan menghisapnya dalam-dalam. "Astaghfirulloh apa ini benar-benar nyata?" Batinku seraya menghempaskan asap rokok ke atas memandang langit gelap.

"Dit..." Ucap Pak Lik datang menghampiriku.

"Iya pak lik..."

"Jenazah Bapakmu dalam perjalanan, dua jam lagi sampe..." Kata Pak lik. "Kamu yg kuat pokoknya..." Imbuhnya lalu mengusap rambutku.

"Iya..."

Semua tetangga pun satu per satu datang kerumahku untuk membantu memasang tenda ataupun ikut menanti jenazah Ayah yg dalam perjalanan pulang.

Kulihat jam di hapeku ternyata sudah pukul 23.15. Ada beberapa sms dan panggilan masuk. Saat ini aku duduk di bersila di ruang tamu beralas karpet. Semua perabotan telah dikeluarkan semua. Kubuka inbok hapeku. Ada banyak sms yg masuk ntah itu saudara-saudara ataupun yg lain. Bella sms berkali-kali nanya kabar, dia belum tau kalo aku sedang dirundung duka. Ada juga sms dari Fara menyampaikan duka citanya, dia pasti tau karena desa kita dekat dan berita pasti cepat menyebar.

Kubalas sms Bella dan menyampaikan kabar duka ini. Selang beberapa saat kemudian Bella langsung meneleponku.

"Inaliillahi waina ilaihi roji'un... Aku turut berduka Dit... Kamu kudu kuat ya... Aku selalu ada buat kamu kok..." Ucap Bella dalam telepon.

"Iyaa Bell makasih ya..."

"Aku kerumahmu sekarang ya Dit..."

"Gk usah Bell, udah malam... Besok aja gk papa kok..." Cegahku.

"Tapi Dit...."

"Tenang aja aku gk papa kok..."

"Yauda besok pagi aku langsung kesitu..."

"Iya Bell... Makasih ya..."

Bella membesarkan hatiku malam ini. Aku gk pernah tau kenapa Tuhan cepat sekali memanggil Ayah, yg kutahu hanyalah takdir ini yg harus Ayah terima sebagai mahkluk ciptaanNya. Dan kita sebagai keluarga ataupun orang terdekat harus bisa tabah menjalani kuasa Tuhan ini. Wahlohu'alam.

Dua jam lebih aku menanti kedatangan jenazah Ayah yg hingga saat ini belum sampai juga. Beberapa saat kemudian terdengar suara sirine ambulan yg sangat mengerikan, mengerikan karena ada seseorang yg menjadi panutan hidupku terbujur tak bergerak tanpa nyawa di dalamnya. Kulihat Ibu keluar dari kamar dibantu Bu Titik, Ibunya Mbak Laras. Beliau terlihat lemas berusaha berdiri dengan kakinya sendiri.

Selang beberapa saat kemudian, Jenazah Ayah digotong oleh beberapa tetangga untuk dibaringkan di ranjang khusus untuk jenazah yg telah berada di dalam rumahku.

Kuhampiri Ayah yg telah terbujur diatas ranjang itu. Kubuka selendang yg sengaja ditaruh diatasnya untuk menutupi jenazah Ayah. Kulihat wajah Ayah, ada perban yg mengikat di kepalanya. Wajahnya bersih, ayah sedikit tersenyum dalam tidur panjangnya ini. Nampak sedikit perbedaan di wajah Ayah, ada sedikit berewok yg tumbuh selama Ayah di Jakarta. Hatiku bergetar, kucium kening Ayah dengan sepenuh hati. "Sugeng Tindak Pak..."Bisikku ke Ayah yg diam tak bergerak.

Kupersilahkan Ibu untuk melihat jenazah Ayah, Ibu memeluk Ayah sangat erat. Lalu kutarik Ibu dan memeluknya. Beberapa saat kemudian Beliau kembali pingsan lalu dibawa ke kamar oleh beberapa tetangga.

Beberapa saat kemudian, jenazah Ayah akan disucikan. Beberapa tetangga dan saudara pun membopong tubuh Ayah untuk disucikan di samping rumah.

"Sini Dit masuk, ikut mandiin Bapakmu..." Kata Pakde yg telah hadir dirumah.

"Nggeh Pakde..."

Lalu kubasuh pelan dan sangat hati-hati tangan Ayah. Kubasuh muka nya, Ayah tetap tersenyum dalam tidurnya ini. Ya Alloh... Kuatkan hamba.

Usai mensucikan Ayah, para saudara selanjutnya mengkafani Ayah. Kini tubuh Ayah telah dibalut kain putih sebagai pakaian untuk menemui sang Khalik. Wangi-wangian pun tercium saat selendang milik Ibu menutupi jenazah Ayah tersebut.

"Cuk..." Ucap Gatot menepuk pundakku pelan.

"Gimana cuk?"

"Anak-anak mau pamit tuh..."

"Oh iyo sik-sik..." Kataku lalu beranjak dari dudukku di depan jenazah Ayah.

Kemudian aku hampiri anak-anak di depan karena mau pamit.

"Bro balik sik yo..." Kata Angga.

"Iyo bro maturnuwun..."

"Besok pagi kita kesini lagi..." Ucap Kipli lalu menepuk pundakku.

"Iyo Bro... Maturnuwun lho..."

"Santai..."

Mereka pun pamit karena malam juga semakin larut. Kutengok ternyata waktu telah menunjukkan pukul 02.30. Para tetangga pun mulai meninggalkan rumah. Namun tetap masih ada beberapa tetangga dekat dan saudara yg sengaja tetap dirumahku.

"Cuk gk balik kamu?" Tanyaku ke Gatot.

"Gk lah, disini aja nemenin kowe..." Kata Gatot lalu menyulut rokoknya.

"Makasih yo cuk..."

"Heem..."

Kemudian aku ngobrol sama Gatot di halaman rumah. Walaupun dia koplak abis tapi dia tau mana saat untuk bergurau atau serius. Gatot terus menerus membesarkan hatiku. Dan menyuruhku agar tetap kuat.

"Dit belum tidur kamu?" Sapa Mbak Laras keluar dari dalam rumahku.

"Belum Mbak..."

"Mbak, besok buatin surat izin lho ya... Mau bolos aku..." Ujar Gatot menyuruh Mbak Laras.

"Iyoo... Sehari aja lho ya!"

"Sip!" Ucap Gatot ke Mbak Laras.

"Oiya temen-temenmu udah dikabarin Dit?" Tanya Mbak Laras.

"Belum Mbak..."

"Lhah..."

"Belum sempet Mbak..."

"Yaudah besok pagi mbak aja yg kesekolahmu..."

"Iya Mbak makasih ya Mbak..."

"Iya, kamu istirahat sana dikamar, biar ditemenin Gatot juga..."

"Iya Mbak..."

Kemudian aku beranjak dan berjalan menuju kamar untuk istirahat diikuti Gatot dibelakangku yg kayaknya telah ngantuk berat.

Namun ketika melewati jenazah Ayah, kuurungkan niat untuk ke kamar dan tetap ada di dekat Ayah agar aku bisa menjaganya yg telah dibalut kain kafan tersebut.

"Cuk kamu ke kamar aja dulu, nanti aku susul..."

"Heem..."

Setelah Gatot ke kamar, kuambil air wudzu dan bersiap untuk sholat jenazah sendirian. Kulihat Paklik dan Pakde tertidur di ruang tamu ini. Dengan sangat khusuk aku sholat untuk seorang Ayah yg sangat aku hormati dan aku sayang. Usai sholat kuambil buku yasin lalu kubaca dan kupanjatkan doa kepada Yang Kuasa memberikan ampunan untuk Ayah.

-----

Pagi hari jam 10.00 setelah disholatkan para pelayat, jenazah Ayah akan dikebumikan di pemakaman umum desaku.

Suasana rumah sudah ramai oleh para pelayat yg hadir. Teman-teman sekelas pun juga hadir untuk takziah. Bella menepati janjinya datang kerumah pagi hari. Ia selalu memberi semangat dan memberikan doa-doa kepada Ayah.

"Dit... Ayahmu itu meninggal dalam keadaan jihad..."

"Maksudnya Bell?"

"Ya kan Beliau mau pulang kerumah setelah kerja, menafkai keluarga, itu kan Ibadah.. dan guruku bilang meninggal disaat seperti itu bisa dikatakan meninggal dalam kedaan berjihad, insya Alloh husnul khotimah..."

"Amin... Makasih Ya Bell..."

"Iya... Kamu yg kuat ya, tuh liat banyak kok yg sayang kamu. Semua temenmu hadir disini..."

"Iya Bell..."

Beberapa saat kemudian keranda yg didalamnya terdapat seorang yg sangat aku cinta mulai diangkat. Ibu pingsan saat melihat keranda itu diangkat dan berjalan meninggalkan rumah diiringi lafal la'ilahaillalloh. Aku dan para pelayat pun mengikuti dibelakangnya.

"Bro... seng kuat pokoke yo!" Ucap Prapto ketika berjalan menuju makam.

"Iyo cuk... Eh Novi mana tadi?" Tanyaku.

"Ada tuh dibelakang, sama Bella..."

"Oh... Eh koe tadi kok pagi banget cuk?"

"Bolos kita tadi, lama kalo nunggu sekelas bareng guru..." Ucap Prapto.

"Makasih yo bro..."

"Sipp..."

Sesampainya di makam, kulihat anak-anak kampung telah berada disana bersama bapak-bapak yg baru selesai menggali liang lahat untuk Ayah. Kulangkahkan kaki ini dengan cepat mendahului keranda tersebut. Kemudian aku turun ke liang itu untuk menyambut Ayah.

Saat keranda itu dibuka, kulihat sosok gagah Ayah yg telah dibalut kain putih diangkat dan akan diturunkan ke tempat peristirahatannya yg terakhir. Dengan sigap aku menyambut jenazah Ayah dibantu Paklik dan seorang imam masjid atau kaum dikampungku.

Dengan arahan Paklik, kulepas tali yg mengikat kain putih ini serta mengarahkannya miring menghadap ke kiblat.

"Allohuakbar Allohuakbar...." Lantunan adzan yg dikumandangkan sang imam masjid itu terdengar menyayat hati. Sekuat tenaga aku mencoba menahan air mata yg akan keluar. Aku tertegun saat memandang sosok yg sangat aku cintai itu telah menempel dengan tanah diiringi suara adzan.

Usai adzan aku naik keatas dan melihat Sang Ayah yg telah tertidur untuk selama-lamanya. Beberapa saat kemudian beberapa bambu pun mulai diturunkan sebagai atap yg akan ditimpa tanah diatasnya. Perlahan namun pasti, beberapa tetangga mulai mencangkul memindahkan bongkahan tanah ke liang lahat.

Setelah liang lahat itu penuh dengan tanah, sang imam memimpin doa diatas kuburan Ayah. Kulihat Ibu yg daritadi dipeluk Mbak Laras sekuat tenaga mengantarkan pujaan hatinya ini hingga peristirahatannya yg terakhir.

Usai pemakaman, teman-teman dan guru pun berpamitan. Prapto dan Novi pun juga ikut balik ganti pakaian, mereka bilang mau kesini lagi malam nanti.

"Dit.. Aku pulang dulu ya... nanti malam aku kesini lagi..." Ucap Novi.

"Iyo cuk, nanti tahlilan to? Tak kesini lagi..."

"Oke... makasih ya sekali lagi..."

Usai pemakaman, aku duduk di teras ditemani Bella. Ia tetap setia menemaniku walau tanpa kata. Bella pun juga ikut bersalaman ketika Fara datang melayat bareng anak kampung sebelah.

Dan hari itu adalah hari terberat yg pernah aku alami sepanjang hidupku. Hari Minggu 28 Maret 2004 sekitar jam 13.00 WIB, Ayah menghembuskan nafas terakhirnya karena musibah kecelakaan di daerah Weleri. Bus yg Ayah tumpangi menabrak truk yg mengakibatkan tiga penumpang dan seorang kernet meninggal dunia dalam kecelakaan naas tersebut. Dan sehari setelahnya Senin 29 Maret 2004 jenazah Ayah dimakamkan dipemakaman umum desa bersebelahan dengan makam Mas Satria.

Kini sang pengendara sepeda itu jatuh, bukan karena ia menyerah. Namun karena kehendak Illahi. Dan sekarang, aku harus menggantikan sang pengendara sepeda itu agar roda tetap berputar. Sugeng Tindak Bapak.. (Selamat Jalan Bapak)
aripinastiko612
unhappynes
njek.leh
njek.leh dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.