Sudah hampir seminggu ini Larissa nggak masuk ke sekolah. Awal minggu kemarin, ia sempat mengalami kejang hingga tak sadarkan diri. Informasi yang gua dapat dari Resti, setelah mendapat perawatan intensif di rumah sakit, hari ini kemungkinan Larissa sudah boleh pulang.
Namun kenyataan nggak sesuai harapan.
‘Bi, Sasa collapse lagi! kita di RS’ isi SMS dari Resti yang baru gua baca siang ini, menjelang pertandingan taekwondo gua.
“Kenapa?” Tanya Tile ketika melihat ekspresi gua yang berubah begitu selesai membaca pesan dari Resti barusan.
“Sasa…” Gua menjawab singkat, sambil memandang kosong ke arah arena pertandingan yang tengah menampilkan pertandingan pertama perwakilan antara dua sekolah.
“Bukannya udah pulang dari rumah sakit?” Tanya Tile.
“Drop lagi, sekarang balik di rumah sakit lagi…” Jawab gua pelan.
Tile pindah di belakang, dan mulai mengencangkan ikatan Hoogo*, ia kemudian memberi pijatan di pundak. “Lo mau kesana?” Tanyanya.
“Abis ini gua langsung kesana…” Jawab gua.
“Kalo lo emang harus ke rumah sakit sekarang, gapapa… ini cuma pertandingan, nggak bakal ngaruh ke hidup lo…” Jelas Tile.
Gua menggeleng.
Sebuah panggilan kepada peserta untuk masuk ke dalam arena. Tile, sekali lagi memeriksa Hoogo, dan pelindung lain yang melekat di tubuh gua termasuk pelindung kepala dan menyerahkan gum shield di tangan kanan gua. “Kalo lo tetep mau lanjut, make it worth…” Bisiknya sebelum membiarkan gua masuk ke arena.
Selama pertandingan konsentrasi gua terpecah, antara serangan lawan dan kondisi Larissa. Beberapa kali, poin berhasil didapat lawan melalui serangan yang seharusnya mudah dihindari. Sementara dari sudut mata, gua melihat beberapa kali Tile tengah bicara melalui ponsel di sisi arena, wajah dan tatapannya nya penuh tekanan.
Walaupun sulit, perlahan gua mulai membangun konsentrasi. Dalam situasi seperti ini, strategi yang terpikir hanyalah menyerang. Iya, betul! pertahanan terbaik adalah menyerang. Lawan mungkin akan mudah mendapat poin dari lemahnya pertahanan gua, namun kesempatan yang ia miliki semakin kecil saat gua juga fokus menyerang. Susul menyusul poin terjadi, hampir semua serangan yang kami lancarkan menjadi poin. Hanya saja, gua selalu mendapat keunggulan poin karena pola serangan; tendangan yang mengarah ke kepala lawan dengan hitungan 3 poin.
Pertandingan selesai. Gua unggul 11 poin di akhir babak.
Gua duduk di sisi arena, sementara Tile duduk tepat di sebelah gua. Ia menyodorkan sebotol air mineral ke gua, sambil berbisik; “Buruan ganti baju…”. Gua menyingkirkan botol yang ia sodorkan, kemudian menatap ke wajahnya yang nampak serius. Buru-buru gua meraih tas yang tergeletak di lantai dan menuju ke ruang ganti, sementara Tile tergopoh-gopoh mengejar gua.
Beberapa menit berikutnya gua dan Tile sudah berada di luar GOR tempat pertandingan berlangsung. Pandangan gua tertuju pada SUV Hitam yang terparkir tepat didepan pintu masuk GOR. Resti keluar dari pintu bagian pengemudi dan berdiri menatap gua. Matanya terlihat sembab, terdapat sisa-sisa noda hitam bekas maskara di kedua sudut mata, hidungnya memerah. Kami berdua hanya terdiam dan saling pandang.
Tatapan Resti menyiratkan semuanya.
“No… No… No…” Gua berusaha menolak kenyataan.
Gua menunduk, berlutut, mencoba menopang kedua kaki yang mulai bergetar. Tubuh gua terasa begitu berat, seakan menopang langit yang runtuh. Sementara, pandangan mulai kabur akibat air mata yang mulai berlinang.
Resti melangkah, mendekat ke arah gua. Ia menunduk dan memeluk gua, kemudian berbisik; “Sasa sekarang udah nggak sakit lagi, Bi…” ucapnya pelan.
Sontak tangis gua pun pecah.
Selama ini gua nggak pernah nangis. Entah karena Air mata gua telah habis 10 tahun yang lalu atau memang nggak ada sesuatu yang lebih penting untuk gua tangisi. Namun, kali ini berbeda!
“Lo bohong kan?” Tanya gua ke Resti. Sementara ia hanya terdiam nggak menjawab.
“Bohong kan!!??” Gua mengulang pertanyaan, kali ini sambil berteriak. Semakin keras gua berteriak, semakin erat Resti memeluk gua.
---
Menit berikutnya, Gua, Resti dan Tile sudah berada di dalam mobil. Bergegas menuju ke rumah sakit. Tile berada di balik kemudi, sementara gua dan Resti berada di bangku penumpang bagian belakang. Saat itu kami bertiga tenggelam dalam diam, hanya suara isak tangis gua dan Resti yang bersahutan.
“Lo nggak bisa lebih cepet lagi, Le…” Pinta gua ke Tile.
Mendengar permintaan gua ke Tile, Resti menggenggam tangan dan menatap gua. Ia kemudian menggelengkan kepalanya pelan. Gesturnya seakan menyiratkan; ‘Percuma, Bi’
Gua menghela nafas dan mulai memukuli jok depan dengan sekuat tenaga. Setelah lelah, gua menunduk dan kembali tenggelam dalam tangis.
Begitu sampai di rumah sakit, Resti buru-buru turun dari mobil, gua bergegas menyusulnya. Ia berjalan cepat, mungkin setengah berlari. Lorong demi lorong kami lalui, mengabaikan peringatan petugas keamanan dan perawat yang meminta kami untuk ‘pelan-pelan’.
Di dalam kamar, terlihat Papi dan Mami Larissa tengah berpelukan sambil menangis. Sementara di salah satu sisi, di atas ranjang terbaring sosok Larissa; Diam dan membisu. Gua berlari ke arahnya, meraih tangannya yang dingin dan memanggil namanya.
“Sa… Sa… Ini gua sa…” Panggil gua sambil menggoyangkan tangannya. Berharap ia membuka mata dan menjawab panggilan gua.
“Kita kan belom jalan-jalan ke pantai…”
“Sa… Bangun Saa… ayo kita ke pantai sa…”
Beberapa petugas berpakaian serba putih masuk ke dalam kamar. Salah satunya meminta gua untuk menyingkir, yang tentu saja nggak gua gubris. Hingga Papinya Larissa harus ikut turun tangan untuk menarik gua menjauh dari sisi ranjang. Ia kemudian mendekap gua dan berbisik; “Udah Bi, Ikhlas…” bisiknya.
Dengan hati-hati para perawat tersebut mencopot satu persatu alat yang menempel di tubuh Larissa.
Gua menjatuhkan diri ke lantai. Masih menangis sejadi-jadinya saat melihat para perawat menutup wajah Larissa dengan selimut, kemudian mulai mendorong ranjang Larissa keluar dari dalam kamar. Papi dan Mami Larissa mengikuti para perawat dari belakang. Sementara gua hanya mampu memandang ke arah tas ransel milik Larissa yang tergeletak di lantai. Gua merangkak, meraih tas berwarna pink milik Larissa dan mulai memeluknya.
---
Puluhan karangan bunga berjejer di sepanjang jalan di depan rumah Larissa. Sementara, sebuah tenda berenda putih besar berdiri tepat di depan rumahnya, kursi-kursi berwarna sama, berbaris rapi di bawahnya. Gua hanya mampu memandang dari kejauhan, para pelayat yang hadir satu persatu kemudian memenuhi kursi-kursi di bawah tenda.
Resti menatap gua sebentar, kemudian berjalan menghampiri.
“Kenapa nggak masuk?” Tanyanya.
Gua menggeleng. “Gua nggak bisa deh kayaknya…” Jawab gua pelan.
Kematian memang menyakitkan buat semua orang. Namun, buat gua pribadi ini sesuatu yang berbeda. Kenangan masa lalu membuat gua nggak lagi mampu berada ditengah-tengah suasana berkabung.
Resti lalu meraih tangan dan mulai menarik gua, menuju ke rumahnya. Gua melepas genggaman tangannya kemudian berbalik dan pulang.
Di rumah, gua hanya mengurung diri di dalam kamar. Sesekali membuka pesan-pesan lama dari Larissa yang berada di ponsel, menatapnya layar ponsel sambil membayangkan wajahnya saat mengetik dan mengirim pesan tersebut. Tiga hari berlalu, tak sekalipun gua keluar dari rumah. Gua bahkan sudah lupa kapan terakhir kali makan atau mandi. Semakin lama, gua hanya semakin tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung.
Saat sendiri dan termenung, gua merasa hidup itu nggak adil. Cukup lama gua hidup dalam kegetiran, baru sebentar gua merasakan kebahagian kecil namun semuanya lalu pergi dan hilang. Sementara banyak orang lain yang hidup seakan tanpa masalah yang berarti sampai akhir hayatnya.
Memasuki hari ke 4, sebuah ketukan di pintu mengganggu gua. Ini bukan kali pertama dalam 4 hari seseorang masuk melalui pagar dan mengetuk rumah gua. Namun, kali ini ketukannya tak kunjung berhenti.
Gua keluar dari kamar dan membuka pintu depan. Sosok Papi dan Maminya Larissa berdiri diambang pintu, sementara Resti berada tepat dibelakang mereka. Gua mempersilahkan mereka masuk dan duduk, kemudian menyalakan lampu ruang tamu.
“Kamu udah makan nak?” Tanya Mami Larissa sambil merapikan rambut gua yang berantakan.
Gua menggeleng.
“Ini nanti dimakan ya…” Tambahnya sambil meletakkan bungkusan plastik diatas meja ruang tamu.
“Bi… semua juga merasa kehilangan. Tapi, yang udah pergi nggak bisa balik lagi… Saya juga sedih, maminya juga sedih, Resti juga sedih… kita semua sedih. Tapi, jangan berlarut-larut. Kamu kan juga punya kehidupan yang harus dijalani.. Sasa pasti bakalan sedih kalo tau kamu kayak gini…” Papinya Larissa buka suara.
Gua mengangguk, mendengarkan penjelasan darinya.
Setelah cukup banyak nasihat dan wejangan yang Papi dan Maminya Larissa sampaikan. Mereka pun Pamit. Tak lupa, sekali lagi Maminya Larissa mengingatkan gua untuk makan dan menjaga kesehatan.
Begitu Papi dan Maminya Larissa masuk ke dalam mobil, Resti berdiri dari duduknya. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya; Sebuah catatan Hello Kitty yang sangat gua kenal. Ia meletakkan buku catatan tersebut di atas meja.
“Ini catetannya Sasa, gw udah baca semua… Sorry kalo gw tau semuanya tentang lo dari catetannya ini…” Ucap Resti kemudian bergegas menyusul Papi dan maminya.
Sebelum benar-benar pergi, ia sempat berkata; “Halaman paling belakangnya, surat buat elo…”
Gua mengangguk, kemudian meraih buku catatan Hello Kitty milik Larissa dari atas meja dan membuka halaman paling belakang.
Tulisan tangan Memenuhi lembaran tersebut, terdapat sisa tetesan air mata yang telah mengering di beberapa bagian kertas. Di bagian atas lembaran terdapat judul besar bertuliskan; “Untuk Abian Richard dari Larissa Rechtina Monday”
Baru membaca judulnya saja, air mata gua mulai mengalir membasahi kedua pipi.
---
Quote:
Hi Bian… Apa kabar? Hehehe…
Kalo lo baca ini berarti gw udah nggak ada atau elo diem-diem ngambil catetan gw. Eh, tapi nggak mungkin elo bisa diem-diem ngambil catetan ini, karena di dunia ini ada dua hal yang paling gw jaga; yang pertama Elo dan yang kedua; Catetan ini. Kenapa catetan ini selalu gw jaga? karena selain karena banyak rahasia gw didalamnya ada rahasia elo juga lho hehehe…
Bian, jangan sedih ya kalo gw udah nggak ada. Gw kan udah pernah janji sama elo, kalo gw bakal jadi salah satu bintang di langit dan terus ngawasin lo dari sana. Gw bakal ada buat lo selamanya; from Am to PM. Jadi, kalo misalnya elo kangen sama gw, coba tunjuk satu bintang yang paling terang. Nah, itu gw ada disana lagi dadadada ke elo…
Hmmmm… apa lagi ya…
Oiya, pas gw nulis ini kita belom sempet jalan-jalan ke pantai. Mudah-mudahan nanti kita bisa ke pantai bareng-bareng ya, biar bucket list gw komplit! Kalo emang seandainya gw udah nggak bisa nyelesain Bucket List di catetan ini, please, please, please, lanjutin buat gw yah.. yah.. yah…
Bian…. Gw masih punya satu voucher permintaan yang waktu itu lo kasih buat hadiah ulang tahun gw lho…
Voucher ini gw mau pake, kalo lo baca ini.
Pertama, gw mau elo jalanin hidup kayak yang selama ini lo jalanin bareng gua. Happy, jangan murung dan sosialisasi. Jangan jadi nggak peduli lagi sama Dunia. Banyak kok orang yang peduli sama elo. Gw salah satunya Hehehe…
Kedua, lo boleh cari pacar lagi! Eits tapi ada syaratnya. Dia harus lebih baik dari gw! harus lebih pinter dan harus lebih perhatian. Kalo nyari yang lebih cantik dari gw kayaknya elo bakal kesulitan deh…. Hohohoho…
Ketiga, Jangan sedih terlalu lama! Kalo lo udah baca ini, berarti besok lo harus udah bisa Move on! inget! Move On!
Duh maap ya banyak permintaannya, padahal vouchernya tinggal satu. Tapi, masak iya sih lo nggak ngasih diskon.
Oiya, satu lagi.. hampir lupa! Mulai sekarang elo udah boleh pake sweater putih yang itu. Iya, yang itu, yang bikin lo keliatan tambah ganteng!
Terakhir nih.. janji deh…
Gw mau bilang terima kasih banyak ke elo. Terima Kasih udah jadi temen, sahabat, pacar yang selama ini rela nemenin gw, rela gw cubitin, rela gw jambak, rela gw tendang, rela gw sentil. Terima Kasih juga buat hari hari terakhir gw jadi lebih bahagia. For your information, selama kenal sama elo, itu merupakan hari-hari terbaik gw seumur hidup.
Terima Kasih juga buat semua perhatian elo ke gw. Terima Kasih untuk selalu jadi yang pertama ada di sisi gw. Terima kasih untuk semuanya.
I Love you to the moon and back
Your truly loved one;
Larissa!
---
Gua menggenggam potongan voucher yang berada di antara lembaran buku catatan milik Larissa. Air mata gua kembali menetes, membasahi lembaran catatan miliknya. Gua menutup lembaran terakhir dan mulai membuka halaman depan buku. Sebuah catatan harian.
---