- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#8
Episode 6
Spoiler for Episode 6:
Teng! Teng! Teng!Rama sudah duduk di atas motornya, tak lama kemudian Fika pun duduk di belakang setelah mengenakan helm. Motor pun melaju bersama dengan kendaraan-kendaraan siswa lain yang meninggalkan Sekolah.
“Kamu mau makan dulu ngga?” Tanya Rama.
Rama melihat ke arah spion kiri, ia dapat melihat Fika yang sedang menatap kosong ke arah depan hingga ia tak menjawab pertanyaannya. Rama tetap melajukan motornya dan membiarkan Fika dengan kondisinya.
Beberapa menit berlalu, Rama menghentikan motornya tepat di depan gerbang Rumah Fika. Ia kembali melihat ke arah spion kiri dan masih mendapati Fika yang menatap kosong.
TIIIN!!! Dengan sengaja Rama membunyikan klakson panjang hingga berhasil membuat Fika terkejut. Fika melihat ke arah sekelilingnya, kemudian ia memukul lengan Rama.
“Kamu ngapain sih Ram? Bikin kaget aja.” Keluh Fika.
“Salahin aku aja terus...” Rama mengusap lengannya, “dari Sekolah sampai sini aku monolog kayak orang mau pentas teater.”
“Eh, itu...”
“Udah nggapapa...” Rama memotong ucapan Fika, “kamu masuk aja, ganti baju, kerjain tugas yang tadi, abis itu makan terus istirahat.”
“Maafin aku Ram.” Ucap Fika.
“Ngga perlu minta maaf, kamu ngga salah Fik.” Jawabnya.
Fika pun turun dari motor, kemudian ia menyerahkan helm kepada Rama.
“Aku pulang ya.” Ucap Rama.
“Kabarin kalau udah sampai Rumah.” Ucap Fika.
Rama mengangguk pelan, ia melajukan motornya untuk kembail ke Rumah. Fika menghela nafasnya, kemudian ia masuk ke dalam Rumah.
Malam pun tiba, Fika menutup buku setelah selesai mengerjakan tugas. Ia memasukkan beberapa buku ke dalam tas untuk dibawa besok, setelah itu ia bangun lalu berbaring di atas tempat tidur. Fika kembali menatap langit-langit kamarnya, membiarkan fikirannya terbang entah mau ke mana.
“Kamu maju dan bilang ke Rama kalau kamu suka sama dia, atau kamu harus kasih ruang sebebas-bebasnya ke Rama untuk disukai sama orang lain.”
“Mungkin emang harus begitu.” Ucapnya seorang diri.
Ting! Fika melihat handphonenya. Matanya terbuka sedikit lebih besar dari biasanya setelah membaca pesan masuk, Didapatinya sebuah pesan dari Tian, seorang siswa yang baru saja ia kenal tadi.
“Gue ganggu ngga Fik?”
Fika terdiam menatap pesan tersebut.
“Boleh kenalan?...” Tian mengulurkan tangannya, “gue Tian kelas IPS 4.”
Fika menatapnya dalam diam, Tian yang sedari tadi mengulurkan tangannya pun menarik kembali tangannya.
“Kayaknya gue ngga sopan ya ganggu waktu lo, sorry banget ya.” Ucap Tian.
Fika berkedip beberapa kali, “Eh, ngga kok. Gue agak bingung aja soalnya gue ngga pernah ngeliat lo, dan tiba-tiba lo minta kenalan sama gue.”
“Jujur aja sih gue juga baru pertama kali liat lo tuh kemarin, pas lo digendong masuk ke UKS. Kebetulan kan gue ada di Kantin, jadi bisa ngeliat lo dari sana.” Jelas Tian.
Fika mengangguk, “Iya, kemarin gue abis jatuh pas lari. Gue Fika, salam kenal ya Tian.”
Bel masuk kembali berbunyi.
“Udah masuk lagi, gue boleh minta nomor lu?” Tanya Tian.
“Nomor?” Tanya Fika.
Tian menggaruk kepalanya, “Gue pengen kenal lebih sama lo aja, hari ini ternyata waktunya cuma sebentar. Jadi kalau boleh gue minta nomor lo Fik.”
Tian mengeluarkan handphone dari saku seragamnya, kemudian ia mengulurkan tangannya ke arah Fika. Ia kembali menatap ke arah tangga di mana sudah ada Guru yang akan masuk ke kelasnya.
“Jadi gimana nih?” Tanya Tian.
Fika diam sesaat, sampai akhirnya ia meraih handphone Tian dan memberikan nomor handphonenya. Ia memberikan handphone kembali kepada Tian.
“Lo namain sendiri aja ya.” Ucap Fika.
Tian mengangguk, “Oke, makasih banyak ya. Gue harus naik nih, guru killer udah mau masuk ke kelas. Duluan ya Fik.”
Tian pun meninggalkan Fika untuk naik tangga menuju kelasnya, Fika pun akhirnya berjalan masuk ke dalam kelas dan kembali duduk di samping Rama.
“Tumben lama banget Fik.” Ucap Rama.
“Tadi aku malah cerita-cerita sama Kak Dara.” Ucap Fika.
Rama menganggukkan kepalanya, kelas pun kembali dimulai.
*
“Ram... Ram...”
Fika menyentuh lengan Rama beberapa kali dengan pelan, sampai akhirnya Rama pun menatap ke arahnya sambil menaikan alisnya satu dengan penuh tanya.
“...nanti jelasin lagi ke aku ya, aku ngga paham.” Ucap Fika.
Rama memandang malas ke arahnya, kemudian ia mengangguk lalu beralih menatap ke arah depan. Drrt! Fika mengambil handphone dari laci mejanya, ada sebuah pesan masuk dari Tian.
“Nanti bisa ngobrol pas jam istirahat?”
Fika hanya menatap pesan tersebut, ia sempat melihat ke arah Rama diam-diam. Fika meghela nafasnya dan akhirnya ia kembali meletakkan handphonenya ke dalam laci. Fika kembali melirik Rama, sepertinya masih ada keraguan dalam hatinya. Ia menegakkan badannya, lalu melihat ke arah laci meja milik Rama.
Handphonenya menyala, ada sebuah pesan masuk. Fika dapat melihatnya, nama Desi tertulis dengan jelas di pesan masuk itu. Sayangnya ia tidak bisa membaca isi pesan tersebut karena tulisannya lebih kecil dari namanya. Fika kembali menghela nafasnya.
Bel istirahat berbunyi, para siswa-siswi satu persatu meninggalkan kelas. Fika melirik ke arah Rama, ia sedang menundukkan kepalanya sambil memainkan handphonenya. Fika langsung mengambil kesimpulan, ia bangun dari duduknya.
“Kamu mau ke mana Fik?” Tanya Rama.
“Aku... mau ketemu Kak Dara dulu. Aku mau nanya soal baju, kamu mau ikut?” Ucap Fika.
“Ngga deh, aku di sini aja.” Jawab Rama.
Fika kembali berjalan ke luar kelas. Ia sempat menghentikan langkahnya begitu melihat Tian sudah duduk di bangku Taman, di tempat yang sama persis seperti kemarin. Fika kembali menghela nafasnya beberapa kali, sampai akhirnya ia kembali berjalan mendekat ke arah Tian berada.
“Lo mau ngobrolin apa?” Tanya Fika.
Tian menoleh, “Eh Fik, ada waktu kan? Ini gue beliin buat lo, kalau lo mau sih. Kalau ngga mau juga nggapapa, gue bisa minum dua gelas kok.”
Tian mengulurkan tangannya, satu gelas minuman dingin andalan Kantin. Fika menerima gelas tersebut, kemudian ia duduk di samping Tian dengan jarak yang bisa diisi oleh satu orang lagi.
“Gimana pelajaran hari ini Fik?” Tanya Tian.
“Biasa aja sih, ngga ada apa-apa. Kenapa emangnya?” Ucap Fika.
“Nggapapa sih, cuma pengen nanya-nanya aja. Soalnya kan kita beda jurusan, gue penasaran aja gimana kalau anak IPA belajar. Kalau boleh cerita sih anak IPS jauh banget dari kata belajar...”
Fika memperhatikan dalam diam.
“...kerjaan kita di kelas itu paling sering ya ngobrol-ngobrol ngga jelas, apa aja yang bisa kita omongin pasti kita omongin. Kadang-kadang ngga berasa aja tiba-tiba udah masuk jam istirahat.” Jelas Tian.
“Terus Guru-guru ngga marah gitu kalau kalian cuma ngobrol terus?” Tanya Fika.
“Gimana ya...” Tian menegakkan duduknya, “mungkin emang mereka udah pasrah kali ya sama anak-anak IPS. Soalnya bukan baru tahun ini aja, udah dari awal kita kelas satu udah begitu.”
“Kalau dari cerita kamu kayaknya seru, tapi emang semuanya begitu?” Tanya Fika lanjut.
“Ngga juga sih, ada yang serius belajar juga ada. Emang kalau di IPA semuanya serba serius ya?” Ucap Tian.
Fika bersadar pada bangku, “Kalau dibilang serius, mayoritas pasti serius. Kalau dibilang bercanda, ada waktunya mungkin. Misalkan ada beberapa orang yang ngga suka belajar Matematika, baru dia akan bercanda lah.”
Dara ke luar dari ruang UKS, ia meregangkan tangannya ke atas untuk menghilangkan rasa pegal. Ia menatap heran ke arah Taman, ia melihat Fika yang sedang berbincang namun bukan dengan Rama.
“Lo emang ngga suka makan di Kantin ya? Jujur aja sih gue selama di Kantin ngga pernah ngeliat lo.” Kata Tian.
Fika mengangguk, “Gue kebiasaan bawa makanan dari dulu, jadi kebiasaan aja sampai sekarang. Sesekali paling gue ke Kantin kalau abis olah raga aja.”
Tian dan Fika meminum minuman mereka masing-masing. Sinar Matahari kembali menembus lewat celah-celah dedaunan dan mendarat tepat di wajah Fika. Tian terdiam menatap ke arahnya, Fika menyadari akan hal itu lalu ia menatap ke arah Tian.
“Ngeliatin apa?” Tanyanya.
“Gue juga kemarin liat lo pas kena sinar, dan sekarang kejadian lagi...”
Fika masih menatapnya.
“...cantik sih. Kayaknya emang momen yang pas, ngga semua orang cocok kalau kena sinar kayak gitu. Lo cantik sih.” Jelas Tian.
Fika dibuat terkejut dengan perkataan Tian hingga ia hanya bisa mengalihkan pandangannya ke arah Lapangan dalam diam. Angin berhembus begitu saja entah dari mana, rambut panjang Fika menutupi sebagian wajahnya hingga ia harus menyekanya dengan jari tangannya.
“Lo emang ngga suka dikuncir ya?” Tanya Tian.
“Kalau sekolah ngga sih.” Jawabnya singkat.
“Lo cocok kayaknya kalau dikuncir, apalagi belakangan ini angin lagi kenceng-kencengnya. Terlebih, wajah lo bisa sering ketutupan kayak tadi.” Ucap Rama.
Fika tidak menanggapi perkataannya, ia hanya menatap ke arah Lapangan di mana ada beberapa siswa yang sedang bermain bola. Perebutan bola sedang terjadi, hingga salah satu siswa menendang bola dengan sekuat tenaga untuk mencetak angka. Sayangnya, tendangannya mengarahkan bola ke tiang gawang. Bola memantul dengan kencang ke arah Fika, ia pun menutup matanya dengan cepat.
Dug! Bola kembali memantul ke arah lapangan. Fika membuka matanya setelah mendengar bunyi itu, padangannya terhalang oleh tangan Tian yang melindunginya dari datangnya bola dengan kecepatan tinggi. Beberapa siswa berdatangan ke arah mereka dengan cepat.
“Ti, sorry banget ngga sengaja.” Ucap salah satu teman Tian.
“Kak, nggapapa Kak?” Ucap adik Kelas.
“Main bola sih main bola, cuma diarahin dong tendangannya. Kalau kena dia gimana? Siapa yang mau tanggung jawab?” Protes Tian.
“Sorry banget sorry, beneran ngga sengaja.” Ucap temannya.
“Yaudah, next hati-hati.” Ucap Tian.
Beberapa siswa tersebut meminta maaf kepada Fika, ia hanya mengangguk untuk menanggapinya. Permainan bola kembali berlanjut di Lapangan, meninggalkan Fika dan Tian berdua.
“Lo nggapapa kan?” Tanya Tian.
Fika mengangguk pelan, “Lo sendiri gimana? Sakit ngga tangannya?”
“Oh ini...” Tian mengepal tangannya, “udah biasa kok, jadi aman.”
“Makasih ya udah nolongin gue.” Ucap Fika.
Tian mengangguk, “Santai aja. Untung aja waktunya pas, kalau ngga bisa-bisa lo kena bola dan harus masuk UKS lagi. Bisa-bisa gue yang kena omelan temen lo yang gendong kemarin.”
“Maksud lo Rama?” Tanya Fika.
“Oh namanya Rama? Gue baru tau, dan gue juga baru liat dia kemarin itu. Banyak orang-orang yang gue ngga kenal ternyata di Sekolah ini.” Jelas Tian.
“Iya, namanya Rama. Wajar aja sih kalau ngga ada yang kenal sama gue dan dia, karena kita emang jarang banget ke luar dari kelas, paling pas olah raga aja.” Ucap Fika.
Tian mengangguk, “Kayaknya kalian temenan udah lama banget ya?”
“Kok lo bisa ngomong gitu?” Tanya Fika.
“Keliatan banget. Gue termasuk orang yang percaya kalau di antara laki-laki sama perempuan itu ngga ada yang namanya pertemanan murni. Kalau sekalinya ada, berarti emang itu hebat sih...”
Fika sempat terkejut dengan perkataan Tian.
“...contohnya ya kayak lo sama Rama aja. Kalau sampai detik ini ngga ada rasa suka di antara kalian, berarti kalian hebat.” Jelas Tian.
Bel masuk kembali berbunyi, satu persatu siswa mulai kembali masuk ke dalam kelas. Fika dan Tian sama-sama bangun dari duduknya.
“Terpisah lagi sama hal yang sama. Makasih ya Fik udah mau ngobrol banyak sama gue, padahal kita aja baru kenal.” Ucap Tian.
Fika mengangguk, “Kalau gitu gue masuk kelas duluan ya.”
Fika berjalan terlebih dahulu, Tian masih terdiam menatap ke arah Fika. Sayangnya ia harus menyudahi itu semua karena Guru yang mengajar di Kelasnya terlihat sudah ke luar dari ruangan. Tian pun kembali masuk ke dalam kelasnya.
Fika kembali duduk di samping Rama, ia masih sibuk dengan handphonenya. Fika sempat melirik, Rama sedang memainkan sebuah game dengan seriusnya. Fika menyandarkan badannya pada bangku, kemudian ia menghela nafasnya begitu saja.
“Udah waktunya.”
*
Rama meletakkan handphone di dalam saku kemejanya, ia dapat melihat ke luar dari pintu yang terbuka. Ia mendapati Fika sedang duduk di bangku Taman namun tidak sendirian. Ia bangun dari duduknya namun tidak melangkah sedikitpun dari posisinya.
“Kak Dara...”
Dara sudah berdiri di depan pintu Kelasnya.
“Kamu sibuk ngga Ram? Kalau ngga, ikut aku ke UKS yuk.” ajak Dara.
Rama mengangguk pelan. Ia pun berjalan mendekat ke arah Dara, kemudian mereka berjalan bersampingan ke luar kelas menuju UKS. Rama sempat melirik ke arah Fika, ia sedang berbincang namun entah dengan siapa. Rama dan Dara pun masuk ke dalam ruang UKS. Mereka duduk berhadapan satu sama lain.
“Ada apa ya Kak?” Tanya Rama.
“Udah makan?” Tanya Dara.
Rama terdiam heran dengan pertanyaan tersebut. Dara mengeluarkan kotak makan dari dalam tasnya, kemudian ia meletakkan kotak makan tersebut di antara mereka.
“Ayo dimakan Ram, kamu pasti belum makan.” Ajak Dara.
Rama mengangguk pelan, akhirnya mereka berdua makan bersama di jam istirahat ini. Secara bergantian mereka mengambil makanan, Rama masih bingung dengan apa yang dimaksud Dara.
Beberapa saat berlalu, Rama ke luar dari dalam UKS melewati Fika yang masih ada di bangku Taman. Ia kembali masuk ke dalam kelas lalu duduk sambil mengeluarkan handphone dari dalam saku.
Ia memilih untuk memainkan sebuah game dari handphonenya, tak lama berselang bel masuk kembali berbunyi pertanda istirahat sudah selesai. Fika kembali masuk ke dalam kelas lalu duduk di sampingnya seperti biasa.
“Ram, ajarin yang tadi.” Ucap Fika
Rama memandang malas ke arah Fika, sementara Fika hanya bisa tersenyum ke arahnya. Rama meletakkan kembali handphonenya di dalam laci, kemudian ia membuka buku catatannya.
“Bagian mana yang kamu ngga ngerti?” Tanya Rama.
“Semuanya.” Jawabnya singkat.
“Kamu mau sampai kapan kayak gitu Fik.” Ucap Rama.
Fika memukul lengan Rama pelan, “Ih, kan dari dulu udah pernah aku bilang. Ngga semua orang bisa semua pelajaran, kayak kamu juga nilainya jelek pelajaran bahasa. Masa iya kamu boleh aku ngga.”
Rama mengusap tangannya pelan dan kembali menatap malas ke arah Fika. Ia pun mulai menjelaskan semuanya kepada Fika secara perlahan.
“Kamu mau makan dulu ngga?” Tanya Rama.
Rama melihat ke arah spion kiri, ia dapat melihat Fika yang sedang menatap kosong ke arah depan hingga ia tak menjawab pertanyaannya. Rama tetap melajukan motornya dan membiarkan Fika dengan kondisinya.
Beberapa menit berlalu, Rama menghentikan motornya tepat di depan gerbang Rumah Fika. Ia kembali melihat ke arah spion kiri dan masih mendapati Fika yang menatap kosong.
TIIIN!!! Dengan sengaja Rama membunyikan klakson panjang hingga berhasil membuat Fika terkejut. Fika melihat ke arah sekelilingnya, kemudian ia memukul lengan Rama.
“Kamu ngapain sih Ram? Bikin kaget aja.” Keluh Fika.
“Salahin aku aja terus...” Rama mengusap lengannya, “dari Sekolah sampai sini aku monolog kayak orang mau pentas teater.”
“Eh, itu...”
“Udah nggapapa...” Rama memotong ucapan Fika, “kamu masuk aja, ganti baju, kerjain tugas yang tadi, abis itu makan terus istirahat.”
“Maafin aku Ram.” Ucap Fika.
“Ngga perlu minta maaf, kamu ngga salah Fik.” Jawabnya.
Fika pun turun dari motor, kemudian ia menyerahkan helm kepada Rama.
“Aku pulang ya.” Ucap Rama.
“Kabarin kalau udah sampai Rumah.” Ucap Fika.
Rama mengangguk pelan, ia melajukan motornya untuk kembail ke Rumah. Fika menghela nafasnya, kemudian ia masuk ke dalam Rumah.
Malam pun tiba, Fika menutup buku setelah selesai mengerjakan tugas. Ia memasukkan beberapa buku ke dalam tas untuk dibawa besok, setelah itu ia bangun lalu berbaring di atas tempat tidur. Fika kembali menatap langit-langit kamarnya, membiarkan fikirannya terbang entah mau ke mana.
“Kamu maju dan bilang ke Rama kalau kamu suka sama dia, atau kamu harus kasih ruang sebebas-bebasnya ke Rama untuk disukai sama orang lain.”
“Mungkin emang harus begitu.” Ucapnya seorang diri.
Ting! Fika melihat handphonenya. Matanya terbuka sedikit lebih besar dari biasanya setelah membaca pesan masuk, Didapatinya sebuah pesan dari Tian, seorang siswa yang baru saja ia kenal tadi.
“Gue ganggu ngga Fik?”
Fika terdiam menatap pesan tersebut.
“Boleh kenalan?...” Tian mengulurkan tangannya, “gue Tian kelas IPS 4.”
Fika menatapnya dalam diam, Tian yang sedari tadi mengulurkan tangannya pun menarik kembali tangannya.
“Kayaknya gue ngga sopan ya ganggu waktu lo, sorry banget ya.” Ucap Tian.
Fika berkedip beberapa kali, “Eh, ngga kok. Gue agak bingung aja soalnya gue ngga pernah ngeliat lo, dan tiba-tiba lo minta kenalan sama gue.”
“Jujur aja sih gue juga baru pertama kali liat lo tuh kemarin, pas lo digendong masuk ke UKS. Kebetulan kan gue ada di Kantin, jadi bisa ngeliat lo dari sana.” Jelas Tian.
Fika mengangguk, “Iya, kemarin gue abis jatuh pas lari. Gue Fika, salam kenal ya Tian.”
Bel masuk kembali berbunyi.
“Udah masuk lagi, gue boleh minta nomor lu?” Tanya Tian.
“Nomor?” Tanya Fika.
Tian menggaruk kepalanya, “Gue pengen kenal lebih sama lo aja, hari ini ternyata waktunya cuma sebentar. Jadi kalau boleh gue minta nomor lo Fik.”
Tian mengeluarkan handphone dari saku seragamnya, kemudian ia mengulurkan tangannya ke arah Fika. Ia kembali menatap ke arah tangga di mana sudah ada Guru yang akan masuk ke kelasnya.
“Jadi gimana nih?” Tanya Tian.
Fika diam sesaat, sampai akhirnya ia meraih handphone Tian dan memberikan nomor handphonenya. Ia memberikan handphone kembali kepada Tian.
“Lo namain sendiri aja ya.” Ucap Fika.
Tian mengangguk, “Oke, makasih banyak ya. Gue harus naik nih, guru killer udah mau masuk ke kelas. Duluan ya Fik.”
Tian pun meninggalkan Fika untuk naik tangga menuju kelasnya, Fika pun akhirnya berjalan masuk ke dalam kelas dan kembali duduk di samping Rama.
“Tumben lama banget Fik.” Ucap Rama.
“Tadi aku malah cerita-cerita sama Kak Dara.” Ucap Fika.
Rama menganggukkan kepalanya, kelas pun kembali dimulai.
*
“Ram... Ram...”
Fika menyentuh lengan Rama beberapa kali dengan pelan, sampai akhirnya Rama pun menatap ke arahnya sambil menaikan alisnya satu dengan penuh tanya.
“...nanti jelasin lagi ke aku ya, aku ngga paham.” Ucap Fika.
Rama memandang malas ke arahnya, kemudian ia mengangguk lalu beralih menatap ke arah depan. Drrt! Fika mengambil handphone dari laci mejanya, ada sebuah pesan masuk dari Tian.
“Nanti bisa ngobrol pas jam istirahat?”
Fika hanya menatap pesan tersebut, ia sempat melihat ke arah Rama diam-diam. Fika meghela nafasnya dan akhirnya ia kembali meletakkan handphonenya ke dalam laci. Fika kembali melirik Rama, sepertinya masih ada keraguan dalam hatinya. Ia menegakkan badannya, lalu melihat ke arah laci meja milik Rama.
Handphonenya menyala, ada sebuah pesan masuk. Fika dapat melihatnya, nama Desi tertulis dengan jelas di pesan masuk itu. Sayangnya ia tidak bisa membaca isi pesan tersebut karena tulisannya lebih kecil dari namanya. Fika kembali menghela nafasnya.
Bel istirahat berbunyi, para siswa-siswi satu persatu meninggalkan kelas. Fika melirik ke arah Rama, ia sedang menundukkan kepalanya sambil memainkan handphonenya. Fika langsung mengambil kesimpulan, ia bangun dari duduknya.
“Kamu mau ke mana Fik?” Tanya Rama.
“Aku... mau ketemu Kak Dara dulu. Aku mau nanya soal baju, kamu mau ikut?” Ucap Fika.
“Ngga deh, aku di sini aja.” Jawab Rama.
Fika kembali berjalan ke luar kelas. Ia sempat menghentikan langkahnya begitu melihat Tian sudah duduk di bangku Taman, di tempat yang sama persis seperti kemarin. Fika kembali menghela nafasnya beberapa kali, sampai akhirnya ia kembali berjalan mendekat ke arah Tian berada.
“Lo mau ngobrolin apa?” Tanya Fika.
Tian menoleh, “Eh Fik, ada waktu kan? Ini gue beliin buat lo, kalau lo mau sih. Kalau ngga mau juga nggapapa, gue bisa minum dua gelas kok.”
Tian mengulurkan tangannya, satu gelas minuman dingin andalan Kantin. Fika menerima gelas tersebut, kemudian ia duduk di samping Tian dengan jarak yang bisa diisi oleh satu orang lagi.
“Gimana pelajaran hari ini Fik?” Tanya Tian.
“Biasa aja sih, ngga ada apa-apa. Kenapa emangnya?” Ucap Fika.
“Nggapapa sih, cuma pengen nanya-nanya aja. Soalnya kan kita beda jurusan, gue penasaran aja gimana kalau anak IPA belajar. Kalau boleh cerita sih anak IPS jauh banget dari kata belajar...”
Fika memperhatikan dalam diam.
“...kerjaan kita di kelas itu paling sering ya ngobrol-ngobrol ngga jelas, apa aja yang bisa kita omongin pasti kita omongin. Kadang-kadang ngga berasa aja tiba-tiba udah masuk jam istirahat.” Jelas Tian.
“Terus Guru-guru ngga marah gitu kalau kalian cuma ngobrol terus?” Tanya Fika.
“Gimana ya...” Tian menegakkan duduknya, “mungkin emang mereka udah pasrah kali ya sama anak-anak IPS. Soalnya bukan baru tahun ini aja, udah dari awal kita kelas satu udah begitu.”
“Kalau dari cerita kamu kayaknya seru, tapi emang semuanya begitu?” Tanya Fika lanjut.
“Ngga juga sih, ada yang serius belajar juga ada. Emang kalau di IPA semuanya serba serius ya?” Ucap Tian.
Fika bersadar pada bangku, “Kalau dibilang serius, mayoritas pasti serius. Kalau dibilang bercanda, ada waktunya mungkin. Misalkan ada beberapa orang yang ngga suka belajar Matematika, baru dia akan bercanda lah.”
Dara ke luar dari ruang UKS, ia meregangkan tangannya ke atas untuk menghilangkan rasa pegal. Ia menatap heran ke arah Taman, ia melihat Fika yang sedang berbincang namun bukan dengan Rama.
“Lo emang ngga suka makan di Kantin ya? Jujur aja sih gue selama di Kantin ngga pernah ngeliat lo.” Kata Tian.
Fika mengangguk, “Gue kebiasaan bawa makanan dari dulu, jadi kebiasaan aja sampai sekarang. Sesekali paling gue ke Kantin kalau abis olah raga aja.”
Tian dan Fika meminum minuman mereka masing-masing. Sinar Matahari kembali menembus lewat celah-celah dedaunan dan mendarat tepat di wajah Fika. Tian terdiam menatap ke arahnya, Fika menyadari akan hal itu lalu ia menatap ke arah Tian.
“Ngeliatin apa?” Tanyanya.
“Gue juga kemarin liat lo pas kena sinar, dan sekarang kejadian lagi...”
Fika masih menatapnya.
“...cantik sih. Kayaknya emang momen yang pas, ngga semua orang cocok kalau kena sinar kayak gitu. Lo cantik sih.” Jelas Tian.
Fika dibuat terkejut dengan perkataan Tian hingga ia hanya bisa mengalihkan pandangannya ke arah Lapangan dalam diam. Angin berhembus begitu saja entah dari mana, rambut panjang Fika menutupi sebagian wajahnya hingga ia harus menyekanya dengan jari tangannya.
“Lo emang ngga suka dikuncir ya?” Tanya Tian.
“Kalau sekolah ngga sih.” Jawabnya singkat.
“Lo cocok kayaknya kalau dikuncir, apalagi belakangan ini angin lagi kenceng-kencengnya. Terlebih, wajah lo bisa sering ketutupan kayak tadi.” Ucap Rama.
Fika tidak menanggapi perkataannya, ia hanya menatap ke arah Lapangan di mana ada beberapa siswa yang sedang bermain bola. Perebutan bola sedang terjadi, hingga salah satu siswa menendang bola dengan sekuat tenaga untuk mencetak angka. Sayangnya, tendangannya mengarahkan bola ke tiang gawang. Bola memantul dengan kencang ke arah Fika, ia pun menutup matanya dengan cepat.
Dug! Bola kembali memantul ke arah lapangan. Fika membuka matanya setelah mendengar bunyi itu, padangannya terhalang oleh tangan Tian yang melindunginya dari datangnya bola dengan kecepatan tinggi. Beberapa siswa berdatangan ke arah mereka dengan cepat.
“Ti, sorry banget ngga sengaja.” Ucap salah satu teman Tian.
“Kak, nggapapa Kak?” Ucap adik Kelas.
“Main bola sih main bola, cuma diarahin dong tendangannya. Kalau kena dia gimana? Siapa yang mau tanggung jawab?” Protes Tian.
“Sorry banget sorry, beneran ngga sengaja.” Ucap temannya.
“Yaudah, next hati-hati.” Ucap Tian.
Beberapa siswa tersebut meminta maaf kepada Fika, ia hanya mengangguk untuk menanggapinya. Permainan bola kembali berlanjut di Lapangan, meninggalkan Fika dan Tian berdua.
“Lo nggapapa kan?” Tanya Tian.
Fika mengangguk pelan, “Lo sendiri gimana? Sakit ngga tangannya?”
“Oh ini...” Tian mengepal tangannya, “udah biasa kok, jadi aman.”
“Makasih ya udah nolongin gue.” Ucap Fika.
Tian mengangguk, “Santai aja. Untung aja waktunya pas, kalau ngga bisa-bisa lo kena bola dan harus masuk UKS lagi. Bisa-bisa gue yang kena omelan temen lo yang gendong kemarin.”
“Maksud lo Rama?” Tanya Fika.
“Oh namanya Rama? Gue baru tau, dan gue juga baru liat dia kemarin itu. Banyak orang-orang yang gue ngga kenal ternyata di Sekolah ini.” Jelas Tian.
“Iya, namanya Rama. Wajar aja sih kalau ngga ada yang kenal sama gue dan dia, karena kita emang jarang banget ke luar dari kelas, paling pas olah raga aja.” Ucap Fika.
Tian mengangguk, “Kayaknya kalian temenan udah lama banget ya?”
“Kok lo bisa ngomong gitu?” Tanya Fika.
“Keliatan banget. Gue termasuk orang yang percaya kalau di antara laki-laki sama perempuan itu ngga ada yang namanya pertemanan murni. Kalau sekalinya ada, berarti emang itu hebat sih...”
Fika sempat terkejut dengan perkataan Tian.
“...contohnya ya kayak lo sama Rama aja. Kalau sampai detik ini ngga ada rasa suka di antara kalian, berarti kalian hebat.” Jelas Tian.
Bel masuk kembali berbunyi, satu persatu siswa mulai kembali masuk ke dalam kelas. Fika dan Tian sama-sama bangun dari duduknya.
“Terpisah lagi sama hal yang sama. Makasih ya Fik udah mau ngobrol banyak sama gue, padahal kita aja baru kenal.” Ucap Tian.
Fika mengangguk, “Kalau gitu gue masuk kelas duluan ya.”
Fika berjalan terlebih dahulu, Tian masih terdiam menatap ke arah Fika. Sayangnya ia harus menyudahi itu semua karena Guru yang mengajar di Kelasnya terlihat sudah ke luar dari ruangan. Tian pun kembali masuk ke dalam kelasnya.
Fika kembali duduk di samping Rama, ia masih sibuk dengan handphonenya. Fika sempat melirik, Rama sedang memainkan sebuah game dengan seriusnya. Fika menyandarkan badannya pada bangku, kemudian ia menghela nafasnya begitu saja.
“Udah waktunya.”
*
Rama meletakkan handphone di dalam saku kemejanya, ia dapat melihat ke luar dari pintu yang terbuka. Ia mendapati Fika sedang duduk di bangku Taman namun tidak sendirian. Ia bangun dari duduknya namun tidak melangkah sedikitpun dari posisinya.
“Kak Dara...”
Dara sudah berdiri di depan pintu Kelasnya.
“Kamu sibuk ngga Ram? Kalau ngga, ikut aku ke UKS yuk.” ajak Dara.
Rama mengangguk pelan. Ia pun berjalan mendekat ke arah Dara, kemudian mereka berjalan bersampingan ke luar kelas menuju UKS. Rama sempat melirik ke arah Fika, ia sedang berbincang namun entah dengan siapa. Rama dan Dara pun masuk ke dalam ruang UKS. Mereka duduk berhadapan satu sama lain.
“Ada apa ya Kak?” Tanya Rama.
“Udah makan?” Tanya Dara.
Rama terdiam heran dengan pertanyaan tersebut. Dara mengeluarkan kotak makan dari dalam tasnya, kemudian ia meletakkan kotak makan tersebut di antara mereka.
“Ayo dimakan Ram, kamu pasti belum makan.” Ajak Dara.
Rama mengangguk pelan, akhirnya mereka berdua makan bersama di jam istirahat ini. Secara bergantian mereka mengambil makanan, Rama masih bingung dengan apa yang dimaksud Dara.
Beberapa saat berlalu, Rama ke luar dari dalam UKS melewati Fika yang masih ada di bangku Taman. Ia kembali masuk ke dalam kelas lalu duduk sambil mengeluarkan handphone dari dalam saku.
Ia memilih untuk memainkan sebuah game dari handphonenya, tak lama berselang bel masuk kembali berbunyi pertanda istirahat sudah selesai. Fika kembali masuk ke dalam kelas lalu duduk di sampingnya seperti biasa.
“Ram, ajarin yang tadi.” Ucap Fika
Rama memandang malas ke arah Fika, sementara Fika hanya bisa tersenyum ke arahnya. Rama meletakkan kembali handphonenya di dalam laci, kemudian ia membuka buku catatannya.
“Bagian mana yang kamu ngga ngerti?” Tanya Rama.
“Semuanya.” Jawabnya singkat.
“Kamu mau sampai kapan kayak gitu Fik.” Ucap Rama.
Fika memukul lengan Rama pelan, “Ih, kan dari dulu udah pernah aku bilang. Ngga semua orang bisa semua pelajaran, kayak kamu juga nilainya jelek pelajaran bahasa. Masa iya kamu boleh aku ngga.”
Rama mengusap tangannya pelan dan kembali menatap malas ke arah Fika. Ia pun mulai menjelaskan semuanya kepada Fika secara perlahan.
Diubah oleh beavermoon 04-12-2021 11:07
i4munited memberi reputasi
1
Kutip
Balas