Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Eh, Sepatunya baru... padahal baru gw mau beliin” Ujar Resti saat melihat gua tengah memakai sepatu baru yang dibelikan Larissa beberapa waktu yang lalu.
“Iya… Dibeliin..” Jawab gua
“Sama Sasa?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
“Lo pasti nggak suka modelnya kan?” Resti kembali bertanya.
Gua nggak menjawab pertanyaannya, hanya melempar senyum.
Sejujurnya, gua emang kurang begitu suka dengan model sepatu sport seperti yang dibelikan Larissa. Tapi apa daya, menurut Larissa gua terlihat lebih keren saat mengenakan sepatu ini.
“Ngapain lo nanya-nanya…” Hardik Larissa ke Kakaknya. Ia sepertinya mendengar apa yang baru saja dikatakan Resti.
“Ye.. orang cuma nanya doang…” Respon Resti, nggak mau kalah.
“Udah Sana sana…” Larissa berusaha mengusir kakaknya yang duduk di kursi teras dengan menarik lengan dan mendorong tubuhnya masuk ke dalam rumah.
Ia lalu duduk, menggantikan posisi yang sebelumnya ditempati Resti. “Lo masih punya duit, Bi?” Tanya Larissa.
Gua mengangguk pelan.
“Jangan Bohong…” Ucapnya sambil memiringkan kepalanya, mencoba menatap ke arah hidung gua.
“Bener…” Jawab gua setengah berbohong.
Setelah dibawanya semua uang saku gua saat penggeledahan kemarin, saat ini gua benerin ‘miskin’. Jumlah uang yang sekarang gua miliki saat ini bahkan nggak sampe 30 ribu rupiah. Itu pun berhasil luput dari penggeledahan karena uang tersebut berada di dalam saku celana sekolah yang nggak sengaja masuk ke keranjang cucian.
“Kalo gw ngasih duit, lo pasti marah banget ya sama gw?” Tanya Larissa sambil memainkan rambutnya.
“Marah sih nggak, cuma malu aja… lo udah terlalu banyak ngasih gua…”
Ia lalu menunjuk ke arah saku jaket yang gua kenakan. Sementara, pandangannya ia arahkan ke bawah. Gua lalu memasukkan tangan kedalam saku yang barusan ditunjuk olehnya. Dua lembar uang pecahan 50 ribuan gua keluarkan dari dalam saku sweater. Uang yang sepertinya diam-diam dimasukkan olehnya. Gua meletakkan uang tersebut diatas meja kecil yang diantara kami. “Nggak usah, Sa… Gua masih punya duit kok…”
Larissa terdiam, lama ia menatap uang yang baru saja gua letakan di atas meja.
“Gua balik ya…” ucap gua sambil membelai rambutnya.
“Ati-ati…” Jawabnya pelan, sangat pelan.
Baru beberapa langkah gua keluar melintasi pagar rumahnya, terdengar suara langkah kaki mendekat, disusul sebuah pelukan. “Jangan pulang…” Ucap Larissa.
“Hah, Kenapa?” Tanya gua.
“Ambil duit dari gw atau lo nggak usah pulang…” Ancamnya.
“Sa…” Gua berbalik dan menatap wajahnya. Air mata membasahi kedua pipinya. “Gua masih punya duit…” Ucap gua sambil mengeluarkan dua lembar puluhan ribu dari saku celana.
Larissa mendongak dan kini menatap ke arah gua. Kami terdiam cukup lama, hingga akhirnya ia buka suara; “Pokoknya, kalo ada apa-apa… gw harus jadi orang pertama yang lo kabarin…” Ucapnya dengan nada sedikit mengancam.
Gua mengangguk; “Pasti!” Jawab gua penuh keyakinan.
Perlahan Larissa melepas pelukannya dan membiarkan gua pergi.
---
Saat tiba dirumah, sebuah sosok terlihat duduk di kursi teras rumah gua. Kondisi rumah yang gelap karena gua pergi buru-buru dan lupa menyalakan lampu depan, membuat sosok tersebut sulit dikenali. Gua membuka pagar dan masuk, sosok tersebut semakin jelas, gadis cantik dengan rambut ikal yang kini menatap gua.
“Dari rumah Sasa?” Tanyanya.
“Iya…” gua menjawab singkat sambil mengeluarkan kunci dari saki celana, membuka pintu dan masuk.
Dita menyusul gua masuk kedalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu. Sementara gua langsung menuju ke dapur, mengambilkan minum untuknya.
“Udah lama?” Tanya gua, yang lalu dijawab dengan anggukan kepala olehnya.
“Kenapa nggak SMS, Telpon?” Gua menambahkan.
“Lo pikir gw dukun, bisa tau nomer HP lo.. Trus kalo pun gw tau nomer HP lo mana mungkin gw SMS atau telpon pas lo lagi di rumah Sasa…” Dita menjelaskan.
“Nih, Save nomer gua…” Gua bicara sambil menyodorkan ponsel gua ke arahnya.
“Lo nggak apal nomer lo sendiri?” Tanyanya sambil meraih ponsel gua.
“Nggak…”
Nggak seberapa lama, Dita mengembalikan ponsel gua; “Nomor gw nggak usah lo Save, ntar kalo Sasa tau bisa dipatahin leher gw, yang penting gw udah save nomor lo…” Ucapnya.
“Mmmm… anu…” Dita terlihat ingin mengatakan sesuatu namun terlihat jelas wajahnya penuh keraguan.
“Bilang aja, Dit… gua juga penasaran berita yang lo denger apa?” Tanya gua, mencoba membuatnya nyaman.
“Katanya bokap lo di tangkep polisi?” Dita bertanya, kalimatnya diucapkan dengan cepat, sementara pandangannya dialihkan ke tempat lain.
“Trus apa lagi yang elo denger?” Gua balik bertanya.
“Eemm… anu, katanya bokap lo ketangkep korupsi…” Tambahnya.
“Wuih, hebat ya.. bisa langsung pada tau…” Jawab gua santai.
“Eh… berarti bener?” Tanyanya.
“Bener…” Jawab gua singkat.
“Terus, elo gimana?”
“Apanya yang gimana? yaudah gitu aja… gua nggak mungkin ditangkep atas kejahatan yang dilakukan bokap gua kan?”
Dita mengangguk pelan. Ia lalu menghabiskan minumnya dan pamit untuk pulang. Sebelum pulang ia sempat berpesan; “Nggak usah bilang-bilang Sasa kalo gw kesini...” Ucapnya pelan.
Baru berjalan beberapa langkah, ia kembali. Dita berdiri di hadapan gua, pagar besi setinggi dada memisahkan kami berdua. Kepalanya menunduk, memandang ke bawah, sementara kedua tangannya saling meremas; “Kalo butuh apa-apa, bilang gw ya.. gw khawatir sama elo…” Ucapnya pelan, kemudian dengan cepat berbalik dan pergi. Sama sekali nggak membiarkan gua memberikan respon apa-apa kepadanya.
---
Beberapa hari kemudian. Sosok polisi setengah baya dengan rambut panjang beruban yang sebelumnya bicara ke gua saat penggeledahan datang kembali. Kali ini ia datang bersama sosok wanita berpakaian rapi dengan sebuah kartu pengenal tergantung di lehernya.
Keduanya hanya datang sebentar. Sosok wanita yang datang bersama dengan polisi tadi ternyata merupakan orang dari kejaksaan yang datang untuk menjelaskan kronologi tentang kasus yang menimpa bokap gua. Sebelum pergi, keduanya meninggalkan kardus yang berisi barang-barang yang sebelumnya dibawa waktu proses penggeledahan dan sebuah amplop besar berwarna coklat yang berisi dokumen resmi penyitaan barang.
Didalam amplop tersebut juga terdapat kunci mobil milik bokap gua beserta dengan surat-suratnya yang kemarin juga sempat jadi bahan sitaan.
“Mobilnya bisa diambil di polres ya…” Ujar si pak polisi tadi sebelum pulang.
Nggak menunggu lama, esoknya gua memutuskan untuk bolos sekolah dan mengajak Tile menuju ke Polres untuk mengambil mobil milik bokap.
Sambil menunggu prosedur panjang dan cukup melelahkan, gua menceritakan kejadian yang menimpa bokap gua ke Tile. Entah memang nggak punya empati atau hanya nggak peduli, Tile sama sekali nggak menunjukkan kekhawatirannya, nggak seperti Larissa dan Dita. Menjelang sore, akhirnya gua dan Tile berhasil membawa pulang mobil tersebut.
“Jualin, Le…” Ujar gua sambil menyerahkan surat-surat mobil kepadanya.
“Hah, Mobil ini?” Tanyanya kaget.
Jujur, gua nggak tau harus minta tolong hal ini ke siapa. Agak aneh kalo denger anak SMA kelas 2 jual mobil milik bapaknya. Pasti dianggap nyolong buat beli narkoba atau kabur dari rumah sambil bawa mobil bapaknya. Sempat terbesit untuk minta tolong jual mobil ini ke Papinya Larissa, tapi hal tersebut tentu bakal memantik pertanyaan darinya; ‘Kenapa Dijual?’, ‘Kok Bukan Bapak kamu yang jual?’ dan pertanyaan-pertanyaan a-la interogasi lainnya. So, sepertinya Tile satu-satunya opsi yang gua punya sekarang. Sebagai anak kuliahan, walaupun masih baru, paling nggak usianya lebih matang dari gua.
“Iya… Sambil nunggu mobilnya laku, gua pinjem duit lo dulu…”
“Berapa?”
“Berapapun yang lo punya sekarang…”
Tile lalu mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya, meletakkannya di atas dashboard mobil. Tangannya beralih kedua saku depan celana, mengeluarkan lembaran-lembaran uang lecek dari dalamnya dan kembali meletakkannya diatas dashboard.
“150 ribu…” Ucap Tile, setelah selesai menghitung semua uang yang ia miliki.
“For now, gua pinjem 100 ribu…”
Tile lalu menghitung ulang uang miliknya, menyisihkan 50 ribu untuk dirinya sendiri dan menyerahkan sisanya ke gua. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik pesan. ‘Drrt’ Ponsel gua berbunyi, sebuah pesan masuk; dari Tile. Yang isinya nominal uang yang barusan gua pinjam beserta tanggal hari ini. “Gw catet di SMS, biar nggak lupa…” Tambahnya.
“Ok… Oiya, Le… Jangan cerita-cerita ke Sasa ya..”
“Iya…” Jawabnya singkat.
---
Butuh waktu cukup lama bagi Tile untuk menjual mobil tersebut. Menurut info darinya, sudah ada beberapa calon pembeli yang datang untuk melihat kondisi mobil namun selalu berujung gagal karena harganya yang kurang cocok. “Udah, jual berapa aja dah Le…” Ucap gua kala itu melalui telepon.
“Eits, jangan dong… Jual mobil emang harus sabar, tenang aja, pasti laku kok dengan harga bagus…” Jawabnya.
Hampir tiga bulan berlalu, mobil bokap gua akhirnya berhasil berpindah tangan. Harga yang diberikan Tile pun cukup bagus, namun komisi yang diminta olehnya juga semakin tinggi.
“Duitnya di rekening bokap gua, lo bikin tabungan dulu gih sana…” Ucap Tile kala itu, sesaat setelah berhasil menjual mobil milik bokap gua.
Hari itu, gua kembali bolos sekolah. Rencananya mau buat KTP dan rekening tabungan.
“Kenapaa?” Tanya Larissa, suaranya setengah berbisik kala gua menghubunginya melalui ponsel.
“Mau bikin KTP…” Jawab gua singkat.
“Kenapa nggak dari kemaren-kemaren?” Tanyanya lagi.
“Kemaren atau sekarang kan gua harus tetep bolos, kelurahannya kalo minggu libur…” Gua menjelaskan.
“Ooh yaudah kalo gitu, ati-ati…”
Proses pembuatan KTP boleh dibilang punya birokrasi yang mirip dengan kala gua buat SIM waktu itu. Begitu sampai lokasi parkir di kelurahan, sosok pria berseragam langsung menghampiri gua dan Tile. Ia bertanya tentang keperluan kami; “Bikin KTP apa perpanjang?”
“Bikin KTP…” Gua menjawab.
“Sini sama saya aja, 50rb langsung jadi…” Tawarnya.
“Hah, serius?” Tanya Tile
“Iya bener” Jawab pria tersebut sambil mengangguk yakin.
Tile lalu memberikan kode ke gua agak memberikan uang yang diminta beserta fotocopy Kartu keluarga yang gua bawa. “Tunggu disini ya…” Ucap Pria tersebut, kemudian bergegas pergi, masuk ke dalam kantor kelurahan.
Setelah menunggu sekitar 10 menit, pria tersebut terlihat memanggil kami dari depan gedung kelurahan. Ia meminta gua kembali menunggu sebentar, lalu mengajak gua masuk untuk proses finalisasi pembuatan KTP. Dan kira-kira 10 menit berikutnya, KTP baru gua pun selesai.
“Sial!” Maki Tile sambil menendang ban motornya.
“Kenapa?”
“Gw berarti ditipu, waktu itu gw bikin KTP suru bayar 100rb, itupun jadinya 3 hari…” Ucapnya sambil berusaha menyalakan motor miliknya.
---
KTP done! Bikin rekening tabungan Done!
“Komisi lo, langsung ambil potong di rekening bokap lo aja ya.. Jadi ntar bokap lo suru transfer segini…” Ucap gua ke Tile sambil menunjukkan kertas berisi nominal yang baru gua tulis.
“Oke…”
“Cukup buat beli motor bekas nggak komisinya?” Tanya gua ke Tile.
“Kalo motor bekas, bisa dapet 2…” Jawabnya.
“Hah, emang motor bekas harganya berapa?” Tanya gua lagi, penasaran dengan harga motor bekas di pasaran.
“Lo mau beli motor?” Tile Balik bertanya. Yang lalu gua jawab dengan anggukan kepala. Daripada harus terus-terusan ngeluarin ongkos buat naik angkot, gua pikir lebih efektif kalo punya motor.
“Sini gua cariin…”
“Tapi masalahnya…”
“Apa?”
“Gua nggak bisa naek motor…” Jawab gua pelan, sangat pelan.
Mendengarnya Tile tertawa terbahak-bahak. Kemudian menepuk pundak gua, memberikan semangat, seakan nggak bisa naek motor merupakan sebuah aib yang perlu penghiburan. “Tenang… Buat orang Indonesia kayak kita, naek motor merupakan sebuah naluri… nggak usah pake belajar. Langsung coba sekali dua kali pasti langsung bisa…” Ucapnya.
“Masa?”
“Sungguh dah!” Jawabnya yakin sambil menampilkan senyum khas miliknya. Senyuman yang membuat dia dipanggil ‘Tile’.
---
Sebagian besar uang hasil penjualan mobil gua tabung. Sementara, sisanya gua gunakan untuk biaya hidup dan membeli motor bekas. Dalam kondisi seperti saat ini, gua harus mulai memikirkan kehidupan gua kedepan. Uang tabungan gua nggak mungkin bisa menopang hidup untuk selamanya.
Sementara, Larissa terus bertanya-tanya darimana gua bisa dapet uang untuk hidup dan membeli motor bekas. Sampai suatu hari, gua akhirnya harus jujur dan menceritakan semua kepadanya.
“Kalo lo ngasih tau, gw pasti bantuin lo Bi…” Ucapnya pelan, begitu selesai mendengar cerita gua.
“Mau sampe kapan lo bantuin gua terus?” Gua bertanya.
“Selama gw mampu. Kalo perlu selamanya…” Jawabnya pelan, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu gua.
Gua merespon kata-katanya dengan senyuman, kemudian mulai mendekap bahunya.
Larissa mendongak, kami saling menatap. Jarinya ia mainkan di wajah gua, meniti tiap sentinya, mata, hidung, pipi dan kemudian arinya berhenti di bibir gua. Ia lalu menenggelamkan kepalanya ke dalam pelukan; “Gw udah pernah bilang belum sih, kalo gw suka bau lo…”
“Iya…”
“Gw juga suka kalo lo senyum, gw juga suka kalo lo cemberut, gw suka kalo lo kikuk, gw suka dengan cara lo ngeliat gw, pokoknya gw suka semua dari elo…”
“....”
“Kalo elo? gimana?” Tanyanya sambil keluar dari pelukan dan mulai menatap gua.
Gua balas menatapnya, kemudian menjawab; “I love the way you love me…”
“Ah.. nggak kreatif…” Keluhnya, lalu kembali dalam pelukan.
“...”
“Eh, Bi… Kapan-kapan kita ke Pantai yuk…” Pintanya
Gua mengangguk setuju.
Malam itu, kami habiskan hanya duduk berdua di halaman belakang rumah Larissa. Sesekali kami menatap ke langit, saling memperebutkan bintang yang bersinar paling terang, sambil bersenandung lagu cinta yang tak benar-benar kami hafal liriknya.
“Peluk gw Bi…” Larissa menatap gua sambil meraih tangan gua.
Gua tersenyum dan mulai memeluknya.
“Jangan dilepas…” Pintanya sementara pelukannya semakin erat. Gua mengangguk dan mengecup keningnya.
Baru gua sadari di kemudian hari, itu merupakan pelukan terakhirnya. Pelukan yang akan gua rindukan selamanya.
---
The Heights - How do you talk to an angel
I hear her voice
In my mind
I know her face by heart
Heaven and earth are moving in my soul
And I dont know where to start
Tell me tell me the words to define
The way I feel about someone so fine
How do you talk to an angel?
How do you hold her close to where you are?
How do you talk to an angel?
It's like tryin' to catch a falling star
At night I dream and she is there
And I can feel her in the air
Tell me tell me the words to define
The way I feel about someone so fine
How do you talk to an angel?
How do you hold her close to where you are?
How do you talk to an angel?
It's like tryin' to catch a falling star