- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#7
Episode 5
Spoiler for Episode 5:
Mencintai adalah hak setiap orang, tidak ada batasannya jika kita ingin mencintainya. Dicintai juga hak setiap orang, bukanlah sebuah kewajiban. Terkadang ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa ketika kita mencintai, kita harus dicintai juga. Bagiku tidak, itu semua adalah hak yang tidak bisa kita larang.
Pertanyaanya, sampai kapan aku akan bertahan dengan perasaanku ini? Perasaan yang selalu saja aku sembunyikan dari semua. Jika aku tarik garis ke belakang, semua itu ada di tanganku, semua keputusan aku yang menentukan, bukan orang lain. Jadi, sampai kapan?
Malam ini adalah malam perpisahan, semua siswa-siswi sedang berada di dalam Sekolah. Ada sebuah acara yang memang sengaja mereka buat sebagai hari terakhir menjadi siswa di Sekolah ini, termasuk juga Rama dan Fika.
Kerumunan sudah terjadi di tengah-tengah lapangan, ada sebuah band yang mengiringi malam ini dengan penuh semangat. Rama sedang duduk menatap ke arah panggung, cukup jauh dari keramaian. Sesekali ia meminum minuman soda yang ia ambil dari tempat yang disediakan.
“Ram...”
Rama menoleh ke samping, “Eh Des.”
Desi pun duduk di sampingnya, mereka sama-sama menatap ke arah panggung. Sesekali Desi menatap ke arah Rama tanpa ia ketahui, kemudian ia tersenyum kecil setelahnya.
“Kamu ngga ke sana Ram?” Tanya Desi membuka obrolan.
Rama menggeleng, “Terlalu ramai di sana, bakalan panas dan gerah pasti. Mending di sini, bisa dengerin musiknya dengan jelas, ngga bikin gerah, terlebih duduk dan bisa santai. Lo sendiri kenapa ngga ke sana?”
“Sama sih, aku juga males ke sana. Oh iya, ngomong-ngomong kamu bakalan lanjut ke Sekolah mana Ram?” Ucap Desi.
“Belum tau sih, sedapetnya aja lah. Kalau bisa yang deket-deket aja biar ngga terlalu mahal ongkosnya. Lo sendiri gimana Des? Bukannya lo mau ke luar Kota ya?” Ucap Rama.
“Kalau jadi sih, soalnya aku juga belum tau pasti.” Jawabnya.
Rama mengangguk pelan, kemudian mereka kembali menatap ke arah panggung yang semakin meriah malam ini. Desi membuka tas kecil yang ia pegang, ia mengambil sebuah barang dari dalam.
“Ram...”
Rama menatap ke arah Desi yang sudah menjulurkan tangann ke hadapannya. Sebuah boneka rubah kecil menggantung para rangkaian rantai.
“Gantungan kunci?” Tanya Rama.
Desi mengangguk, “Iya, gantungan kunci. Aku sengaja bawa itu buat kamu. Aku pikir, kayaknya malam ini jadi malam terakhir buat kita bisa ngobrol. Jadi sekalian aja aku mau ngasih kamu itu Ram.”
Rama menerima gantungan kunci itu.
“Aku suka sama kamu Ram...”
Dengan cepat Rama kembali menatap Desi.
“...Aku lega bisa ngomong itu. Udah cukup lama aku nahan-nahan, sampai mungkin ini waktu yang tepat buat ngomong ke kamu.” Jelas Desi.
“Des, gue...”
“Rama, dari tadi dicariin juga...”
Fika mendekat ke arah mereka berdua.
“...ayo kita ke sana, sebentar lagi acara puncak. Ayo Des, kita ke sana juga.” Ajak Fika.
Desi tersenyum, “Kalian duluan aja, aku mau nungguin temen aku. Nanti aku gabung sama kalian. Duluan aja.”
“Oke Des, kita tunggu di sana ya.” Ucap Fika.
Fika menarik tangan Rama agar ia mau ikut berkumpul di tengah-tengah lapangan, karena sebentar lagi acara puncak akan dimulai. Rama dan Fika mulai masuk ke dalam kerumunan, Desi masih terduduk menatap ke arah mereka sendirian.
Ia menghela nafas panjang, kemudian tersenyum. Angin berhembus dari sisi kanannya, membuat sebagian rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya.
“Tiga... Dua... Satu...”
Riuh kembang api bermunculan di atas langit, dengan warna-warninya yang beragam. Fika menunjuk ke arah salah satu kembang api, ia pun tersenyum lalu menatap ke arah Rama yang juga tersenyum. Acara puncak ditutup dengan sempurna, meninggalkan Desi dengan air mata di pipinya.
“Coba sini.”
Fika mendekatkan wajahnya, Rama meletakkan tangannya di kening Fika untuk memeriksa keadaannya. Beberapa kali ia memastikan dengan memindahkannya ke sekitaran kening Fika.
“Bener kan aku udah sembuh?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Kamu udah beneran sembuh sekarang. Jadi besok kamu udah bisa sekolah lagi, tapi jangan lupa bikin surat keterangan buat diserahin ke Guru. Terus, banyak catatan yang harus kamu salin selama kamu ngga masuk tiga hari.”
“Soal surat gampang, soal nyalin catatan kayaknya aku butuh bantuan deh, bener ngga Ram?” Ucap Fika.
Rama memandang malas ke arah Fika, ia sudah tahu ke mana arah ucapan Fika, ia harus membantunya menyalin semua catatan yang tertinggal, belum lagi untuk menjelaskan pelajaran yang Fika tidak paham.
“Iya, nanti aku bantuin.” Jawab Rama.
Fika tersenyum setelah mendengar jawaban Rama.Ting! Rama melihat ke arah handphonenya, ada sebuah pesan masuk tanpa nama. Ia membalas pesan tersebut, dengan cepat ia kembali menerima balasan pesan.
“Kamu udah ngasih nomor aku Fik?” Tanya Rama.
“Ngasih? Ngasih ke siapa ya?” Tanya Fika balik.
Rama menunjukkan isi pesan di handphonenya.
“Ternyata bener ini nomor kamu. Hai Ram, masih inget aku ngga? Aku Desi, temen SMP kamu.”
“Aku belum sempet kasih nomor kamu ke dia.” Jawab Fika.
“Apa dari buku tahunan kita? Tapi nomor di buku tahunan itu udah ngga aku pakai lagi.” Ucap Rama.
Fika mengangkat kedua bahunya pertanda ia tidak tahu. Rama yang juga tidak tahu pun meninggalkan itu sejenak, kemudian ia mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya. Fika pun mengambil buku catatan miliknya dari atas meja, kemudian ia kembali duduk di lantai beralaskan karpet bersama Rama.
“Kamu mau nyalin yang mana dulu?” Tanya Rama.
“Mending Kimia dulu Ram, sekalian kamu ajarin aku.” Jawabnya.
Rama mengangguk pelan. Fika mulai untuk menyalin catatan dari buku Rama. Beberapa menit baru saja bergulir, Rama yang sedang memandangi buku catatan lain harus mengalihkan pandangannya karena Fika menyentuh tangannya beberapa kali.
“Kenapa Fik?” Tanya Rama.
“Ini apa ya Ram?” Tanya Fika.
Rama memandang malas ke arahnya, sementara Fika hanya bisa tersenyum. Rama mulai menjelaskan apa yang barus saja ditanyakan oleh Fika secara perlahan, sesekali ia bertanya apakah Fika sudah mengerti. Hanya dua jawaban yang dilontarkan Fika, anggukan kepala dengan pasti atau senyumnya yang menandakan ketidakpahamannya.
Rama hanya bisa memandang malas ke arahnya jika Fika masih tidak mengerti, namun ia tetap mengulangi penjelasan kepada Fika meskipun harus beberapa kali. Akhirnya Rama merebahkan dirinya setelah berhasil menjelaskan semua catatan Kimia kepada Fika.
“Akhirnya selesai juga Tuhan.” Ucap Rama.
Fika memukul lengan Rama pelan hingga ia kembali ke posisi duduk.
“Kenapa aku dipukul sih?” Protes Rama.
“Kamu ngomongnya kayak udah selesai dari penderitaan gitu sih. Nyebelin banget.” Ucap Fika.
“Ya emang.” Jawab Rama singkat.
“Tau ah.” Ucap Fika.
“Mulai lagi deh...”
Rama merebahkan dirinya lagi, kali ini posisi kepalanya ada di dekat Fika.
“...jangan ngambek dong, aku cuma bercanda. Aku minta maaf deh kalau aku buat salah. Sebagai gantinya, besok pulang sekolah aku traktir makan Bakso Oye di Taman.” Ucap Rama.
Fika mengalihkan pandangannya, bukan karena marah melainkan ia sedang menahan tawa.
“Sepertinya gagal. Aku punya cerita Fik, jadi di sebuah Hutan tinggal 3 Anak Babi. Anak Babi pertama...”
Fika tak dapat menahan tawanya hingga membuat Rama menghentikan cerita akal-akalannya dan tersenyum menatapnya. Fika berhasil menghentikan tawannya, kemudian ia juga menatap ke arah Rama sambil memainkan rambut Rama.
“Udah ngga marah kan?” Tanya Rama.
Fika tersenyum kecil sambil menggeleng, “Dari semua cerita akal-akalan kamu, kayaknya aku paling suka sama cerita 3 Anak Babi. Meskipun kamu udah ulang berapa kali juga, aku ngga bisa nahan ketawa kalau udah denger. Kenapa harus anak Babi Ram?”
“Cuma itu yang ada di pikiran aku.” Jawabnya.
Fika tersenyum, “Makasih ya Ram.”
Rama tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan, dan tak terasa malam sudah tiba. Rama dan Fika sedang berada di halaman depan, Rama sedang mengenakan helmnya lalu duduk di atas motornya.
“Besok aku jemput kayak biasa ya.” Ucapnya.
Fika mengangguk, “Hati-hati ya Ram, kalau udah sampai rumah kabarin.”
Rama mengangguk, kemudian ia melajukan motornya untuk kembali ke rumah. Fika hanya menatapnya, dalam keheningan malam. Ia menutup pintu gerbang, ia menghentikan langkahnya lalu melihat ke arah langit cerah dengan bintang-bintang yang nampak jelas di mata.
Fika menghela nafasnya, kembali teringat tentang apa yang tadi diceritakan oleh Rama. Desi sepertinya masih menyukai Rama, ia pun berhasil mendapatkan nomor Rama entah dari mana.
“Apa aku cuma jadi penghalang mereka?”
*
Suasana Kelas sedang hening, para siswa-siswi sedang memperhatikan pelajaran yang ditulis Guru di Papan Tulis. Begitu juga dengan Rama dan Fika, sekalipun mereka sambil mendengarkan lagu dari earphone.
Fika mengambil handphone Rama dari laci meja untuk mengganti lagu, namun ia mengurungkan niatnya setelah melihat pesan masuk dari Desi. Ia pun kembali meletakkan handphone Rama di laci meja.
Tak lama berselang, bel istirahat pun berbunyi. Setelah Guru ke luar dari kelas, siswa-siswi pun juga ke luar. Rama masih duduk sambil mendengarkan lagu, Fika bangun dari duduknya.
“Kamu mau ke mana Fik?” Tanya Rama.
“Aku mau ke UKS, mau ketemu Kak Dara buat nanya-nanya obat.” Jawabnya.
Rama mengangguk, Fika pun berjalan menuju UKS di mana Dara berada. Setibanya di sana, ia masuk ke dalam dan menemukan Dara yang sedang duduk memainkan handphone. Dara pun menyadari kedatangan Fika.
“Eh Fika, gimana kamu? Udah mendingan?” Tanyanya.
Fika duduk di hadapannya, “Udah sembuh kok Kak, kalau ngga percaya coba dicek aja Kak.”
“Keliatannya sih kamu udah sembuh beneran, jadi aku percaya. Oh iya kamu ngapain di sini? Kan udah ngga sakit juga, kenapa ngga makan ke Kantin sama yang lain?” Ucap Dara.
“Ada yang mau aku tanyain Kak.” Ucap Fika.
“Soal obat buat sakit demam?” Tanya Dara.
“Bukan itu sih Kak, tapi Kak Dara janji dulu kalau ngga bakalan ceritain ini ke siapa-siapa.” Kata Fika.
Dara mengangguk pelan, “Aku pernah disumpah sebagai perawat untuk tidak menceritakan kepada siapapun, segala rahasia yang berhubungan dengan tugas. Aku anggap kamu itu pasien aku, dan aku akan menjaga rahasia kamu.”
Fika mengangguk pelan, “Kak Dara pernah suka sama cowo kan?”
Dara mengangguk dengan pasti.
“Kak Dara pernah ngga berada di posisi, kayak ada cewe lain yang suka sama gebetannya Kak Dara. Kondisinya si cewe itu dulu pernah suka, terus menghilang, dan akhirnya sekarang dia balik lagi dan masih suka sama gebetannya Kak Dara. Paham ngga Kak?” Ucap Fika.
“Jadi kamu ngerasa kayak penghalang antara si cewe itu sama Rama?...”
Ekspresi Fika berubah setelah mendengar ucapan Dara.
“...Kalau dilihat dari perubahan ekspresi kamu, aku rasa bener sih. Kamu ngga perlu ngakuin itu lagi Fik, aku udah tau kalau kamu tuh suka sama Rama.” Jawab Dara.
Fika tersenyum simpul sambil menganggukkan kepalanya pelan.
“Semuanya tergantung kamu sih Fik, karena kamu yang tau kondisi yang sebenarnya. Kalau kamu emang suka sama Rama, pertahanin aja atau kalau bisa kamu nyatain perasaan kamu ke dia.” Ucap Dara.
“Bukannya harus laki-laki duluan ya Kak?” Tanya Fika.
Dara tersenyum, “Fik, kayaknya udah bukan zamannya deh harus nunggu laki-laki duluan. Emang kedengerannya arogan sih, cuma perempuan juga boleh berpendapat duluan kok.”
Fika terdiam menatap Dara.
“Pilihannya cuma dua Fik. Kamu maju dan bilang ke Rama kalau kamu suka sama dia, atau kamu harus kasih ruang sebebas-bebasnya ke Rama untuk disukai sama orang lain.” Ucap Dara.
Fika menundukkan wajahnya.
“Fika, liat aku deh...”
Fika kembali menatap Dara.
“...Kita emang punya hak buat suka sama seseorang sekalipun cuma kita sendiri yang tau, tapi kita ngga boleh egois sama perasaan kita sendiri. Kita juga harus sadar, orang lain juga punya hak yang sama kayak kita. Mereka juga punya hak untuk suka sama Rama, mau cuma dia yang tau atau semua orang tau.” Jelas Dara.
“Jadi pilihannya...”
Dara mengangguk sebelum Fika menyelesaikan perkataannya.
“Ngga salah kalau kamu mau memendam itu selama yang kamu mau, tapi itu juga akan berakibat pada kamu sendiri. Lebih baik kamu maju atau mundur.” Ucap Dara.
Fika mengangguk pelan.
“Kayaknya aku terlalu menggurui kamu banget ya, padahal aku ngga tau apa yang sebenarnya terjadi. Maaf ya Fik.” Kata Dara.
“Eh, ngga kok Kak. Mungkin akhirnya aku butuh pendapat orang lain juga karena aku ngga bisa selesaiin ini sendiri. Aku malah terima kasih sama Kak Dara.” Ucap Fika.
“Ngga kok, aku cuma cerita tentang pengalaman beberapa orang yang pernah ngalamin kayak kamu juga. Oh iya mumpung kamu ada di sini...”
Dara mengeluarkan kotak makan dari dalam tasnya.
“...Mending kita makan bareng aja. Kamu belum makan kan?” Ucap Dara.
“Eh ngga usah Kak, aku malah ngerepotin. Mending Kak Dara makan aja nanti aku tinggal ke Kantin.” Kata Fika.
“
Aku bocorin nih rahasia kamu ke Rama.” Ancam Dara.
“Ah Kak Dara, jangan dong. Yaudah ayo kita makan bareng deh, serem ancamannya.” Ucap Fika.
Mereka pun tertawa, kemudian mereka makan bersama setelah menyelesaikan sesi curhat pada jam istirahat ini.
“Eh iya, Kak Dara punya pacar?”
*
Fika berjalan dengan santai menuju bangku yang ada di Taman, ia melihat beberapa siswa yang sedang bermain basket di sana. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Kantin, di mana banyak pula siswa-siswi dengan kegiatan mereka masing-masing.
Fika memejamkan matanya, ia menyandarkan kepalanya menghadap atas pada bangku Taman. Sinar matahari menembus dari celah-celah dedaunan, hingga mengenai sebagian kecil wajahnya. Ia menghela nafas, beberapa kali hingga ia merasa nyaman.
Terdengar suara orang yang duduk di sampingnya, namun ia menghiraukannya. Ia membiarkan Rama dan tetap diam menikmati kebisuan di antara keramaian suasana Sekolah.
“Lo yang kemarin digendong masuk UKS ya?”
Dengan cepat Fika membuka matanya lalu menatap ke arah samping, bukan Rama yang ada di sampingnya.
“Boleh kenalan?...”
“...”
“...gue Tian.”
Pertanyaanya, sampai kapan aku akan bertahan dengan perasaanku ini? Perasaan yang selalu saja aku sembunyikan dari semua. Jika aku tarik garis ke belakang, semua itu ada di tanganku, semua keputusan aku yang menentukan, bukan orang lain. Jadi, sampai kapan?
Malam ini adalah malam perpisahan, semua siswa-siswi sedang berada di dalam Sekolah. Ada sebuah acara yang memang sengaja mereka buat sebagai hari terakhir menjadi siswa di Sekolah ini, termasuk juga Rama dan Fika.
Kerumunan sudah terjadi di tengah-tengah lapangan, ada sebuah band yang mengiringi malam ini dengan penuh semangat. Rama sedang duduk menatap ke arah panggung, cukup jauh dari keramaian. Sesekali ia meminum minuman soda yang ia ambil dari tempat yang disediakan.
“Ram...”
Rama menoleh ke samping, “Eh Des.”
Desi pun duduk di sampingnya, mereka sama-sama menatap ke arah panggung. Sesekali Desi menatap ke arah Rama tanpa ia ketahui, kemudian ia tersenyum kecil setelahnya.
“Kamu ngga ke sana Ram?” Tanya Desi membuka obrolan.
Rama menggeleng, “Terlalu ramai di sana, bakalan panas dan gerah pasti. Mending di sini, bisa dengerin musiknya dengan jelas, ngga bikin gerah, terlebih duduk dan bisa santai. Lo sendiri kenapa ngga ke sana?”
“Sama sih, aku juga males ke sana. Oh iya, ngomong-ngomong kamu bakalan lanjut ke Sekolah mana Ram?” Ucap Desi.
“Belum tau sih, sedapetnya aja lah. Kalau bisa yang deket-deket aja biar ngga terlalu mahal ongkosnya. Lo sendiri gimana Des? Bukannya lo mau ke luar Kota ya?” Ucap Rama.
“Kalau jadi sih, soalnya aku juga belum tau pasti.” Jawabnya.
Rama mengangguk pelan, kemudian mereka kembali menatap ke arah panggung yang semakin meriah malam ini. Desi membuka tas kecil yang ia pegang, ia mengambil sebuah barang dari dalam.
“Ram...”
Rama menatap ke arah Desi yang sudah menjulurkan tangann ke hadapannya. Sebuah boneka rubah kecil menggantung para rangkaian rantai.
“Gantungan kunci?” Tanya Rama.
Desi mengangguk, “Iya, gantungan kunci. Aku sengaja bawa itu buat kamu. Aku pikir, kayaknya malam ini jadi malam terakhir buat kita bisa ngobrol. Jadi sekalian aja aku mau ngasih kamu itu Ram.”
Rama menerima gantungan kunci itu.
“Aku suka sama kamu Ram...”
Dengan cepat Rama kembali menatap Desi.
“...Aku lega bisa ngomong itu. Udah cukup lama aku nahan-nahan, sampai mungkin ini waktu yang tepat buat ngomong ke kamu.” Jelas Desi.
“Des, gue...”
“Rama, dari tadi dicariin juga...”
Fika mendekat ke arah mereka berdua.
“...ayo kita ke sana, sebentar lagi acara puncak. Ayo Des, kita ke sana juga.” Ajak Fika.
Desi tersenyum, “Kalian duluan aja, aku mau nungguin temen aku. Nanti aku gabung sama kalian. Duluan aja.”
“Oke Des, kita tunggu di sana ya.” Ucap Fika.
Fika menarik tangan Rama agar ia mau ikut berkumpul di tengah-tengah lapangan, karena sebentar lagi acara puncak akan dimulai. Rama dan Fika mulai masuk ke dalam kerumunan, Desi masih terduduk menatap ke arah mereka sendirian.
Ia menghela nafas panjang, kemudian tersenyum. Angin berhembus dari sisi kanannya, membuat sebagian rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya.
“Tiga... Dua... Satu...”
Riuh kembang api bermunculan di atas langit, dengan warna-warninya yang beragam. Fika menunjuk ke arah salah satu kembang api, ia pun tersenyum lalu menatap ke arah Rama yang juga tersenyum. Acara puncak ditutup dengan sempurna, meninggalkan Desi dengan air mata di pipinya.
“Coba sini.”
Fika mendekatkan wajahnya, Rama meletakkan tangannya di kening Fika untuk memeriksa keadaannya. Beberapa kali ia memastikan dengan memindahkannya ke sekitaran kening Fika.
“Bener kan aku udah sembuh?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Kamu udah beneran sembuh sekarang. Jadi besok kamu udah bisa sekolah lagi, tapi jangan lupa bikin surat keterangan buat diserahin ke Guru. Terus, banyak catatan yang harus kamu salin selama kamu ngga masuk tiga hari.”
“Soal surat gampang, soal nyalin catatan kayaknya aku butuh bantuan deh, bener ngga Ram?” Ucap Fika.
Rama memandang malas ke arah Fika, ia sudah tahu ke mana arah ucapan Fika, ia harus membantunya menyalin semua catatan yang tertinggal, belum lagi untuk menjelaskan pelajaran yang Fika tidak paham.
“Iya, nanti aku bantuin.” Jawab Rama.
Fika tersenyum setelah mendengar jawaban Rama.Ting! Rama melihat ke arah handphonenya, ada sebuah pesan masuk tanpa nama. Ia membalas pesan tersebut, dengan cepat ia kembali menerima balasan pesan.
“Kamu udah ngasih nomor aku Fik?” Tanya Rama.
“Ngasih? Ngasih ke siapa ya?” Tanya Fika balik.
Rama menunjukkan isi pesan di handphonenya.
“Ternyata bener ini nomor kamu. Hai Ram, masih inget aku ngga? Aku Desi, temen SMP kamu.”
“Aku belum sempet kasih nomor kamu ke dia.” Jawab Fika.
“Apa dari buku tahunan kita? Tapi nomor di buku tahunan itu udah ngga aku pakai lagi.” Ucap Rama.
Fika mengangkat kedua bahunya pertanda ia tidak tahu. Rama yang juga tidak tahu pun meninggalkan itu sejenak, kemudian ia mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya. Fika pun mengambil buku catatan miliknya dari atas meja, kemudian ia kembali duduk di lantai beralaskan karpet bersama Rama.
“Kamu mau nyalin yang mana dulu?” Tanya Rama.
“Mending Kimia dulu Ram, sekalian kamu ajarin aku.” Jawabnya.
Rama mengangguk pelan. Fika mulai untuk menyalin catatan dari buku Rama. Beberapa menit baru saja bergulir, Rama yang sedang memandangi buku catatan lain harus mengalihkan pandangannya karena Fika menyentuh tangannya beberapa kali.
“Kenapa Fik?” Tanya Rama.
“Ini apa ya Ram?” Tanya Fika.
Rama memandang malas ke arahnya, sementara Fika hanya bisa tersenyum. Rama mulai menjelaskan apa yang barus saja ditanyakan oleh Fika secara perlahan, sesekali ia bertanya apakah Fika sudah mengerti. Hanya dua jawaban yang dilontarkan Fika, anggukan kepala dengan pasti atau senyumnya yang menandakan ketidakpahamannya.
Rama hanya bisa memandang malas ke arahnya jika Fika masih tidak mengerti, namun ia tetap mengulangi penjelasan kepada Fika meskipun harus beberapa kali. Akhirnya Rama merebahkan dirinya setelah berhasil menjelaskan semua catatan Kimia kepada Fika.
“Akhirnya selesai juga Tuhan.” Ucap Rama.
Fika memukul lengan Rama pelan hingga ia kembali ke posisi duduk.
“Kenapa aku dipukul sih?” Protes Rama.
“Kamu ngomongnya kayak udah selesai dari penderitaan gitu sih. Nyebelin banget.” Ucap Fika.
“Ya emang.” Jawab Rama singkat.
“Tau ah.” Ucap Fika.
“Mulai lagi deh...”
Rama merebahkan dirinya lagi, kali ini posisi kepalanya ada di dekat Fika.
“...jangan ngambek dong, aku cuma bercanda. Aku minta maaf deh kalau aku buat salah. Sebagai gantinya, besok pulang sekolah aku traktir makan Bakso Oye di Taman.” Ucap Rama.
Fika mengalihkan pandangannya, bukan karena marah melainkan ia sedang menahan tawa.
“Sepertinya gagal. Aku punya cerita Fik, jadi di sebuah Hutan tinggal 3 Anak Babi. Anak Babi pertama...”
Fika tak dapat menahan tawanya hingga membuat Rama menghentikan cerita akal-akalannya dan tersenyum menatapnya. Fika berhasil menghentikan tawannya, kemudian ia juga menatap ke arah Rama sambil memainkan rambut Rama.
“Udah ngga marah kan?” Tanya Rama.
Fika tersenyum kecil sambil menggeleng, “Dari semua cerita akal-akalan kamu, kayaknya aku paling suka sama cerita 3 Anak Babi. Meskipun kamu udah ulang berapa kali juga, aku ngga bisa nahan ketawa kalau udah denger. Kenapa harus anak Babi Ram?”
“Cuma itu yang ada di pikiran aku.” Jawabnya.
Fika tersenyum, “Makasih ya Ram.”
Rama tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan, dan tak terasa malam sudah tiba. Rama dan Fika sedang berada di halaman depan, Rama sedang mengenakan helmnya lalu duduk di atas motornya.
“Besok aku jemput kayak biasa ya.” Ucapnya.
Fika mengangguk, “Hati-hati ya Ram, kalau udah sampai rumah kabarin.”
Rama mengangguk, kemudian ia melajukan motornya untuk kembali ke rumah. Fika hanya menatapnya, dalam keheningan malam. Ia menutup pintu gerbang, ia menghentikan langkahnya lalu melihat ke arah langit cerah dengan bintang-bintang yang nampak jelas di mata.
Fika menghela nafasnya, kembali teringat tentang apa yang tadi diceritakan oleh Rama. Desi sepertinya masih menyukai Rama, ia pun berhasil mendapatkan nomor Rama entah dari mana.
“Apa aku cuma jadi penghalang mereka?”
*
Suasana Kelas sedang hening, para siswa-siswi sedang memperhatikan pelajaran yang ditulis Guru di Papan Tulis. Begitu juga dengan Rama dan Fika, sekalipun mereka sambil mendengarkan lagu dari earphone.
Fika mengambil handphone Rama dari laci meja untuk mengganti lagu, namun ia mengurungkan niatnya setelah melihat pesan masuk dari Desi. Ia pun kembali meletakkan handphone Rama di laci meja.
Tak lama berselang, bel istirahat pun berbunyi. Setelah Guru ke luar dari kelas, siswa-siswi pun juga ke luar. Rama masih duduk sambil mendengarkan lagu, Fika bangun dari duduknya.
“Kamu mau ke mana Fik?” Tanya Rama.
“Aku mau ke UKS, mau ketemu Kak Dara buat nanya-nanya obat.” Jawabnya.
Rama mengangguk, Fika pun berjalan menuju UKS di mana Dara berada. Setibanya di sana, ia masuk ke dalam dan menemukan Dara yang sedang duduk memainkan handphone. Dara pun menyadari kedatangan Fika.
“Eh Fika, gimana kamu? Udah mendingan?” Tanyanya.
Fika duduk di hadapannya, “Udah sembuh kok Kak, kalau ngga percaya coba dicek aja Kak.”
“Keliatannya sih kamu udah sembuh beneran, jadi aku percaya. Oh iya kamu ngapain di sini? Kan udah ngga sakit juga, kenapa ngga makan ke Kantin sama yang lain?” Ucap Dara.
“Ada yang mau aku tanyain Kak.” Ucap Fika.
“Soal obat buat sakit demam?” Tanya Dara.
“Bukan itu sih Kak, tapi Kak Dara janji dulu kalau ngga bakalan ceritain ini ke siapa-siapa.” Kata Fika.
Dara mengangguk pelan, “Aku pernah disumpah sebagai perawat untuk tidak menceritakan kepada siapapun, segala rahasia yang berhubungan dengan tugas. Aku anggap kamu itu pasien aku, dan aku akan menjaga rahasia kamu.”
Fika mengangguk pelan, “Kak Dara pernah suka sama cowo kan?”
Dara mengangguk dengan pasti.
“Kak Dara pernah ngga berada di posisi, kayak ada cewe lain yang suka sama gebetannya Kak Dara. Kondisinya si cewe itu dulu pernah suka, terus menghilang, dan akhirnya sekarang dia balik lagi dan masih suka sama gebetannya Kak Dara. Paham ngga Kak?” Ucap Fika.
“Jadi kamu ngerasa kayak penghalang antara si cewe itu sama Rama?...”
Ekspresi Fika berubah setelah mendengar ucapan Dara.
“...Kalau dilihat dari perubahan ekspresi kamu, aku rasa bener sih. Kamu ngga perlu ngakuin itu lagi Fik, aku udah tau kalau kamu tuh suka sama Rama.” Jawab Dara.
Fika tersenyum simpul sambil menganggukkan kepalanya pelan.
“Semuanya tergantung kamu sih Fik, karena kamu yang tau kondisi yang sebenarnya. Kalau kamu emang suka sama Rama, pertahanin aja atau kalau bisa kamu nyatain perasaan kamu ke dia.” Ucap Dara.
“Bukannya harus laki-laki duluan ya Kak?” Tanya Fika.
Dara tersenyum, “Fik, kayaknya udah bukan zamannya deh harus nunggu laki-laki duluan. Emang kedengerannya arogan sih, cuma perempuan juga boleh berpendapat duluan kok.”
Fika terdiam menatap Dara.
“Pilihannya cuma dua Fik. Kamu maju dan bilang ke Rama kalau kamu suka sama dia, atau kamu harus kasih ruang sebebas-bebasnya ke Rama untuk disukai sama orang lain.” Ucap Dara.
Fika menundukkan wajahnya.
“Fika, liat aku deh...”
Fika kembali menatap Dara.
“...Kita emang punya hak buat suka sama seseorang sekalipun cuma kita sendiri yang tau, tapi kita ngga boleh egois sama perasaan kita sendiri. Kita juga harus sadar, orang lain juga punya hak yang sama kayak kita. Mereka juga punya hak untuk suka sama Rama, mau cuma dia yang tau atau semua orang tau.” Jelas Dara.
“Jadi pilihannya...”
Dara mengangguk sebelum Fika menyelesaikan perkataannya.
“Ngga salah kalau kamu mau memendam itu selama yang kamu mau, tapi itu juga akan berakibat pada kamu sendiri. Lebih baik kamu maju atau mundur.” Ucap Dara.
Fika mengangguk pelan.
“Kayaknya aku terlalu menggurui kamu banget ya, padahal aku ngga tau apa yang sebenarnya terjadi. Maaf ya Fik.” Kata Dara.
“Eh, ngga kok Kak. Mungkin akhirnya aku butuh pendapat orang lain juga karena aku ngga bisa selesaiin ini sendiri. Aku malah terima kasih sama Kak Dara.” Ucap Fika.
“Ngga kok, aku cuma cerita tentang pengalaman beberapa orang yang pernah ngalamin kayak kamu juga. Oh iya mumpung kamu ada di sini...”
Dara mengeluarkan kotak makan dari dalam tasnya.
“...Mending kita makan bareng aja. Kamu belum makan kan?” Ucap Dara.
“Eh ngga usah Kak, aku malah ngerepotin. Mending Kak Dara makan aja nanti aku tinggal ke Kantin.” Kata Fika.
“
Aku bocorin nih rahasia kamu ke Rama.” Ancam Dara.
“Ah Kak Dara, jangan dong. Yaudah ayo kita makan bareng deh, serem ancamannya.” Ucap Fika.
Mereka pun tertawa, kemudian mereka makan bersama setelah menyelesaikan sesi curhat pada jam istirahat ini.
“Eh iya, Kak Dara punya pacar?”
*
Fika berjalan dengan santai menuju bangku yang ada di Taman, ia melihat beberapa siswa yang sedang bermain basket di sana. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Kantin, di mana banyak pula siswa-siswi dengan kegiatan mereka masing-masing.
Fika memejamkan matanya, ia menyandarkan kepalanya menghadap atas pada bangku Taman. Sinar matahari menembus dari celah-celah dedaunan, hingga mengenai sebagian kecil wajahnya. Ia menghela nafas, beberapa kali hingga ia merasa nyaman.
Terdengar suara orang yang duduk di sampingnya, namun ia menghiraukannya. Ia membiarkan Rama dan tetap diam menikmati kebisuan di antara keramaian suasana Sekolah.
“Lo yang kemarin digendong masuk UKS ya?”
Dengan cepat Fika membuka matanya lalu menatap ke arah samping, bukan Rama yang ada di sampingnya.
“Boleh kenalan?...”
“...”
“...gue Tian.”
i4munited memberi reputasi
1
Kutip
Balas