- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
![JANJI? (MINI SERIES)](https://s.kaskus.id/images/2021/11/29/8270809_202111290417520151.png)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
![ippeh22](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/02/06/avatar9575917_1.gif)
![kuda.unta](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/03/09/avatar7742361_18.gif)
![ndoro_mant0](https://s.kaskus.id/user/avatar/2008/02/20/avatar404250_9.gif)
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
#6
Episode 4
Spoiler for Episode 4:
Rama menghentikan motornya di depan gerbang, ia mematikan mesin motor lalu menghadap ke belakang. Wajah Fika nampak lesu setelah pulang dari Sekolah.
“Kamu nggapapa Fik?” Tanya Rama.
“Aku nggapapa Ram, aku cuma capek aja tadi abis lari.” Jawabnya.
Fika pun turun dari motor, kemudian ia melepas helm lalu memberikannya kepada Rama.
“Makasih ya Ram.” Ucap Fika.
"Kalau ada apa-apa kabarin Fik, aku pulang ya.” Kata Rama
Fika mengangguk pelan. Rama kembali menyalakan mesin motornya lalu berputar arah. Ia semakin menjauh dari pandangan Fika hingga tak terlihat. Fika memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya, ia membuka pintu gerbang lalu kembali menutupnya.
Ia mengambil kunci Rumah dari dalam tas, lalu masuk dan bergerak menuju dapur. Ia mengambil sebotol air dingin dari dalam lemari es lalu ia bawa naik ke lantai atas. Setibanya di kamar, ia meletakkan tas di atas meja lalu membuka tutup botol air dingin.
Beberapa tegukan sudah ia lakukan, ia meletakkan botol itu di atas meja. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah berkeringat saat pelajaran olah raga.
Beberapa menit berlalu, Fika sudah kembali duduk di bangku sambil mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas. Ting! Ia melihat ke arah handphonenya, sebuah pesan masuk dari Rama tertera di sana.
“Kamu nggapapa Fik?”
Fika menyempatkan untuk membalas pesan tersebut.
“Aku nggapapa kok Ram.”
Ia kembali mengeringkan rambutnya setelah meletakkan handphonenya di atas meja. Beberapa saat berlalu, ia selesai mengeringkan rambutnya.
“Perasaan doang atau emang pengering rambut ini lebih panas dari biasanya ya?” Tanyanya seorang diri.
Ia pun bangun dari duduknya lalu beranjak menuju tempat tidur untuk merebahkan diri. Fika meraih handphonenya yang berada di atas meja tanpa merubah posisinya. Ia menyempatkan diri untuk melihat-lihat media sosial dalam keheningan, dan entah bagaimana caranya ia tertidur sambil memegang handhponedi tangan kanannya.
*
Rama dan Fika kembali tiba di Sekolah, tentu saja kehadiran mereka sudah dinanti oleh Guru olah raga. Guru itu pun nampak heran kenapa Fika harus digendong di belakang oleh Rama, ia pun menghampiri mereka berdua.
“Fika, kamu kenapa?” Tanya Guru itu.
“Tadi dia jatuh Pak di jalanan batu belakang Sekolah.” Jawab Rama.
“Saya nggapapa kok Pak, cuma luka kecil aja.” Ucap Fika.
“Rama, bawa dia ke UKS aja. Mau luka kecil juga harus diobatin biar ngga kenapa-napa. Udah, kamu temenin Fika aja.” Perintah Guru tersebut.
Fika pun turun dari punggung Rama, kemudian mereka berjalan pelan menuju UKS yang ada di di dalam Sekolah. Rama melihat langkah kaki Fika untuk memastikan ia tidak mengalami cedera yang serius.
“Kamu ngeliatin apa Ram?” Tanya Fika.
Rama menatap Fika, “Aku mau mastiiin aja kalau kaki kamu ngga kenapa-napa. Aku ngga tau tadi kamu jatuh dengan posisi gimana, takutnya pergelangan kaki kamu cedera.”
Mereka pun tiba di UKS. Ada seorang perawat di sana yang berdiri membelakangi mereka, ia sedang mengenakan jaket dengan tas yang sudah ada di atas meja. Ia pun menyadari kedatangan Fika dan Rama.
“Eh, kamu kenapa?”
“Aku jatuh Kak. Kak Dara udah mau pulang ya?” Tanya Fika.
“Masuk sini.” Ucap Dara.
Fika dan Rama masuk ke dalam menuju sebuah tempat tidur. Rama membantu Fika untuk duduk di atas tempat tidur sementara Dara mengambil alat-alat dari tempat penyimpanan.
“Aku ambil tas kamu dulu ya, nanti aku ke sini lagi.” Ucap Rama.
Fika mengangguk, Rama pun ke luar dari ruang UKS menuju kelas untuk membereskan barang-barang bawaannya dan juga milik Fika.
“Loh, Rama mana Fik?” Tanya Dara.
“Lagi ambilin tas aku Kak di kelas, sekalian barang-barangnya dia juga. Bentar lagi kan pulang, takut dikunci kelasnya.” Jawab Fika.
Dara mulai memeriksa luka yang ada di lutut Fika. Ia memberikan obat luka agar luka tersebut tidak infeksi karena bertemu dengan udara luar. Setelah itu, ia memeriksa pergelangan kaki Fika.
“Sakit ngga Fik?” Tanya Dara.
“Ngga terlalu sih Kak. Kalau aku bisa jelasin, kayak aku bisa ngerasain detak jantung aku di pergelangan kaki sana.” Jawab Fika.
“Yaudah, jangan terlalu banyak gerak dulu. Kalau kamu ngerasain detak jantung kamu di sana, berarti kaki kamu tadi kaget. Mau pakai plester apa ngga?” Ucap Dara.
“Aku ikutin Kak Dara aja, Kakak yang lebih paham.” Ucap Fika.
Dara memasangkan plester di luka Fika.
“Kalian udah berapa lama jadian? Kok aku ngga tau ya.” Tanya Dara.
“Jadian? Aku sama Rama?...”
Dara menatap Fika sambil mengangguk.
“...Aku sama Rama cuma temen Kak dari kita TK sampai sekarang.” Jawab Fika.
“Serius? Aku nyangkanya kalian itu pacaran loh Fik, soalnya yang aku liat tuh Rama perhatian banget sama kamu. Kayak ada perhatian lebih yang bukan cuma temen.” Ucap Dara.
“Kalau soal perhatian sih emang sebenarnya Rama dari dulu begitu Kak orangnya, makanya orang-orang pada heran aja. Kesannya kayak Rama itu perhatian ke aku kayak pacar...”
Dara menatap Fika lebih dalam.
“...padahal aku sama dia dari dulu cuma temenan aja, jadi banyak orang yang salah paham.” Jelas Fika.
“Kamu ya yang suka sama Rama?” Tanya Dara.
“A... Aku?” Ucap Fika terkejut.
Dara mengangguk, “Kalau ada laki-laki kayak Rama deket aku, pasti aku bakalan suka banget sama dia. Orangnya sopan, baik banget, perhatian kayak gitu. Wah idaman banget deh Fik, pasti aku suka sama dia. Jadi aku mikirnya kalau kamu suka sama Rama.”
Rama datang dengan tas di punggungnya sementara tangan kanannya memegang tas milik Fika. Ia datang di saat yang tepat untuk menyelamatkan Fika dari pertanyaan Dara.
“Gimana Kak kondisi Fika?” Tanya Rama.
“Kondisinya baik-baik aja Ram. Untungnya pergelangan kakinya ngga kenapa-napa, cuma kaget aja tadi pas jatuh. Luka di lutut juga ngga terlalu bahaya, aman kok Ram.” Jelas Dara.
“Makasih ya Kak, maaf banget udah ngerepotin sampai harus nunda jam pulangnya.” Ucap Rama.
Dara tersenyum, “Pantes aja Ram. Yaudah kalian bisa di sini dulu sampai bel pulang, biarin Fika istirahat sebentar baru kalian bisa pulang.”
Dara meninggalkan mereke berdua, kemudian Rama menatap Fika.
“Pantes kenapa Fik?” Tanya Rama bingung.
Fika menggeleng menjawabnya. Rama pun ikut duduk di atas tempat tidur bersama dengan Fika. Ia kembali melihat ke arah kaki Fika yang kali ini sudah tertutup dengan plester pada bagian lututnya.
“Kamu nggapapa kan?” Tanya Rama.
Fika mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Rama mengalihkan pandangannya ke arah Fika, yang ternyata sedang menatap ke arahnya dalam diam. Beberapa saat dalam kebisuan, Fika mendekatkan duduknya, hingga membuat jarak mereka sangat dekat.
“Pantes ya Ram.” Ucap Fika.
“Pantes? Kamu sama Kak Dara kok ngomongnya sama sih? Aku ngga ngerti.” Ucap Rama.
Fika terseyum tanpa menjawab pertanyaan Rama.
“Pantes ya Fik.” Ucap Rama.
Wajah Fika yang semula tersenyum pun berubah.
“Pantes? Maksu...”
Teng! Teng! Teng! Bel pulang pun berbunyi. Satu persatu siswa-siswi ke luar dari kelas, berkerumun untuk meninggalkan Sekolah pada sore hari ini, juga meninggalkan Fika dan Rama yang masih berdiam diri.
Sebuah ciuman hangat dari Rama membuat Fika terdiam, menatap dalam ke arah matanya yang penuh makna. Angin berhembus dari luar, masuk ke dalam dengan bebasnya. Rama menjauhkan wajahnya, lalu menatap Fika yang masih terdiam.
“Fika... Fika...”
Fika membuka matanya, sudah ada Rama di hadapannya. Beberapa kali ia mengedipkan matanya untuk memastikan, dan memang benar bahwa Rama ada di hadapanya. Ia sempat melihat ke arah sekeliling, ia masih berada di dalam kamarnya.
“Kamu kok bisa ada di sini Ram?” Tanya Fika bingung.
“Kamu kenapa ngga ngabarin kalau ngga enak badan?” Tanya Rama balik padanya.
Fika bingung dengan apa yang Rama ucapkan, ia mencoba untuk bangun dari posisi tidurnya. Sayangnya ia tidak mampu, tubuhnya serasa lemas pada pagi ini. Rama meletakkan tangannya di kening Fika.
“Kamu demam Fik.” Ucap Rama.
“Demam?” Tanya Fika.
“Kamu mau di bawa ke Klinik?” Tanya Rama.
Fika menggeleng pelan, “Aku minta tolong diambilin obat di laci atas aja Ram, itu tuh di sana. Obatnya yang warna putih, bungkusnya warna hijau.”
Rama membuka laci dan mengambil obat yang dimaksud Fika. Ia membantu Fika untuk duduk agar ia bisa meminum obat pereda demam yang ia miliki. Setelah itu, Fika kembali berbaring.
“Kamu berangkat sendiri ya Ram, nanti bilangin kalau aku sakit.” Ucap Fika.
Rama mengangguk, “Kamu mau dibawain apa nanti buat makan? Aku cuma bawa roti buat kamu makan pagi ini.”
“Apa aja deh Ram.” Jawabnya.
Rama bangun dari duduknya, “Yaudah aku berangkat dulu. Kamu kalau ada apa-apa cepet kabarin. Jangan kayak kemarin, sekarang kamu malah sakit jadinya.”
Fika mengangguk pelan. Rama kembali mengenakan tas miliknya lalu berjalan ke luar kamar Fika.
“Ram...”
Rama menoleh ke arah Fika.
“...hati-hati di jalan.” Ucapnya.
Rama mengangguk, kemudian ia menutup pintu kamar Fika dan berjalan ke bawah. Fika masih menatap ke arah pintu, kemudian ia menutupi wajahnya dengan selimut.
“Ternyata cuma mimpi...”
Sore pun tiba. Fika masih berbaring di atas kasur, ia baru saja bangun dari tidur. Ia dapat mendengar pintu gerbang terbuka, butuh beberapa saat hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka dari luar.
“Loh, aku kira kamu tidur Fik.” Ucap Rama.
Rama masuk ke dalam dengan bungkusan makanan di tangan kanannya. Ia meletakkan tas di samping tas Fika, kemudian ia duduk di sampingnya.
“Aku baru banget bangun Ram.” Ucapnya.
Rama meletakkan tangannya di kening Fika.
“Mendingan sih cuma masih lumayan. Yaudah kamu makan dulu nih, abis itu minum obat lagi biar cepet sembuh.” Ucap Rama.
Fika mengangguk pelan. Ia pun bangun dari tidurnya dibantu Rama kemudian bersandar. Rama membuka bungkusan makanan yang ia bawa, kemudian ia berikan kepada Fika.
Rama mengambil gelas kosong di meja, ia turun ke bawah untuk mengisinya, kemudian ia kembali naik ke atas untuk memberikannya kepada Fika.
“Loh, kok belum dimakan Fik?” Tanya Rama.
“Aku ngga nafsu makan Ram.” Jawabnya.
“Jangan gitu Fik..” Rama mengambil bungkusan makanan itu, “ayo makan, aku suapin aja biar cepet.”
Dengan terpaksa, Fika membuka mulutnya dan menerima suapan yang diberikan Rama. Butuh waktu lebih lama dari biasanya untuk menghabiskan satu suapan dan berlanjut suapan berikutnya.
“Gimana di Sekolah Ram?” Tanya Fika.
“Ya begitu deh Fik, kamu tau sendiri deh.” Jawab Rama.
“Ada ulangan dadakan lagi ngga atau tugas-tugas?” Tanya Fika lagi.
Rama menggeleng, “Tugas cuma ada satu aja tadi, sisanya materi-materi biasa di papan tulis. Tadi aku ketemu sama Kak Dara, terus dia nanyain kamu.”
“Kak Dara?” Tanya Fika.
“Kamu ya yang suka sama Rama?”
“Iya Kak Dara nanyain kamu tadi. Aku jawab aja kalau kamu lagi kurang enak badan, terus dia nebak kalau kamu demam. Aku kaget aja kok dia bisa tau, aku baru sadar kalau dia kan berpengalaman di dunia kesehatan.” Jelas Rama.
Mereka tertawa bersama, Rama kembali memberikan suapan kepada Fika. Beberapa saat berlalu, makanan pun habis tak bersisa. Fika kembali meminum obatnya sementara Rama membereskan bungkusan makanan. Setelah selesai, ia kembali duduk di samping Fika.
Rama kembali meletakkan tangannya di kening Fika untuk memeriksa keadaannya. Ia menatap heran ke arah Fika, tentu saja itu membuat Fika salah tingkah.
“Kamu kenapa Ram?” Tanya Fika.
“Udah ngga apa-apa, tapi muka kamu agak merah ya.” Jawabnya.
Wajah Fika memang memerah, namun bukan karena sakit yang semakin membaik. Ia kembali teringat dengan kejadian kemarin yang bercampur dengan mimpinya ketika Rama menciumnya.
“Perasaan kamu aja kali Ram, buktinya aku udah nggapapa kata kamu sendiri.” Sanggahnya.
“Bisa jadi sih...”
Rama beranjak menuju lantai yang beralaskan karpet, kemudian ia merebahkan dirinya di sana.
“...aku numpang ya Fik.” Ucapnya.
“Kamu nggapapa Ram?” Tanya Fika.
Rama menghela nafas, “Nggapapa kok Fik, aku cuma mau rebahan aja kok. Seharian ini ngebosenin, kayak berasa lama banget di Sekolah.”
“Ngga ada aku jadi ngebosenin ya?” Tanya Fika
Rama bergumam setuju sambil menatap kosong ke arah langit-langit. Fika tak berpaling dari pandangannya, menatap Rama yang entah sedang memikirkan apa, hingga akhirnya ia merebahkan dirinya di atas tempat tidur dan juga menatap kosong langit-langit kamarnya.
“Makasih ya Ram.” Ucap Fika.
“Buat apa?” Tanya Rama.
Aku baru tahu beberapa hal yang menakjubkan tentang diriku, ternyata aku memiliki sebuah keahlian yang tidak pernah aku sadari sebelumnya. Keahlianku yaitu membohongi perasaanku sendiri.
Sudah beberapa kali aku membohongi diriku, tentang jawaban atas pertanyaan orang-orang yang penasaran mengenai perasaanku kepada Rama. Memang sebenarnya, aku menyukainya. Aku sengaja untuk membiarkan ini semua, entah sampai kapan aku mampu menahannya. Sangat disayangkan jika pertemananku dengannya selama ini harus aku tutup dengan perasaanku kepadanya, sehingga aku memutuskan untuk memendamnya sendiri.
“Buat semuanya Ram.” Ucap Fika.
*
Fika menghela nafasnya setelah ia melihat refleksi dirinya dari cermin kamar mandi Sekolah. Tangannya mulai mengusap air mata yang mengalir melewati pipinya.
“Kamu pernah suka ngga sih sama Rama?”
“Pernah, dan sampai saat ini aku masih suka sama Rama.”
“Kamu nggapapa Fik?” Tanya Rama.
“Aku nggapapa Ram, aku cuma capek aja tadi abis lari.” Jawabnya.
Fika pun turun dari motor, kemudian ia melepas helm lalu memberikannya kepada Rama.
“Makasih ya Ram.” Ucap Fika.
"Kalau ada apa-apa kabarin Fik, aku pulang ya.” Kata Rama
Fika mengangguk pelan. Rama kembali menyalakan mesin motornya lalu berputar arah. Ia semakin menjauh dari pandangan Fika hingga tak terlihat. Fika memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya, ia membuka pintu gerbang lalu kembali menutupnya.
Ia mengambil kunci Rumah dari dalam tas, lalu masuk dan bergerak menuju dapur. Ia mengambil sebotol air dingin dari dalam lemari es lalu ia bawa naik ke lantai atas. Setibanya di kamar, ia meletakkan tas di atas meja lalu membuka tutup botol air dingin.
Beberapa tegukan sudah ia lakukan, ia meletakkan botol itu di atas meja. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah berkeringat saat pelajaran olah raga.
Beberapa menit berlalu, Fika sudah kembali duduk di bangku sambil mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas. Ting! Ia melihat ke arah handphonenya, sebuah pesan masuk dari Rama tertera di sana.
“Kamu nggapapa Fik?”
Fika menyempatkan untuk membalas pesan tersebut.
“Aku nggapapa kok Ram.”
Ia kembali mengeringkan rambutnya setelah meletakkan handphonenya di atas meja. Beberapa saat berlalu, ia selesai mengeringkan rambutnya.
“Perasaan doang atau emang pengering rambut ini lebih panas dari biasanya ya?” Tanyanya seorang diri.
Ia pun bangun dari duduknya lalu beranjak menuju tempat tidur untuk merebahkan diri. Fika meraih handphonenya yang berada di atas meja tanpa merubah posisinya. Ia menyempatkan diri untuk melihat-lihat media sosial dalam keheningan, dan entah bagaimana caranya ia tertidur sambil memegang handhponedi tangan kanannya.
*
Rama dan Fika kembali tiba di Sekolah, tentu saja kehadiran mereka sudah dinanti oleh Guru olah raga. Guru itu pun nampak heran kenapa Fika harus digendong di belakang oleh Rama, ia pun menghampiri mereka berdua.
“Fika, kamu kenapa?” Tanya Guru itu.
“Tadi dia jatuh Pak di jalanan batu belakang Sekolah.” Jawab Rama.
“Saya nggapapa kok Pak, cuma luka kecil aja.” Ucap Fika.
“Rama, bawa dia ke UKS aja. Mau luka kecil juga harus diobatin biar ngga kenapa-napa. Udah, kamu temenin Fika aja.” Perintah Guru tersebut.
Fika pun turun dari punggung Rama, kemudian mereka berjalan pelan menuju UKS yang ada di di dalam Sekolah. Rama melihat langkah kaki Fika untuk memastikan ia tidak mengalami cedera yang serius.
“Kamu ngeliatin apa Ram?” Tanya Fika.
Rama menatap Fika, “Aku mau mastiiin aja kalau kaki kamu ngga kenapa-napa. Aku ngga tau tadi kamu jatuh dengan posisi gimana, takutnya pergelangan kaki kamu cedera.”
Mereka pun tiba di UKS. Ada seorang perawat di sana yang berdiri membelakangi mereka, ia sedang mengenakan jaket dengan tas yang sudah ada di atas meja. Ia pun menyadari kedatangan Fika dan Rama.
“Eh, kamu kenapa?”
“Aku jatuh Kak. Kak Dara udah mau pulang ya?” Tanya Fika.
“Masuk sini.” Ucap Dara.
Fika dan Rama masuk ke dalam menuju sebuah tempat tidur. Rama membantu Fika untuk duduk di atas tempat tidur sementara Dara mengambil alat-alat dari tempat penyimpanan.
“Aku ambil tas kamu dulu ya, nanti aku ke sini lagi.” Ucap Rama.
Fika mengangguk, Rama pun ke luar dari ruang UKS menuju kelas untuk membereskan barang-barang bawaannya dan juga milik Fika.
“Loh, Rama mana Fik?” Tanya Dara.
“Lagi ambilin tas aku Kak di kelas, sekalian barang-barangnya dia juga. Bentar lagi kan pulang, takut dikunci kelasnya.” Jawab Fika.
Dara mulai memeriksa luka yang ada di lutut Fika. Ia memberikan obat luka agar luka tersebut tidak infeksi karena bertemu dengan udara luar. Setelah itu, ia memeriksa pergelangan kaki Fika.
“Sakit ngga Fik?” Tanya Dara.
“Ngga terlalu sih Kak. Kalau aku bisa jelasin, kayak aku bisa ngerasain detak jantung aku di pergelangan kaki sana.” Jawab Fika.
“Yaudah, jangan terlalu banyak gerak dulu. Kalau kamu ngerasain detak jantung kamu di sana, berarti kaki kamu tadi kaget. Mau pakai plester apa ngga?” Ucap Dara.
“Aku ikutin Kak Dara aja, Kakak yang lebih paham.” Ucap Fika.
Dara memasangkan plester di luka Fika.
“Kalian udah berapa lama jadian? Kok aku ngga tau ya.” Tanya Dara.
“Jadian? Aku sama Rama?...”
Dara menatap Fika sambil mengangguk.
“...Aku sama Rama cuma temen Kak dari kita TK sampai sekarang.” Jawab Fika.
“Serius? Aku nyangkanya kalian itu pacaran loh Fik, soalnya yang aku liat tuh Rama perhatian banget sama kamu. Kayak ada perhatian lebih yang bukan cuma temen.” Ucap Dara.
“Kalau soal perhatian sih emang sebenarnya Rama dari dulu begitu Kak orangnya, makanya orang-orang pada heran aja. Kesannya kayak Rama itu perhatian ke aku kayak pacar...”
Dara menatap Fika lebih dalam.
“...padahal aku sama dia dari dulu cuma temenan aja, jadi banyak orang yang salah paham.” Jelas Fika.
“Kamu ya yang suka sama Rama?” Tanya Dara.
“A... Aku?” Ucap Fika terkejut.
Dara mengangguk, “Kalau ada laki-laki kayak Rama deket aku, pasti aku bakalan suka banget sama dia. Orangnya sopan, baik banget, perhatian kayak gitu. Wah idaman banget deh Fik, pasti aku suka sama dia. Jadi aku mikirnya kalau kamu suka sama Rama.”
Rama datang dengan tas di punggungnya sementara tangan kanannya memegang tas milik Fika. Ia datang di saat yang tepat untuk menyelamatkan Fika dari pertanyaan Dara.
“Gimana Kak kondisi Fika?” Tanya Rama.
“Kondisinya baik-baik aja Ram. Untungnya pergelangan kakinya ngga kenapa-napa, cuma kaget aja tadi pas jatuh. Luka di lutut juga ngga terlalu bahaya, aman kok Ram.” Jelas Dara.
“Makasih ya Kak, maaf banget udah ngerepotin sampai harus nunda jam pulangnya.” Ucap Rama.
Dara tersenyum, “Pantes aja Ram. Yaudah kalian bisa di sini dulu sampai bel pulang, biarin Fika istirahat sebentar baru kalian bisa pulang.”
Dara meninggalkan mereke berdua, kemudian Rama menatap Fika.
“Pantes kenapa Fik?” Tanya Rama bingung.
Fika menggeleng menjawabnya. Rama pun ikut duduk di atas tempat tidur bersama dengan Fika. Ia kembali melihat ke arah kaki Fika yang kali ini sudah tertutup dengan plester pada bagian lututnya.
“Kamu nggapapa kan?” Tanya Rama.
Fika mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Rama mengalihkan pandangannya ke arah Fika, yang ternyata sedang menatap ke arahnya dalam diam. Beberapa saat dalam kebisuan, Fika mendekatkan duduknya, hingga membuat jarak mereka sangat dekat.
“Pantes ya Ram.” Ucap Fika.
“Pantes? Kamu sama Kak Dara kok ngomongnya sama sih? Aku ngga ngerti.” Ucap Rama.
Fika terseyum tanpa menjawab pertanyaan Rama.
“Pantes ya Fik.” Ucap Rama.
Wajah Fika yang semula tersenyum pun berubah.
“Pantes? Maksu...”
Teng! Teng! Teng! Bel pulang pun berbunyi. Satu persatu siswa-siswi ke luar dari kelas, berkerumun untuk meninggalkan Sekolah pada sore hari ini, juga meninggalkan Fika dan Rama yang masih berdiam diri.
Sebuah ciuman hangat dari Rama membuat Fika terdiam, menatap dalam ke arah matanya yang penuh makna. Angin berhembus dari luar, masuk ke dalam dengan bebasnya. Rama menjauhkan wajahnya, lalu menatap Fika yang masih terdiam.
“Fika... Fika...”
Fika membuka matanya, sudah ada Rama di hadapannya. Beberapa kali ia mengedipkan matanya untuk memastikan, dan memang benar bahwa Rama ada di hadapanya. Ia sempat melihat ke arah sekeliling, ia masih berada di dalam kamarnya.
“Kamu kok bisa ada di sini Ram?” Tanya Fika bingung.
“Kamu kenapa ngga ngabarin kalau ngga enak badan?” Tanya Rama balik padanya.
Fika bingung dengan apa yang Rama ucapkan, ia mencoba untuk bangun dari posisi tidurnya. Sayangnya ia tidak mampu, tubuhnya serasa lemas pada pagi ini. Rama meletakkan tangannya di kening Fika.
“Kamu demam Fik.” Ucap Rama.
“Demam?” Tanya Fika.
“Kamu mau di bawa ke Klinik?” Tanya Rama.
Fika menggeleng pelan, “Aku minta tolong diambilin obat di laci atas aja Ram, itu tuh di sana. Obatnya yang warna putih, bungkusnya warna hijau.”
Rama membuka laci dan mengambil obat yang dimaksud Fika. Ia membantu Fika untuk duduk agar ia bisa meminum obat pereda demam yang ia miliki. Setelah itu, Fika kembali berbaring.
“Kamu berangkat sendiri ya Ram, nanti bilangin kalau aku sakit.” Ucap Fika.
Rama mengangguk, “Kamu mau dibawain apa nanti buat makan? Aku cuma bawa roti buat kamu makan pagi ini.”
“Apa aja deh Ram.” Jawabnya.
Rama bangun dari duduknya, “Yaudah aku berangkat dulu. Kamu kalau ada apa-apa cepet kabarin. Jangan kayak kemarin, sekarang kamu malah sakit jadinya.”
Fika mengangguk pelan. Rama kembali mengenakan tas miliknya lalu berjalan ke luar kamar Fika.
“Ram...”
Rama menoleh ke arah Fika.
“...hati-hati di jalan.” Ucapnya.
Rama mengangguk, kemudian ia menutup pintu kamar Fika dan berjalan ke bawah. Fika masih menatap ke arah pintu, kemudian ia menutupi wajahnya dengan selimut.
“Ternyata cuma mimpi...”
Sore pun tiba. Fika masih berbaring di atas kasur, ia baru saja bangun dari tidur. Ia dapat mendengar pintu gerbang terbuka, butuh beberapa saat hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka dari luar.
“Loh, aku kira kamu tidur Fik.” Ucap Rama.
Rama masuk ke dalam dengan bungkusan makanan di tangan kanannya. Ia meletakkan tas di samping tas Fika, kemudian ia duduk di sampingnya.
“Aku baru banget bangun Ram.” Ucapnya.
Rama meletakkan tangannya di kening Fika.
“Mendingan sih cuma masih lumayan. Yaudah kamu makan dulu nih, abis itu minum obat lagi biar cepet sembuh.” Ucap Rama.
Fika mengangguk pelan. Ia pun bangun dari tidurnya dibantu Rama kemudian bersandar. Rama membuka bungkusan makanan yang ia bawa, kemudian ia berikan kepada Fika.
Rama mengambil gelas kosong di meja, ia turun ke bawah untuk mengisinya, kemudian ia kembali naik ke atas untuk memberikannya kepada Fika.
“Loh, kok belum dimakan Fik?” Tanya Rama.
“Aku ngga nafsu makan Ram.” Jawabnya.
“Jangan gitu Fik..” Rama mengambil bungkusan makanan itu, “ayo makan, aku suapin aja biar cepet.”
Dengan terpaksa, Fika membuka mulutnya dan menerima suapan yang diberikan Rama. Butuh waktu lebih lama dari biasanya untuk menghabiskan satu suapan dan berlanjut suapan berikutnya.
“Gimana di Sekolah Ram?” Tanya Fika.
“Ya begitu deh Fik, kamu tau sendiri deh.” Jawab Rama.
“Ada ulangan dadakan lagi ngga atau tugas-tugas?” Tanya Fika lagi.
Rama menggeleng, “Tugas cuma ada satu aja tadi, sisanya materi-materi biasa di papan tulis. Tadi aku ketemu sama Kak Dara, terus dia nanyain kamu.”
“Kak Dara?” Tanya Fika.
“Kamu ya yang suka sama Rama?”
“Iya Kak Dara nanyain kamu tadi. Aku jawab aja kalau kamu lagi kurang enak badan, terus dia nebak kalau kamu demam. Aku kaget aja kok dia bisa tau, aku baru sadar kalau dia kan berpengalaman di dunia kesehatan.” Jelas Rama.
Mereka tertawa bersama, Rama kembali memberikan suapan kepada Fika. Beberapa saat berlalu, makanan pun habis tak bersisa. Fika kembali meminum obatnya sementara Rama membereskan bungkusan makanan. Setelah selesai, ia kembali duduk di samping Fika.
Rama kembali meletakkan tangannya di kening Fika untuk memeriksa keadaannya. Ia menatap heran ke arah Fika, tentu saja itu membuat Fika salah tingkah.
“Kamu kenapa Ram?” Tanya Fika.
“Udah ngga apa-apa, tapi muka kamu agak merah ya.” Jawabnya.
Wajah Fika memang memerah, namun bukan karena sakit yang semakin membaik. Ia kembali teringat dengan kejadian kemarin yang bercampur dengan mimpinya ketika Rama menciumnya.
“Perasaan kamu aja kali Ram, buktinya aku udah nggapapa kata kamu sendiri.” Sanggahnya.
“Bisa jadi sih...”
Rama beranjak menuju lantai yang beralaskan karpet, kemudian ia merebahkan dirinya di sana.
“...aku numpang ya Fik.” Ucapnya.
“Kamu nggapapa Ram?” Tanya Fika.
Rama menghela nafas, “Nggapapa kok Fik, aku cuma mau rebahan aja kok. Seharian ini ngebosenin, kayak berasa lama banget di Sekolah.”
“Ngga ada aku jadi ngebosenin ya?” Tanya Fika
Rama bergumam setuju sambil menatap kosong ke arah langit-langit. Fika tak berpaling dari pandangannya, menatap Rama yang entah sedang memikirkan apa, hingga akhirnya ia merebahkan dirinya di atas tempat tidur dan juga menatap kosong langit-langit kamarnya.
“Makasih ya Ram.” Ucap Fika.
“Buat apa?” Tanya Rama.
Aku baru tahu beberapa hal yang menakjubkan tentang diriku, ternyata aku memiliki sebuah keahlian yang tidak pernah aku sadari sebelumnya. Keahlianku yaitu membohongi perasaanku sendiri.
Sudah beberapa kali aku membohongi diriku, tentang jawaban atas pertanyaan orang-orang yang penasaran mengenai perasaanku kepada Rama. Memang sebenarnya, aku menyukainya. Aku sengaja untuk membiarkan ini semua, entah sampai kapan aku mampu menahannya. Sangat disayangkan jika pertemananku dengannya selama ini harus aku tutup dengan perasaanku kepadanya, sehingga aku memutuskan untuk memendamnya sendiri.
“Buat semuanya Ram.” Ucap Fika.
*
Fika menghela nafasnya setelah ia melihat refleksi dirinya dari cermin kamar mandi Sekolah. Tangannya mulai mengusap air mata yang mengalir melewati pipinya.
“Kamu pernah suka ngga sih sama Rama?”
“Pernah, dan sampai saat ini aku masih suka sama Rama.”
![i4munited](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/04/04/avatar6638442_7.gif)
i4munited memberi reputasi
1
Kutip
Balas