Kaskus

Story

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"

Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta


Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 20:09
masadam123Avatar border
frostgeeAvatar border
umbhelijo35Avatar border
umbhelijo35 dan 120 lainnya memberi reputasi
115
246.5K
1.3K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#549
Part 54-b
"... Arumi juga seneng banget! Akhirnya dia gak usah adu bacot lagi sama bapaknya. Ya walaupun dia bohong sama orang tuanya. Tapi seengaknya bokap sama nyokapnya Arumi udah sedikit lega anaknya udah gak pernah keluar malem lagi. Sumpah! Gue seneng banget waktu itu ngeliat Arumi seneng, Le. Sampe lama kelamaan gue perhatiin dia murung terus. Murungnya lebih-lebihin pas dia masih kerja begitu. Gue pernah nanya, kenapa. Dia gak jawab! Dia cuma nanya balik, 'salah gak sih kalo dia cinta sama gadunnya?' Sampe akhir tadi dia cerita sama gue. Tentang lo, tentang Kak Gladys tentang kalian bertiga! Jujur setelah Arumi cerita, pala gue mumet, Le. Satu sisi gue sedih ngeliat Arumi, gue takut dia balik kerja begituan lagi. Satu sisi gue kaget kenapa bisa lo yang ada dibalik semua ini. Gak tau, rasanya gue jadi ngerasa sebenernya gue enggak pernah kenal sama lo, Le! Ya tapi gimana. Gue yakin lo pasti punya alasan pas lo mutusin buat nyembuyiin ini dari gue. Gue percaya alasan itu alasan yang baik buat Arumi juga jadi gue gak bisa marah soal itu. Walaupun… sebenernya gue mau banget marah!"

"..."

"Gue mau marah atas perlakuan lo sama Arumi!"

"Gue gak tau, Ai! Gue gak tau kalo tadi dia baru pulang dari rumah lo…"

"Soal itu gue gak peduli! Gue ngerti ada diposisi lo. Kalo gue yang ngeliat Arumi begitu juga pasti gue bakal mikir yang sama! Tapi gue bukan mau marah atas dasar itu. Gue marah sama lo karena lo terlalu banyak ngasih sahabat gue harapan yang engga pernah bisa lo penuhin. Gue gak ngerti kenapa lo nolongin Arumi. Lo baik kah? Iya okeh tarolah lo baik, kenyataannya gue juga kenal lo baik. Atau lo emang beneran cinta, kah? Tapi kalo lo beneran cinta. Gladys apa kabar? Kenapa bisa lo masih sama dia juga? Gue bener-bener gak ngerti, Le! Lo banyak banget berubah! Tole yang sekarang ada di hadapan gue ini Tole yang penuh teka-teki. Beda sama Tole yang dulu gue kenal. Tole yang dulu gue kenal walaupun bangornya naujubilah tapi dia orang yang to the point sama maksudnya. Tole yang dulu itu hangat jadi gak perlu pake bulu domba. Beda sama yang sekarang, Tole yang sekarang dingin dan selalu nutupin dirinya di dalem bulu-bulu domba. Gue kangen Tole yang dulu yang kalo udah bilang A ya A. Gak pernah bilang A padahal di dalem hatinya B!"

"Haaah." Gue menghela nafas. "Ai! Dengerin gue! Gue tau, gue ngaku gue salah! Gue udah serakah! Gue enggak bisa menangin salah satunya, Arumi atau Gladys! Dan pengecutnya gue juga gak berani ngalahin salah satunya. Gue terlalu takut! Bahkan, buat kehilangan salah satunya gue gak sanggup. Apalagi kalo harus kehilangan dua-duanya. Gue bukan orang yang baik, Ai! Gue nolongin Arumi bukan karena gue baik! Tapi karena gue cinta sama dia. Dari awal emang ada maksud gue nolongin Arumi, itu, biar dia jadi punya gue! Biar gue bisa lihat dia kapan pun gue mau, biar gue bisa ngapain ajah sama dia kapanpun gue mau, dan yang pasti biar dia gue dapet penilaian kalo gue ini cowo yang bertanggung jawab dan gue bener-bener cinta sama dia gak cuma di mulut doang. Sekarang kalo lo mau bilang gue enggak tulus? IYAH! Emang gue gak pernah tulus. Gue mengharapkan timbal balik dari Arumi. Dan gue ngarepin cintanya sebagainya sebagai timbal balik. Terus kalo lo sekarang mau nanya 'kenapa kalo gue cinta sama Arumi, gue masih berhubungan sama Gladys?' Gue bakal jawab hal yang sama Ai! Gue cinta sama Gladys. Selama ini setiap hari gue selalu mikirin. Siapa yang harus gue kalahin. Tapi kaya yang lo liat sekarang!? Gak ada! Gak ada yang bisa gue kalahin atau menangin. Gue butuh dua-duanya. Gue butuh Gladys. Gue juga butuh Arumi…"

"Oh atau jangan-jangan karena sama Gladys lo gak bisa ng*we mangkanya lo ngelakuin ini sama Arumi?" Selak Aini.

"Cihhh!" Gue tersenyum kecut. "Gue gak nyangka otak lo masih setingan default!" Sahut gue dan langsung diam karena merasa sedikit kesal dengan apa yang diucapkan Aini.

"Ya terus apa? Gue emang beg* Le! Gue gak sepinter lo atau temen-temen lo!? Gue gak ngerti! Yang gue tau kalo lo emang cinta, seharusnya lo gak…"

"So! Kalo lo emang ngerasa tau, ngerasa paham apa itu cinta, tell me? Ajarin gue! Kasih tau gue! Jelasin ke gue apa itu cinta!?" Selak gue.

"..." Aini terdiam.

"Ko diem? Katanya lo tau? Hayooo jelasin ke gue apa yang lo tau? Apa cinta itu?"

"..." Aini masih terdiam dan perlahan dia meneteskan air matanya. Hal itu pada akhirnya membuat gue juga terdiam dan membuat suasana menjadi agak sedikit canggung.

"Ai. Sorry gue ngebentak lo." Ucap gue mencoba mencairkan lagi suasana. "Maaf. Gue gak ada maksud marah-marah sama lo. Gue ngerti maksud lo. Tapi lo juga harus tau, Ai. Apa yang lo pahamin tentang cinta, belom tentu sama apa yang dipahamin orang lain. Lagian kita masih terlalu dini gak sih buat paham betul apa itu cinta? Mungkin ajah setahun, dua tahun atau sepuluh tahun dari sekarang apa yang kita pahamin sekarang bakal berubah, bakal beda maknanya. Mungkin saat ini lo pahamin cinta makna kaya gitu, gue kaya gini. Gak ada yang salah sebenernya. Kita cuma lihat satu hal yang sama dari sudut yang beda. Tapi sekali lagi gue akuin, perbuatan gue salah. Gue salah karena gue cinta sama dua orang yang berbeda dalam waktu yang sama."

"..." Aini mengusap air matanya yang sempat melintasi pipinya. "Tapi bukannya apa yang lo pahamin ini malah nyakitin buat dua-duanya. Buat Gladys? Apalagi buat Arumi!?"

"IYA! Jelas! Dan bukan cuma dua-duanya tapi gue juga."

"Terus kenapa? Kenapa lo gak pertahanin Arumi!?"

"Gue bakal nyakitin Gladys!" Jawab gue.

"Kalo gitu kenapa gak pertahanin Gladys lo itu!?" 

"Gue bakal nyakitin Arumi!" Jawab gue.

"Ishhhh!! Lo sadar gak, sih. Sekarang lo nyakitin dua-duanya!?"

"ENGGA!" Jawab gue.

"Engga dari mana!?"

"Engga dari mana-mana. Karena sebenernya saat ini gue lagi nyakitin diri gue sendiri. Lo terlalu fokus, sama Arumi, sama Gladys, Ai! Lo dari tadi mengabaikan gue, kalo gue juga punya perasaaan, dari tadi gak lo hirauin padahal dari tadi juga gue bilang. Gue cinta Arumi, gue cinta Gladys! Dan kehilangan salah satunya ajah udah berat buat gue, apalagi harus ngambil keputusan buat gak milih dua-duanya! Lo gak coba liat gue! Padahal kalo lo yang dulu, lo selalu nanya. Gue gimana? Gue baik-baik ajah, kan? Gue gak kenapa-napa, kan? Tapi sekarang fokus lo udah beda! Lo udah gak peduli lagi sama apa yang gue rasain. Lo udah beda! Gue kangen Aini yang dulu yang selalu nanyain gue baik-baik ajah apa engga kalo gue berantem. Gue tau Arumi itu sahabat lo! Tapi gue ini apanya lo, Ai? Sekedar temen yang kalo ketemu dijalan say hello basa-basi biar gak dinilai sombong? Atau sekedar temen lama yang pernah nulis kata-kata mutiara di binder lo?" 

...


"Hhaaaahhh." Aini menghembuskan nafas panjang lalu menopang wajah dengan telapak tangannya. "Emang gak ada yang bisa ngalahin kalo lo udah ngomong, Le." Ucap Aini lalu tersenyum. 

"..."

"Maaf ya, Bang. Maaf, Le. Jadi gimana? Berantemnya menang, gak?" Tanya Aini meraih tangan gue.

"Lo tau kalo gue gak pernah menang tiap kali berantem, Ai." 

"Selalu, yah." 

"Selalu." 

"Yaudah, yang penting lo nya gak kenapa-napa." 

"Engga, Ai. Kali ini gue kenapa-napa."

"Mana? Gak ada yang luka?"

"Disini, Ai. Sakit banget rasanya." Gue menunjuk dada gue. "Obatin gue, Ai. Tolong." 

...


"Tolong, Ai. Tolong! Please jagain Arumi. Gue tau dia bakal nolak ini, tapi gue mohon, Ai. Gimana cara yang lo bisa pokoknya. Gue gak mau dia balik kerja begitu lagi. Please Ai bikin dia nerima ini. Seenggaknya ngeliat Arumi seneng, ngeliat Arumi gak usah nanggung beban berat yang engga seharusnya itu bakalan ngobatin perasaan gue." Ujar gue sambil menyerahkan kembali kartu ATM yang sebelumnya hendak dikembalikan.

"Gue gak yakin Arumi mau nerima ini, Le." 

"Terus lo mau biarin temen lo kerja begitu lagi? Lo tega?"

"Ya engga. Tapi…"

"Lo sahabatnya, lo kenal lama sama dia. Pasti lo bisa, Ai. Gue yakin lo bisa. Pleaseee ini buat gue juga."

"Yaudah gue coba, yah. Tapi lo yakin ini gak berat buat lo?"

"Gak ada yang berat selama gue ngelakuinnya dengan bahagia, Ai."

"..." Aini terdiam sambil menatap kartu ATM yang gue sodorkan kembali. "Lo cinta banget sama Arumi, Le." Ujarnya dan gue hanya menjawabnya dengan senyuman.

Tak lama setelahnya gue mengantar kembali Aini pulang lalu gue pergi ke kosannya Nata untuk menyerahkan mobilnya Bella. Walaupun Nata protes karena dia tidak mau mengembalikannya pada Bella namun gue masa bodo akan hal itu karena gue ingin ke suatu tempat dan gue tidak ingin siapapun melihat gue menggunakan mobilnya Bella—gue tidak ingin mobilnya Bella terlacak.

###


"LE LO GILA, YE!" Ucap Excel melalui panggilan telepon. 

"..." Gue hanya diam.

"Le, ampun. Salah gue apa sampe lo nyerang kampungan lo sendiri, anying!" Lanjut Excel

"..." Gue masih diam menyaksikan tawuran dari tempat gue berdiri bersembunyi. 

"Le, ngomong anying!"

"..." Lagi-lagi gue hanya diam lalu mengakhiri panggilan telepon Excel.

"Oi, si Excel kenapa, sih?" Tanya Malik yang sedari tadi gue ajak untuk melihat apa yang gue kerjakan; sebelumnya gue bersama Malik memancing keributan dengan menyuruh seseorang untuk melempari botol ke arah anak-anak kampung seberang hingga akhirnya mereka menyerang balik ke kampung gue.

"Itu akibatnya kalo dia gak bisa atur semuanya dengan baik sampe-sampe beredar gosip kalo barang disana dari gue."

"Ohhh, tapi bukannya…"

"Ini juga peringatan buat lo. Kalo lo gak bisa atur semuanya dengan baik gak menutup kemungkinan gue bakal ngelakuin sesuatu yang lebih dari ini." Sambar gue sambil melempar rokok kemudian memberikan uang pada seseorang yang sebelumnya gue perintahkan untuk memprovokasi dua kampung ini. "Yuk, gue masih ada satu yang harus gue kerjain gegara lo pada kerja gak becus!" Lanjut gue pada Malik lalu perlahan berjalan pergi dan Malik membuntuti.

Satu jam kemudian gue sudah berada di suatu tempat, di depan sebuah ruangan dengan pintu yang tertutup rapat dan penjagaan yang sangat ketat, gue meminta Tante Elsa untuk menyiapkan ini semua sebelumnya. "Kenapa lo? Takut?" Tanya gue pada Malik saat melihat wajahnya sebelum membuka pintu ini.

"..." Malik hanya diam, ini pertama kalinya gue melihat dia sedikit pucat karena takut. Bahkan saking terlihat takutnya gue bisa mendengar suara tenggorokan Malik yang sedang menelan ludahnya sendiri.

Lalu gue membuka pintu dan terlihat seorang pria dengan kedua tangan terborgol dan dua orang pria berseragam berdiri di belakangnya. "Braaaaakkk!" Pria itu langsung menendang meja yang ada di hadapannya hingga bergeser saat melihat gue berdiri diambang pintu. Dan hal itu membuat dua pria berseragam di belakangnya langsung sigap untuk menahan pergerakannya.

"DIAMMMMM!" Ujar pria berseragam sambil melilitkan tangannya yang besar di leher pria itu. Gue melibaskan tangan untuk memberi isyarat agar mereka melepaskan pria itu dan meninggalkan ruangan ini. Dua pria berseragam itu lalu keluar ruangan.

"BERANI LO YE BANGS*T NONGOLIN MUKA DI DEPAN GUE!"

"Halo, A' apa kabar?" Tanya gue pada Bang Ale.

"ANJ*NG!" Bang Ale mencoba menerjang namun geraknya terhalang karena borgol yang mengikat tangannya terkunci pada kursi yang ia duduki.

Gue berjalan mendekat, membenahi kembali posisi meja ke posisi sebelumnya. Lalu gue mengambil sebuah kursi kemudian duduk berhadapan dengan Bang Ale. Gue mengacungkan jari gue memberi isyarat pada Malik untuk meletakan bingkisan yang sengaja gue bawa untuk Bang Ale di atas meja.

Malik meletakan bingkisan itu dengan tangan gemetar dan itu membuat gue sedikit tertawa kecil. "Sorry, gue baru bisa besuk lo, A' gue gak bawa banya…"

"Cuihhhh!" Bang Ale meludahi bingkisan yang gue bawa.

"Haaah." Gue menghela nafas sambil menggelengkan kepala. "Gue heran, gak elu A' gak Pak Cik demen banget ngeludah, sih." Ujar gue lalu menyandarkan posisi duduk gue.

"Mati lo gue keluar nanti." Ucap Bang Ale.

Gue menganggukan kepala, "Gue juga yakin bakal begitu, sih. A'..." Sahut gue sambil mengeluarkan bungkusan rokok yang gue letakan di kantong jaket, mengambil satu batang rokok tersebut lalu menyulutnya. "... hapi hue hisa hikin o husul hos lo… hhhuuuufffff." Gue menghembuskan asap rokok dari mulut. "Sebelum lo bisa nafas diluar. Gimana dong A' kalo begitu?" 

"..." Bang Ale terdiam.

"Udah, lah. A'. Gue dateng kesini baik-baik. Bawain lo makanan, rokok ada juga tuh, bir ada, lengkapkan? Sama…" Gue melirik ke arah Malik sambil mengeluarkan sesuatu dari kantong jaket gue. "Gue tepatin janji gue bawa ni anak ke depan lo, kan." Lanjut gue sambil menggelosorkan kunci borgol yang menjerat tangan Bang Ale di atas meja mengarah ke hadapannya.

"Wid, Anj*ng lo mau ngapain?" Malik terlihat panik dan hendak lari namun dengan cepat gue menarik tangannya.

"DIEM LO DISINI!" Bentak gue. Malik bergerak hendak memukul gue, namun gue menghindarinya dan gue langsung mengunci tubuhnya.

"Widi lo mau ngapain gue, anj*ng!" Ucap Malik sambil merengek menangis dan sekali lagi hal itu membuat gue sedikit tertawa.

"Gimana, A'? Lo mau apain ini anak?" Tanya gue pada Bang Ale.

"Gue gak beg* buat percaya lo bawa dia kesini buat diapa-apain sama gue." Ucap Bang Ale. "Mao lo kesini apaaan bangs*t!" Lanjut Bang Ale terlihat geram sekali.

Gue melepaskan Malik, lalu kembali duduk di hadapan Bang Ale. "Gue udah gak bisa percaya Excel, A'. Gue punya harga…"

"Cihh…" Bang Ale tersenyum kecut. "Gue kerja sama lo…"

"Roda muter A' lo yang nyemplungin gue disini. Jangan salahin gue kalo gue bisa berenang." Sambar gue.

"Gue gak pernah nyemplungin lo bangs*t! Ngomong apa gue sama bapak lo berani nyemplungin lo. Lo yang dateng sendiri sama gue! Tapi sekarang lo malah berakin gue! Tau gini gak usah gue urusin lo dulu."

"Yayaya, silahkan nyesel, A' Tapi yang jelas sekarang gue dateng kesini gue mau nawarin harga. Lo mau terima bagus, gak mau terima yaudah, sampe ketemu di luar kalo begitu. Tapi sampe kapan duit lo cukup buat bayar kamar? Dah kalo gitu gue pamit A' dimakan makanannya. Sehat-sehat gue nungguin lo nodong celurit di luar nanti." Ujar gue sambil bangkit dan meletakan sejumlah uang diatas meja. "Ini bayar motor, lo A'. Gue lebihin dikit, sekarang dipake Aini udah bisa naik motor dia." Lanjut gue lalu mulai melangkah.

"Berapa harga lo?" 

Gue menghentikan langkah lalu berbalik badan dan memberikan senyum terbaik gue untuk Bang Ale. 

...


"Besok-besok kalo lo punya rencana bisa gak kasih tau gue dulu anying!" Gerutu Malik saat kami sedang berada dalam perjalanan pulang. 

"Hahahah, gue nyesel gak bawa kamera. Tadi harusnya gue rekam yah." 

"Bangs*t!" Sahut Malik.

"Hahaha. Muke lo gitu anying." 

"Tahikkkss emang lo. Tapi lo beneran yakin nih gantiin Excel sama Ale?"

"..." Gue menganggukan kepala.

"Ahh, ta* kenapa gue harus partneran lagi sama tuh manusia, sih. Serem anying ternyata die." 

"Partneran? Siapa yang bilang lo bakal partneran sama dia? Boy lo bossnya!" Sahut gue.

"Haah? Maksudnya gimana, Wid?"

"Biarin Ale sama Dani yang maen. Lo cukup supply sama mereka berdua ajah. Kaya gue nyuplay lo sama Excel. Paham maksudnya, kan?" Tanya gue.

"..." Malik terdiam.

"Beg* emang lo! Pantes disambit Saragih mulu, lo!"

"Taeeeee!! Dia ajah ngeselin." 

"Hahaha, lo nya beg* Lik. Belom siap diajarin guru yang futuristik kaya Pak Saragih."

"Anying futuristik."

"So, lo pahamkan maksudnya sekarang, boss! Maintenance yang bener anak buah lo. Kalo ada apa-apa, lo bisa hubungin gue." 

"Lah anying! Terus lo? Ngapain? Terus gue bisa dapet barang dari mana? Kan semua elu yang atur."

"Itu semua gampang. Pokoknya lo gantiin gue. Gue capek mau rebahan sampe tahun depan."

"Bangs*t!! Serius gue!!" 

"Gue juga serius. Nanti orangnya Opung sama Orangnya Pak Tri bakalan ngubungin lo. Gue udah atur semuanya. Lo siapain ajah orang buat jemput bolanya. Pokoknya kalo ada apa-apa lo hubungin gue, gue bakal selalu dibelakang lo." Ujar gue sambil menyerahkan sebuah ponsel pada Malik.
Diubah oleh nyunwie 08-12-2021 09:09
MFriza85
joyanwoto
noejbr
noejbr dan 27 lainnya memberi reputasi
28
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.