Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Setelah melalui 3 babak yang cukup sengit, pertandingan pertama pun berakhir. Gua memenangkan pertandingan dengan hanya selisih 3 poin saja. Tile menghampiri gua, menyumbat lubang hidung gua yang berdarah dengan kapas setelah kena Chi jireugi* di babak ketiga tadi. Ia menekan-nekan batang hidung gua, memeriksa apakah ada bagian yang patah. Kemudian mengacungkan ibu jarinya ke atas; “Sip, aman-aman…” ujarnya.
*pukulan dari bawah ke atas.
Gua menoleh ke arah tribun bagian atas, mencari-cari Larissa di antara penonton lain yang memenuhi kursi di tribun.
“Nyari siapa?” Teriak Larissa yang tiba-tiba muncul dihadapan gua. Kedua tangannya dimasukkan kedalam saku sweater bagian depan, sementara kepalanya tertutup hoodie.
“Pada kemana?” Tanya gua ke Larissa sambil mencari-cari Papi dan Maminya.
“Udah pada pulang duluan…” Jawabnya singkat. Ia kemudian meraih dagu, dan memeriksa kondisi hidung gua.
Sementara ia memeriksa hidung, gua menatap matanya, kemudian bertanya; “Masih pusing?”. Yang lalu dijawabnya dengan gelengan kepala.
“Sakit nggak?” Tanya Larissa, sementara tangannya menyentuh hidung gua pelan.
“Lumayan…” Jawab gua.
Larissa lalu menggenggam kedua tangan gua, terlihat siap mengatakan sesuatu. Namun, sebelum Larissa mulai bicara, Tile menginterupsi; “C’mon… Mesra-mesraannya ntar aja lah…”
Gua dan Larissa berpaling ke arah Tile bersamaan, kemudian perlahan-lahan melepas genggaman tangan kami berdua.
Pertandingan pertama SMA kami ternyata cukup memuaskan. Dari 5 kelas yang didaftarkan, 3 kelas berhasil masuk ke babak selanjutnya. Kami hanya tinggal menunggu jadwal untuk pertandingan selanjutnya yang kemungkinan bakal diselenggarakan 1 bulan mendatang.
Kejuaraan Taekwondo antar sekolah memang berlangsung dalam waktu yang cukup lama, selain karena harus menyesuaikan jadwal pertandingan dengan jadwal belajar. Jumlah peserta yang ikut kompetisi juga cukup banyak, sehingga butuh waktu nggak sebentar.
“Bi... Emang kalo tanding mukulnya nggak bisa pelan-pelan aja?” Tanya Larissa sambil menyerahkan mug berisi teh.
“Lah.. gimana caranya?…” gua balik bertanya.
“Gw takut lo kenapa-kenapa deh… itu lo menang aja bisa ampe berdarah-darah.. gimana kalo misalnya lo kalah…” Ia menjelaskan sambil duduk disebelah gua, sementara kedua tangannya menggenggam mug berisi teh.
“...”
“... Pernah ada yang mati nggak gara-gara tanding Taekwondo?” Larissa kembali bertanya.
“Hah? Ya nggak lah… kan ada wasitnya, Sa… Kalo ada apa-apa juga kan ada tim dokternya.. Tapi….” Gua menjelaskan.
Larissa menoleh ke arah gua. “Tapi apa?” Tanyanya.
“Kalo patah tulang bisa aja sih…” Gua menambahkan.
Mendengar jawaban gua, Larissa lalu berdiri dan mulai memukuli lengan gua; “Tuuh kaaan, udah bi nggak usah Taekwondo lagi deh…” Ujarnya.
“Lah…”
“Maen Catur aja sih…” Tambahnya, kemudian menghentikan pukulannya dan kembali duduk.
“...”
“... atau golf… kayaknya nggak bahaya...”
“Jadi Atlit Catur juga bisa bahaya…” Ucap gua.
“Mana mungkin, maen catur sambil tiduran aja bisa…” Debatnya.
“Kemaren atlit catur ada yang mati…”
“Gara-gara?”
“Maen catur di tengah Rel”
“Lucu lo!” Ledeknya, kemudian menyentil dahi gua.
---
Malam itu, suara ketukan membangunkan gua. Ketukan yang nggak hanya terdengar satu atau dua kali, ketukan yang terdengar begitu ambisius dan terburu-buru. Masih belum sadar betul, gua berjalan keluar dari kamar menuju ke depan dan membuka pintu. Beberapa pria bertubuh tegap berdiri di luar pintu, salah satu diantaranya merangkul gua kembali masuk ke dalam ruang tamu.
“Duduk…” Pria tersebut bicara dengan ekspresi wajah yang datar.
Ia mengeluarkan selembar kertas dari balik saku jaketnya dan menyerahkannya ke gua. Sementara beberapa pria lainnya terlihat mulai memasuki rumah, memeriksa setiap sudut ruangan, dari mulai ruang tamu tempat gua duduk sekarang, hingga ke dalam kamar gua dan kamar bokap. Tak kurang 8-9 orang pria bertubuh tegap sedang ‘mengobrak-abrik’ seisi rumah gua, sementara dari tempat gua duduk, terlihat beberapa tetangga tengah berdiri dari balik pagar, mungkin penasaran dengan keributan yang tengah terjadi.
Gua hendak berdiri saat salah seorang pria kemudian membentak gua; “Duduk!!”
Baru gua sadari kalau para pria yang tengah mengobrak-abrik rumah gua merupakan polisi, setelah gua melihat salah satu mobil patroli terparkir di depan rumah. Tebakan gua semakin jelas saat melihat hampir semua pria yang masuk ke rumah gua dibekali sepucuk senjata yang terselip pada pinggang mereka.
Gua mulai membuka lipatan kertas yang tadi sempat diberikan. Logo Kepolisian tertera di bagian atas surat, lalu disusul dengan judul besar yang berbunyi; “Surat Perintah Penggeledahan”.
Menjelang Subuh, satu persatu pria bertubuh tegap tadi menghentikan penggeledahan. Beberapa dokumen, CPU Komputer dan uang tunai dari kamar bokap gua dikumpulkan dan dimasukkan kedalam box container plastik besar. Tak hanya itu, uang saku bulanan dan ponsel yang berada di kamar gua juga turut dibawa dan dimasukkan ke dalam kontainer tersebut. Sepasang pria kemudian mengangkat box kontainer tersebut dan mulai memasukkannya ke dalam mobil yang terparkir di luar.
Selang beberapa menit berikutnya, hampir semua polisi tanpa seragam tersebut pergi, meninggalkan sosok pria setengah baya dengan rambut panjang beruban yang berdiri di ambang pintu sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Pria tersebut kemudian duduk di sebelah gua: “Bapak kamu kemarin jadi saksi kasus korupsi, baru semalem statusnya naik jadi tersangka. Kalo terbukti bisa dipenjara lama…” Ucapnya.
“Berapa lama?” tanya gua sambil menatap kosong ke arah dinding.
“Mungkin 3 tahun, mungkin 5 tahun, mungkin bisa juga 10 tahun…” Pria itu menjelaskan.
“...”
“... Kayaknya sih bapak kamu tuh cuma kroco aja, masih ada bos gede nya… tapi bisa aja sih ‘Tuker Pala’ sama bos gedenya…” Ia menambahkan. Kemudian menjelaskan istilah ‘Tuker Pala’ / ‘Tukar Kepala’ yang baru saja ia gunakan. Tukar Kepala merupakan istilah dunia kriminal bagi tersangka yang harus bertukar posisi dengan orang lain. Gunanya untuk menghindari denda ataupun hukuman. Biasanya, orang yang diajak bertukar akan mendapat keuntungan dari sisi ekonomi, misalnya dijanjikan kesejahteraan bagi keluarga yang ditinggalkan saat ia menjalani masa hukuman.
Pria tersebut kemudian mengeluarkan ponsel gua yang tadi sempat gua lihat dimasukkan ke dalam Box kontainer dari saku jaket kulitnya dan meletakkannya di atas meja bersama dengan selembar kartu nama. “Ini nomer saya… di save aja, nanti saya bakal kabarin kapan barang bukti yang nggak berhubungan bisa diambil…”
Sementara gua hanya bisa mengangguk mendengar bicaranya.
Pria tersebut kemudian pamit dan pergi meninggalkan rumah. Tepat di depan rumah gua terlihat kumpulan tetangga yang sepertinya tambah ramai karena mungkin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di rumah. Gua menutup pintu, kembali duduk di ruang tamu sambil memandangi seisi rumah yang porak-poranda.
---
“Sakit?” Tanya Larissa sambil menempelkan telapak tangannya di dahi gua.
Gua menggeleng.
“Terus kenapa? Dari tadi diem aja…” Larissa kembali bertanya, kemudian duduk tepat di sebelah gua. Sesekali Larissa balas menyapa teman-temannya yang kebetulan lewat tepat di depan kami berdua.
“Gapapa, Sa…” Jawab gua pelan, enggan menjelaskan kepadanya tentang kejadian yang menimpa gua semalam. Gua hanya nggak mau Larissa terlalu terbebani dengan kondisi gua saat ini; Punya pacar yang Bapaknya bakal masuk penjara.
Larissa bangkit dan berdiri tepat di depan gua. Matanya menatap tajam, seperti biasa, tatapannya tertuju ke hidung gua. Entah kenapa, semakin gua berusaha mencoba menutupi sesuatu, Larissa selalu berhasil mengetahuinya hanya dari hidung gua. Ia lalu kembali duduk, sementara matanya melirik ke arah gua. “Mau cerita nggak?” Tanyanya dengan nada sedikit ketus.
“...” Gua menghela nafas, mencoba menahan diri agar nggak terpancing untuk bercerita.
Ia lalu membuka tas dan mengeluarkan catatan Hello Kitty miliknya. Dari dalam lembaran buku catatan, ia menarik lembaran voucher yang pernah gua berikan kepadanya sebagai hadiah ulang tahun dan menaruh potongan voucher tersebut ke dalam saku baju seragam gua.
“Hah, buat apa? gua harus ngapain?” Tanya gua sambil mengambil potongan voucher yang baru saja ia masukan ke dalam saku baju seragam gua.
“Udah buruan cerita! ntar keburu Pak Sam dateng…” rengeknya.
“Nggak! gw lebih sayang kalo ntar ada apa-apa sama elo dan nggak ada yang tau…” Jelasnya.
Gua kembali menghela nafas, sementara mata gua jelalatan berharap Pak Sam segera datang dan membawa Larissa pulang. Namun, kayaknya hal tersebut nggak bakal menghentikan niat Larissa. Cewek yang satu ini terkenal gigih dan keras kepala. So, sekeras apapun gua coba menghindar pada akhirnya Larissa akan dapat apa yang ia inginkan.
Nggak pake banyak mikir, Larissa langsung memberi anggukan setuju, sementara senyum lebar menghiasi wajahnya. “Eh tunggu… kalo berhubungan sama elo masa iya gw gak boleh khawatir?” Tanyanya.
“Mau gua cerita nggak?” Gua bertanya.
“Mau…” Jawabnya pelan.
Lalu gua pun mulai bercerita.
Adakalanya di tengah gua bercerita Larissa menginterupsi, meminta gua mengulangi kalimat yang baru saja gua ucapkan. Kali ini bukan karena gua salah dalam merangkai kata atau kalimat, namun sepertinya ada sesuatu yang berbeda dengannya; Daya tangkap Larissa nggak se-brilian biasanya.
“Biaaaannn… terus elo gimana?” Tanya Larissa begitu gua mengakhiri cerita.
“...”
“...Ntar nggak ada yang ngurusin elo dong…” Tambahnya.
“...”
“...Ntar lo makan gimana? jajan gimana? bayar sekolah gimana?”
Gua menatap wajahnya yang kali ini terlihat begitu khawatir.
“Kan tadi udah janji …”
“Ya tapi kan…” Larissa mulai bicara namun gua memotong kalimatnya; “Udah lah, Sa… Gua bisa kok…” Ucap gua, berusaha meyakinkan Larissa agar tak terlampau khawatir.
Mendengar pernyataan gua barusan, Larissa kembali mengambil lembaran voucher dari dalam buku catatan dan menyerahkannya ke gua.
“Ini voucher terakhir yang lu kasih…” Ucapnya, tangannya masih menyodorkan lembaran voucher berisi tulisan tangan gua.
Gua meraih lembaran voucher tersebut dari tangannya; “Kali ini gua harus ngapain?” tanya gua. Larissa menggelengkan kepalanya, sementara matanya menatap kosong ke arah lapangan upacara.
“Lo, nggak harus ngapa-ngapain… cukup diem aja dan terima bantuan gua…” Ucapnya pelan.
Sejatinya konsep gua memberikan lembaran voucher ‘DIY’ ke Larissa bukan seperti ini. Voucher tersebut merupakan pengganti kado saat Larissa berulang tahun, yang ia bisa gunakan untuk membuat gua melakukan apa yang dia minta. Bukan sebaliknya. Bukan malah gua yang jadi menerima sesuatu darinya.
Gua menggelengkan kepala, kemudian menyerahkan kembali lembaran voucher yang baru saja ia berikan. “Ini simpen aja, buat next time kalo lo bener-bener mau sesuatu dari gua… for now, gua masih belum butuh apa-apa…”
“Tapi, Bi…”
“Tenang aja, Sa… nanti kalo gua butuh apa-apa, gua pasti bilang sama elo… emang gua mau ngadu ke siapa lagi selain ke elo…”.
Mendengar penjelasan gua barusan ekspresi wajah Larissa langsung berubah, sebuah senyuman terpampang di wajahnya. “That’s my boy…” Ujarnya sambil mengacak-acak rambut gua. Dan tangannya bergerak cepat mengambil kembali voucher dari genggaman gua.
“Sa.. jangan cerita ke siapa-siapa ya tentang hal ini…” Ucap gua. Yang lalu dibalasnya dengan anggukan kepala penuh keyakinan.
---
Beberapa hari berikutnya, suara ribut pagar rumah mengagetkan gua. Dengan cepat gua berlari ke arah pintu depan dan mengintip dari sela tirai jendela. Sosok pria setengah baya terlihat tengah berusaha membuka pintu pagar yang terkunci dari dalam. Gua membuka pintu, keluar dan menghampirinya.
“Sama siapa Pak?” Tanya gua ke Pak Sam yang terlihat masih berusaha membuka pintu pagar.
“Sendiri, Mas…” Jawabnya.
Gua membukakan pintu pagar untuknya. Pak Sam nggak langsung masuk, ia kembali ke mobil yang ia parkir tepat di depan rumah, membuka pintu bagasi bagian belakang dan mulai menurunkan kardus-kardus besar berwarna coklat. Satu persatu, Pak Sam mengangkat dan membawa masuk kardus-kardus besar tersebut dan meletakkannya di depan pintu rumah.
“Apaan itu pak?” Tanya gua penasaran.
“Nggak tau… Kayaknya makanan... Saya cuma suru nganterin aja…” Jawab Pak Sam, masih sambil mengangkat kardus ke dalam.
“Sasa yang nyuruh?” Gua kembali bertanya, menyebutkan nama Larissa sebagai orang yang kemungkinan besar paling bertanggung jawab atas barang di dalam kardus-kardus ini.
“Iya…” Jawabnya singkat.
Gua memeriksa salah satu kardus yang sudah berada di depan pintu rumah gua, membuka bagian tutupnya. Didalamnya terdapat aneka jenis bahan-bahan makanan, mulai dari mie instan, beras, minyak goreng bahkan hingga bumbu dapur. Sementara Pak Sam kembali dari mobil, kali ini ia berjalan pelan dan hati-hati, tangannya menenteng tumpukan karton berisi telur.
“Saya pamit ya Mas…” Ujar Pak Sam begitu selesai meletakkan tumpukan telur di lantai teras, ia kemudian pergi.
“Makasih ya Pak…” Ujar gua. Kemudian bergegas kembali ke dalam, mencari ponsel dan menghubungi Larissa.
Nada sambung baru terdengar sekali, suara Larissa sudah menyapa gua dari ujung sana. Sepertinya ia sudah menduga bakal menerima telepon dari gua.
“Ini apaan, Sa? Kan gua udah bilang, nanti kalo gua butuh, gua bakal bilang sama elo…” Gua bicara kepadanya tanpa menyapa.
“Hehehe…Jangan marah-marah dulu dong… Itu tadi mami belanja kelebihan, daripada mubazir minta tolong Pak Sam nganter kesana deh…” Larissa menjelaskan.
“Mana mungkin kelebihan belanja sampe segini banyak, Sa…” Sanggah gua.
“Ya kan emang keluarga gw kalo belanja buanyak banget…”
“Udah lah, Sa…”
“Yaudah, terima aja sih…”
“Iya, tapi ini tuh berlebihan banget Sa…”
“Ya kan nggak mesti lo abisin semuanya sekarang, Bi!” Ucap Larissa, nada suaranya meninggi.
“Iya.. tapi kan….” Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, Larissa memotong ucapan gua; “Yaudah, kalo elo nggak mau jual aja, atau buang aja sekalian!!!” Teriaknya.
‘Tut.. tut..tut..’ Larissa mengakhiri panggilan. Sementara gua hanya bisa tertegun, sambil menatap layar ponsel yang kini gelap.
Setelah selesai menata barang-barang dari Larissa, gua kembali ke kamar, mengecek ponsel, berharap ada SMS dari Larissa. Ini untuk pertama kalinya ia berteriak ke gua, dan untuk pertama kalinya juga teriakannya membuat gua shock.
Gua mencoba menghubunginya, namun sepertinya panggilan gua di-reject olehnya.
‘Sorry Sa’ gua mengetik SMS dan mengirimkannya ke Larissa. Status pesan; Delivered!
Berkali-kali gua menatap ke arah ponsel, membuka kunci keypad dan masuk ke menu ‘Inbox’, masih belum ada pesan balasan dari Larissa. Hanya dalam waktu 2 jam, entah sudah berapa ratus kali gua mengecek ponsel berharap balasan SMS dari Larissa. Entah beberapa kali juga gua mencoba menghubungi Larissa melalui telpon rumahnya, namun selalu nggak ada jawaban. Larissa belum pernah mengabaikan gua seperti ini sebelumnya, dan ketika hal itu terjadi seperti sekarang; hampir gila gua dibuatnya.
Gua bangkit, meraih sweater yang tergantung dibalik pintu dan bergegas ke rumahnya.
---
1 jam lebih 15 menit berikutnya, gua sudah berada di rumah Larissa. Maminya menyambut gua yang kala itu terlihat tengah menyiram tanaman bonsai yang berada di teras rumahnya.
“Eh, Bian, Masuk sana… Lagi marahan ya?” Ucap Maminya Larissa.
“Eng, anu iya... Saya masuk ya Tan” Jawab gua salah tingkah kemudian bergegas masuk kedalam.
Nggak perlu detektor canggih untuk mengetahui keberadaan Larissa di rumahnya yang super besar ini; hanya butuh telinga yang baik dan cukup sensitif.
Samar terdengar pekikan Larissa dari halaman belakang rumahnya. Gua bergegas menuju ke arah asal suara. Persis tepat di tepi kolam renang, terlihat Larissa dan Resti tengah bernyanyi bersama, kursi kayu santai mereka gunakan sebagai panggung, sementara botol kecap digunakan Resti sebagai mic dan Larissa menggunakan sapu sebagai pengganti gitar. Lagu Take On Me-nya Reel Big Fish menggema seisi halaman belakang,
‘Take on me, Take me on, I'll be gone in a day or two’, Sesekali keduanya bergoyang mengikuti irama musik yang dimainkan melalui stereo deck. Tak jarang pula, resti menjulurkannya botol kecap ditangannya ke arah kolam renang. Mirip seperti para vokalis band yang tengah mengajak para fansnya ikut bernyanyi.
Gua tersenyum memandangi mereka. Karena ‘show still goes on’ gua nggap mereka masih belum menyadari kehadiran gua disini. Kalau mereka sudah tahu kehadiran gua disini dan tetap melanjutkan ‘konser’-nya, mungkin ada yang salah dengan pola asuh Mami dan Papinya.
Cukup lama gua berdiri menatap mereka berdua, hingga akhirnya lagu Take On Me berhenti berputar. Resti berbalik dan melihat gua, wajahnya terlihat memerah, sambil menutupi wajah dengan telapak tangan, ia cepat-cepat ia turun dari ‘panggung’, dan pergi dari sana. Sementara, Larissa menatap bingung kakaknya yang tiba-tiba kabur.
“Ada lagu lain?” Tanya gua. Suara gua sontak mengagetkan Larissa, ia berpaling dan menatap gua. Sama seperti kakaknya, wajah Larissa memerah karena malu. Ia meraih sapu yang sebelumnya dijadikan gitar, lalu melemparnya ke arah gua. Kemudian, turun dari kursi santai tempatnya berdiri, meraih sepasang sandal dan sambil terus mendekat, ia mulai melemparnya ke arah gua satu persatu. Begitu amunisi sendalnya habis, dan posisinya dekat dengan gua, Larissa mulai melayangkan pukulan-pukulan ke tubuh gua. Serangan terakhirnya merupakan sebuah tandukan kepala tepat di dada gua.
“Gw sebel sama elo…” Ucapnya pelan. Sementara kepalanya tetap di dada gua, dan kedua tangannya masih berusaha memukul tubuh gua namun tanpa tenaga yang berarti.
“...”
“Gw benci sama elo…” Tambahnya, kedua tangan yang sebelumnya ia gunakan untuk memukuli gua kini ia lingkarkan pada pinggang gua.
Gua membelai kepalanya, kemudian berbisik; “Sorry ya, Sa…”
Larissa mendongak, kali ini ia menatap gua dengan kedua matanya yang nyaris menangis.
“... Sorry dan Makasih ya, Sa…” Tambah gua, sambil menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya.
Larissa mengangguk, kemudian tersenyum.
“Besok-besok jangan marah sama gua lagi ya…” Ujar gua.
“Makanya besok-besok jangan bikin gw marah lagi…” Balasnya.
“Boleh request satu lagu lagi nggak?”
Mendengar pertanyaan gua barusan, Larissa mendadak menghapus senyum dari wajahnya dan mulai kembali memukuli gua.
---
Reel Big Fish - Take On Me
Talking away
I don't know what's left to say
I'm sayin' it anyway
Today's not my day to find you
Shying away
I'll be coming for your love o.k.?
Take on me, take me on
I'll be gone
In a day or two
So needless to say
I'm odds and ends again
But it's me stumbling away
Slowly learning that life is o.k.
Say it after me
It's no better to be safe than sorry
Take on me,
take me on
I'll be gone
in a day or two
Things that you say
yeah is it life or just to play my
Worries away
You're all the things I've got to remember
Shying away
I'll be coming for you anyway
Take on me,
take me on
I'll be gone
in a day or two