- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#5
Episode 3
Spoiler for Episode 3:
“Fik... Fik...”
Fika terbangun dari lamunannya, beberapa kali ia mengedipkan mata dengan cepat. Ia sempat melihat ke arah sekeliling di mana sudah banyak kendaraan yang juga bergerak sama dengannya.
“...kamu masih ngantuk atau ngelamun?” Tanya Rama.
Fika sudah berada di atas motor bersama dengan Rama untuk menuju sekolah.
“Ng... masih ngantuk sedikit Ram.” Sanggahnya.
“Tumben, ngga kayak biasanya. Kamu begadang semalem?” Tanya Rama.
Fika berkedip dengan cepat, “Semalem kan aku nyalin buku catatan kamu, jadi tidurnya agak malem sedikit.”
Rama menganggukkan kepalanya, motor yang ia kendarai terus melaju bersama dengan orang-orang yang lain pada pagi hari ini. Beberapa menit berlalu, akhirnya mereka tiba di Sekolah. Fika turun terlebih dahulu sementara Rama memarkirman motornya di antara motor-motor lain.
“Kamu pernah suka ngga sama dia?”
“Fik...”
Fika menoleh ke arah Rama yang berdiri di dekatnya.
“...kamu mau sampai kapan berdiri pakai helm begitu? Kalau masih ngantuk nanti tidur aja di kelas.” Ucap Rama.
Tangan Rama mendekat ke arah wajah Fika, ia membuka pengaman helm untuk dapat melepasnya dari kepala Fika. Rama kembali berjalan ke arah motornya untuk meletakkan helm di atas kaca spion, lalu ia kembali mendekat ke arah Fika.
“Ayo masuk Fik.” Ajak Rama.
Fika mengangguk pelan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka berjalan melewati beberapa ruangan sebelum tiba di kelas. Fika melihat ke arah Rama sesekali tanpa ia ketahui, terkadang ia sampai harus membuang pandangannya ke arah lapangan di mana ada beberapa siswa yang sedang bermain sebelum jam masuk kelas, hingga akhirnya mereka masuk ke dalam kelas.
“Kamu tidur lagi aja Fik...” Rama duduk di bangku, “masih ada waktu kalau kamu mau, daripada nanti pas mulai pelajaran malah kayak tadi.”
Fika duduk di bangku, “Ngga kok Ram, udah ngga ngantuk kayak tadi. Ngomong-ngomong, buku catatan kamu ketinggalan di kamar. Tadi aku lupa masukin ke dalam tas.”
“Santai aja Fik, pelajarannya juga besok.” Jawab Rama.
Teng! Teng! Teng! Teng!Bel sudah berbunyi, jam pelajaran pun di mulai. Guru pertama pun masuk ke dalam kelas dengan tergesa-gesa. Bukan hanya Rama dan Fika, melainkan seluruh siswa di kelas melihatnya dengan penuh tanya.
“Anak-anak, sekarang kita ulangan.” Ucap Guru.
Seisi kelas menjadi riuh karena ulangan dadakan yang diadakan pada jam pelajaran pertama pada hari ini. Soal pun dibagikan kepada semua siswa, setelah melihat soal tersebut Rama dan Fika saling beradu pandang.
“Bawa dadu?” Tanya Fika.
“Ritual ulangan dadakan kita mulai.” Jawab Rama.
Rama mengeluarkan dua buah dadu dari dalam tasnya, satu dadu berwarna merah, satu dadu berwarna hitam. Peraturan sederhana, dadu merah akan dilempar dan akan menentukan angka. Angka 1 untuk pilihan A, 2 untuk pilihan B, 3 untuk pilhan C, dan 4 untuk pilihan D. Bagaiman jika mendapatkan angka 5 atau 6?
Itulah mengapa ada dadu berwana hitam. Jika dadu berwarna merah mendapat angka 5 atau 6, dadu hitam akan dilempar untuk mengurangi nilai dari dadu merah. Misalkan dadu merah bernilai 6, dadu hitam bernilai 3, maka akan mendapatkan nilai 3 atau pilhan C. Bagaimana jika dua nilai dadu sama yang membuat nilai 0? Sederhana, dadu akan dilempar ulang.
Kelas mulai hening, beberapa siswa nampak bingung dengan ulangan dadakan seperti ini karena mereka tidak mempersiapkan sebelumnya. Sementara itu, Rama mulai melempar dadunya di atas kertas ulangan.
“Empat Fik.” Ucapnya pelan.
Fika mulai mengisi jawaban pada lembar ulangan, kemudian Rama pun juga mengisi jawaban yang sama. Fika bergantian melempar dadu di atas lembar ulangan.
“Dua Ram.” Ucapnya pelan.
Kegiatan seperti itu terus berlanjut hingga mereka selesai dengan semua soal di lembar ulangan. Rama kembali memasukkan dadu ke dalam tas untuk menyembunyikan alat “ritual” tersebut. Fika melihat ke arah jam tangan yang ia kenakan, semuanya berlalu selama 30 menit.
“Masih ada setengah jam lagi Ram, kayak biasa aja ya.” Ucap Fika.
Rama mengangguk pelan tanpa melihat ke arahnya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Fika dan Rama berpura-pura masih mengerjakan soal ulangan tersebut, sesekali Rama nampak menggaruk-garuk kepalanya seperti orang yang sedang diambang kebingungan. Fika yang mengetahui itu hanya bisa menahan senyumnya sambil menatap soal ulangan miliknya.
30 menit kembali berlalu, waktu pun habis. Semua siswa mengumpulkan ulangan tersebut sekalipun mereka belum menyelesaikan semua soal. Rama dan Fika kembali ke tempat duduk mereka setelah mengumpulkan soal di meja Guru.
“Baik, sudah semua ya. Ibu sengaja untuk ulangan dadakan karena hari ini sepertinya semua Guru akan rapat sampai waktu yang belum ditentukan. Dimohon untuk menjaga ketertiban dan tidak membuat gaduh, terima kasih ya.” Ucap Guru tersebut.
Kelas mulai sedikit bergemuruh karena membicarakan apa yang terjadi pada hari ini.
“Pantesan aja ulangan dadakan.” Ucap Rama.
“Udah lama banget ya ngga ada ulangan dadakan kayak gini, untung kamu masih bawa dadu Ram.” Kata Fika.
Rama dan Fika tertawa pelan. Keadaan kelas mulai sibuk dengan urusan masing-masing, ada yang sedang menonton film di laptop, ada yang sedang berbincang-bincang, ada yang tidur, ada yang sedang mendengarkan musik seperti yang dilakukan Rama dan Fika.
“Ini alirannya apa sih Ram? Aku masih suka ngga ngerti.” Tanya Fika.
“Menurut kamu ini masuk aliran apa?” Tanya Rama balik.
“Hm, Blues?” Tebak Fika.
Rama mengangguk pelan,”Bisa dibilang ada unsur Blues juga. Kalau mau kategoriin sih sebenernya ini Soul Fik. Nanti dari Soul itu ada sub kategorinya lagi.”
“Gimana cara bedainnya Ram?” Tanya Fika lanjut.”
“Oke gampangnya gini, kalau lagu ini...” Rama mengganti lagu, “ini masuknya RnB karena ritmenya cukup mencolok.”
Fika menganggukan kepalanya sambil mendengarkan lagu.
“Nah kalau yang ini Blues. Kamu ngerasain bedanya ngga?” Tanya Rama.
Fika mengangguk, “Oh aku paham sekarang. Lucu juga ya sekalipun ada embel-embel Blues, tapi RnB buat aku kerasa bukan Blues.”
“Kalau mau dijelasin makin panjang lagi sih, kalau...”
“Rama...”
Rama dan Fika menatap ke arah suara yang memanggil namanya, Sheryl sudah berdiri di sampingnya.
“Kenapa Sher?” Tanya Rama.
“Aku ganggu ngga? Aku mau minta tolong sih kalau ngga ganggu.” Ucap Sheryl.
“Ngga kok, mau minta tolong apa?” Tanya Rama.
“Ram, pinjem bentar ya.” Ucap Fika.
Fika meminjam handphone Rama untuk mendengarkan lagu, Rama pun mengangguk menyetujuinya. Fika memasang earphone di telinganya dan kembali mendengarkan lagu yang tadi dijelaskan oleh Rama.
Fika sesekali menatap ke arah Rama yang sedang berbincang dengan Sheryl di meja sebelah, ia hanya dapat melihat mereka sedang mencoret-coret di sebuah buku tulis milk Sheryl namun entah itu apa.
“Kamu pernah suka ngga sama dia?”
“Suka? Suka sama Rama maksud kamu?” Tanya Fika.
“Iya, kamu pernah ngerasain itu ngga? Soalnya kalian temenan udah lama. Buat aku sih, ngga ada pertemanan murni antara laki-laki dan perempuan. Pasti ada salah satu dari mereka yang menaruh perasaan.” Jelas Desi.
“Sayangnya ngga lagi Des. Mungkin emang pertemanan antara laki-laki dan perempuan agak susah diterima oleh banyak orang karena pada dasarnya ya akan ada perasaan yang muncul, tapi aku sama Rama ya ngga ada apa-apa.” Jelas Fika.
Desi mengangguk, “Aku baru pertama kali sih nemuin pertemanan yang murni kayak kalian. Eh tapi bukan maksud apa-apa ya aku nanya kayak gitu FIk, aku takut kamu salah paham aja.”
Fika tertawa pelan, “Nggapapa kok Des santai aja.”
Rama ke luar dari kelas dan melihat Fika sedang berbincang dengan Desi, ia pun menghampiri mereka.
“Eh Ram, pas banget nih. Tadi katanya Desi mau ngobrol sama kamu.”
“Ngobrol?” Tanya Rama.
“Udah ya, mau ke kamar mandi dulu.” Ucap Fika.
“Eh Fik...”
Fika meninggalkan Rama dan Desi, kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi lalu berdiri menghadap cermin. Dalam diam, ia menatap dirinya sendiri dari refleksi cermin yang ada di depannya.
“Fika... Fika...”
“Fika...”
Fika kembali mengedipkan matanya beberapa kali dengan cepat, kemudian ia menatap ke arah Rama yang sudah berdiri di sampingnya.
“Kamu ngga enak badan Fik?” Tanya Rama.
“Ngga enak badan?” Tanya Fika bingung.
“Kamu dari tadi ngelamun terus. Kalau ngga enak badan ngga usah olah raga dulu Fik, nanti aku bilang ke Guru.” Ucap Rama.
“Ngga kok Ram, aku sehat-sehat aja.” Ucap Fika.
“Beneran?” Tanya Rama.
Fika mengangguk dengan pasti. Mereka pun beranjak dari bangku taman menuju lapangan bersama dengan siswa-siswi yang lain. Pelajaran olah raga pun dimulai dengan pemanasan singkat, kemudian mereka berlari pelan mengitari lapangan sekolah beberapa putaran.
“Beneran kamu nggapapa Fik?” Tanya Rama.
Fika yang sedang berlari pelan menoleh ke arah kiri di mana Rama sudah berada di sampingnya.
“Beneran Ram, nggapapa.” Jawab Fika.
Beberapa putaran pun selesai. Mereka kembali berkumpul di tengah lapangan untuk mendengarkan penjelasan dari Guru mengenai materi singkat hari ini.
“Jadi untuk hari ini, kita akan melaksanakan marathon...”
Instruksi sudah dijelaskan, kemudian secara bergantian siswa-siswi berlari ke luar Sekolah sesuai jalanan yang sudah ditentukan tadi. Fika lari terlebih dahulu, Rama menyusul di belakang sesuai dengan absen mereka.
Satu kilometer sudah berlalu, beberapa siswa-siswi termasuk juga Fika sudah mulai kesulitan untuk mengatur nafas dan tenaga mereka. Rama yang awalnya ada di belakang Fika sudah berlari bersampingan dengannya.
“Pelan-pelan aja Fik, atur nafas.” Ucap Rama.
Fika menatap Rama dengan heran, bagaimana bisa Rama terlihat biasa saja sementara Fika sudah kesulitan mengatur nafas. Beberapa meter berlalu hingga mereka masuk ke dalam sebuah jalanan kecil di belakang Sekolah.
Jarak antar siswa sudah mulai tidak beraturan, Fika semakin kesulitan untuk mengatur nafasnya hingga ia memutuskan untuk berjalan pelan. Rama yang menyadari hal itu pun mengimbanginya agar tetap bisa berada di sampingnya.
“Atur nafas Fik.” Ucap Rama.
“Kamu... kok biasa aja sih? Aku udah capek banget.” Tanya Fika.
“Aku juga capek sebenernya.” Jawab Rama singkat.
Mereka berjalan melewati pepohonan rimbun yang membantu kondisi panas pada siang menjelang sore hari ini. Beberapa siswa melewati mereka begitu saja.
“Kamu kalau mau duluan aja Ram, aku kayaknya bakalan jalan sampai Sekolah.” Ucap Fika.
“Kamu yakin?” Tanya Rama.
Fika mengangguk dengan pasti.
“Kalau gitu, aku tunggu di Sekolah ya.” Ucap Rama.
Rama kembali berlari. Fika berjalan dengan santai sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah, sesekali ia berhenti sambil meletakkan tangannya di pinggang. Fika menatap ke arah depan, ia sudah tidak menemukan Rama lagi.
“Udah ngga kelihatan aja. Mending lari lagi deh, kalau ngga pasti diomelin nanti.” Ucapnya seorang diri.
Fika mencoba untuk kembali berlari kecil untuk mengejar ketertinggalannya. Jalanan sedikit berbatu, sayangnya Fika yang sudah lelah harus terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangannya.
Ia pun duduk sambil meluruskan kakinya, celana olah raga panjang yang ia kenakan sedikit robek. Fika menggulung celana yang sedikit robek itu, didapatinya luka pada lutut kirinya.
Tetes keringat mengalir pada wajahnya, ia menatap ke atas. Ada celah di antara pepohonan rimbun yang membuat sinar matahari hanya menyinari wajahnya, ia pun menutup matanya sesaat.
“Udah aku duga...”
Fika membuka matanya, ia melihat Rama yang sudah berdiri di sampingnya.
“Loh Rama...”
“Parah ngga? Yaudah ayo aku gendong aja sampai Sekolah.” Ucap Rama.
Rama membungkukkan badannya agar Fika bisa naik ke punggungnya. Ia melihat ke arah Fika yang masih terduduk menatap ke arahnya.
“Kamu nunggu apa Fik? Bentar lagi jam pulang sekolah.” Ucap Rama.
Fika kembali mengedipkan matanya dengan cepat, ia bangun lalu naik ke punggung Rama dengan perlahan. Setelah dirasa aman, Rama kembali menegakkan badannya lalu menyesuaikan Fika agar ia nyaman dipunggungnya. Rama mulai berjalan pelan melewati jalan bebatuan kecil yang tadi membuat Fika terjatuh.
“Sakit ngga Fik?” Tanya Rama.
“Hm, sedikit Ram.” Jawabnya singkat.
Mereka berbelok di pertigaan, sebentar lagi mereka akan kembali ke Sekolah.
“Ram, kamu tadi udah sampai mana? Awalnya aku udah ngga ngeliat kamu, tapi abis aku jatuh tiba-tiba udah ada kamu lagi.” Tanya Fika.
“Belum jauh banget Fik. Aku bisa denger ada orang jatuh, pas aku balik bener ternyata kamu.” Jawabnya.
Fika mengangguk pelan. Tangannya yang mengalung pada leher Rama dapat merasakan detak jantung di dadanya. Fika tersenyum begitu saja, kemudian ia mencoba untuk melihat wajah Rama dari belakang. Ia hanya mendapati sebagian kecil wajah Rama, namun nampak jelas bahwa itu adalah Rama.
“Makasih ya Ram.” Ucap Fika.
“Buat apa?” Tanya Rama.
Fika tertawa pelan tanpa menjawab pertanyaan yang Rama berikan, Rama pun nampak tidak mempertanyakannya lagi. Mereka terus berjalan untuk kembali ke Sekolah pada sore hari ini.
*
“Hah... Hah... Hah...”
Rama duduk sambil mengatur nafasnya setelah ia tiba di Sekolah bersama dengan beberapa siswa. Guru olah raga berjalan mendekat ke arah Rama.
“Tumben kamu agak lambat Ram?” Tanya Guru.
“Tadi ngobrol sama Fika Pak.” Jawab Rama.
“Terus Fika mana Ram? Kok belum sampai? Harusnya udah sampai, minimal udah kelihatan.”
Rama bangun dari duduknya lalu kembali berlari ke arah berlawanan. Ia terus berlari menyusuri jalanan yang tadi sudah ia lewati, kemudian berbelok ke arah belakang Sekolah di mana jalanan sedikit berbatu.
Ia pun memelankan langkahnya setelah melihat Fika yang sudah terduduk di jalanan berbatu. Rama juga melihat dengan jelas celana panjang Fika yang sudah tergulung, begitu juga dengan luka yang ada di lututnya.
Ia berhenti sejenak, melihat Fika yang sedang memejamkan matanya dengan sorotan sinar matahari yang hanya ke arah wajahnya.
Fika terbangun dari lamunannya, beberapa kali ia mengedipkan mata dengan cepat. Ia sempat melihat ke arah sekeliling di mana sudah banyak kendaraan yang juga bergerak sama dengannya.
“...kamu masih ngantuk atau ngelamun?” Tanya Rama.
Fika sudah berada di atas motor bersama dengan Rama untuk menuju sekolah.
“Ng... masih ngantuk sedikit Ram.” Sanggahnya.
“Tumben, ngga kayak biasanya. Kamu begadang semalem?” Tanya Rama.
Fika berkedip dengan cepat, “Semalem kan aku nyalin buku catatan kamu, jadi tidurnya agak malem sedikit.”
Rama menganggukkan kepalanya, motor yang ia kendarai terus melaju bersama dengan orang-orang yang lain pada pagi hari ini. Beberapa menit berlalu, akhirnya mereka tiba di Sekolah. Fika turun terlebih dahulu sementara Rama memarkirman motornya di antara motor-motor lain.
“Kamu pernah suka ngga sama dia?”
“Fik...”
Fika menoleh ke arah Rama yang berdiri di dekatnya.
“...kamu mau sampai kapan berdiri pakai helm begitu? Kalau masih ngantuk nanti tidur aja di kelas.” Ucap Rama.
Tangan Rama mendekat ke arah wajah Fika, ia membuka pengaman helm untuk dapat melepasnya dari kepala Fika. Rama kembali berjalan ke arah motornya untuk meletakkan helm di atas kaca spion, lalu ia kembali mendekat ke arah Fika.
“Ayo masuk Fik.” Ajak Rama.
Fika mengangguk pelan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka berjalan melewati beberapa ruangan sebelum tiba di kelas. Fika melihat ke arah Rama sesekali tanpa ia ketahui, terkadang ia sampai harus membuang pandangannya ke arah lapangan di mana ada beberapa siswa yang sedang bermain sebelum jam masuk kelas, hingga akhirnya mereka masuk ke dalam kelas.
“Kamu tidur lagi aja Fik...” Rama duduk di bangku, “masih ada waktu kalau kamu mau, daripada nanti pas mulai pelajaran malah kayak tadi.”
Fika duduk di bangku, “Ngga kok Ram, udah ngga ngantuk kayak tadi. Ngomong-ngomong, buku catatan kamu ketinggalan di kamar. Tadi aku lupa masukin ke dalam tas.”
“Santai aja Fik, pelajarannya juga besok.” Jawab Rama.
Teng! Teng! Teng! Teng!Bel sudah berbunyi, jam pelajaran pun di mulai. Guru pertama pun masuk ke dalam kelas dengan tergesa-gesa. Bukan hanya Rama dan Fika, melainkan seluruh siswa di kelas melihatnya dengan penuh tanya.
“Anak-anak, sekarang kita ulangan.” Ucap Guru.
Seisi kelas menjadi riuh karena ulangan dadakan yang diadakan pada jam pelajaran pertama pada hari ini. Soal pun dibagikan kepada semua siswa, setelah melihat soal tersebut Rama dan Fika saling beradu pandang.
“Bawa dadu?” Tanya Fika.
“Ritual ulangan dadakan kita mulai.” Jawab Rama.
Rama mengeluarkan dua buah dadu dari dalam tasnya, satu dadu berwarna merah, satu dadu berwarna hitam. Peraturan sederhana, dadu merah akan dilempar dan akan menentukan angka. Angka 1 untuk pilihan A, 2 untuk pilihan B, 3 untuk pilhan C, dan 4 untuk pilihan D. Bagaiman jika mendapatkan angka 5 atau 6?
Itulah mengapa ada dadu berwana hitam. Jika dadu berwarna merah mendapat angka 5 atau 6, dadu hitam akan dilempar untuk mengurangi nilai dari dadu merah. Misalkan dadu merah bernilai 6, dadu hitam bernilai 3, maka akan mendapatkan nilai 3 atau pilhan C. Bagaimana jika dua nilai dadu sama yang membuat nilai 0? Sederhana, dadu akan dilempar ulang.
Kelas mulai hening, beberapa siswa nampak bingung dengan ulangan dadakan seperti ini karena mereka tidak mempersiapkan sebelumnya. Sementara itu, Rama mulai melempar dadunya di atas kertas ulangan.
“Empat Fik.” Ucapnya pelan.
Fika mulai mengisi jawaban pada lembar ulangan, kemudian Rama pun juga mengisi jawaban yang sama. Fika bergantian melempar dadu di atas lembar ulangan.
“Dua Ram.” Ucapnya pelan.
Kegiatan seperti itu terus berlanjut hingga mereka selesai dengan semua soal di lembar ulangan. Rama kembali memasukkan dadu ke dalam tas untuk menyembunyikan alat “ritual” tersebut. Fika melihat ke arah jam tangan yang ia kenakan, semuanya berlalu selama 30 menit.
“Masih ada setengah jam lagi Ram, kayak biasa aja ya.” Ucap Fika.
Rama mengangguk pelan tanpa melihat ke arahnya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Fika dan Rama berpura-pura masih mengerjakan soal ulangan tersebut, sesekali Rama nampak menggaruk-garuk kepalanya seperti orang yang sedang diambang kebingungan. Fika yang mengetahui itu hanya bisa menahan senyumnya sambil menatap soal ulangan miliknya.
30 menit kembali berlalu, waktu pun habis. Semua siswa mengumpulkan ulangan tersebut sekalipun mereka belum menyelesaikan semua soal. Rama dan Fika kembali ke tempat duduk mereka setelah mengumpulkan soal di meja Guru.
“Baik, sudah semua ya. Ibu sengaja untuk ulangan dadakan karena hari ini sepertinya semua Guru akan rapat sampai waktu yang belum ditentukan. Dimohon untuk menjaga ketertiban dan tidak membuat gaduh, terima kasih ya.” Ucap Guru tersebut.
Kelas mulai sedikit bergemuruh karena membicarakan apa yang terjadi pada hari ini.
“Pantesan aja ulangan dadakan.” Ucap Rama.
“Udah lama banget ya ngga ada ulangan dadakan kayak gini, untung kamu masih bawa dadu Ram.” Kata Fika.
Rama dan Fika tertawa pelan. Keadaan kelas mulai sibuk dengan urusan masing-masing, ada yang sedang menonton film di laptop, ada yang sedang berbincang-bincang, ada yang tidur, ada yang sedang mendengarkan musik seperti yang dilakukan Rama dan Fika.
“Ini alirannya apa sih Ram? Aku masih suka ngga ngerti.” Tanya Fika.
“Menurut kamu ini masuk aliran apa?” Tanya Rama balik.
“Hm, Blues?” Tebak Fika.
Rama mengangguk pelan,”Bisa dibilang ada unsur Blues juga. Kalau mau kategoriin sih sebenernya ini Soul Fik. Nanti dari Soul itu ada sub kategorinya lagi.”
“Gimana cara bedainnya Ram?” Tanya Fika lanjut.”
“Oke gampangnya gini, kalau lagu ini...” Rama mengganti lagu, “ini masuknya RnB karena ritmenya cukup mencolok.”
Fika menganggukan kepalanya sambil mendengarkan lagu.
“Nah kalau yang ini Blues. Kamu ngerasain bedanya ngga?” Tanya Rama.
Fika mengangguk, “Oh aku paham sekarang. Lucu juga ya sekalipun ada embel-embel Blues, tapi RnB buat aku kerasa bukan Blues.”
“Kalau mau dijelasin makin panjang lagi sih, kalau...”
“Rama...”
Rama dan Fika menatap ke arah suara yang memanggil namanya, Sheryl sudah berdiri di sampingnya.
“Kenapa Sher?” Tanya Rama.
“Aku ganggu ngga? Aku mau minta tolong sih kalau ngga ganggu.” Ucap Sheryl.
“Ngga kok, mau minta tolong apa?” Tanya Rama.
“Ram, pinjem bentar ya.” Ucap Fika.
Fika meminjam handphone Rama untuk mendengarkan lagu, Rama pun mengangguk menyetujuinya. Fika memasang earphone di telinganya dan kembali mendengarkan lagu yang tadi dijelaskan oleh Rama.
Fika sesekali menatap ke arah Rama yang sedang berbincang dengan Sheryl di meja sebelah, ia hanya dapat melihat mereka sedang mencoret-coret di sebuah buku tulis milk Sheryl namun entah itu apa.
“Kamu pernah suka ngga sama dia?”
“Suka? Suka sama Rama maksud kamu?” Tanya Fika.
“Iya, kamu pernah ngerasain itu ngga? Soalnya kalian temenan udah lama. Buat aku sih, ngga ada pertemanan murni antara laki-laki dan perempuan. Pasti ada salah satu dari mereka yang menaruh perasaan.” Jelas Desi.
“Sayangnya ngga lagi Des. Mungkin emang pertemanan antara laki-laki dan perempuan agak susah diterima oleh banyak orang karena pada dasarnya ya akan ada perasaan yang muncul, tapi aku sama Rama ya ngga ada apa-apa.” Jelas Fika.
Desi mengangguk, “Aku baru pertama kali sih nemuin pertemanan yang murni kayak kalian. Eh tapi bukan maksud apa-apa ya aku nanya kayak gitu FIk, aku takut kamu salah paham aja.”
Fika tertawa pelan, “Nggapapa kok Des santai aja.”
Rama ke luar dari kelas dan melihat Fika sedang berbincang dengan Desi, ia pun menghampiri mereka.
“Eh Ram, pas banget nih. Tadi katanya Desi mau ngobrol sama kamu.”
“Ngobrol?” Tanya Rama.
“Udah ya, mau ke kamar mandi dulu.” Ucap Fika.
“Eh Fik...”
Fika meninggalkan Rama dan Desi, kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi lalu berdiri menghadap cermin. Dalam diam, ia menatap dirinya sendiri dari refleksi cermin yang ada di depannya.
“Fika... Fika...”
“Fika...”
Fika kembali mengedipkan matanya beberapa kali dengan cepat, kemudian ia menatap ke arah Rama yang sudah berdiri di sampingnya.
“Kamu ngga enak badan Fik?” Tanya Rama.
“Ngga enak badan?” Tanya Fika bingung.
“Kamu dari tadi ngelamun terus. Kalau ngga enak badan ngga usah olah raga dulu Fik, nanti aku bilang ke Guru.” Ucap Rama.
“Ngga kok Ram, aku sehat-sehat aja.” Ucap Fika.
“Beneran?” Tanya Rama.
Fika mengangguk dengan pasti. Mereka pun beranjak dari bangku taman menuju lapangan bersama dengan siswa-siswi yang lain. Pelajaran olah raga pun dimulai dengan pemanasan singkat, kemudian mereka berlari pelan mengitari lapangan sekolah beberapa putaran.
“Beneran kamu nggapapa Fik?” Tanya Rama.
Fika yang sedang berlari pelan menoleh ke arah kiri di mana Rama sudah berada di sampingnya.
“Beneran Ram, nggapapa.” Jawab Fika.
Beberapa putaran pun selesai. Mereka kembali berkumpul di tengah lapangan untuk mendengarkan penjelasan dari Guru mengenai materi singkat hari ini.
“Jadi untuk hari ini, kita akan melaksanakan marathon...”
Instruksi sudah dijelaskan, kemudian secara bergantian siswa-siswi berlari ke luar Sekolah sesuai jalanan yang sudah ditentukan tadi. Fika lari terlebih dahulu, Rama menyusul di belakang sesuai dengan absen mereka.
Satu kilometer sudah berlalu, beberapa siswa-siswi termasuk juga Fika sudah mulai kesulitan untuk mengatur nafas dan tenaga mereka. Rama yang awalnya ada di belakang Fika sudah berlari bersampingan dengannya.
“Pelan-pelan aja Fik, atur nafas.” Ucap Rama.
Fika menatap Rama dengan heran, bagaimana bisa Rama terlihat biasa saja sementara Fika sudah kesulitan mengatur nafas. Beberapa meter berlalu hingga mereka masuk ke dalam sebuah jalanan kecil di belakang Sekolah.
Jarak antar siswa sudah mulai tidak beraturan, Fika semakin kesulitan untuk mengatur nafasnya hingga ia memutuskan untuk berjalan pelan. Rama yang menyadari hal itu pun mengimbanginya agar tetap bisa berada di sampingnya.
“Atur nafas Fik.” Ucap Rama.
“Kamu... kok biasa aja sih? Aku udah capek banget.” Tanya Fika.
“Aku juga capek sebenernya.” Jawab Rama singkat.
Mereka berjalan melewati pepohonan rimbun yang membantu kondisi panas pada siang menjelang sore hari ini. Beberapa siswa melewati mereka begitu saja.
“Kamu kalau mau duluan aja Ram, aku kayaknya bakalan jalan sampai Sekolah.” Ucap Fika.
“Kamu yakin?” Tanya Rama.
Fika mengangguk dengan pasti.
“Kalau gitu, aku tunggu di Sekolah ya.” Ucap Rama.
Rama kembali berlari. Fika berjalan dengan santai sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah, sesekali ia berhenti sambil meletakkan tangannya di pinggang. Fika menatap ke arah depan, ia sudah tidak menemukan Rama lagi.
“Udah ngga kelihatan aja. Mending lari lagi deh, kalau ngga pasti diomelin nanti.” Ucapnya seorang diri.
Fika mencoba untuk kembali berlari kecil untuk mengejar ketertinggalannya. Jalanan sedikit berbatu, sayangnya Fika yang sudah lelah harus terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangannya.
Ia pun duduk sambil meluruskan kakinya, celana olah raga panjang yang ia kenakan sedikit robek. Fika menggulung celana yang sedikit robek itu, didapatinya luka pada lutut kirinya.
Tetes keringat mengalir pada wajahnya, ia menatap ke atas. Ada celah di antara pepohonan rimbun yang membuat sinar matahari hanya menyinari wajahnya, ia pun menutup matanya sesaat.
“Udah aku duga...”
Fika membuka matanya, ia melihat Rama yang sudah berdiri di sampingnya.
“Loh Rama...”
“Parah ngga? Yaudah ayo aku gendong aja sampai Sekolah.” Ucap Rama.
Rama membungkukkan badannya agar Fika bisa naik ke punggungnya. Ia melihat ke arah Fika yang masih terduduk menatap ke arahnya.
“Kamu nunggu apa Fik? Bentar lagi jam pulang sekolah.” Ucap Rama.
Fika kembali mengedipkan matanya dengan cepat, ia bangun lalu naik ke punggung Rama dengan perlahan. Setelah dirasa aman, Rama kembali menegakkan badannya lalu menyesuaikan Fika agar ia nyaman dipunggungnya. Rama mulai berjalan pelan melewati jalan bebatuan kecil yang tadi membuat Fika terjatuh.
“Sakit ngga Fik?” Tanya Rama.
“Hm, sedikit Ram.” Jawabnya singkat.
Mereka berbelok di pertigaan, sebentar lagi mereka akan kembali ke Sekolah.
“Ram, kamu tadi udah sampai mana? Awalnya aku udah ngga ngeliat kamu, tapi abis aku jatuh tiba-tiba udah ada kamu lagi.” Tanya Fika.
“Belum jauh banget Fik. Aku bisa denger ada orang jatuh, pas aku balik bener ternyata kamu.” Jawabnya.
Fika mengangguk pelan. Tangannya yang mengalung pada leher Rama dapat merasakan detak jantung di dadanya. Fika tersenyum begitu saja, kemudian ia mencoba untuk melihat wajah Rama dari belakang. Ia hanya mendapati sebagian kecil wajah Rama, namun nampak jelas bahwa itu adalah Rama.
“Makasih ya Ram.” Ucap Fika.
“Buat apa?” Tanya Rama.
Fika tertawa pelan tanpa menjawab pertanyaan yang Rama berikan, Rama pun nampak tidak mempertanyakannya lagi. Mereka terus berjalan untuk kembali ke Sekolah pada sore hari ini.
*
“Hah... Hah... Hah...”
Rama duduk sambil mengatur nafasnya setelah ia tiba di Sekolah bersama dengan beberapa siswa. Guru olah raga berjalan mendekat ke arah Rama.
“Tumben kamu agak lambat Ram?” Tanya Guru.
“Tadi ngobrol sama Fika Pak.” Jawab Rama.
“Terus Fika mana Ram? Kok belum sampai? Harusnya udah sampai, minimal udah kelihatan.”
Rama bangun dari duduknya lalu kembali berlari ke arah berlawanan. Ia terus berlari menyusuri jalanan yang tadi sudah ia lewati, kemudian berbelok ke arah belakang Sekolah di mana jalanan sedikit berbatu.
Ia pun memelankan langkahnya setelah melihat Fika yang sudah terduduk di jalanan berbatu. Rama juga melihat dengan jelas celana panjang Fika yang sudah tergulung, begitu juga dengan luka yang ada di lututnya.
Ia berhenti sejenak, melihat Fika yang sedang memejamkan matanya dengan sorotan sinar matahari yang hanya ke arah wajahnya.
i4munited memberi reputasi
1
Kutip
Balas