- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
![JANJI? (MINI SERIES)](https://s.kaskus.id/images/2021/11/29/8270809_202111290417520151.png)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
![ippeh22](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/02/06/avatar9575917_1.gif)
![kuda.unta](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/03/09/avatar7742361_18.gif)
![ndoro_mant0](https://s.kaskus.id/user/avatar/2008/02/20/avatar404250_9.gif)
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
#3
Episode 2
Spoiler for Episode 2:
“Halo, nama kamu siapa?”
“Nama aku Diorama, kamu siapa?”
“Aku Defika. Nama kamu panjang ya Diorama.”
“Gimana kalau kamu panggil aku Rama aja?”
“Boleh, kamu juga panggil aku FIka aja.”
“Oke...”
Semua berawal dari sana, pertama kali Fika mengenal Rama saat mereka masuk Taman Kanak-kanak. Entah bagaimana caranya, mereka langsung bisa saling mengakrabkan diri. Tak berhenti sampai di situ saja, bahkan berlanjut.
“Loh Ram, kamu sekolah di SD ini juga?” Tanya Fika.
“Iya dong, kan rumah aku di depan sini. Yang harusnya nanya tuh aku, kenapa kamu sekolah jauh sampai ke sini?” Ucap Rama.
“Aku ikutin Mama aja mau daftarin aku di mana, ternyata ketemu lagi sama kamu.” Jawab Fika.
“Ada bagusnya sih kamu di sini, aku jadi udah punya temen duluan.” Ucap Rama.
“Iya, semoga kita sekelas ya.” Kata Fika.
Dan masih berlanjut.
“Fik, kamu diterima di SMP mana?” Tanya Rama.
“SMP C Ram, kamu gimana?” Ucap Fika.
“SMP C? Serius?” Tanya Rama sekali lagi.
“Kamu di sana juga?” Tanya Fika balik.
“Iya, aku di sana juga Fik.” Jawab Rama.
“Akhirnya aku punya barengan di sana. Aku udah mikir pasti susah nyari temen kalau sekolah di sana.” Ucap Fika.
“Maksudnya gimana Fik?” Tanya Rama.
“Aku pernah denger nih Ram, katanya yang sekolah di sana itu orangnya pinter-pinter. Aku udah ngebayangin pasti susah nyari temen di sana, eh ternyata kamu di sana juga.” Jelas Fika.
“Susah nyari temen karena orangnya pinter-pinter tuh kayaknya ngga masuk akal deh Fik, ngga ada hubungannya.” Sahut Rama.
“Ada hubungannya tau Ram. Mereka pinter-pinter, pasti belajar terus, aku jamin sosialisasi mereka minim, jadi akan susah buat temenan sama mereka.” Jelas Fika.
“Masih ngga masuk akal ah Fik buat aku.” Sanggah Rama.
“Kalau ngga percaya kita buktiin aja nanti.” Kata Fika.
Dan terus berlanjut.
Rama berjalan menuju papan pengumuman yang terpajang di dekat pintu gerbang SMA B. Ada beberapa orang yang sudah berdiri untuk melihat pengumuman penerimaan siswa baru, secara perlahan Rama mulai maju untuk melihat apakah ada namanya di sana.
“D.. D.. D.. Defika.. Hm, Defika? Dia daftar di sini juga?” Tanya Rama dalam hati.
Tepat di bawah nama Defika, tercantum nama Rama di sana. Ia pun menjauh dari kerumunan orang-orang, kemudian ia mengeluarkan handphone untuk menghubungi Fika.
“Rama..”
“Loh Fik, baru aja aku mau telfon kamu.” Ucap Rama.
“Kamu daftar di sini juga?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Aku diterima, kamu juga diterima.”
“Serius Ram?” Tanya Fika lagi.
“Iya, nama kamu masih Defika Ayu Maharani kan?” Ucap Rama.
“Iya bener lagi, tapi aku masih mau liat sendiri Ram.” Ucap Fika.
“Yaudah ayo kita liat.”
Mereka kembali ke arah papan pengumuman untuk menghilangkan rasa penasaran Fika, ia pun melihat namanya di sana.
“Oh iya bener. Nama kamu di bawah aku, Diorama Mahameru.” Ucap Fika.
Hingga saat ini. Mungkin akan terus berlanjut jika semesta mendukung, atau mereka sengaja untuk terus bersama. Akan muncul sebuah pertanyaan dari kalian, apakah semuanya murni karena pertemanan? Apakah ada sesuatu yang tersembunyi antara satu sama lain?”
Pintu terbuka dari dalam, dengan cepat Fika melempar senyum terbaiknya pada pagi hari ini.
“Eh Kak Fika, apa kabar Kak? Ayo masuk.”
“Baik dong, kamu sendiri gimana kabarnya Lea? Ngomong-ngomong, Ibu ada?” Ucap Fika.
“Ada, ayo masuk.” Ajak Lea.
Fika mengikuti Lea dari belakang, ia berjalan masuk menuju ruang tamu. Di sana terlihat seorang perempuan yang sedang membaca buku sambil duduk bersandar di Sofa.
“Ibu, ada yang nyariin nih.” Ucap Lea.
“Siapa De?...” Ibu melihat ke arah mereka, “Eh, ada Fika ternyata. Kamu apa kabarnya?”
“Baik kok Bu...” Fika memeluk Ibu, “Ibu sendiri gimana kabarnya? Ngomong-ngomong, aku bawain ini buat Ibu sama Lea.”
“Apa ini Fik? Ibu jadi ngerepotin kamu lagi.” Ucap Ibu.
“Ngga kok Bu, emang aku sengaja bawain.” Jawab Fika.
“Makasih ya Fik. Kamu naik aja ke atas, Rama udah bangun kok, atau kalian emang janjian?” Ucap Ibu.
“Ngga kok Bu, aku ngga bilang dia kalau mau main ke sini.” Jawab Fika.
“Yaudah kamu naik aja.” Ucap Ibu.
Fika beranjak dari Sofa, ia menaiki anak tangga untuk menuju kamar Rama. Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu kamar. DIdapatinya Rama yang sedang duduk di atas kasur sambil menonton TV.
“Loh, dari kapan Fik?” Tanya Rama.
“Baru aja Ram. Nonton apa sih?...” Fika pun duduk di samping Rama, “Ya ampun Ram, udah umur segini masih nonton kartun juga?” Tanya Fika.
“Wajar dong Fik, Minggu pagi pasti acara TV hampir semuanya kartun. Eh iya, ada apa ini ya? Ngga mungkin banget kamu tiba-tiba ke sini hari Minggu.” Kata Rama.
“Tau aja. Aku lagi bosen di Rumah sendirian.” Jawab Fika.
“Papa tugas ke luar lagi?” Tanya Rama.
“Ya begitu deh Ram, kamu tau sendiri. Eh iya, aku bawain makanan tuh di bawah.” Ucap Fika.
“Paling juga abis duluan sama Lea.” Kata Rama.
Mereka tertawa kecil bersama. Beberapa saat berlalu, mereka terpaku sambil menyaksikan kartun di TV. Sesekali mereka tertawa bersama ketika ada adegan yang lucu, hingga kartun yang mereka tonton pun habis.
“Ram, nanti ingetin aku ya buat pinjem buku catatan Kimia kamu yang kemarin. Aku kan belum nulis apa-apa.” Ucap Fika.
“Kamu ambil aja sekarang biar ngga lupa, itu ada di atas meja di samping lampu.” Jawab Rama.
Fika bangun dari duduknya, ia beranjak menuju meja. Ia pun melihat buku catatan yang akan dipinjam.
“Ram, aku pinjem ya.” Ucapnya.
Rama mengangguk pertanda setuju. Pintu terbuka dari luar, Rama dan Fika sama-sama menatap ke arah pintu. Masuklah Lea sambil membawa buku tulis miliknya lalu duduk di samping Rama.
“Abang, bantuin Lea ngerjain tugas dong.” Ajak Lea.
“Tugas apa?” Tanya Rama.
“Kimia, Lea ngga ngerti sama sekali masa.” Ucap Lea.
“Mana coba liat, masa kamu gitu aja ngga bisa.” Ucap Rama.
Fika pun duduk di bangku sambil menatap ke arah mereka dan tersenyum kecil. Rama mulai mengerjakan tugas milik Lea yang dirasa susah, sayangnya tidak berlaku baginya. Hanya membutuhkan waktu yang cukup sebentar baginya untuk menjawab semua soal tersebut. Lea hanya memandang takjub, sementara Fika kembali tersenyum.
“Nih, sekarang Abang jelasin ya. Jadi...”
“Udah selesai Bang?” Tanya Lea terkejut.
Rama mengangguk pelan, ia sempat menatap ke arah Fika yang kemudian mengacungkan ibu jari tangan kepadanya. Rama mulai menjelaskan kepada Lea secara perlahan tentang soal-soal yang baru saja ia kerjakan. Sesekali ia menatap ke arah Fika, mereka saling melempar senyum begitu saja.
Waktu berjalan begitu saja, tak terasa sore sudah menjelang. Fika sedang berbaring di atas tempat tidur sambil memainkan handphone miliknya. Rama masuk ke dalam kamarnya sekembalinya dari lantai bawah.
“Ram...” Fika bangun dari posisi tidurnya, “aku pulang dulu ya. Ngga berasa udah sore ternyata.”
Rama menganggukkan kepalanya. Mereka berjalan bersama menuju lantai bawah, Fika menghampiri Ibu yang sedang bersama Lea di halaman depan rumah.
“Kamu mau pulang Fik?” Tanya Ibu.
“Iya Bu, ngga berasa udah sore aja. Aku pamit ya Bu.” Jawabnya.
“Dadah Kak Fika.” Sahut Lea.
“Ayo Fik.”
Fika membalikkan badannya, ia melihat Rama yang sudah duduk di atas motornya lengkap dengan helm di kepalanya.
“Kamu mau ke mana Ram?” Tanya Fika bingung.
“Katanya kamu mau pulang tadi, yaudah ayo.” Jawab Rama.
Fika kembali tersenyum, ia pun naik di belakang setelah mengenakan helm. Motor melaju meninggalkan Rumah Rama menuju Rumah Fika. Beberapa saat berlalu, Fika mendekatkan kepalanya kepada Rama.
“Aku sangka tadi kamu mau ke mana, taunya mau nganterin aku.” Ucap Fika.
“Tadi kamu ke rumah aku naik apa?” Tanya Rama.
“Naik Ojek, kenapa Ram?” Ucap Fika.
“Kasian kamu kalau harus naik Ojek lagi. Kalau aku yang anterin kan uangnya bisa buat jajanin aku.” Ucap Rama.
Mereka tertawa bersamaan.
“Makasih ya Ram, udah mau nganterin.” Sahut Fika.
“Santai aja, kayak sama siapa aja Fik.” Katanya.
Fika kembali tersenyum. Beberapa menit berlalu, mereka pun tiba di Rumah Fika. Ia turun terlebih dahulu, lalu diikuti Rama. Mereka beranjak menuju bangku yang ada di halaman depan.
“Kamu mau minum apa Ram?” Tanya Fika.
“Ngga usah lah, ngerepotin kamu aja.” Jawabnya.
“Gimana aku yang dari pagi di rumah kamu? Udah aku bikinin minum, tunggu bentar ya.”
Tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat FIka kembali ke halaman depan, ia meletakkan dua cangkir teh di atas meja lalu duduk di samping Rama.
“Makasih ya Fik. Eh iya, Papa pulang kapan berarti?” Ucap Rama.
Fika berfikir sejenak, “Kalau aku ngga salah sih sampai minggu depan, tapi seinget aku juga abis itu dia bakalan pergi lagi. Jadi ya ada kali dua minggu deh.”
Rama mengangguk pelan, “Kalau ada apa-apa langsung kabarin aku aja, siapa tau aku bisa bantuin kamu.”
Fika tersenyum sambil mengangguk pelan. Secara bersamaan mereka mengangkat cangkir masing-masing lalu meminum teh secara perlahan.
“Eh iya Ram, kamu masih inget temen SMP kita yang namanya Desi ngga?” Tanya Fika.
“Desi?...” Rama meletakkan cangkir di atas meja, “Desi yang main biola?”
“Bener, aku kira kamu udah lupa.” Ucap Fika.
“Kebetulan aja kali, emang kenapa?” Ucap Rama.
“Jadi kan dua hari lalu tiba-tiba ada yang hubungin aku, cuma aku ngga sadar itu siapa karena ngga ada namanya. Ternyata dia itu Desi temen SMP kita...”
Rama memperhatikan dengan seksama.
“...Terus tiba-tiba aja, dia nanyain kamu. Aku langsung mikir, kayaknya rumor waktu itu bener deh. Sampai akhirnya dia minta nomor kamu, cuma belum aku kasih karena aku belum nanya kamu.” Jelas Fika.
“Bentar, bentar, bentar. Rumor waktu itu? Rumor apa?” Tanya Rama bingung.
“Dulu kan ada rumor kalau si Desi itu suka sama kamu Ram. Kamu aja yang ngga pernah mau tau soal itu.” Jawab Fika.
Rama menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas.
“Jadi, aku boleh nih ngasih nomor kamu ke Desi?” Tanya Fika menggoda.
“Kamu tentuin sendiri aja Fik, aku percaya sama kamu.” Jawab Rama.
Sore berlanjut begitu saja hingga malam pun tiba.
“Aku pulang dulu ya Fik, kalau ada apa-apa kabarin aja.” Ucap Rama.
“Iya, makasih ya Ram. Hati-hati di jalan.” Kata Fika.
Rama mengangguk dengan pasti, kemudian ia bergerak meninggalkan Fika dengan motornya untuk kembali pulang ke Rumah. Fika masih memperhatikan Rama yang semakin menjauh, lalu menghilang di pertigaan jalan perumahannya.
Fika menutup gerbang rumahnya, kemudian ia berjalan masuk membawa dua cangkir kosong menuju dapur. Ia menyempatkan diri untuk mencuci cangkir tersebut lalu meletakkan kembali pada tempatnya.
Ia beranjak dari dapur, dengan langkah yang santai menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Pintu kamar ia buka, suasana nyaman menyambutnya seperti biasa. Fika meletakkan tas kecil yang ia bawa di atas meja, kemudian ia duduk bersandar pada bangku.
Ia tersenyum begitu saja, melihat sebuah bingkai foto yang terpajang di atas meja. Foto dirinya yang sedang melambaikan tangan ke arah kamera, berdiri di antara Papa dan juga Mama. Ia pun mengambil bingkai tersebut untuk melihatnya lebih dekat.
Ting!Fika melihat ke arah handphone miliknya, sebuah pesan masuk yang kembali membuatnya tersenyum.
“Aku udah sampai rumah.”
Dengan segera, ia membalas pesan tersebut. Fika kembali meletakkan handphone di atas meja, ia kembali menatap ke arah foto tersebut.
“Andai aja Mama masih ada, aku bakalan tanya langsung ke Mama. Sayang Mama udah dipanggil duluan, aku jadi bingung sendiri jadinya.” Ucapnya seorang diri.
Fika menghela nafasnya, ia meletakkan bingkai itu di tempat semula sambil bangun dari duduknya. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil memegang handphone. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamarnya.
“Fika...”
Fika menoleh ke arah belakang, Desi berjalan mendekat ke arahnya sambil membawa dua botol minuman dingin yang berasal dari kantin.
“...buat kamu Fik.” Ucap Desi.
“Ada apa Des? Tumben banget.” Tanya Fika heran.
“Nggapapa sih, tadi aku mau beli satu cuma ngga ada kembalian. Jadinya aku beli dua aja sekalian, eh pas banget ngeliat kamu.” Jelas Desi.
Fika mengangguk, “Makasih ya Des.”
“Eh iya, aku penasaran deh. Sebenernya kamu ada hubungan apa sih sama Rama? Dari kelas satu kalian selalu bareng terus. Aku jadi penasaran aja.” Tanya Desi.
“Aku temen kecil sama Rama, dari dulu sampai sekarang. Bentar deh, kamu suka ya sama Rama?” Ucap Fika.
“Ng.. Ngga kok. Kamu denger dari siapa?” Tanya Desi.
“Hm, ada banyak sih yang ngomongin kalau kamu sebenernya suka sama Rama. Aku ngga tau sih bener apa ngga, tapi abis kamu nanya kayak tadi kayaknya semuanya bener deh.” Jelas Fika.
“Ng.. Ngga kok Fik, itu cuma rumor aja.” Jawab Desi.
Fika mengangguk pelan.
“Aku penasaran deh, kalau kamu sama Rama udah temenan dari kecil...”
“...”
“...kamu pernah suka ngga sama dia?”
“Nama aku Diorama, kamu siapa?”
“Aku Defika. Nama kamu panjang ya Diorama.”
“Gimana kalau kamu panggil aku Rama aja?”
“Boleh, kamu juga panggil aku FIka aja.”
“Oke...”
Semua berawal dari sana, pertama kali Fika mengenal Rama saat mereka masuk Taman Kanak-kanak. Entah bagaimana caranya, mereka langsung bisa saling mengakrabkan diri. Tak berhenti sampai di situ saja, bahkan berlanjut.
“Loh Ram, kamu sekolah di SD ini juga?” Tanya Fika.
“Iya dong, kan rumah aku di depan sini. Yang harusnya nanya tuh aku, kenapa kamu sekolah jauh sampai ke sini?” Ucap Rama.
“Aku ikutin Mama aja mau daftarin aku di mana, ternyata ketemu lagi sama kamu.” Jawab Fika.
“Ada bagusnya sih kamu di sini, aku jadi udah punya temen duluan.” Ucap Rama.
“Iya, semoga kita sekelas ya.” Kata Fika.
Dan masih berlanjut.
“Fik, kamu diterima di SMP mana?” Tanya Rama.
“SMP C Ram, kamu gimana?” Ucap Fika.
“SMP C? Serius?” Tanya Rama sekali lagi.
“Kamu di sana juga?” Tanya Fika balik.
“Iya, aku di sana juga Fik.” Jawab Rama.
“Akhirnya aku punya barengan di sana. Aku udah mikir pasti susah nyari temen kalau sekolah di sana.” Ucap Fika.
“Maksudnya gimana Fik?” Tanya Rama.
“Aku pernah denger nih Ram, katanya yang sekolah di sana itu orangnya pinter-pinter. Aku udah ngebayangin pasti susah nyari temen di sana, eh ternyata kamu di sana juga.” Jelas Fika.
“Susah nyari temen karena orangnya pinter-pinter tuh kayaknya ngga masuk akal deh Fik, ngga ada hubungannya.” Sahut Rama.
“Ada hubungannya tau Ram. Mereka pinter-pinter, pasti belajar terus, aku jamin sosialisasi mereka minim, jadi akan susah buat temenan sama mereka.” Jelas Fika.
“Masih ngga masuk akal ah Fik buat aku.” Sanggah Rama.
“Kalau ngga percaya kita buktiin aja nanti.” Kata Fika.
Dan terus berlanjut.
Rama berjalan menuju papan pengumuman yang terpajang di dekat pintu gerbang SMA B. Ada beberapa orang yang sudah berdiri untuk melihat pengumuman penerimaan siswa baru, secara perlahan Rama mulai maju untuk melihat apakah ada namanya di sana.
“D.. D.. D.. Defika.. Hm, Defika? Dia daftar di sini juga?” Tanya Rama dalam hati.
Tepat di bawah nama Defika, tercantum nama Rama di sana. Ia pun menjauh dari kerumunan orang-orang, kemudian ia mengeluarkan handphone untuk menghubungi Fika.
“Rama..”
“Loh Fik, baru aja aku mau telfon kamu.” Ucap Rama.
“Kamu daftar di sini juga?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Aku diterima, kamu juga diterima.”
“Serius Ram?” Tanya Fika lagi.
“Iya, nama kamu masih Defika Ayu Maharani kan?” Ucap Rama.
“Iya bener lagi, tapi aku masih mau liat sendiri Ram.” Ucap Fika.
“Yaudah ayo kita liat.”
Mereka kembali ke arah papan pengumuman untuk menghilangkan rasa penasaran Fika, ia pun melihat namanya di sana.
“Oh iya bener. Nama kamu di bawah aku, Diorama Mahameru.” Ucap Fika.
Hingga saat ini. Mungkin akan terus berlanjut jika semesta mendukung, atau mereka sengaja untuk terus bersama. Akan muncul sebuah pertanyaan dari kalian, apakah semuanya murni karena pertemanan? Apakah ada sesuatu yang tersembunyi antara satu sama lain?”
Pintu terbuka dari dalam, dengan cepat Fika melempar senyum terbaiknya pada pagi hari ini.
“Eh Kak Fika, apa kabar Kak? Ayo masuk.”
“Baik dong, kamu sendiri gimana kabarnya Lea? Ngomong-ngomong, Ibu ada?” Ucap Fika.
“Ada, ayo masuk.” Ajak Lea.
Fika mengikuti Lea dari belakang, ia berjalan masuk menuju ruang tamu. Di sana terlihat seorang perempuan yang sedang membaca buku sambil duduk bersandar di Sofa.
“Ibu, ada yang nyariin nih.” Ucap Lea.
“Siapa De?...” Ibu melihat ke arah mereka, “Eh, ada Fika ternyata. Kamu apa kabarnya?”
“Baik kok Bu...” Fika memeluk Ibu, “Ibu sendiri gimana kabarnya? Ngomong-ngomong, aku bawain ini buat Ibu sama Lea.”
“Apa ini Fik? Ibu jadi ngerepotin kamu lagi.” Ucap Ibu.
“Ngga kok Bu, emang aku sengaja bawain.” Jawab Fika.
“Makasih ya Fik. Kamu naik aja ke atas, Rama udah bangun kok, atau kalian emang janjian?” Ucap Ibu.
“Ngga kok Bu, aku ngga bilang dia kalau mau main ke sini.” Jawab Fika.
“Yaudah kamu naik aja.” Ucap Ibu.
Fika beranjak dari Sofa, ia menaiki anak tangga untuk menuju kamar Rama. Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu kamar. DIdapatinya Rama yang sedang duduk di atas kasur sambil menonton TV.
“Loh, dari kapan Fik?” Tanya Rama.
“Baru aja Ram. Nonton apa sih?...” Fika pun duduk di samping Rama, “Ya ampun Ram, udah umur segini masih nonton kartun juga?” Tanya Fika.
“Wajar dong Fik, Minggu pagi pasti acara TV hampir semuanya kartun. Eh iya, ada apa ini ya? Ngga mungkin banget kamu tiba-tiba ke sini hari Minggu.” Kata Rama.
“Tau aja. Aku lagi bosen di Rumah sendirian.” Jawab Fika.
“Papa tugas ke luar lagi?” Tanya Rama.
“Ya begitu deh Ram, kamu tau sendiri. Eh iya, aku bawain makanan tuh di bawah.” Ucap Fika.
“Paling juga abis duluan sama Lea.” Kata Rama.
Mereka tertawa kecil bersama. Beberapa saat berlalu, mereka terpaku sambil menyaksikan kartun di TV. Sesekali mereka tertawa bersama ketika ada adegan yang lucu, hingga kartun yang mereka tonton pun habis.
“Ram, nanti ingetin aku ya buat pinjem buku catatan Kimia kamu yang kemarin. Aku kan belum nulis apa-apa.” Ucap Fika.
“Kamu ambil aja sekarang biar ngga lupa, itu ada di atas meja di samping lampu.” Jawab Rama.
Fika bangun dari duduknya, ia beranjak menuju meja. Ia pun melihat buku catatan yang akan dipinjam.
“Ram, aku pinjem ya.” Ucapnya.
Rama mengangguk pertanda setuju. Pintu terbuka dari luar, Rama dan Fika sama-sama menatap ke arah pintu. Masuklah Lea sambil membawa buku tulis miliknya lalu duduk di samping Rama.
“Abang, bantuin Lea ngerjain tugas dong.” Ajak Lea.
“Tugas apa?” Tanya Rama.
“Kimia, Lea ngga ngerti sama sekali masa.” Ucap Lea.
“Mana coba liat, masa kamu gitu aja ngga bisa.” Ucap Rama.
Fika pun duduk di bangku sambil menatap ke arah mereka dan tersenyum kecil. Rama mulai mengerjakan tugas milik Lea yang dirasa susah, sayangnya tidak berlaku baginya. Hanya membutuhkan waktu yang cukup sebentar baginya untuk menjawab semua soal tersebut. Lea hanya memandang takjub, sementara Fika kembali tersenyum.
“Nih, sekarang Abang jelasin ya. Jadi...”
“Udah selesai Bang?” Tanya Lea terkejut.
Rama mengangguk pelan, ia sempat menatap ke arah Fika yang kemudian mengacungkan ibu jari tangan kepadanya. Rama mulai menjelaskan kepada Lea secara perlahan tentang soal-soal yang baru saja ia kerjakan. Sesekali ia menatap ke arah Fika, mereka saling melempar senyum begitu saja.
Waktu berjalan begitu saja, tak terasa sore sudah menjelang. Fika sedang berbaring di atas tempat tidur sambil memainkan handphone miliknya. Rama masuk ke dalam kamarnya sekembalinya dari lantai bawah.
“Ram...” Fika bangun dari posisi tidurnya, “aku pulang dulu ya. Ngga berasa udah sore ternyata.”
Rama menganggukkan kepalanya. Mereka berjalan bersama menuju lantai bawah, Fika menghampiri Ibu yang sedang bersama Lea di halaman depan rumah.
“Kamu mau pulang Fik?” Tanya Ibu.
“Iya Bu, ngga berasa udah sore aja. Aku pamit ya Bu.” Jawabnya.
“Dadah Kak Fika.” Sahut Lea.
“Ayo Fik.”
Fika membalikkan badannya, ia melihat Rama yang sudah duduk di atas motornya lengkap dengan helm di kepalanya.
“Kamu mau ke mana Ram?” Tanya Fika bingung.
“Katanya kamu mau pulang tadi, yaudah ayo.” Jawab Rama.
Fika kembali tersenyum, ia pun naik di belakang setelah mengenakan helm. Motor melaju meninggalkan Rumah Rama menuju Rumah Fika. Beberapa saat berlalu, Fika mendekatkan kepalanya kepada Rama.
“Aku sangka tadi kamu mau ke mana, taunya mau nganterin aku.” Ucap Fika.
“Tadi kamu ke rumah aku naik apa?” Tanya Rama.
“Naik Ojek, kenapa Ram?” Ucap Fika.
“Kasian kamu kalau harus naik Ojek lagi. Kalau aku yang anterin kan uangnya bisa buat jajanin aku.” Ucap Rama.
Mereka tertawa bersamaan.
“Makasih ya Ram, udah mau nganterin.” Sahut Fika.
“Santai aja, kayak sama siapa aja Fik.” Katanya.
Fika kembali tersenyum. Beberapa menit berlalu, mereka pun tiba di Rumah Fika. Ia turun terlebih dahulu, lalu diikuti Rama. Mereka beranjak menuju bangku yang ada di halaman depan.
“Kamu mau minum apa Ram?” Tanya Fika.
“Ngga usah lah, ngerepotin kamu aja.” Jawabnya.
“Gimana aku yang dari pagi di rumah kamu? Udah aku bikinin minum, tunggu bentar ya.”
Tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat FIka kembali ke halaman depan, ia meletakkan dua cangkir teh di atas meja lalu duduk di samping Rama.
“Makasih ya Fik. Eh iya, Papa pulang kapan berarti?” Ucap Rama.
Fika berfikir sejenak, “Kalau aku ngga salah sih sampai minggu depan, tapi seinget aku juga abis itu dia bakalan pergi lagi. Jadi ya ada kali dua minggu deh.”
Rama mengangguk pelan, “Kalau ada apa-apa langsung kabarin aku aja, siapa tau aku bisa bantuin kamu.”
Fika tersenyum sambil mengangguk pelan. Secara bersamaan mereka mengangkat cangkir masing-masing lalu meminum teh secara perlahan.
“Eh iya Ram, kamu masih inget temen SMP kita yang namanya Desi ngga?” Tanya Fika.
“Desi?...” Rama meletakkan cangkir di atas meja, “Desi yang main biola?”
“Bener, aku kira kamu udah lupa.” Ucap Fika.
“Kebetulan aja kali, emang kenapa?” Ucap Rama.
“Jadi kan dua hari lalu tiba-tiba ada yang hubungin aku, cuma aku ngga sadar itu siapa karena ngga ada namanya. Ternyata dia itu Desi temen SMP kita...”
Rama memperhatikan dengan seksama.
“...Terus tiba-tiba aja, dia nanyain kamu. Aku langsung mikir, kayaknya rumor waktu itu bener deh. Sampai akhirnya dia minta nomor kamu, cuma belum aku kasih karena aku belum nanya kamu.” Jelas Fika.
“Bentar, bentar, bentar. Rumor waktu itu? Rumor apa?” Tanya Rama bingung.
“Dulu kan ada rumor kalau si Desi itu suka sama kamu Ram. Kamu aja yang ngga pernah mau tau soal itu.” Jawab Fika.
Rama menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas.
“Jadi, aku boleh nih ngasih nomor kamu ke Desi?” Tanya Fika menggoda.
“Kamu tentuin sendiri aja Fik, aku percaya sama kamu.” Jawab Rama.
Sore berlanjut begitu saja hingga malam pun tiba.
“Aku pulang dulu ya Fik, kalau ada apa-apa kabarin aja.” Ucap Rama.
“Iya, makasih ya Ram. Hati-hati di jalan.” Kata Fika.
Rama mengangguk dengan pasti, kemudian ia bergerak meninggalkan Fika dengan motornya untuk kembali pulang ke Rumah. Fika masih memperhatikan Rama yang semakin menjauh, lalu menghilang di pertigaan jalan perumahannya.
Fika menutup gerbang rumahnya, kemudian ia berjalan masuk membawa dua cangkir kosong menuju dapur. Ia menyempatkan diri untuk mencuci cangkir tersebut lalu meletakkan kembali pada tempatnya.
Ia beranjak dari dapur, dengan langkah yang santai menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Pintu kamar ia buka, suasana nyaman menyambutnya seperti biasa. Fika meletakkan tas kecil yang ia bawa di atas meja, kemudian ia duduk bersandar pada bangku.
Ia tersenyum begitu saja, melihat sebuah bingkai foto yang terpajang di atas meja. Foto dirinya yang sedang melambaikan tangan ke arah kamera, berdiri di antara Papa dan juga Mama. Ia pun mengambil bingkai tersebut untuk melihatnya lebih dekat.
Ting!Fika melihat ke arah handphone miliknya, sebuah pesan masuk yang kembali membuatnya tersenyum.
“Aku udah sampai rumah.”
Dengan segera, ia membalas pesan tersebut. Fika kembali meletakkan handphone di atas meja, ia kembali menatap ke arah foto tersebut.
“Andai aja Mama masih ada, aku bakalan tanya langsung ke Mama. Sayang Mama udah dipanggil duluan, aku jadi bingung sendiri jadinya.” Ucapnya seorang diri.
Fika menghela nafasnya, ia meletakkan bingkai itu di tempat semula sambil bangun dari duduknya. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil memegang handphone. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamarnya.
“Fika...”
Fika menoleh ke arah belakang, Desi berjalan mendekat ke arahnya sambil membawa dua botol minuman dingin yang berasal dari kantin.
“...buat kamu Fik.” Ucap Desi.
“Ada apa Des? Tumben banget.” Tanya Fika heran.
“Nggapapa sih, tadi aku mau beli satu cuma ngga ada kembalian. Jadinya aku beli dua aja sekalian, eh pas banget ngeliat kamu.” Jelas Desi.
Fika mengangguk, “Makasih ya Des.”
“Eh iya, aku penasaran deh. Sebenernya kamu ada hubungan apa sih sama Rama? Dari kelas satu kalian selalu bareng terus. Aku jadi penasaran aja.” Tanya Desi.
“Aku temen kecil sama Rama, dari dulu sampai sekarang. Bentar deh, kamu suka ya sama Rama?” Ucap Fika.
“Ng.. Ngga kok. Kamu denger dari siapa?” Tanya Desi.
“Hm, ada banyak sih yang ngomongin kalau kamu sebenernya suka sama Rama. Aku ngga tau sih bener apa ngga, tapi abis kamu nanya kayak tadi kayaknya semuanya bener deh.” Jelas Fika.
“Ng.. Ngga kok Fik, itu cuma rumor aja.” Jawab Desi.
Fika mengangguk pelan.
“Aku penasaran deh, kalau kamu sama Rama udah temenan dari kecil...”
“...”
“...kamu pernah suka ngga sama dia?”
![i4munited](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/04/04/avatar6638442_7.gif)
i4munited memberi reputasi
1
Kutip
Balas