Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Langit gelap, Hujan, dan ‘Drowning’nya Backstreet Boys menggema melalui tape deck di dalam mobil. Kali ini Larissa nggak menghabiskan waktu di mobil dengan tidur, ia sibuk ikut bernyanyi sambil mencontek lirik lagu yang tertera pada bagian dalam cover album.
“Every time I breathe, I take you in, And my heart beats again. Baby, I can't help it. You keep me drowning in your love…”
“...”
“...I can't imagine. Life without your love… and even forever don't seem like long enough…”
“...”
“Suara gw bagus kan, Bi?” Tanyanya.
“Bagus kok, harusnya lo ikut kompetisi masak” gua menjawab dengan sebuah sindiran.
Mendengar jawaban gua barusan ia mendekat, menarik telinga gua dan kembali menyanyi dengan suara lebih keras dan sengaja dibuat sesumbang mungkin.
“Mau mampir ke mall dulu nggak?” Larissa kembali bertanya begitu kami keluar dari pintu tol dan masuk ke jalan protokol.
“Mau ngapain, emang belum puas jalan-jalannya?” Gua balik bertanya.
“Beliin lo sepatu..” Jawabnya, sambil melirik ke arah ke dua kaki gua yang berada di pedal bagian bawah.
“Nggak usah, ini masih bagus…”
“Udah jelek” Responnya, masih sambil memperhatikan sepatu yang gua kenakan.
“Sa… Waktu itu tuh Kakak lo cuma ngeledekin lo doang…” Gua menjelaskan, sambil mengingat kala itu Resti meledek Larissa dengan bilang akan membelikan gua sepatu.
“Nggak! pokoknya gw mau beliin lo sepatu.. titik!” Larissa mengultimatum.
Ia lalu mengambil tas ranselnya dari kursi penumpang di bagian belakang, mengeluarkan buku catatan hello kitty miliknya, kemudian mengeluarkan sobekan kertas dari dalam lembaran buku catatan; Voucher hadiah ulang tahun dari gua.
“Nih…” Ujarnya sambil meletakkan sobekan voucher tersebut di pangkuan gua. Sementara gua hanya bisa menghela nafas panjang, nggak mampu melakukan penolakan. Keras kepala memang cewek yang satu ini.
Tanpa perdebatan lagi, akhirnya kami berdua mampir ke sebuah mall di bilangan Jakarta Selatan untuk membeli sepatu.
“Ini Bi, bagus…” Ucap Larissa sambil mengangkat sebuah sepatu dari rak display.
Gua menggeleng. Kemudian berjalan menyusuri rak display, sesekali mengintip ke bagian price tag, mencoba mencari sepatu dengan harga paling murah, nggak mau membebani Larissa dengan membeli sepatu berharga mahal.
“Boleh nggak kalo gua beli sepatu yang model kayak gini lagi?” Tanya gua ke Larissa sambil menunjuk ke arah sepatu yang sekarang gua kenakan. Sepatu model kanvas berlogo bintang.
“Jangan lah, masa modelnya sama kayak gitu lagi… ini aja ya, cobain deh…” Ucap Larissa sambil menyodorkan ke gua sebuah sepatu sport berwarna krem dengan ornamen bergaris diagonal pada kedua sisinya. Gua melihat ke bagian dalam sepatu, mengintip harga yang tertera pada price tag; 800 ribu. “Nggak ah…”
“Ih, Cobain dulu…” Larissa, memaksa. Ia lalu memanggil sales yang berjaga, meminta sepatu dengan model yang sama, namun dengan ukuran kaki gua.
“Tuh kan cakep…” Ujarnya sambil mengangkat kedua ibu jari. Kemudian berpaling kepada Sales yang berdiri di sebelahnya; “Yaudah, boleh yang ini ya mas…”
“Ntar dulu, Sa… eh…” Gua mencoba mencegahnya. Namun, apa daya Larissa terlebih dahulu meninggalkan gua, melakukan pembayaran di kasir.
“Beli baju sekalian ya bi?” Tambahnya begitu ia selesai melakukan pembayaran.
“Nggak usah, Sa…”
“Kenapa?” Tanyanya.
“Kalo gini, lama-lama gua juga nggak nyaman Sa… Apa-apa lo beliin…” Gua menjelaskan, mencoba memberinya pengertian.
“Emang kenapa sih, Bi.. Kalo gw mau beliin sesuatu… Nggak boleh? Emang salah kalo mau beliin barang buat pacarnya?” Larissa mendebat gua.
“Bukan gitu, tapi gua kan jadi nggak enak.. HP dibeliin, Sepatu di beliin, Bikin SIM dibantuin, Discman dikasih, sementara gua nggak pernah ngasih lo barang apa-apa…”
“...”
“... jadi kesannya, gua cuma seneng sama elo karena duit lo…” Tambah gua sambil menatap wajahnya yang terpantul pada pintu lift. Larissa kemudian mendekat, kami saling menatap wajah masing-masing melalui pantulan pintu lift mall yang berkilau. Ia meraih dan memeluk lengan gua. “Bukan gitu Bi…” Ucapnya pelan.
“Terus gimana?” Tanya gua.
“Yaudah maaf… gw kan cuma pengen lo seneng doang…”
“Seneng? Lo yakin gua seneng?” Tanya gua, yang lalu dijawab dengan gelengan kepala Larissa.
“Sebenernya, gua nggak butuh gini-ginian, Sa…” Gua menambahkan sambil mengangkat paper bag besar berisi sepatu yang baru saja dibelikan Larissa.
“...” Larissa nggak menjawab, perlahan ia melepas pelukannya dari lengan gua dan mulai memperlambat langkah lalu berhenti. Gua berhenti, berpaling ke arahnya, menatap wajahnya, tangisnya hampir saja pecah.
“...”
“... Lo mau tau apa yang bikin gua seneng?” tanya gua, sambil mendekat, merangkul bahunya dan kembali berjalan bersisian
“Apa?”
“Elo…” Gua menjawab singkat sambil menunjuk ke arahnya.
“...”
“Sepatu jelek ini, selalu nyaman dipake selama gua jalan bareng elo…” Tambah gua sambil mengangkat kaki, menunjukkan sepatu usang yang gua kenakan.
“...”
“...HP yang gua pake nggak ada artinya kalo nggak ada elo…”
“...”
“... Discman dan CD lagu yang lo kasih juga nggak ada artinya kalo nggak ada elo…”
“...”
“... SIM yang kemarin dibantuin Papi lo juga nggak ada gunanya kalo bukan buat nganterin elo…”
“...”
“... Kayaknya isi dunia ini juga jadi nggak seru kalo nggak sama elo…”
“...”
“...But anyway, thank you udah mau ngasih gua semuanya…”
“Aaaah… Biaaan… gw kan jadi sediiih…” Tangisnya meledak. Ia menenggelamkan kepalanya dalam pelukan.
Di dalam kamar, gua menatap sepasang sepatu pemberian Larissa yang sengaja gua letakan diatas meja belajar sambil senyum-senyum sendiri. ‘Besok sepatunya dipake ya bi’ bunyi SMS terakhir dari Larissa sebelum ia bilang ‘met bo2, love you to the moon’. Yang kemudian gua balas; “Love you to the moon and back’
Seperti ada sebuah percikan yang muncul di dalam dada, sebuah rasa baru, perasaan yang belum pernah gua rasakan sebelumnya. Banyak orang bilang, percikan ini namanya; Kebahagiaan. Gua merebahkan diri diatas ranjang, menatap langit-langit kamar, (masih) tetap sambil senyum-senyum sendiri. Berharap rasa ini jangan hilang, biarlah tetap disana.
“Sepatu baru nih…” Seru Dita, kemudian dengan cepat menginjak sepatu gua.
Entah dari mana datangnya budaya seperti ini; Budaya menginjak sepatu baru yang dikenakan oleh teman di sekolah. Beberapa teori menyebutkan kalau ini merupakan cara bagi sepatu baru untuk berkenalan dengan sepatu lain yang berada di sekitarnya. What the hell… buat apa benda mati butuh berkenalan dengan sesama benda mati lainnya.
Beberapa anak lain yang melihat aksi Dita kemudian menyusul, mulai menginjak sepatu baru yang gua kenakan. Sebisa mungkin gua mengelak, namun terlalu banyak kaki yang yang menerjang, membuat gua akhirnya menyerah dan pasrah.
Sementara, Larissa yang baru saja datang hanya berdiri di sisi pintu depan kelas, memandang ke arah gua sambil tersenyum.
“Padahal lo kerenan pake sepatu yang kemaren, Bi…” Ucap Sekar, saat kami berempat menghabiskan waktu istirahat di halaman belakang sekolah.
“Kerenan ini lah…” Sambut Larissa.
“Kerenan yang kemaren sih…lo keliatan lebih ‘berandal’. Apalagi kalo elo pake sweater yang warna putih itu Bi… Keren abis! emang lo lupa kemaren cewek-cewek anak kelas satu pada rebutan pengen kenalan sama elo?...” Tambah Dita.
“Siapa?” Tanya Larissa sambil berdiri, berkacak pinggang, matanya menatap tajam ke arah gua. Sementara gua hanya terdiam sambil menghabiskan bekal sosis goreng milik Sekar.
“Siapa namanya, Dit? Anak kelas berapa?” Kali ini ia bertanya ke Dita setelah gagal mendapat jawaban dari gua.
“Hah, emang ada berapa?” Larissa kembali bertanya.
Dita merespon dengan menatap ke arah jari-jari tangannya yang ia angkat sambil berlagak menghitung.
Larissa kembali berpaling ke arah gua; “Abian Richard!”
“Hah, apa?” Gua balik bertanya, berlagak nggak menyimak.
Ujung jari tengah Larissa mendarat mulus di dahi gua; sebuah sentilan maha dahsyat!
Sambil mengusap dahi, gua lalu mulai menjelaskan. Kronologi kejadian tersebut kepada Larissa; Beberapa hari yang lalu, saat Larissa masih dirawat di rumah sakit, memang ada beberapa anak kelas satu yang mengajak gua berkenalan. Namun, informasi yang gua terima dari salah satu cewek anak kelas satu yang sempat mengajak gua berkenalan bilang bahwa hal tersebut merupakan bagian dari perpeloncoan dari kegiatan ekstrakurikuler yang tengah mereka ikuti.
Sekar kemudian membenarkan penjelasan tersebut. Karena ia pun mengalami hal yang sama; diajak berkenalan oleh para anak cowok kelas satu. Saat itu, kami bahkan dimintai tanda tangan, macam artis kenamaan ibu kota.
Mendengar penjelasan gua dan konfirmasi dari Sekar, Larissa kembali duduk. Namun, masih terlihat pijar-pijar bara api emosi yang tersirat di matanya.
“Eh by the way, lo sebenernya sakit apa sih, Sa? Anemia lagi kayak yang waktu itu?” Sekar mengganti topik obrolan, bertanya tentang penyakit yang diderita Larissa.
“Iya.. kan gw udah SMS kalian…” jawab Larissa, berbohong.
Sejauh ini para sahabat Larissa hanya tau kalau ia mengidap Anemia akut hingga harus seringkali dirawat untuk menerima transfusi darah. Begitu pula pihak sekolah, keluarga Larissa hanya memberi informasi yang sama perihal penyebab Larissa acap kali izin untuk nggak mengikuti pelajaran.
Ada alasan khusus kenapa Larissa enggan memberi tahu sahabatnya tentang penyakit yang dideritanya; ia hanya ingin nggak dikasihani oleh para sahabat nya. Larissa ingin dikenal dan disukai karena karakter dan kepribadiannya, buka dari rasa iba orang-orang disekitarnya.
“Lo mau minjem catetan gw nggak?” Tanya Sekar ke Larissa.
“Nggak ah, males…” Jawabnya santai, kepeduliannya terhadap pelajaran kembali muncul.
“Ntar kalo ulangan kan ada elo, yang ngasih gw contekan…” Tambah Larissa sambil mencubit pipi Sekar.
Topik obrolan mereka lalu berpindah dengan cepat, dari urusan pelajaran kali ini pembahasan tentang gosip-gosip teranyar seputar kejadian di sekolah selama seminggu kebelakang. Larissa merasa harus mengejar ketertinggalannya mengenai gosip yang terjadi selama doi nggak masuk.
‘Gosip emang lebih seru dari pelajaran’ batin gua dalam hati.
Di perjalanan menuju kembali ke kelas, Larissa menarik ujung seragam gua. Kemudian memberi tanda dengan tangan agar gua sedikit membungkuk, dan mulai berbisik di telinga gua; “Besok-besok jangan pernah pake sepatu lama lo itu lagi…” Ia sempat menendang tulang kering gua sebelum masuk ke dalam kelasnya.
“Oiya.. Satu lagi…” Ia kembali bicara.
“...”
“Sweater putih lo juga.. ”
---
Hari-hari berikutnya gua jalani dengan normal. Tentu saja kata ‘normal’ dalam hal ini lebih baik dari hari-hari di sekolah sebelumnya. Perlahan, gua mulai mampu membuka diri terhadap orang-orang disekitar. Budi, cowok cepak anak basket yang duduk dibelakang gua. Santi, cewek berambut pendek dengan wajah serius. Suryadi, si ketua kelas yang agak urakan namun penuh tanggung jawab. Dwi, cewek tomboy dengan tahi lalat di dagu yang duduk persis di depan gua. Dan juga, Sandi, Rudi, Ririn, Unet, dan Randy anggota ekskul Taekwondo di sekolah. Tak hanya itu, gua juga mulai membiasakan diri untuk makan di kantin sekolah, walau terkadang masih harus menunggu hingga menjelang bel istirahat berakhir, waktu dikala kantin mulai sepi.
Perubahan ini tentu saja bisa terjadi karena campur tangan Larissa yang nggak henti-hentinya memberi cubitan di pinggang saat dirasa gua kurang komunikatif saat berinteraksi dengan orang lain.
Bersosialisasi ternyata nggak seburuk yang gua bayangkan sebelumnya.
Sementara perubahan emosi terjadi pada diri gua, perubahan fisik justru terjadi pada Larissa. Walau rambutnya nggak lagi mengalami kerontokan, namun bobot tubuhnya perlahan terlihat semakin berkurang, wajahnya acapkali terlihat pucat, seringkali mual dan muntah tanpa sebab yang jelas dan yang paling membuat gua semakin khawatir adalah seringnya ia mimisan*
“Mengeluarkan darah dari hidungnya.
Pernah suatu ketika, kala menemani gua latihan taekwondo di sekolah, tiba-tiba saja seragamnya dipenuhi darah segar yang mengalir dari hidungnya. Dan hal tersebut terjadi tanpa ia sadari. Justru Tile menjadi orang pertama yang mengetahui hal tersebut. Ia menarik gua dan menunjuk ke arah Larissa yang terlihat masih menatap kami. Gua berlari ke arah Larissa, kemudian menyeka darah di hidungnya dengan bagian lengan ‘Dobok*’ yang masih gua kenakan. Sementara, Larissa baru menyadari darah yang keluar dari hidungnya begitu gua menyekanya.
*Dobok: Sebutan untuk seragam Taekwondo.
“Udah, besok nggak usah nemenin gua. Selesai sekolah langsung pulang aja…” Ucap gua saat mengantarnya pulang.
“Gapapa bi…” Responnya sambil tersenyum.
“Sa, dengerin gua kali ini aja ya… it hurts me everytime i see you like that. Hurts me a lot…”
Ia lalu mengangguk, masih sambil tersenyum.
Persis setelah kejadian itu, Larissa pernah lagi ikut menemani gua. Tak seperti pasangan muda-mudi lainnya yang banyak menghabiskan waktu dengan ‘hangout’ atau sekedar nonton di bioskop. Larissa hanya keluar rumah untuk bersekolah, sisanya ia habiskan dengan beristirahat di rumah. So, waktu berdua kami lebih banyak dihabiskan di sekolah; saat jam istirahat dan sewaktu menemaninya menunggu dijemput sepulang sekolah. Sementara, di luar waktu sekolah, gua mengunjunginya secara rutin setiap hari Selasa dan Sabtu.
Gua sengaja nggak mau terlalu sering mengunjungi Larissa, takut mengganggu waktu istirahatnya. Namun, bocah keras kepala itu tentu saja nggak langsung setuju waktu gua bilang hanya akan datang hari Selasa dan Sabtu. “Ya setiap hari dong harusnya…” Ucapnya kala itu.
“Ya sekalian suru tinggal disini aja si Bian…” Sambar Resti yang kebetulan mendengar percakapan kami.
“Ya kan di sekolah juga ketemu tiap hari…” Jawab gua.
---
Mendekati pertengahan tahun kedua di SMA, Kondisi Larissa tak menunjukkan perubahan yang berarti. Bahkan bisa dibilang kondisinya saat ini mengalami penurunan dari sebelumnya. Ia kedapatan beberapa kali nggak masuk sekolah karena mendadak sakit kepala hebat. ‘Bi, gw pusing bgt..’ ucapnya melalui SMS.
‘Yauda gak usah sekolah’ Balas gua.
Ponsel gua langsung berdering begitu gua selesai membalas pesannya. Nama Larissa muncul pada layar ponsel.
“Gw kan padahal mau nonton elo tanding…” Ucapnya pelan, suaranya bergetar.
“Besok-besok kan bisa, sekarang lo istirahat dulu…” Jawab gua.
Hari ini merupakan jadwal pertandingan pertama kejuaraan Taekwondo antar sekolah se-provinsi. Pertandingan akan diadakan selepas sekolah, di gelanggang remaja yang terletak di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan. Sebelumnya, Larissa udah ngebet banget pengen nonton gua bertanding. Ia bahkan sudah mempersiapkan poster-poster karton berisi kata-kata suportif yang sengaja ia buat sendiri. Dan secara khusus meminta izin ke Papinya untuk ikut menonton gua bertanding.
Sore itu, gua tengah bersiap. GOR (Gedung Olah Raga) yang biasanya digunakan sebagai arenan pertandingan bulu tangkis, bola voli dan futsal. Kini disulap menjadi tempat pertandingan Taekwondo. Di bagian dalam GOR terdapat tribun yang mengelilingi area tengah lapangan. Untuk saat ini, karena jumlah kelas dan peserta yang cukup banyak, panitia menyiapkan sekitar 4 sampai 5 arena tanding. Saat ini gua berada di arena paling ujung, sisi sebelah barat GOR.
Tile mengencangkan ikatan Hoogo*, kemudian memeriksa head guard dan kelengkapan pertandingan lain yang sudah melekat di tubuh gua. Ini merupakan pertandingan pertama, dalam kejuaraan yang menggunakan sistem penyisihan tunggal. Dimana, para peserta yang kalah akan gugur, sementara yang menang akan terus melaju ke babak berikutnya hingga ke final. Sedangkan urutan pertandingan dan lawan yang ditemui sudah ditentukan melalui hasil undian ketika technical meeting yang dihadiri oleh Tile beberapa waktu yang lalu.
*Hoogo: Sebutan untuk Body protector. Biasanya berwarna merah atau biru.
“Lo yang mana?” teriak Larissa, suaranya kurang terdengar karena latar yang ribut.
“Hah?”
“Lo yang pake rompi warna apa?” Larissa kembali bertanya sambil menaikkan volume suaranya.
“Merah, kenapa? lo dateng? kan gua udah bilang…” Belum selesai gua bicara, Larissa memotong nya.
“Gw liat, gw liat… gw liat eloo…. Biann… nengok ke atas…” Teriaknya. Gua lalu menoleh, mencari cari ke atas tribun. Lalu sosok gadis mungil dengan sweater hitam bersorak sambil melompat dan melambaikan tangannya ke arah gua. Sementara di sisinya duduk manis Papi dan Maminya sambil menggenggam poster karton yang bertuliskan “Go! Bian Go!”
“Emang udah nggak pusing?” Tanya gua.
“Udah nggak… Yeay semangat ya Bian…” ucap Larissa, kemudian mengakhiri panggilan. Lalu terdengar teriakan dengan kalimat yang sama, suara cempreng yang menggelegar; “Semangat Biaaan!”
Tile mengambil ponsel dari tangan gua dan membiarkan gua melakukan pemanasan. Nggak berapa lama sebuah panggilan kepada peserta untuk masuk ke dalam arena. Tile, sekali lagi memeriksa Hoogo, dan pelindung lain yang melekat di tubuh gua termasuk pelindung kepala dan menyerahkan gum shield di tangan kanan gua.
Gua masuk ke arena, memberi hormat kepada lawan dan juga wasit, memakai gum shield dan menunggu aba-aba dari wasit untuk memulai pertandingan.
---
Chumbawamba - Tubthumping
Truth is I thought it mattered
I thought that music mattered
But does it? Bollocks
Not compared to our people matter
We'll be singing
When we're winning
We'll be singing
I get knocked down
But I get up again
You're never gonna keep me down
I get knocked down
But I get up again
You're never gonna keep me down
I get knocked down
But I get up again
You're never gonna keep me down
I get knocked down
But I get up again
You're never gonna keep me down
Pissing the night away
Pissing the night away
He drinks a whiskey drink
He drinks a vodka drink
He drinks a lager drink
He drinks a cider drink
He sings the songs that remind him of the good times
He sings the songs that remind of the better times
Oh, Danny boy
Danny boy
Danny boy
I get knocked down
But I get up again
You're never gonna keep me down
I get knocked down
But I get up again
You're never gonna keep me down
I get knocked down
But I get up again
You're never gonna keep me down
I get knocked down
But I get up again
You're never gonna keep me down