- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#1
Episode 1
Spoiler for Episode 1:
TING TONG! TING TONG! TING TONG!
“Apa sih Ram? Sabar dong. Aku kan lagi siap-siap, meriksa barang-barang biar ngga ada yang ketinggalan.”
“Fik, ini udah jam berapa? Ayo buruan nanti kita bisa telat.”
“Iya iya aku tau, tunggu sebentar. Aku pakai sepatu dulu.”
“Emang susah deh.”
“Ayo berangkat, tadi ngajakin cepet-cepet.”
“Loh malah kebalik gini.”
Mereka berjalan menuju motor yang terparkir di luar gerbang rumah Fika. Rama naik terlebih dahulu untuk menghidupkan motornya. Tak butuh waktu lama, motor pun menyala. Rama memberikan helm kepada Fika untuk dikenakan.
“Kamu belum makan kan?...” Ctek!Helm terpasang dengan baik di kepala FIka, “aku sengaja bawain makanan buat kamu.”
“Tau aja kalau aku belum makan. Bentar-bentar.”
“Kenapa Ram?”
Rama melepas jaket yang ia kenakan, kemudian ia mengalungkan jaket miliknya di pinggang Fika. Dengan simpul sederhana yang cukup kuat, Rama menutupi Fika yang mengenakan rok pendek.
“Biar aman, bahaya laki-laki zaman sekarang matanya suka ke mana-mana.”
“Loh...” Fika naik di belakang, “kamu juga termasuk dong?”
“Ya ngga dong.”
Motor yang dikendarai Rama mulai berjalan ke jalanan perumahan tempat Fika tinggal. Beberapa puluh meter berlalu, Motor masuk jalan raya bersama beberapa pengendara yang juga melakukan aktifitasnya.
“Ram, kamu belum jawab pernyataan aku tadi.”
“Pertanyaan yang mana Fik?”
“Tadi kan kamu bilang...”
“Ngomongnya kerasan...” Rama memotong ucapan Fika, “ngga kedengeran.”
Fika memajukan duduknya hingga membuat kepala Rama sedikit miring karena helm yang mereka kenakan.
“Kamu kan bilang jaman sekarang mata laki-laki bahaya, berarti kamu juga termasuk dong?”
“Ya ngga dong.”
“Berarti kamu homo?”
“Loh, kenapa jadi homo?”
“Di Dunia ini, laki-laki cuma ada dua Ram. Yang pertama itu laki-laki brengsek, yang ke dua laki-laki homo. Kalau kamu bukan termasuk yang brengsek, berarti kamu tergolong yang homo.”
Motor berhenti di persimpangan karena lampu sedang menyala merah. Rama mengalihkan pandangannya ke samping untuk menatap Fika.
“Ada juga ya Fik, laki-laki biasa yang ngga cabul dan lempeng-lempeng aja.”
“Sebaik-baiknya laki-laki pasti akan cabul Ram, tinggal nunggu waktu dan orang yang pas.”
Tin! Tin! Lampu sudah menyala hijau, beberapa kendaraan yang mengantre di belakang menunjukkan ketidaksabarannya. Rama kembali mengendarai motornya untuk sampai di sekolah. Beberapa kali kemacetan terjadi, tentu saja menghambat laju mereka untuk segera tiba. Benar saja, mereka terlambat. Rama menghentikan motornya tepat di hadapan seorang Guru yang sudah terkenal dengan “kegarangannya”.
“Ayo parkir dulu motornya di sana, abis itu kalian ke sini.”
Fika turun dari motor sambil memberikan helm yang ia kenakan kepada Rama, sementara Rama menuntun motornya beberapa langkah menuju parkiran yang dikhususkan untuk siswa yang datang terlambat. Setelah itu, Rama berjalan lebih cepat lalu berdiri di samping Fika.
“Gara-gara kamu lama dandan nih, telat kan kita.”
“Kenapa jadi nyalahin aku sih? Salahin supir angkot yang tadi bikin macet.”
“Defika, Diorama, kalian maju sini.”
Rama dan Fika berjalan pelan menuju guru yang memanggilnya.
“Kenapa kalian setiap hari Kamis selalu datang terlambat?” Tanya Guru tersebut.
Fika dan Rama saling menatap dalam diam.
“Ngga ada yang bisa jelasin?” Tanya Guru sekali lagi.
“Saya bangun kesiangan tadi Pak, Fika udah hubungin saya tapi sayanya ngga bangun-bangun. Jadinya kami terlambat Pak.” Jawab Rama.
“Setiap hari Kamis kamu selalu bangun kesiangan? Udah, kalian berdua bersihin parkiran dari daun-daun yang mulai rontok. Setengah jam setelah itu, kalian lapor sama saya baru masuk kelas.” Ucap Guru tersebut.
Rama dan Fika bergegas mengambil sapu lidi dan pengki yang ada di belakang Pos Satpam. Mereka mulai membersihkan daun-daun dari pepohonan di sekitar parkiran.
“Hahaha.” Fika tertawa kecil.
“Ngapain kamu ketawa sendiri?” Tanya Rama.
“Nggapapa, kebayang-bayang alasan kamu tadi. Lucu aja, masa iya kamu kesiangan ada jadwalnya.” Ucap Fika.
“Aku mau bilang apa lagi, masa iya aku mau bilang kalau kamu dandan lama.” Kata Rama.
Plak! Fika memukul lengan Rama pelan, “Aku lama itu bukan karena dandan ya Ram. Aku harus bilang berapa kali lagi ke kamu, masih aja bilang begitu.”
“Kamu kenapa sih suka banget mukul? Jangan galak-galak jadi perempuan, nanti ngga ada yang mau.” Keluh Rama.
“Biarin, lagian aku galaknya cuma ke kamu doang. Lagian kalau ngga ada yang mau, masih ada kamu.” Ucap Fika.
“Kamu pikir aku mau sama kamu?” Ucap Rama.
“Pasti mau lah, cuma aku satu-satunya temen kamu.” Ejek Fika.
“Udah jangan berisik, ayo buruan kerja.” Ucap Rama.
Fika sempat menjulurkan lidahnya mengejek Rama, sayangnya ia tidak menyadarinya. Beberapa saat berlalu, Rama dan Fika kembali menghadap ke Guru yang mengawasi mereka.
“Pak, udah selesai Pak.” Ucap Rama.
“Yaudah kalian masuk Kelas. Besok-besok ngga ada alasan lagi untuk terlambat, apalagi cuma hari Kamis doang.” Ucap Guru.
“Baik Pak.” Ucap mereka bersamaan.
Fika dan Rama berjalan bersampingan melewati beberapa ruangan Sekolah, beberapa langkah berlalu akhirnya mereka tiba di depan Kelas mereka. Setibanya di depan kelas, mereka sudah melihat Guru yang sedang menjelaskan pelajaran.
“Kalian tiap pelajaran saya selalu aja terlambat. Ayo cepet masuk terus catet yang Ibu tulis ini.” Ucap Guru tersebut.
“Baik Bu.” Kata mereka kembali bersamaan.
Mereka segera menuju bangku yang berada di posisi dua dari belakang, tempat mereka biasa duduk. Dengan sigap Fika mengeluarkan buku catatannya untuk segera menyalin tulisan yang ada di papan tulis. Ia menatap ke arah Rama dengan sengaja.
“Kamu ngga nyatet Ram?” Tanya Fika.
“Aku nunggu kamu aja lah Fik. Ngga bakalan masuk juga pelajaran Bahasa kayak gini di otak aku.” Jawabnya.
Fika menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan pelan, kemudian ia mulai menyalin tulisan tersebut. Beberapa saat berlalu dalam suasana hening kelas, Fika cukup dibuat terkejut dengan apa yang dilakukan Rama.
“Kaget aku Ram.” Ucapnya.
Rama memasangkan earphone bagian kanan ke telinga Fika, sementara ia mengenakan bagian kiri di telinganya.
“Bosen Fik.” Jawabnya singkat.
Lagu pun mulai diputar dari handphone Rama dengan volume kecil. Kaki Rama mulai bergerak mengikuti irama di bawah meja sementara jari telunjuk kiri Fika pun melakukan hal yang sama di atas meja.
“Enak juga lagunya Ram.” Ucap Fika.
Rama hanya bergumam pelan sambil melihat ke arah FIka yang masih menyalin tulisan dari Papan Tulis. Fika dengan tiba-tiba menatap ke arah Rama hingga mereka saling menatap satu sama lain dalam diam.
“Kamu ngapain ngeliatin aku?” Tanya Fika.
“Kamu juga ngapain ngeliatin aku?” Tanya Rama balik.
“Ng...” Fika membuang pandangannya, “Nggapapa, pusing aja ngeliat ke Papan Tulis terus.”
Rama hanya tertawa pelan mendengar jawaban Fika. Beberapa saat berlalu, jam pelajaran telah berganti. Rama sedang memandang lurus ke arah Papan Tulis, tangan kanannya memegang pulpen dan sudah bersiap untuk menuliskan apa yang akan ia dengarkan.
“Hm, kalau gitu bisa pakai rumus yang ini.” Ucap Rama seorang diri.
Rama mulai menulis di buku catatan tanpa mengalihkan pandangannya dari Papan Tulis. Beberapa kata tertulis dengan tegas di buku catatannya, terkadang ia memainkan pulpen yang ia pegang sambil menunggu. Rama pun menatap ke arah Fika.
“Kamu ngga nyatet Fik?” Tanya Rama.
Fika sedang menyandarkan kepalanya pada permukaan meja yang membuatnya menatap Rama entah dari kapan.
“Kamu tau sendiri kelemahan aku di pelajaran Kimia. Aku minjem catetan kamu, sekalian jelasin lagi ke aku nanti.” Jawabnya.
Rama tertawa pelan menatapnya, kemudian ia kembali menatap Papan Tulis. Fika masih bertahan dengan posisinya, masih juga memandangi Rama.
Teng! Teng! Teng! Jam istirahat pun tiba. Fika membuka tas miliknya, kemudian ia mengeluarkan tempat makan lalu meletakannya di hadapan Rama, yang baru saja memasukkan buku catatan ke dalam tasnya.
“Kamu bawa apa Fik?” Tanya Rama.
“Roti lapis aja Ram yang gampang bikinnya. Harusnya tadi makan pas pelajaran Bahasa, gagal gara-gara kita telat.” Jawab Fika.
“Bener juga sih...” Rama membuka tempat makan, “aku makan ya.”
Rama mulai memakan roti lapis diikuti oleh Fika. Tak membutuhkan waktu lama bagi Rama untuk menghabiskan satu porsi.
“Udah aku duga kalau kamu ngga bakalan kenyang kalau cuma makan satu, untung aku bikin tiga.” Ucap Fika.
“Bagus kalau kamu perhatian, berarti satu lagi buat aku.” Kata Rama.
Rama kembali memakan roti yang ada di tempat makan. Fika hanya menggeleng pelan sambil menatap ke arahnya. Beberapa saat berlalu, kegiatan makan pun selesai. Rama dan Fika tidak berpindah dari tempat duduk mereka. Fika sedang terpaku menatap handphone sementara Rama bersandar pada bangku sambil memejamkan matanya.
Mata Fika mendadak melirik ke arah pintu kelas. Bukan tanpa sebab melainkan...
“Liat deh, masa iya kalian percaya kalau mereka cuma temen doang? Dari dulu kelas satu selalu aja berdua. Aneh ngga sih?”
“Kalau dari cerita yang beredar sih gitu.”
...ada beberapa siswa lain yang sedang membicarakan dirinya. Meskipun dengan suara pelan, namun Fika dapat mendengarnya.
“Gimana gue mau deketin Rama ya kalau ada dia terus?”
“Ngga usah didengerin Fik...”
Fika berhasil dibuat sedikit terkejut, ia menatap ke arah Rama yang masih memejamkan matanya sambil bersandar pada bangku.
“...mending kamu lanjutin baca novel, kalau perlu pakai earphone aku tuh di tas bagian depan.” Ucap Rama.
Fika menghela nafasnya pelan, “Nanti ajarin Fisika Ram di rumah.”
Rama bergumam menjawab ajakan Fika. Waktu berjalan terus tanpa kenal lelah, hingga tak terasa bel pulang sudah berkumandang. Semua siswa bersama-sama meninggalkan kelas yang membosakan, termasuk juga Rama dan Fika yang berjalan bersampingan meninggalkan kelas menuju parkiran.
“Kamu mau mampir atau langsung pulang?” Tanya Rama.
“Langsung pulang.” Jawab Fika singkat.
Rama sempat menatap ke arah Fika sesaat. Rama menyalakan motornya lalu Fika naik di belakang. Motor melaju meninggalkan Sekolah pada sore hari ini. Sesekali Rama melihat ke arah kaca spion di mana ia dapat melihat Fika, kemudian ia kembali menatap ke arah depan lalu memacu motornya sedikit lebih cepat.
Beberapa kilometer terlewatkan begitu saja hingga Rama menghentikan motornya di pinggir jalan. Rama melepas helmnya yang tentu saja membuat Fika bingung.
“Kok berhenti di sini Ram?” Tanya Fika.
Rama menghiraukan pertanyaannya, kemudian ia turun dari motor. Fika pun ikut turun dari motor setelah melepas helm yang ia kenakan. Ia mengikuti ke mana Rama melangkah dari belakang.
“Bang, Bakpao isi cokelat satu sama isi ayam satu.” Ucap Rama.
Setelah membayar, Rama kembali berjalan yang kembali diikuti oleh Fika. Akhirnya Rama duduk di sebuah bangku yang terbuat dari besi panjang, kemudian Fika ikut duduk di sampingnya.
“Kamu mau ngapain di sini Ram?” Tanya Fika.
“Makan Bakpao, nih buat kamu.” Jawabnya.
Rama mulai makan sambil menatap ke arah Danau yang ada di hadapannya, Fika pun juga ikut memakan Bakpao tersebut. Sesekali Rama melihat ke arah sekeliling yang juga diikuti oleh Fika, ada beberapa orang yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang sedang berlari-lari kecil mengelilingi Danau, ada yang sedang menaiki bebek-bebekan di tengah Danau, ada pula orang-orang yang sekedar duduk seperti mereka.
“Kamu masih sebel sama mereka?” Tanya Rama.
“Sebel? Maksudnya?” Jawab FIka bingung.
“Kamu kira aku ngga atau apa, dari tadi abis istirahat sampai keluar kelas mukamu ngga enak banget.” Ucap Rama.
Fika menghela nafas, “Heran aja, kenapa harus ada orang-orang kayak gitu. Kalau emang ngga suka kan tinggal ngomong aja, kenapa harus dari belakang. Sekalinya ketemu kayak orang ngga punya dosa, biasa-biasa aja. Nyebelin banget.”
“Inilah kenapa aku males bikin masalah sama kamu.” Sahut Rama.
“Apa sih.” Jawab Fika ketus.
“Akan selalu ada orang-orang kayak gitu Fik.” Kata Rama.
“Mau sampai kapan ada orang-orang kayak gitu? Maksud aku gini ya, kalau emang ngga suka ya ngomong aja ngga suka...”
Rama tersenyum menatap Fika.
“...Terus bawa-bawa kamu lagi, emang kenapa sih? Kalau emang dia mau deketin kamu ya tinggal deketin aja, kenapa gara-gara aku terus semuanya jadi susah. Kan ngga masuk akal Ram.” Jelas Fika.
Fika kembali memakan Bakpao yang ada di tangannya, ia menatap ka arah Rama yang sedang tersenyum melihatnya.
“Kamu... kenapa ngeliatin aku begitu?” Tanya Fika.
Rama tertawa pelan, “Nggapapa, aku suka aja sama sikap kamu yang ngga berubah dari dulu. Orangnya to the point, ngga suka basa-basi.”
“Ya kamu juga orangnya kayak gitu.” Ucap Fika.
“Udah lega?” Tanya Rama.
FIka menghela nafas, “Mendingan. Jadi ini alesan kamu ajak aku ke sini?”
Rama mengangguk, “Sebenernya kalau orang yang belum kenal banget sama kamu akan bingung sama sikap kamu, kelihatan baik-baik aja dari luar. Beruntungnya, aku udah kenal lama sama kamu. Jadi aku tau kalau kamu lagi bermasalah.”
“Makasih ya Ram, untung ada kamu.” Ucap Fika.
“Ayo pulang.” Ajak Rama.
“Loh, udah mau pulang?” Tanya Fika.
“Katanya tadi mau diajarin Kimia pas jam istirahat.” Ejek Rama.
“Ih kamu mah...”
Fika memukul lengan Rama pelan, sementara Rama hanya mengusap-usap lengannya. Mereka pun tertawa, di sore hari yang cerah menikmati hamparan Danau yang luas.
“Apa sih Ram? Sabar dong. Aku kan lagi siap-siap, meriksa barang-barang biar ngga ada yang ketinggalan.”
“Fik, ini udah jam berapa? Ayo buruan nanti kita bisa telat.”
“Iya iya aku tau, tunggu sebentar. Aku pakai sepatu dulu.”
“Emang susah deh.”
“Ayo berangkat, tadi ngajakin cepet-cepet.”
“Loh malah kebalik gini.”
Mereka berjalan menuju motor yang terparkir di luar gerbang rumah Fika. Rama naik terlebih dahulu untuk menghidupkan motornya. Tak butuh waktu lama, motor pun menyala. Rama memberikan helm kepada Fika untuk dikenakan.
“Kamu belum makan kan?...” Ctek!Helm terpasang dengan baik di kepala FIka, “aku sengaja bawain makanan buat kamu.”
“Tau aja kalau aku belum makan. Bentar-bentar.”
“Kenapa Ram?”
Rama melepas jaket yang ia kenakan, kemudian ia mengalungkan jaket miliknya di pinggang Fika. Dengan simpul sederhana yang cukup kuat, Rama menutupi Fika yang mengenakan rok pendek.
“Biar aman, bahaya laki-laki zaman sekarang matanya suka ke mana-mana.”
“Loh...” Fika naik di belakang, “kamu juga termasuk dong?”
“Ya ngga dong.”
Motor yang dikendarai Rama mulai berjalan ke jalanan perumahan tempat Fika tinggal. Beberapa puluh meter berlalu, Motor masuk jalan raya bersama beberapa pengendara yang juga melakukan aktifitasnya.
“Ram, kamu belum jawab pernyataan aku tadi.”
“Pertanyaan yang mana Fik?”
“Tadi kan kamu bilang...”
“Ngomongnya kerasan...” Rama memotong ucapan Fika, “ngga kedengeran.”
Fika memajukan duduknya hingga membuat kepala Rama sedikit miring karena helm yang mereka kenakan.
“Kamu kan bilang jaman sekarang mata laki-laki bahaya, berarti kamu juga termasuk dong?”
“Ya ngga dong.”
“Berarti kamu homo?”
“Loh, kenapa jadi homo?”
“Di Dunia ini, laki-laki cuma ada dua Ram. Yang pertama itu laki-laki brengsek, yang ke dua laki-laki homo. Kalau kamu bukan termasuk yang brengsek, berarti kamu tergolong yang homo.”
Motor berhenti di persimpangan karena lampu sedang menyala merah. Rama mengalihkan pandangannya ke samping untuk menatap Fika.
“Ada juga ya Fik, laki-laki biasa yang ngga cabul dan lempeng-lempeng aja.”
“Sebaik-baiknya laki-laki pasti akan cabul Ram, tinggal nunggu waktu dan orang yang pas.”
Tin! Tin! Lampu sudah menyala hijau, beberapa kendaraan yang mengantre di belakang menunjukkan ketidaksabarannya. Rama kembali mengendarai motornya untuk sampai di sekolah. Beberapa kali kemacetan terjadi, tentu saja menghambat laju mereka untuk segera tiba. Benar saja, mereka terlambat. Rama menghentikan motornya tepat di hadapan seorang Guru yang sudah terkenal dengan “kegarangannya”.
“Ayo parkir dulu motornya di sana, abis itu kalian ke sini.”
Fika turun dari motor sambil memberikan helm yang ia kenakan kepada Rama, sementara Rama menuntun motornya beberapa langkah menuju parkiran yang dikhususkan untuk siswa yang datang terlambat. Setelah itu, Rama berjalan lebih cepat lalu berdiri di samping Fika.
“Gara-gara kamu lama dandan nih, telat kan kita.”
“Kenapa jadi nyalahin aku sih? Salahin supir angkot yang tadi bikin macet.”
“Defika, Diorama, kalian maju sini.”
Rama dan Fika berjalan pelan menuju guru yang memanggilnya.
“Kenapa kalian setiap hari Kamis selalu datang terlambat?” Tanya Guru tersebut.
Fika dan Rama saling menatap dalam diam.
“Ngga ada yang bisa jelasin?” Tanya Guru sekali lagi.
“Saya bangun kesiangan tadi Pak, Fika udah hubungin saya tapi sayanya ngga bangun-bangun. Jadinya kami terlambat Pak.” Jawab Rama.
“Setiap hari Kamis kamu selalu bangun kesiangan? Udah, kalian berdua bersihin parkiran dari daun-daun yang mulai rontok. Setengah jam setelah itu, kalian lapor sama saya baru masuk kelas.” Ucap Guru tersebut.
Rama dan Fika bergegas mengambil sapu lidi dan pengki yang ada di belakang Pos Satpam. Mereka mulai membersihkan daun-daun dari pepohonan di sekitar parkiran.
“Hahaha.” Fika tertawa kecil.
“Ngapain kamu ketawa sendiri?” Tanya Rama.
“Nggapapa, kebayang-bayang alasan kamu tadi. Lucu aja, masa iya kamu kesiangan ada jadwalnya.” Ucap Fika.
“Aku mau bilang apa lagi, masa iya aku mau bilang kalau kamu dandan lama.” Kata Rama.
Plak! Fika memukul lengan Rama pelan, “Aku lama itu bukan karena dandan ya Ram. Aku harus bilang berapa kali lagi ke kamu, masih aja bilang begitu.”
“Kamu kenapa sih suka banget mukul? Jangan galak-galak jadi perempuan, nanti ngga ada yang mau.” Keluh Rama.
“Biarin, lagian aku galaknya cuma ke kamu doang. Lagian kalau ngga ada yang mau, masih ada kamu.” Ucap Fika.
“Kamu pikir aku mau sama kamu?” Ucap Rama.
“Pasti mau lah, cuma aku satu-satunya temen kamu.” Ejek Fika.
“Udah jangan berisik, ayo buruan kerja.” Ucap Rama.
Fika sempat menjulurkan lidahnya mengejek Rama, sayangnya ia tidak menyadarinya. Beberapa saat berlalu, Rama dan Fika kembali menghadap ke Guru yang mengawasi mereka.
“Pak, udah selesai Pak.” Ucap Rama.
“Yaudah kalian masuk Kelas. Besok-besok ngga ada alasan lagi untuk terlambat, apalagi cuma hari Kamis doang.” Ucap Guru.
“Baik Pak.” Ucap mereka bersamaan.
Fika dan Rama berjalan bersampingan melewati beberapa ruangan Sekolah, beberapa langkah berlalu akhirnya mereka tiba di depan Kelas mereka. Setibanya di depan kelas, mereka sudah melihat Guru yang sedang menjelaskan pelajaran.
“Kalian tiap pelajaran saya selalu aja terlambat. Ayo cepet masuk terus catet yang Ibu tulis ini.” Ucap Guru tersebut.
“Baik Bu.” Kata mereka kembali bersamaan.
Mereka segera menuju bangku yang berada di posisi dua dari belakang, tempat mereka biasa duduk. Dengan sigap Fika mengeluarkan buku catatannya untuk segera menyalin tulisan yang ada di papan tulis. Ia menatap ke arah Rama dengan sengaja.
“Kamu ngga nyatet Ram?” Tanya Fika.
“Aku nunggu kamu aja lah Fik. Ngga bakalan masuk juga pelajaran Bahasa kayak gini di otak aku.” Jawabnya.
Fika menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan pelan, kemudian ia mulai menyalin tulisan tersebut. Beberapa saat berlalu dalam suasana hening kelas, Fika cukup dibuat terkejut dengan apa yang dilakukan Rama.
“Kaget aku Ram.” Ucapnya.
Rama memasangkan earphone bagian kanan ke telinga Fika, sementara ia mengenakan bagian kiri di telinganya.
“Bosen Fik.” Jawabnya singkat.
Lagu pun mulai diputar dari handphone Rama dengan volume kecil. Kaki Rama mulai bergerak mengikuti irama di bawah meja sementara jari telunjuk kiri Fika pun melakukan hal yang sama di atas meja.
“Enak juga lagunya Ram.” Ucap Fika.
Rama hanya bergumam pelan sambil melihat ke arah FIka yang masih menyalin tulisan dari Papan Tulis. Fika dengan tiba-tiba menatap ke arah Rama hingga mereka saling menatap satu sama lain dalam diam.
“Kamu ngapain ngeliatin aku?” Tanya Fika.
“Kamu juga ngapain ngeliatin aku?” Tanya Rama balik.
“Ng...” Fika membuang pandangannya, “Nggapapa, pusing aja ngeliat ke Papan Tulis terus.”
Rama hanya tertawa pelan mendengar jawaban Fika. Beberapa saat berlalu, jam pelajaran telah berganti. Rama sedang memandang lurus ke arah Papan Tulis, tangan kanannya memegang pulpen dan sudah bersiap untuk menuliskan apa yang akan ia dengarkan.
“Hm, kalau gitu bisa pakai rumus yang ini.” Ucap Rama seorang diri.
Rama mulai menulis di buku catatan tanpa mengalihkan pandangannya dari Papan Tulis. Beberapa kata tertulis dengan tegas di buku catatannya, terkadang ia memainkan pulpen yang ia pegang sambil menunggu. Rama pun menatap ke arah Fika.
“Kamu ngga nyatet Fik?” Tanya Rama.
Fika sedang menyandarkan kepalanya pada permukaan meja yang membuatnya menatap Rama entah dari kapan.
“Kamu tau sendiri kelemahan aku di pelajaran Kimia. Aku minjem catetan kamu, sekalian jelasin lagi ke aku nanti.” Jawabnya.
Rama tertawa pelan menatapnya, kemudian ia kembali menatap Papan Tulis. Fika masih bertahan dengan posisinya, masih juga memandangi Rama.
Teng! Teng! Teng! Jam istirahat pun tiba. Fika membuka tas miliknya, kemudian ia mengeluarkan tempat makan lalu meletakannya di hadapan Rama, yang baru saja memasukkan buku catatan ke dalam tasnya.
“Kamu bawa apa Fik?” Tanya Rama.
“Roti lapis aja Ram yang gampang bikinnya. Harusnya tadi makan pas pelajaran Bahasa, gagal gara-gara kita telat.” Jawab Fika.
“Bener juga sih...” Rama membuka tempat makan, “aku makan ya.”
Rama mulai memakan roti lapis diikuti oleh Fika. Tak membutuhkan waktu lama bagi Rama untuk menghabiskan satu porsi.
“Udah aku duga kalau kamu ngga bakalan kenyang kalau cuma makan satu, untung aku bikin tiga.” Ucap Fika.
“Bagus kalau kamu perhatian, berarti satu lagi buat aku.” Kata Rama.
Rama kembali memakan roti yang ada di tempat makan. Fika hanya menggeleng pelan sambil menatap ke arahnya. Beberapa saat berlalu, kegiatan makan pun selesai. Rama dan Fika tidak berpindah dari tempat duduk mereka. Fika sedang terpaku menatap handphone sementara Rama bersandar pada bangku sambil memejamkan matanya.
Mata Fika mendadak melirik ke arah pintu kelas. Bukan tanpa sebab melainkan...
“Liat deh, masa iya kalian percaya kalau mereka cuma temen doang? Dari dulu kelas satu selalu aja berdua. Aneh ngga sih?”
“Kalau dari cerita yang beredar sih gitu.”
...ada beberapa siswa lain yang sedang membicarakan dirinya. Meskipun dengan suara pelan, namun Fika dapat mendengarnya.
“Gimana gue mau deketin Rama ya kalau ada dia terus?”
“Ngga usah didengerin Fik...”
Fika berhasil dibuat sedikit terkejut, ia menatap ke arah Rama yang masih memejamkan matanya sambil bersandar pada bangku.
“...mending kamu lanjutin baca novel, kalau perlu pakai earphone aku tuh di tas bagian depan.” Ucap Rama.
Fika menghela nafasnya pelan, “Nanti ajarin Fisika Ram di rumah.”
Rama bergumam menjawab ajakan Fika. Waktu berjalan terus tanpa kenal lelah, hingga tak terasa bel pulang sudah berkumandang. Semua siswa bersama-sama meninggalkan kelas yang membosakan, termasuk juga Rama dan Fika yang berjalan bersampingan meninggalkan kelas menuju parkiran.
“Kamu mau mampir atau langsung pulang?” Tanya Rama.
“Langsung pulang.” Jawab Fika singkat.
Rama sempat menatap ke arah Fika sesaat. Rama menyalakan motornya lalu Fika naik di belakang. Motor melaju meninggalkan Sekolah pada sore hari ini. Sesekali Rama melihat ke arah kaca spion di mana ia dapat melihat Fika, kemudian ia kembali menatap ke arah depan lalu memacu motornya sedikit lebih cepat.
Beberapa kilometer terlewatkan begitu saja hingga Rama menghentikan motornya di pinggir jalan. Rama melepas helmnya yang tentu saja membuat Fika bingung.
“Kok berhenti di sini Ram?” Tanya Fika.
Rama menghiraukan pertanyaannya, kemudian ia turun dari motor. Fika pun ikut turun dari motor setelah melepas helm yang ia kenakan. Ia mengikuti ke mana Rama melangkah dari belakang.
“Bang, Bakpao isi cokelat satu sama isi ayam satu.” Ucap Rama.
Setelah membayar, Rama kembali berjalan yang kembali diikuti oleh Fika. Akhirnya Rama duduk di sebuah bangku yang terbuat dari besi panjang, kemudian Fika ikut duduk di sampingnya.
“Kamu mau ngapain di sini Ram?” Tanya Fika.
“Makan Bakpao, nih buat kamu.” Jawabnya.
Rama mulai makan sambil menatap ke arah Danau yang ada di hadapannya, Fika pun juga ikut memakan Bakpao tersebut. Sesekali Rama melihat ke arah sekeliling yang juga diikuti oleh Fika, ada beberapa orang yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang sedang berlari-lari kecil mengelilingi Danau, ada yang sedang menaiki bebek-bebekan di tengah Danau, ada pula orang-orang yang sekedar duduk seperti mereka.
“Kamu masih sebel sama mereka?” Tanya Rama.
“Sebel? Maksudnya?” Jawab FIka bingung.
“Kamu kira aku ngga atau apa, dari tadi abis istirahat sampai keluar kelas mukamu ngga enak banget.” Ucap Rama.
Fika menghela nafas, “Heran aja, kenapa harus ada orang-orang kayak gitu. Kalau emang ngga suka kan tinggal ngomong aja, kenapa harus dari belakang. Sekalinya ketemu kayak orang ngga punya dosa, biasa-biasa aja. Nyebelin banget.”
“Inilah kenapa aku males bikin masalah sama kamu.” Sahut Rama.
“Apa sih.” Jawab Fika ketus.
“Akan selalu ada orang-orang kayak gitu Fik.” Kata Rama.
“Mau sampai kapan ada orang-orang kayak gitu? Maksud aku gini ya, kalau emang ngga suka ya ngomong aja ngga suka...”
Rama tersenyum menatap Fika.
“...Terus bawa-bawa kamu lagi, emang kenapa sih? Kalau emang dia mau deketin kamu ya tinggal deketin aja, kenapa gara-gara aku terus semuanya jadi susah. Kan ngga masuk akal Ram.” Jelas Fika.
Fika kembali memakan Bakpao yang ada di tangannya, ia menatap ka arah Rama yang sedang tersenyum melihatnya.
“Kamu... kenapa ngeliatin aku begitu?” Tanya Fika.
Rama tertawa pelan, “Nggapapa, aku suka aja sama sikap kamu yang ngga berubah dari dulu. Orangnya to the point, ngga suka basa-basi.”
“Ya kamu juga orangnya kayak gitu.” Ucap Fika.
“Udah lega?” Tanya Rama.
FIka menghela nafas, “Mendingan. Jadi ini alesan kamu ajak aku ke sini?”
Rama mengangguk, “Sebenernya kalau orang yang belum kenal banget sama kamu akan bingung sama sikap kamu, kelihatan baik-baik aja dari luar. Beruntungnya, aku udah kenal lama sama kamu. Jadi aku tau kalau kamu lagi bermasalah.”
“Makasih ya Ram, untung ada kamu.” Ucap Fika.
“Ayo pulang.” Ajak Rama.
“Loh, udah mau pulang?” Tanya Fika.
“Katanya tadi mau diajarin Kimia pas jam istirahat.” Ejek Rama.
“Ih kamu mah...”
Fika memukul lengan Rama pelan, sementara Rama hanya mengusap-usap lengannya. Mereka pun tertawa, di sore hari yang cerah menikmati hamparan Danau yang luas.
ippeh22 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas