Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

meisyajasmineAvatar border
TS
meisyajasmine
PESAN KOTOR DI LAPTOP ANAKKU (TERPAKSA JADI SUGAR BABY, KARENA ULAH AYAH!)
PESAN KOTOR DI LAPTOP ANAKKU (TERPAKSA JADI SUGAR BABY, KARENA ULAH AYAH!)

PESAN KOTOR DI PONSEL ANAKKU

Sebelum masuk ke thread, Ane mau ngejelasin sedikit, Gan. Cerita ini akan mengisahkan tentang seorang gadis SMA yang terpaksa menjadi sugar baby karena dijual oleh bokapnya sendiri. Ngeri? Jelas, Gan. Ane juga sedih kalau ngebayanginnya. So, yang udah jadi bokap atau akan jadi bokap, berjanjilah buat sayang ke anak-anak kalian, apalagi anak cewek. Jangan pernah disakiti, apalagi kalau sampai kaya cerita ini. Ingat, Gan. Apa pun yang kita lakuin ke anak, semua bakal di pertanggung jawabkan di akhirat nanti.

Selamat membaca, jangan lupa bahagia, Gan.
“Mi, Ika berangkat dulu.” Zulaika menyambar tanganku. Aku yang tengah hendak meraih pisau selai di atas meja, terpaksa urung sebab tangannya telah menggenggam jemari ini erat.

“Lho, nggak sarapan dulu, Ka?” tanyaku agak heran. Zulaika, anak pertamaku yang sudah menginjak usia 17 tahun tersebut, biasanya tak pernah melewatkan sarapan. Gadis itu paling suka dibuatkan roti panggang yang diolesi selai kacang. Namun, kali ini dia sangat berbeda.

“Buru-buru,” ucapnya sambil mencium tanganku cepat, lalu berlari ke arah depan sana menuju pintu. Rumah minimalis kami yang dapur, ruang tengah, dan ruang tamunya tanpa sekat serta langsung mengarah ke pintu ini memang membuatku langsung bisa memandangi sosok Zulaika yang keluar.

Gadis dengan rambut hitam legam tebal sebahu tersebut sudah menghilang. Tak dapat kutangkap lagi bayangannya dengan kedua mata yang mulai menua. Ya sudahlah. Kalau memang dia tak mau sarapan, itu artinya biar aku saja yang memakan roti panggang kacan ini.

Bila tengah sendiri di rumah begini, aku langsung teringat Ario, anak bungsuku yang sedang mondok di luar kota, serta Mas Danu, mantan suamiku. Dulu, dulu sekali saat rumah tanggaku masih utuh, kami selalu makan bersama di meja ini. Berempat menikmati canda tawa dan hidangan sederhana buatanku. Namun, semua tinggal masa lalu. Tak akan pernah terulang sampai kapan pun.

Ya, aku dan Mas Danu sudah bercerai sejak tiga tahun lalu. Ketika Zulaika berusia 14 tahun dan Ario berusia 13. Perceraian disebabkan karena suamiku yang sudah tak betah menghadapi kesibukanku sebagai bankir. Itu hanya alasan. Keinginan utama lelaki itu ternyata menikahi wanita lain yang selama ini diam-diam dia kencani di belakangku. Aku tak marah. Tak masalah. Tanpa kehadirannya, toh aku masih bisa hidup bersama kedua anak-anakku, meski Ario kini nyantri atas pilihannya sendiri.

Aku yang kini telah pensiun dini dari dunia perbankan dan memilih banting setir membuka pesanan pastry serta merangkai karangan bunga memang tak sesibuk dahulu. Waktuku lebih banyak di rumah. Tanpa dibantu asisten seorang pun, aku tetap bisa mengurusi rumah, Zulaika, dan bisnis kecil-kecilanku. Pesanan kue-kue hanya open pre order dua kali seminggu. Kecuali karangan bunga, itu dapat dipesan kapan pun. Untuk macam-macam momen. Kadang karangan duka cita, perkimpoian, naik jabatan, gran openning, dan lain sebagainya. Hasil usahaku bahkan lebih dari cukup untuk biaya kehidupan kami bertiga. Terbukti, aku tak butuh Mas Danu yang memang sudah melupakan kami semenjak perceraian itu datang.

Usai sarapan, aku langsung beres-beres. Hari ini tak ada pesanan kue maupun karangan bunga. Aku jadi pengangguran sehari. Rencananya, akan kunikmati hari ini dengan menonton drama Korea di laptop. Usia memang boleh tua, tapi seleraku dan Zulaika sama, lho. Hehe aku memang menolak tua sepertinya.

Mencuci piring bekas makan sudah. Menyapu juga sudah. Aku langsung masuk ke kamar Zulaika untuk membereskan kamar anak gadis tersebut. Alangkah kagetnya aku dengan tisu yang berserakan di atas tempat tidur. Tisu-tisu bekas pakai itu menggumpal bagai bola-bola dengan jumlah banyak. Zulaika kenapa? Apakah dia habis menangis semalaman? Atau dia sedang pilek? Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Sudah berengkatnya buru-buru, dia tak mau sarapan pula. Bagaimana kalau anak itu memang kurang sehat dan tak ada isi makanan di perutnya? Astaga, gadis itu selalu saja bikin aku khawatir!

Kusapu dengan telaten semua sampah di kamarnya. Ada bungkus snack, tisu-tisu bekas pakai, baju kotor, semuanya campur aduk centang perenang membuat kepala pening. Untung yang di rumah hanya satu anak. Kalau ditambah dengan Ario, tensiku bisa langsung naik drastis.

Tring!

Aku luar biasa kaget saat mendengarkan suara itu. Kutoleh ke arah meja belajar di mana suara tadi berasal. Laptop milik Zulaika tampak belum mati dan tertutup setengah. Aku pun langsung menghentikan aktifitasku dan langsung mendekat ke arah benda pipih empat belas inci dengan warna silver tersebut.

Saat kutegakkan layar laptopnya, ternyata sebuah drama Korea sepanjang tadi terputar dan dimatikan oleh Zulaika volumenya. Langsung kukeluarkan jendela pemutar video tersebut.

“Duh, Ika, kebiasaan banget!” omelku sendirian.

Ketika jendela pemutar video tersebut sudah tertutup, yang terpampang kini adalah jendela mesin pencarian internet yang menunjukkan akun WhatsApp milik Zulaika. Bunyi itulah yang muncul mengejutkanku tadi. Ada notifikasi pesan masuk.

Awalnya, aku ingin menghargai privasi anakku. Namun, lama kelamaan aku jadi penasaran sendiri. Terlebih pesan masuk itu berasal dari sebuah akun yang diberi nama Boo. Bukankah itu seperti nama panggilan sayang untuk seseorang? Apakah Zulaika sudah punya kekasih? Kenapa dia tidak pernah cerita kepadaku?

Dengan tangan yang gemetar, aku membuka pesan dari si Boo. Duduk aku di kursi belajar milik putriku sambil menatap layar laptop dengan degupan jantung yang kencang.

[Bee, pulang sekolah netflix and chill lagi, ya? Aku beneran pengen. Kamu bikin aku turn on terus semalaman. Hiks, mau, ya? Udah di ubun-ubun ini mah. Serius ☹]

Ada yang terkoyak dalam dada ini. Sakit sekali perasaanku. Bukannya aku ini bodoh dan tak paham apa arti di balik pesan dengan bahasa gaul ini. Terlebih saat membaca kata ‘turn on’. Perasaanku sebagai seorang ibu plus single parent benar-benar hancur lebur tak bersisa.
Tega kamu kepada Mami, Zulaika!

Lanjut?

Catatan: netflix and chill artinya berhubungan seksual


Bagian 2

Subscribe sebelum baca ya, Gan. Cendolnya jangan lupa. Aseeek ❤️😍


Tanganku jadi gemetar hebat. Lutut ini seketika lemas. Air mata di ujung pelupuk tanpa terasa semakin banyak dan akhirnya jatuh tak tertahankan. Zulaika, kamu benar-benar telah merusak segala percaya yang selama ini kuberikan! Demi kebahagiaanmu, kulepaskan kau bagai burung di udara. Bebas pergi ke mana pun dengan teman-temanmu. Sampai saat pulang terlambat pun, aku masih maklum asal sebelum Magrib tiba. Inikah yang ternyata kamu sembunyikan dari mamimu sendiri?

Aku menguatkan diri untuk terus menjelajahi isi WhatsApp milik Zulaika. Kubongkar isi balas-balasan pesan yang dilakukan Zulaika kepada seseorang bernama Boo. Hari ini juga, semua rahasianya harus kuungkap. Zulaika harus menerima semua konsekuensi dari perbuatan tak terpuji tersebut!

Tanganku mengulir bola mouse hingga ke atas. Belum sampai pada pesan paling awal, dadaku sudah hendak meletup. Kutemukan pesan yang dikirim sekitar satu minggu lalu. Tepatnya hari Senin, di mana Zulaika libur sekolah sebab tanggal merah.

Boo : Udah bangun belum, Bee?

Zulaika : Udah, Hubby. 

Boo : Minta PAP 😊

Zulaika : PAP apa dulu?

Boo : TT

Zulaika : Ih, kebiasaan, deh! 

Boo : Ayolah, Bee. 

Di situ aku sudah hendak menangis sejadi-jadinya saat melihat gambar apa yang tertera di layar. Zulaika, gadis yang kuanggap seorang pendiam dan lugu, dengan santainya dia mengirimkan sebuah gambar tak senonoh. Dadanya terpampang tanpa helai penutup. Aku menangis nyaring. Menutupi kedua wajahku dengan telapak.

“Ya Allah, salah apa aku? Mengapa anakku sampai begini?” Dadaku sesak sekali. Bagaikan bebabn sudah jutaan ton menghimpit tubuh ini. 

Boo, seorang lelaki yang menggunakan gambar Zoro, salah satu tokoh dalam serial manga One Piece, sebagai foto profilnya tersebut, ternyata juga mengirimkan gambar yang lebih-lebih tak senonoh. Membuat ulu hatiku langsung nyeri dan mual luar biasa. Aku bahkan langsung bergidik ngeri sambil menutup kembali mataku dengan telapak.

Benar-benar manusia laknat, benakku. Anak sekecil mereka, bahkan sudah berani mengirimkan gambar organ vital yang seharusnya menjadi privasi dan hanya boleh dilihat oleh dirinya sendiri, dokter, dan pasangan halal. Bahkan orangtua pun tak diperkenankan untuk melihat atau menjamah, tanpa persetujuan dari si anak.

Boo : Kamu lihat, kan? 

Bee : Lucu. Jadi pengen 4646 hihi

Aku membelalak lebar. 4646 itu kode apa? Aku menggelengkan kepala. Semakin tak paham apa arti yang dimaksud Zulaika akan responnya setelah dikirimi gambar vulgar tak senonoh tersebut.

Kuputar otak. Segera aku meluncur ke mesin pencarian Google untuk menemukan beberapa slang words atau kata-kata gaul yang beberapa masih asing dari kepala. 

Mataku membelalak lebar ketika menemukan apa yang dimaksud dengan 4646 tersebut. Ternyata, deretan angka itu bukan nomor togel atau pin ATM, melainkan kode untuk mengajak berhubungan badan. 4646 dibaca patnam-patnam yang apabila dibali menjadi mantap-mantap atau sinonim lainnya adalah ena-ena. Allahuakbar! Kiamat rasanya duniaku. Anakku ternyata benar-benar sudah ketagihan luar biasa dengan aktifitas yang tak sepantasnya dia lakukan di usia sekolah. Ingin rasanya aku berlari ke sekolahnya sekarang juga. Menghukum anak itu habis-habisan dan mengurungnya di dalam rumah.

“Mengapa cobaan hidupku seperti ini? Bercerai, banting tulang sendiri, sampai harus menanggung malu atas perzinahan anak gadisku?” gumamku sambil terisak.

Tak kuat lagi aku menahan beban ini sendirian. Namun, untungnya aku masih bisa berpikir jernih. Segera kusalin nomor telepon si Boo dari akun WhatsApp milik Zulaika ke aplikasi Microsoft Word. Percakapan mereka juga berusaha kulakukan screen shot dan menyalinnya menjadi gambar melalui aplikasi Microsoft Paint. Aku bersyukur, di usiaku yang ke-43 tahun ini, aku tak gaptek dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Demi mengimbangi Zulaika, aku rela membuat akun Twitter dan Instagram, mengunduh TikTok, membaca artikel-artikel tentang perkembang psikologis remaja. Namun, hanya satu yang selama ini tak kulakukan. Aku terlalu menghargai privasi Zulaika. Sebab, kupikir anak zaman sekarang tak suka terlalu dicampuri. Tak pernah kucek ponselnya, apalagi membuka-buka pesan pribadi dari aplikasi WhatsApp maupun direct message di Instagramnya. Itulah kebodohan yang telah membuat anakku jadi hancur tak keruan sebab kurangnya pengawasan dariku.

Tring! Sebuah notifikasi pesan masuk datang lagi. Membuat aku yang sesaat melamun di depan gambar percakapan mes*m milik Zulaika dan pacarnya yang sudah berhasil kusimpan dalam folder khusus. Aku pun segera membuka kembali akun WhatsApp milik Zulaika. Mumpung anak itu belum sadar dan log out dari WhatsApp web.

Kutemukan sebuah pesan baru di atas pesan milik si Boo. Daddy. Begitu tulisnya. Aku mengerutkan kening. Apakah Mas Danu sudah berkirim pesan kepada Zulaika? Namun, anakku tak pernah menceritakan hal tersebut. Selama tiga tahun ini, memang kami sudah putus kontak sama sekali.

Tanganku gemetar hebat lagi. Daddy siapa ini? Tampak foto profilnya seorang lelaki berjas warna hitam dan gempal. Ada kumisnya pula. Meski foto itu belum kuperbesar dan hanya tampak pada ikon kecil, tapi aku yakin 100% itu bukanlah Mas Danu.

Kuberanikan diri untuk mengkliknya. Aku terkejut luar biasa. Jantung ini bagai diremas-remas. Sebuah struk dengan deretan nominal angka yang fantastis perlahan muncul di layar.

Aku menggelengkan kepala. Ya Allah, katakan padaku bahwa ini hanya mimpi belaka!


Lanjut? Komen, gaes. Biar Jasmine makin gercep update. 


Catatan:

1. PAP: Posting a picture (kirim gambar)

2. TT: Bagian dada


Bagian 3


Daddy : Sorry, baru ngirim pagi. Segini dulu, ya? Anakku minta uang semesteran soalnya. Nanti kutambah lagi.

Jantungku sungguh rasanya teremas-remas. Bagai ditusuk sembilu. Nominal sepuluh juta bukanlah angka yang kecil. Apalagi bila uang tersebut asalnya dari orang yang entah siapa. Mengapa Zulaika bisa dikirimi uang sebanyak itu oleh lelaki matang yang dipanggilnya ‘daddy’?

Saat kuberanikan diri untuk memperbesar foto yang digunakan akun tersebut, aku sungguh semakin tercengang. Bapak-bapak yang usianya jelas di atasku. Kutaksir mungkin sekitar lima puluh tahun. Bertampang sangar akibat lintang kumis tebal. Hidungnya besar dengan pipi yang tembam. Dari foto separuh badan dengan gaya formal dan berlatar belakang merah, dapat kusimpulkan orang ini badannya gemuk. Astaga, apakah … anakku juga sudah menjual dirinya kepada lelaki tua bangka ini?

Aku sungguh meradang. Terlihat di layar, lelaki itu tengah mengetik lagi.

Bunyi notifikasi memecah suasana hening. Membuatku langsung membelalak lebar untuk kesekian kalinya membaca pesan dari lelaki tak tahu diri tersebut.

Daddy : Kenapa cuma dibaca? Kurang, ya? Jangan marah, dong. Pulang kujemput, ya? Main di apartemen sejam. Nanti kutambah lagi. Oke Zulaika yang manis dan tembem?

Tembem? Apanya yang tembem? Anakku jelas-jelas memiliki postur tinggi langsing dengan pipi tirus. Ya Allah, sakitnya hatiku. Air mata ini mengalir lagi bagi air bah yang menjebol tanggul. 

Mengapa Allah tak dari dulu memberiku firasat akan semua tindak tanduk Zulaika yang kukira normal? Apakah alasannya telat pulang sebab mengerjakan tugas atau ikut ekstra itu hanya omong kosong belaka.

Saat aku hendak menyalin nomor si tua bangka itu, alangkah terkejutnya diriku. WhatsApp tersebut sudah keluar alias log out. Hanya menyisakan layar berisikan barcode dengan tata cara masuk ke layanan WhatsApp melalui komputer.

“Argh! Sial sekali!” rutukku sembari memukul meja saking kesalnya.

Aku luar biasa sakit hati. Zulaika pasti baru menyadari bahwa aku tengah membaca pesan-pesan kotor di akun WhatsApp miliknya lewat laptop ini.

Aku tak kehilangan akal. Kamar milik Zulaika yang selama ini hanya sekadar kubersihkan tanpa pernah kugeledah, kini jadi sasaran selanjutnya. Mulai dari lemari meja belajar, tempat tidur, hingga kolongnya pun kuperiksa. Aku tak menemukan barang yang mencurigakan. Namun, tiba-tiba perhatianku langsung terarah ke lemari pakaian miliknya. 

Kuat firasatku bahwa aku bisa menemukan sesuatu di sana. Selama ini, aku memang tak pernah sembaragan membuka barang pribadi milik Zulaika. Termasuk lemari. Sebab, aku sendiri juga mengajarkan kepada anak-anakku arti pentingnya sebuah privasi yang selama ini kuagung-agungkan. Tak kusangka, omong kosong itu malah menjadi bumerang sendiri buatku. Menjadi langkah penghancur yang diam-diam telah memporakporandakan kehidupan anak gadisku.

Lemari itu tak terkunci. Semua pakaian milik Zulaika kuacak-acak. Kukeluarkan satu per satu dari lemari dan menjatuhi lantai. Tak ada apa-apa di sana. Yang kucari adalah sesuatu mencurigakan seperti bubuk kokain, pil ekstasi, atau jarum suntik, bahkan alat kontrasepsi. Bukan tak mungkin bila anak itu telah terlalu jauh perbuatannya. 

Aku kecewa terhadap penemuanku. Nihil. Tak ada barang apa pun. 

Mataku lalu tertuju pada sebuah laci yang berada di tengah-tengah lemari pakaian. Laci itu terlihat dikunci. Tak ada kunci yang tercantel di sana. Sekuat tenaga kutarik, tapi tak juga dapat terbuka.

Aku langsung putar otak lagi. Laci yang terkunci itu harus kucongkel dengan sesuatu. Teringat lagi dengan ujung gunting, aku pun bergegas untuk mencarinya di dapur. Berbekal barang tajam tersebut, aku berusaha untuk membongkar kunci laci menggunakan ujung gunting dan sekuat tenaga memutarnya searah dan voila! Usahaku ternyata berhasil. Laci tersebut berhasil kubuka tanpa harus merusaknya secara berlebihan.

Kedua mata ini langsung membelalak besar. Dua buah buku tabungan, selembar sertifikat deposito, polis asuransi jiwa, dan sebuah kotak perhiasan berwarna hitam dengan bahan bludru. Tanganku gemetar luar biasa. Usia Zulaika baru 17 tahun 5 bulan. Aku tak pernah membawanya ke bank untuk membuka rekening, mendaftarkan asuransi, apalagi mendepositokan sejumlah uang untuknya. Dari mana anak ini mendapatkan benda-benda tersebut.

Luar biasa lemas lututku saat membuka kotak perhiasan tersebut. Sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk tetesan air bertahta berlian yang menyilaukan mata. Di bawah kotak tersebut, tepatnya bertumpuk dengan buku tabungan dan polis asuransi, terdapat selembar sertifikat berlian dari Gemological Institute of America yang menunjukkan bahwa karat berlian pada liontin itu senilai 0,5. Astaghfirullah, tentu bukan harga yang murah untuk nilai demikian. 

Zulaika, anakku yang tak banyak bicara. Tiba di rumah menghabiskan waktu di kamar. Jika aku masuk, dia terlihat sedang menikmati serial drama Korea sambil mengemil makanan ringan. Nilainya tak pernah anjlok meskipun hobi menonton. Peringkatnya pun tak pernah di bawah tiga besar. Dia cantik, berprestasi, tak pernah memakai baju yang terbuka. Malam Minggu atau malam hari libur lainnya pun, anak itu minta izin keluar baik-baik kepadaku dengan ditemani beberapa teman perempuannya. 

Tidak, aku rasanya tak sanggup untuk mempercayai apa yang baru saja kulihat dengan mata kepala sendiri. Apa mungkin anakku sudah bermain peran dan menipu orangtuanya selama ini? 

Zulaika, sekejam inikah kamu kepada Mami?


Lanjut? Komen di bawah ya, Gan-Sis.

Cerita update di kolom komentar, ya. Cara bacanya buka aja next page. Sorry, nubie. Belom bisa bikin index emoticon-Ngakak
Diubah oleh meisyajasmine 23-11-2021 22:05
a9r7a
erman123
kddnmt
kddnmt dan 23 lainnya memberi reputasi
24
12.9K
81
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
meisyajasmineAvatar border
TS
meisyajasmine
#38
Bagian 7
Saat para guru tiba-tiba muncul dan menyerbu ruang di mana aku berdiri, entah mengapa pikiranku malah menjadi semakin kacau. Aku hanya ingin segera mencari Zulaika, meskipun hati kecilku sangat keberatan untuk pergi begitu saja di tengah kekalutan orang-orang mengenai kematian dua teman putriku. Bagaimana pun juga, mereka tewas sebab mengantar Zulaika, yang sama sekali tidak ada di rumah. Bahkan nomor ponselnya pun tak dapat dihubungi.

“Ibu, saya turut berduka cita sedalamnya atas kematian dua teman-teman Zulaika. Namun, saya harus pamit untuk mencari anak saya. Kalau Ibu bilang mereka pergi sejam lalu, seharusnya Zulaika sudah ada di rumah dari tadi. Namun, nyatanya dia tak ada di rumah.” Aku berusaha untuk berbicara pada Bu Putri, di tengah hiruk pikuk para guru yang beberapa pecah tangisnya.

“B-baik, Bu.” Bu Putri yang sedang dikerumuni oleh banyak ibu-ibu guru lain tersebut hanya mengiyakan permohonanku dengan wajah yang tak lagi fokus. Ucapannya terbata. Wajahnya begitu pucat pasi. Air matanya pun telah bersimbah membuat bedak yang ia kenakan mulai luntur.

Dengan langkah yang sangat cepat, aku langsung menuju parkiran. Masuk ke mobil hitamku dan mengeluarkannya dari area parkir yang dijubeli mobil-mobil lain. Dalam hati aku menganalisa, bila sejam yang lalu Zulaika sudah diantar, seharusnya saat aku berberes rumah, bukankah seharusnya dia sudah tiba? Jarak ke sekolah menuju rumah itu hanya 10-15 menit saja, tergantung dari tingkat kemacetan. Tak memakan waktu yang lama. Namun, mengapa pula anakku tak sampai ke rumah? Ke mana dia pergi?

Jutaan pertanyaan kini bercokol di kepala. Aku sangat syok. Bagaimana kalau pada akhirnya, kedua orangtua siswa-siswa yang meninggal dunia tersebut menuntut sekolah maupun diriku, selaku orangtua Zulaika yang anaknya sempat para almarhum antar? Ya Allah, sedangkan anakku sendiri, tak kutahu dia ada di mana sekarang.

Gemetar sudah tanganku saat menyetir. Bayangan-bayangan akan kejadian buruk kini berkelebat di kepala. Di saat genting begini, telepon genggam yang kusimpan dalam tas tangan, tiba-tiba berdering nyaring. Sebuah panggilan masuk. Aku bimbang. Sementara di depan sana, lampu lalu lintas sedang hijau. Akhirnya, aku mengabaikan dering telepon tersebut dan terus tancap gas agar tak membuang banyak waktu.

Sial! Lampu tiba-tiba kuning. Namun, aku tak mau berputus asa. Terus kugas mobil dengan kecepatan maksimal dan keadaan bertambah sial kembali saat sebuah kendaraan bermotor dari sebelah barat yang lampunya akan hijau, malah memacu kendaraannya dan … hampir saja kecelakaan itu terjadi!

Tin! Klakson kubunyikan senyaring mungkin. Kulihat lagi serbuan motor dan mobil dari arah barat semakin mendekat, sedang aku masih di tengah persimpangan jalan. Aku gugup luar biasa. Panik. Mau tak mau aku harus semakin memacu kencang mobil ini, meski hujanan klakson sudah membuat wajah sekaligus kupingku merah.

Teleponku kembali berdering lagi saat aku berhasil melewati perempatan jalan dengan selamat. Astaga, siapa yang menelepon terus begini? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati ditabrak banyak kendaraan?

Aku terpaksa menepikan mobil di depan toko material bangunan yang jaraknya sudah tak begitu jauh dari perumahan tempat kami tinggal. Kesal campur murka, kurogoh tas tangan milikku dan mengambil ponsel yang masih saja Cumiik keras tersebut.

Nomor tak dikenal sedang melakukan panggilan. “Siapa, sih?!” rutukku sebal.

“Halo, selamat pagi!” kataku dengan nada kesal setengah mati.

“Selamat pagi. Benar ini dengan Rima Florist?” Seorang lelaki yang tak kukenal telah menyebut nama usaha karangan bungaku.

“Iya, saya pemiliknya, Rima. Ada apa?”

“Oh, jadi Rima itu nama Anda?” Aku tergemap. Apa maksud laki-laki bersuara bass ini? Buang-buang waktu saja!

“Ada keperluan apa, Pak? Ingin pesan karangan bunga?” tanyaku sudah tak sabaran.

“Tentu. Masa membeli semen. Memangnya jual?” Lelaki itu lalu tertawa renyah di seberang sana. Membuatku gemas sebab tertawaan konyol yang tidak tepat momen tersebut.

“Mohon kirimkan format pemesanannya lewat WhatsApp saya. Kirim tema karangan bunga, nama penerima dan alamat lengkapnya. Pembayaran dilakukan sebelum pengerjaan.”

“Hari ini bisa langsung jadi? Saya ingin siang sudah diantar.”

Aku mengerutkan dahi. Siang? Sementara aku harus mencari anakku.

“Kalau begitu, silakan cari florist lain. Hari ini saya tidak bisa mengerjakan cepat.”

“Ya, sudah. Sore menjelang malam pun tidak apa-apa. Tolong, florist lain sudah penuh.” Orang itu terus mendesak. Tipikal konsumen yang memaksa dan tak sabaran.

Aku menggigit bibir. Semoga Zulaika bisa segera kutemukan. Merangkai bunga sebenarnya tak memakan waktu banyak sebab aku hanya tinggal menempelkan nama saja. Sedang kerangka berbagai ucapan memang sudah dibuat jauh-jauh hari dan masih ada stoknya beberapa.

“Oke. Silakan kirimkan sekarang untuk formatnya.”

“Ya. Saya juga sudah transfer uangnya. Tolong kirimkan sore, ya. Selamat pagi.” Aku tercengang sendiri dengan mata yang membelalak lebar. Jangtungku berdegup sangat kencang tatkala mendengar perkataan lelaki tersebut sebelum ia pada akhirnya memutuskan sambungan telepon.

Dia langsung mentransfer padahal belum kuberi tahu range harganya. Oh, mungkin dia sudah mencari info di Instagram, pikirku.

Aku langsung bergegas membuka kotak masuk pada aplikasi WhatsApp. Nomor tadi sudah mengirimi pesan. Kulihat, tak ada foto yang tertera pada akun tersebut.

Pesan pertama yang membuatku tercengang adalah kiriman foto darinya. Bukti transfer yang membuatku sangat terkejut luar biasa. Lima juta rupiah! Apakah dia memesan beberapa karangan bunga? Sial! Aku bahkan sudah mengiyakan, tanpa bertanya berapa buah yang dia inginkan! Bagaimana kalau dia minta sepuluh sekaligus untuk karangan bunga duka cita, sementara kerangka untuk momen itu baru tersedia empat di rumah?

Pesan masuk selanjutnya yang baru saja tiba di ponselku adalah format pemesanan. Kali ini, aku tak kalah kaget luar biasa. Lututku gemetar hebat dengan kedua mata yang langsung membelalak. Napasku tercekat dengan debar yang seperti hendak meledakkan dada. Apa ini?!

[TURUT BERDUKA CITA ATAS MENINGGALNYA ZULAIKA AZZIKRA PUTRI DARI BP. DANU & NY. RIMA. DARI: PENGAGUM RAHASIA. TOLONG KIRIMKAN KE ALAMAT NY. RIMA, JALAN PANGERAN ANTASARI PERUM GREEN HILLS BLOK C 09. SORE HARUS JADI!]

Aku marah, bergidik ngeri, lemas, sekaligus panik luar biasa. Orang gila mana yang baru saja berkomunikasi denganku? Apa dia sudah sinting?!

Cepat kutelepon nomor tersebut melalui panggilan suara di aplikasi WhatsApp. Ya Allah, ternyata hanya berdering alias tak dapat tersambungkan. Itu artinya dia sudah tak aktif internetnya. Aku pun lekas menelepon via seluler dan harus kutelan kekecewaan besar sebab orang itu lagi-lagi tak dapat dihubungi. Nomornya sudah tak aktif.

Tengkukku seketika saja merinding hebat. Aku tiba-tiba merasa perlu untuk menoleh ke arah belakang. Jangan-jangan … keselamatanku dan Zulaika sedang di dalam ancaman saat ini?

(Bersambung)

Izin buka lapak agan-agan yang terhormat dan terkece. Novel Pesan Kotor di Laptop Anakku yang lagi agan baca ini sudah terbit versi ebook di Playstore. Ada 3 jilid, Gan. Dijamin puas bacanya. Makasih Gan, sebelumnya.

PESAN KOTOR DI LAPTOP ANAKKU (TERPAKSA JADI SUGAR BABY, KARENA ULAH AYAH!)

PESAN KOTOR DI LAPTOP ANAKKU (TERPAKSA JADI SUGAR BABY, KARENA ULAH AYAH!)

PESAN KOTOR DI LAPTOP ANAKKU (TERPAKSA JADI SUGAR BABY, KARENA ULAH AYAH!)
hudannasrullah
egama
egama dan hudannasrullah memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.