- Beranda
- Stories from the Heart
HASRAT SEORANG IPAR
...
TS
meisyajasmine
HASRAT SEORANG IPAR
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besarku. Ya, hari itu adalah pernikahan Mbak Mel, putri kesayangan ibu dan almarhum bapak. Walau keduanya memiliki dua orang putri, Mbak Mel dan aku, namun jauh di relung hati ini aku sangat paham jika yang paling mereka cintai adalah Mbak Mel seorang.
Sejak kecil, ibu dan bapak selalu saja mendahulukannya. Membelikan barang-barang mahal untuknya, sampai menyekolahkan perempuan cantik itu hingga S-1. Sedang aku? Selalu mendapat lungsuran barang darinya dan hanya berkesempatan berkuliah hingga D-3. Alasan klasik, uang ibu dan bapak sudah tidak cukup jika menguliahkan dua anaknya ke jenjang sarjana.
Aku yang hanya berbeda usia setahun saja dengan Mbak Mel, sudah sangat paham dengan pembedaan perlakuan yang kami dapat dari kecil hingga dewasa. Jadi, aku tak akan heran lagi jika nikahan Mbak Mel hari ini sangat istimewa untuk keluarga kami. Dan dapat kupastikan, pernikahanku kelak mungkin akan disambut biasa saja oleh ibu dan sanak famili lain.
Aku mendesah letih. Dari subuh hingga malam hari berkutat dengan dapur dan segala pernak pernik hajatan. Jangan membayangkan jika sebagai adik aku berdiri di depan untuk menerima tamu atau minimal duduk anggun menjaga buku tamu lalu membagikan suvenir. Tidak sama sekali. Bahkan aku tak dapat berdandan cantik di hari bahagia Mbak Mel. Ketersediaan konsumsi adalah tanggung jawabku, begitu perintah Mbak Mel.
“Dek Ayu, pokoknya kamu standby di dapur. Cek makanan. Jangan sampai ada yang kurang. Tolong arahkan juga sinoman untuk memungut piring dan sampah-sampah, ya.” Saat itu aku jelas saja membelalak. Bagaimana bisa tugas itu diberikan padaku, sementara panitia acara itu ada banyak dan harusnya dapat diberikan kepada kerabat lain.
Tiba-tiba aku menyadari satu hal. Hidupku bagi Mbak Mel memang tidak berarti. Hanya sebagai pemeran pembantu yang melengkapi kemeriahan hidupnya. Aku yang adik kandungnya, lebih patut mengurusi dapur dan tetek bengek sepele dalam acara, ketimbang sebagai si empunya hajatan.
Oke, Mbak Mel. Apapun yang kau lakukan padaku hari ini, anggap saja sebuah kado untuk pernikahan manismu. Namun, aku tak dapat menjamin, sampai kapan aku harus berlaku manis di hadapanmu.
***
“Mas Wisnu akan tinggal di sini selamanya bersama kita, Yu. Jadi, ibu mohon kamu jaga sikap dan berpakaian yang sopan. Hormati iparmu.” Ibu membuka percakapan saat aku sibuk membereskan rumah sisa hajatan. Waktu masih pukul empat, angin berembus begitu dingin. Sedingin kalimat ibu barusan.
“Memangnya selama ini sikapku selalu buruk? Terus, pakaian seperti ini kurang sopan apalagi, Bu?” Kupingku tentu saja langsung memerah. Aku yang sebenarnya tak ingin berdebat sepagi ini, langsung tersulut amarah.
Mata Ibu seketika mendelik. Dia terlihat tak kalah geram. Tanpa bicara lagi, orang tua itu balik badan dan meninggalkanku sendirian di teras rumah.
Tangisku terakhir kali luruh akibat perlakuan ibu sudah sangat lama. Tepatnya waktu kelas sepuluh SMA. Saat itu aku ulang tahun dan ibu tak sama sekali mengucapkannya. Dia malah membelikan Mbak Mel kasur pegas baru berawarna merah muda, warna kesukaanku. Aku jelas saja marah, iri, dan merasa sedih yang tiada tara. Seharian kuhabiskan untuk menangis dan pada akhirnya kuharamkan air mataku keluar lagi untuk Ibu.
Hari ini, air mata itu tak dapat kubendung. Tangisan yang sama. Air mata kekecewaan. Mengalir deras hingga membuat dadaku berguncang. Lemas, tubuhku duduk memeluk tiang penyangga teras.
“Sejak kecil hingga dewasa, ibu seakan memperlakukan aku bagai anak tirinya. Dia selalu saja mengganggap aku salah dan bahkan tidak memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu pada anak bungsu. Terus, sebenarnya aku ini anak mereka atau bukan?” Dalam kegetiran, aku berkata-kata sambil menutup wajah dengan kedua belah tangan. Perasaanku hancur sehancurnya. Kerja kerasku semalam bagai tiada arti di mata ibu.
Setelah lama aku menangis dan matahari mulai naik menyinari bumi, aku bangkit dari duduk. Takut-takut akan banyak orang lewat di depan sini lalu menjadikanku sebuah tontonan. Sudah cukup selama ini mereka membicarakan ku di belakang, tak perlu lagi para tetangga melihat secara langsung betapa mirisnya kehidupanku.
Saat akan berbalik, aku kaget luar biasa. Sosok lelaki tinggi dengan kaus putih dan celana hitam selutut. Wajahnya tampak cerah dengan senyuman yang hangat. Aku cepat-cepat mengusap sisa air mata dan membuang muka.
“Dek Ayu, kamu kenapa?” Dia mencegatku. Tangannya berusaha meraih sisi lenganku, namun aku mundur untuk menjaga jarak.
“Nggak apa-apa, Mas.” Gara-gara manusia ini, ibu telah menyakiti perasaanku secara lisan.
“Dek, kamu tau nggak tempat bubur ayam langganan Mbakmu? Aku disuruh beli sama dia. Tapi aku takut nyasar. Kamu mau nemenin?” Suara lembutnya mengalun di telingaku. Harusnya aku senang mendapatkan kata-kata halus dari orang di rumah ini, karena Ibu dan Mbak Mel jelas saja jarang bahkan tak pernah melakukannya padaku. Namun, karena mood-ku sedang rusak, ucapan Mas Wisnus tetap saja bikin muak.
Terpaksa, aku mengangkat kepala. Berdecak kesal dan memasang wajah tak suka. “Bilang aja kalau mau nyuruh aku yang belikan. Banyak basa-basi.” Aku berucap ketus, lalu melangkah ke arah luar dan membuka pagar. Ternyata Mas Wisnu mengejar dan menahan tanganku.
“Dek, maaf. Aku nggak maksud begitu. Serius. Maksudku kamu tunjukkan arahnya. Kalau tidak merepotkan, temenin aku. Bisa?” Mas Wisnu mengeluarkan senyuman manisnya. Wajah putih dengan bulu-bulu halus di pipi, dagu, dan bagian atas bibirnya begitu tampan saat tertimpa sinar mentari. Aku hampir saja terpana dengan kegantengan pria tiga puluh tahun ini, tapi segera kutepis saat membayangkan bahwa dia adalah suami dari perempuan yang sangat kubenci nomor dua setelah ibu.
“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari bibirku. Kakiku malas untuk berjalan menuju gerobak bubur ayam Pak Min yang berjarak hampir lima puluh meter dari rumah. Sepanjang jalan, kami berdua hanya membisu. Hanya bunyi derap langkah kaki yang saling beradu di udara.
“Ini tempatnya.” Jutek aku berkata.
“Makasih ya, Dek. Maaf aku merepotkan. Oh, ya, kamu pesan juga. Kita sarapan bareng di rumah.” Geligi putih bersih milik Mas Wisnu tampil dari balik senyum lebarnya. Ya Tuhan, setan apa yang membujuk seorang Wisnu hingga dia harus menikah dengan Mbak Mel? Orang sebaik ini tak pantas membersamai perempuan pemarah, tukang perintah, dan selalu merasa superior di mana pun.
“Terserah.” Aku buru-buru duduk di samping gerobak. Di sebelahku ada seorang ibu-ibu yang ikut mengantre. Tetangga juga, tapi aku tidak hafal namanya. Tidak penting.
“Eh, ini Ayu anaknya Bu Mayang kan?” Ibu-ibu berdaster hijau lumut dengan jilbab oranye—sangat tidak matching—itu menegurku dengan suara yang sok akrab. Aku mengerling malas. Tersenyum terpaksa dan mengangguk kecil.
“Kerja di mana? Kok kelihatannya nggak pernah pergi ke kantor, ya?”
Telingaku langsung berdiri. Hebat, pertanyaannya seperti seorang wartawan majalah gosip yang kehabisan berita.
“Adik ipar saya ini pengusaha online, Bu. Kantornya di rumah. Iya, kan, Dek?” Mas Wisnu tiba-tiba bergabung dan duduk di hadapanku.
“Eh?” Aku salah tingkah. Terlebih memperhatikan Mas Wisnu yang meminta pembenaran dengan senyum khasnya.
“I-iya,” jawabku sambil terbata. Pipiku langsung terasa merah rasanya. Antara malu, senang, dan hmm... sebuah perasaan yang tak dapat dijelaskan.
“Lho, ini siapa? Bukannya suami kakaknya, ya?” Ibu itu tiba-tiba terdengar syok. Perasaanku jadi merasa tak enak. Urusan bakal panjang, pikirku.
“Iya. Saya Wisnu, suami Melani.” Mas Wisnu dengan penuh keramah-tamahan menjabat tangan ibu berjilbab oranye itu.
“Saya Srinti, teman pengajian ibu kalian. Lho, mana Melani? Kok malah pergi sama iparnya?” Kedua Alis si Srinti bertautan. Mukanya tampak heran. Aku jelas saja memperhatikan wajahnya dengan malas dan muak.
“Bu, pertanyaannya banyak sekali? Aku pusing. Lebih baik ibu diam saja biar udaranya tidak tercemar karbondioksida.” Akhirnya kata-kata tajamku keluar. Aku santai saja. Sementara Mas Wisnu berubah muka menjadi tak enak. Begitu pula si Srinti yang terlihat keki.
“Yo wis!” Tanpa kuusir akhirnya si Srinti kabur juga. Lega. Seperti barusan buang air besar setelah setahun konstipasi.
“Dek, kok jawabnya seperti itu?” Mas Wisnu berbisik pelan.
“Jangan terlalu diladeni orang-orang sini, Mas. Tukang gosip dan nyebar hoax.” Mukaku datar. Lalu aku bangkit dan menyambar pesanan yang sudah siap.
“Aku yang bayar, Dek.” Mas Wisnu buru-buru merogoh dompetnya.
“Ya memang harusnya seperti itu, Mas.” Aku ngeloyor pergi dengan langkah kaki cepat. Sementara Mas Wisnu berlari kecil mengejarku. Bodo amat.
***
“Lho? Berduaan perginya?” Mata Mbak Mel membulat saat melihat aku dan Mas Wisnu tiba di dapur bersamaan.
“Suamimu yang maksa minta ditemenin.” Aku menatap tajam pada Mbak Mel. Oke, kalau mau bertikai hari ini, aku punya energi lebih untuk melawanmu. Mbak Mel mendengus dan mengalihkan pembicaraan
“Maaf, ya, aku nggak nemenin?” Kata-kata Mbak Mel halus lembut bagai putri keraton. Tidak biasanya. Hmm, tunggu saja kau Wisnu, bulan depan sifat aslinya pasti akan keluar.
“Nggak apa-apa. Mas tahu kamu capek, Sayang.”
Aku menelan liur. Seketika bergidik geli. Apa-apaan dua orang ini? Jika mau bermesraan, apa wajib 'ain kalau harus di depanku?
Setelah menyiapkan bubur ke dalam mangkuk-mangkuk, secepat kilat aku beridiri dan melangkah pergi. Tapi, lagi-lagi Mas Wisnu mencegah.
“Dek, kita makan bareng. Sini!”
Aku balik badan. Kelihatan wajah Mbak Mel keberatan. Hatiku tersenyum. Oke, akan kurusak makan pagi pertama kalian kali ini.
“Baiklah.” Aku duduk di seberang Mbak Mel. Mata perempuan berkulit Langsat itu bertumbuk padaku. Menyiratkan sebuah ketidaksukaan dan seolah memintaku untuk pergi.
“Kenapa, Mbak? Ada yang mau diceritakan?” Aku tersenyum tipis. Aku mengerti jika Mbak Mel pasti ingin melempari dengan sendok atau bubur yang panas ini. Namun, tidak mungkin itu terjadi. Mana dia mau reputasinya hancur di depan suami gantengnya itu?
“Tidak.” Mbak Mel ketus. Dia beralih pada suaminya dan sibuk memuji-muji betapa ganteng dan baik hatinya seorang Wisnu. Dia ingin mempertegas bahwa dia telah menikah dan menemukan suami sempurna, tidak seperti aku yang masih sendiri.
“Lho, kok makan bertiga begini? Ayu, kamu harusnya kan beres-beres dulu. Masa mengganggu mbak dan masmu?” Oke, sekarang negara api telah menyerang. Akhirnya si pawang ular datang untuk menjinakkan peliharaannya yang tak lain adalah aku.
“Beres-beresnya nanti setelah sarapan saja, Bu. Nanti Wisnu bantu juga. Ibu, ayo kita makan bersama. Wisnu dan Dek Ayu juga belikan untuk Ibu.” Ibu menatapku tajam. Seolah tak terima dengan perkataan Wisnu barusan.
“Kamu dan Ayu? Kalian pergi berdua ke tempat Pak Min?” Mata Ibu membelalak. Ekspresinya beda tipis dengan si Srinti kawan karibnya tadi.
“Kenapa Bu, memangnya? Kami Cuma pergi beli bubur, bukan berduaan di kamar hotel atau tempat remang-remang.” Aku langsung menembak tepat sasaran. Aku tidak bodoh dan sangat mengerti apa yang ditakutkan oleh Ibu.
“Sudah-sudah. Nggak perlu diperpanjang. Besok-besok Mas Wisnu kalau pergi ajak aku aja, jangan Dek Ayu. Nggak elok dilihat tetangga sini.” Mbak Mel segera melerai. Matanya lagi-lagi melirik ke arahku dengan kesal.
“Bu, Mbak Mel. Kalian boleh aja nggak suka sama aku. Tapi, dengan curiga dan ketakutan aku ngapa-ngapain dengan iparku sendiri itu picik. Kamu Mbak Mel, percuma sekolah tinggi dan kerja di tempat yang katamu oke itu kalau pikiranmu sama saja kaya orang kampung.” Aku merasa puas. Selama ini aku hanya diam dan manggut-manggut saja saat Ibu maupun Mbak Mel bersikap buruk. Namun hari ini aku memiliki kesempatan untuk balas dendam serta mempermalukan mereka di hadapan orang baru.
Semua orang terdiam. Mbak Mel dan Ibu dengan muka merah padamnya serta Mas Wisnu dengan wajah bingungnya.
“Oh ya, Mas Wisnu. Jangan heran ya kalau tinggal di sini. Aku memang diperlakukan berbeda. Jangan terlalu dekat denganku. Istri dan mertuamu pasti sangat tidak suka.” Aku berdiri dari kursi makan dan beranjak meninggalkan mereka. Terdengar derap kaki menyusul. Aku menoleh. Ternyata Ibu.
“Perempuan tidak tahu malu!” Sebuah tamparan mulus mendarat di pipiku.
Aku tercengang. Sangat-sangat kaget luar biasa. Setelah sekian lama Ibu tak berani menamparku, kini dia melakukannya lagi. Kemudian diri ini tersenyum. Tidak banyak berbicara. Kutatap wajahnya yang berlinang air mata.
“Terima kasih, Bu.” Aku melangkah lagi dan masuk ke dalam kamar. Hari ini benar-benar begitu spesial untukku.
KELANJUTANNYA AKAN DIPOSTING DI KOMENTAR YA GAN. PANTAU AJA TERUS BIAR GAK KETINGGALAN,
INSYA ALLAH AKAN DIUPDATE SETIAP HARI ANTARA JAM 10.00-13.00
MAKASIH AGAN .....
Sejak kecil, ibu dan bapak selalu saja mendahulukannya. Membelikan barang-barang mahal untuknya, sampai menyekolahkan perempuan cantik itu hingga S-1. Sedang aku? Selalu mendapat lungsuran barang darinya dan hanya berkesempatan berkuliah hingga D-3. Alasan klasik, uang ibu dan bapak sudah tidak cukup jika menguliahkan dua anaknya ke jenjang sarjana.
Aku yang hanya berbeda usia setahun saja dengan Mbak Mel, sudah sangat paham dengan pembedaan perlakuan yang kami dapat dari kecil hingga dewasa. Jadi, aku tak akan heran lagi jika nikahan Mbak Mel hari ini sangat istimewa untuk keluarga kami. Dan dapat kupastikan, pernikahanku kelak mungkin akan disambut biasa saja oleh ibu dan sanak famili lain.
Aku mendesah letih. Dari subuh hingga malam hari berkutat dengan dapur dan segala pernak pernik hajatan. Jangan membayangkan jika sebagai adik aku berdiri di depan untuk menerima tamu atau minimal duduk anggun menjaga buku tamu lalu membagikan suvenir. Tidak sama sekali. Bahkan aku tak dapat berdandan cantik di hari bahagia Mbak Mel. Ketersediaan konsumsi adalah tanggung jawabku, begitu perintah Mbak Mel.
“Dek Ayu, pokoknya kamu standby di dapur. Cek makanan. Jangan sampai ada yang kurang. Tolong arahkan juga sinoman untuk memungut piring dan sampah-sampah, ya.” Saat itu aku jelas saja membelalak. Bagaimana bisa tugas itu diberikan padaku, sementara panitia acara itu ada banyak dan harusnya dapat diberikan kepada kerabat lain.
Tiba-tiba aku menyadari satu hal. Hidupku bagi Mbak Mel memang tidak berarti. Hanya sebagai pemeran pembantu yang melengkapi kemeriahan hidupnya. Aku yang adik kandungnya, lebih patut mengurusi dapur dan tetek bengek sepele dalam acara, ketimbang sebagai si empunya hajatan.
Oke, Mbak Mel. Apapun yang kau lakukan padaku hari ini, anggap saja sebuah kado untuk pernikahan manismu. Namun, aku tak dapat menjamin, sampai kapan aku harus berlaku manis di hadapanmu.
***
“Mas Wisnu akan tinggal di sini selamanya bersama kita, Yu. Jadi, ibu mohon kamu jaga sikap dan berpakaian yang sopan. Hormati iparmu.” Ibu membuka percakapan saat aku sibuk membereskan rumah sisa hajatan. Waktu masih pukul empat, angin berembus begitu dingin. Sedingin kalimat ibu barusan.
“Memangnya selama ini sikapku selalu buruk? Terus, pakaian seperti ini kurang sopan apalagi, Bu?” Kupingku tentu saja langsung memerah. Aku yang sebenarnya tak ingin berdebat sepagi ini, langsung tersulut amarah.
Mata Ibu seketika mendelik. Dia terlihat tak kalah geram. Tanpa bicara lagi, orang tua itu balik badan dan meninggalkanku sendirian di teras rumah.
Tangisku terakhir kali luruh akibat perlakuan ibu sudah sangat lama. Tepatnya waktu kelas sepuluh SMA. Saat itu aku ulang tahun dan ibu tak sama sekali mengucapkannya. Dia malah membelikan Mbak Mel kasur pegas baru berawarna merah muda, warna kesukaanku. Aku jelas saja marah, iri, dan merasa sedih yang tiada tara. Seharian kuhabiskan untuk menangis dan pada akhirnya kuharamkan air mataku keluar lagi untuk Ibu.
Hari ini, air mata itu tak dapat kubendung. Tangisan yang sama. Air mata kekecewaan. Mengalir deras hingga membuat dadaku berguncang. Lemas, tubuhku duduk memeluk tiang penyangga teras.
“Sejak kecil hingga dewasa, ibu seakan memperlakukan aku bagai anak tirinya. Dia selalu saja mengganggap aku salah dan bahkan tidak memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu pada anak bungsu. Terus, sebenarnya aku ini anak mereka atau bukan?” Dalam kegetiran, aku berkata-kata sambil menutup wajah dengan kedua belah tangan. Perasaanku hancur sehancurnya. Kerja kerasku semalam bagai tiada arti di mata ibu.
Setelah lama aku menangis dan matahari mulai naik menyinari bumi, aku bangkit dari duduk. Takut-takut akan banyak orang lewat di depan sini lalu menjadikanku sebuah tontonan. Sudah cukup selama ini mereka membicarakan ku di belakang, tak perlu lagi para tetangga melihat secara langsung betapa mirisnya kehidupanku.
Saat akan berbalik, aku kaget luar biasa. Sosok lelaki tinggi dengan kaus putih dan celana hitam selutut. Wajahnya tampak cerah dengan senyuman yang hangat. Aku cepat-cepat mengusap sisa air mata dan membuang muka.
“Dek Ayu, kamu kenapa?” Dia mencegatku. Tangannya berusaha meraih sisi lenganku, namun aku mundur untuk menjaga jarak.
“Nggak apa-apa, Mas.” Gara-gara manusia ini, ibu telah menyakiti perasaanku secara lisan.
“Dek, kamu tau nggak tempat bubur ayam langganan Mbakmu? Aku disuruh beli sama dia. Tapi aku takut nyasar. Kamu mau nemenin?” Suara lembutnya mengalun di telingaku. Harusnya aku senang mendapatkan kata-kata halus dari orang di rumah ini, karena Ibu dan Mbak Mel jelas saja jarang bahkan tak pernah melakukannya padaku. Namun, karena mood-ku sedang rusak, ucapan Mas Wisnus tetap saja bikin muak.
Terpaksa, aku mengangkat kepala. Berdecak kesal dan memasang wajah tak suka. “Bilang aja kalau mau nyuruh aku yang belikan. Banyak basa-basi.” Aku berucap ketus, lalu melangkah ke arah luar dan membuka pagar. Ternyata Mas Wisnu mengejar dan menahan tanganku.
“Dek, maaf. Aku nggak maksud begitu. Serius. Maksudku kamu tunjukkan arahnya. Kalau tidak merepotkan, temenin aku. Bisa?” Mas Wisnu mengeluarkan senyuman manisnya. Wajah putih dengan bulu-bulu halus di pipi, dagu, dan bagian atas bibirnya begitu tampan saat tertimpa sinar mentari. Aku hampir saja terpana dengan kegantengan pria tiga puluh tahun ini, tapi segera kutepis saat membayangkan bahwa dia adalah suami dari perempuan yang sangat kubenci nomor dua setelah ibu.
“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari bibirku. Kakiku malas untuk berjalan menuju gerobak bubur ayam Pak Min yang berjarak hampir lima puluh meter dari rumah. Sepanjang jalan, kami berdua hanya membisu. Hanya bunyi derap langkah kaki yang saling beradu di udara.
“Ini tempatnya.” Jutek aku berkata.
“Makasih ya, Dek. Maaf aku merepotkan. Oh, ya, kamu pesan juga. Kita sarapan bareng di rumah.” Geligi putih bersih milik Mas Wisnu tampil dari balik senyum lebarnya. Ya Tuhan, setan apa yang membujuk seorang Wisnu hingga dia harus menikah dengan Mbak Mel? Orang sebaik ini tak pantas membersamai perempuan pemarah, tukang perintah, dan selalu merasa superior di mana pun.
“Terserah.” Aku buru-buru duduk di samping gerobak. Di sebelahku ada seorang ibu-ibu yang ikut mengantre. Tetangga juga, tapi aku tidak hafal namanya. Tidak penting.
“Eh, ini Ayu anaknya Bu Mayang kan?” Ibu-ibu berdaster hijau lumut dengan jilbab oranye—sangat tidak matching—itu menegurku dengan suara yang sok akrab. Aku mengerling malas. Tersenyum terpaksa dan mengangguk kecil.
“Kerja di mana? Kok kelihatannya nggak pernah pergi ke kantor, ya?”
Telingaku langsung berdiri. Hebat, pertanyaannya seperti seorang wartawan majalah gosip yang kehabisan berita.
“Adik ipar saya ini pengusaha online, Bu. Kantornya di rumah. Iya, kan, Dek?” Mas Wisnu tiba-tiba bergabung dan duduk di hadapanku.
“Eh?” Aku salah tingkah. Terlebih memperhatikan Mas Wisnu yang meminta pembenaran dengan senyum khasnya.
“I-iya,” jawabku sambil terbata. Pipiku langsung terasa merah rasanya. Antara malu, senang, dan hmm... sebuah perasaan yang tak dapat dijelaskan.
“Lho, ini siapa? Bukannya suami kakaknya, ya?” Ibu itu tiba-tiba terdengar syok. Perasaanku jadi merasa tak enak. Urusan bakal panjang, pikirku.
“Iya. Saya Wisnu, suami Melani.” Mas Wisnu dengan penuh keramah-tamahan menjabat tangan ibu berjilbab oranye itu.
“Saya Srinti, teman pengajian ibu kalian. Lho, mana Melani? Kok malah pergi sama iparnya?” Kedua Alis si Srinti bertautan. Mukanya tampak heran. Aku jelas saja memperhatikan wajahnya dengan malas dan muak.
“Bu, pertanyaannya banyak sekali? Aku pusing. Lebih baik ibu diam saja biar udaranya tidak tercemar karbondioksida.” Akhirnya kata-kata tajamku keluar. Aku santai saja. Sementara Mas Wisnu berubah muka menjadi tak enak. Begitu pula si Srinti yang terlihat keki.
“Yo wis!” Tanpa kuusir akhirnya si Srinti kabur juga. Lega. Seperti barusan buang air besar setelah setahun konstipasi.
“Dek, kok jawabnya seperti itu?” Mas Wisnu berbisik pelan.
“Jangan terlalu diladeni orang-orang sini, Mas. Tukang gosip dan nyebar hoax.” Mukaku datar. Lalu aku bangkit dan menyambar pesanan yang sudah siap.
“Aku yang bayar, Dek.” Mas Wisnu buru-buru merogoh dompetnya.
“Ya memang harusnya seperti itu, Mas.” Aku ngeloyor pergi dengan langkah kaki cepat. Sementara Mas Wisnu berlari kecil mengejarku. Bodo amat.
***
“Lho? Berduaan perginya?” Mata Mbak Mel membulat saat melihat aku dan Mas Wisnu tiba di dapur bersamaan.
“Suamimu yang maksa minta ditemenin.” Aku menatap tajam pada Mbak Mel. Oke, kalau mau bertikai hari ini, aku punya energi lebih untuk melawanmu. Mbak Mel mendengus dan mengalihkan pembicaraan
“Maaf, ya, aku nggak nemenin?” Kata-kata Mbak Mel halus lembut bagai putri keraton. Tidak biasanya. Hmm, tunggu saja kau Wisnu, bulan depan sifat aslinya pasti akan keluar.
“Nggak apa-apa. Mas tahu kamu capek, Sayang.”
Aku menelan liur. Seketika bergidik geli. Apa-apaan dua orang ini? Jika mau bermesraan, apa wajib 'ain kalau harus di depanku?
Setelah menyiapkan bubur ke dalam mangkuk-mangkuk, secepat kilat aku beridiri dan melangkah pergi. Tapi, lagi-lagi Mas Wisnu mencegah.
“Dek, kita makan bareng. Sini!”
Aku balik badan. Kelihatan wajah Mbak Mel keberatan. Hatiku tersenyum. Oke, akan kurusak makan pagi pertama kalian kali ini.
“Baiklah.” Aku duduk di seberang Mbak Mel. Mata perempuan berkulit Langsat itu bertumbuk padaku. Menyiratkan sebuah ketidaksukaan dan seolah memintaku untuk pergi.
“Kenapa, Mbak? Ada yang mau diceritakan?” Aku tersenyum tipis. Aku mengerti jika Mbak Mel pasti ingin melempari dengan sendok atau bubur yang panas ini. Namun, tidak mungkin itu terjadi. Mana dia mau reputasinya hancur di depan suami gantengnya itu?
“Tidak.” Mbak Mel ketus. Dia beralih pada suaminya dan sibuk memuji-muji betapa ganteng dan baik hatinya seorang Wisnu. Dia ingin mempertegas bahwa dia telah menikah dan menemukan suami sempurna, tidak seperti aku yang masih sendiri.
“Lho, kok makan bertiga begini? Ayu, kamu harusnya kan beres-beres dulu. Masa mengganggu mbak dan masmu?” Oke, sekarang negara api telah menyerang. Akhirnya si pawang ular datang untuk menjinakkan peliharaannya yang tak lain adalah aku.
“Beres-beresnya nanti setelah sarapan saja, Bu. Nanti Wisnu bantu juga. Ibu, ayo kita makan bersama. Wisnu dan Dek Ayu juga belikan untuk Ibu.” Ibu menatapku tajam. Seolah tak terima dengan perkataan Wisnu barusan.
“Kamu dan Ayu? Kalian pergi berdua ke tempat Pak Min?” Mata Ibu membelalak. Ekspresinya beda tipis dengan si Srinti kawan karibnya tadi.
“Kenapa Bu, memangnya? Kami Cuma pergi beli bubur, bukan berduaan di kamar hotel atau tempat remang-remang.” Aku langsung menembak tepat sasaran. Aku tidak bodoh dan sangat mengerti apa yang ditakutkan oleh Ibu.
“Sudah-sudah. Nggak perlu diperpanjang. Besok-besok Mas Wisnu kalau pergi ajak aku aja, jangan Dek Ayu. Nggak elok dilihat tetangga sini.” Mbak Mel segera melerai. Matanya lagi-lagi melirik ke arahku dengan kesal.
“Bu, Mbak Mel. Kalian boleh aja nggak suka sama aku. Tapi, dengan curiga dan ketakutan aku ngapa-ngapain dengan iparku sendiri itu picik. Kamu Mbak Mel, percuma sekolah tinggi dan kerja di tempat yang katamu oke itu kalau pikiranmu sama saja kaya orang kampung.” Aku merasa puas. Selama ini aku hanya diam dan manggut-manggut saja saat Ibu maupun Mbak Mel bersikap buruk. Namun hari ini aku memiliki kesempatan untuk balas dendam serta mempermalukan mereka di hadapan orang baru.
Semua orang terdiam. Mbak Mel dan Ibu dengan muka merah padamnya serta Mas Wisnu dengan wajah bingungnya.
“Oh ya, Mas Wisnu. Jangan heran ya kalau tinggal di sini. Aku memang diperlakukan berbeda. Jangan terlalu dekat denganku. Istri dan mertuamu pasti sangat tidak suka.” Aku berdiri dari kursi makan dan beranjak meninggalkan mereka. Terdengar derap kaki menyusul. Aku menoleh. Ternyata Ibu.
“Perempuan tidak tahu malu!” Sebuah tamparan mulus mendarat di pipiku.
Aku tercengang. Sangat-sangat kaget luar biasa. Setelah sekian lama Ibu tak berani menamparku, kini dia melakukannya lagi. Kemudian diri ini tersenyum. Tidak banyak berbicara. Kutatap wajahnya yang berlinang air mata.
“Terima kasih, Bu.” Aku melangkah lagi dan masuk ke dalam kamar. Hari ini benar-benar begitu spesial untukku.
KELANJUTANNYA AKAN DIPOSTING DI KOMENTAR YA GAN. PANTAU AJA TERUS BIAR GAK KETINGGALAN,
INSYA ALLAH AKAN DIUPDATE SETIAP HARI ANTARA JAM 10.00-13.00
MAKASIH AGAN .....
Araka dan 39 lainnya memberi reputasi
40
22.7K
191
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
meisyajasmine
#73
Bagian 7
Mas Wisnu cepat-cepat memakai pakaian, sedang aku membalik badan agar tak melihatnya tanpa busana. Gedoran pintu masih terdengar dan semakin kasar. Kedua kaki ini langsung terasa lemas. Sekonyong-konyong tubuhku terasa oleng dan mau pingsan.
“Sebentar!” teriak Mas Wisnu sambil terburu-buru berlari ke arah pintu.
“Mas Wisnu! Dek Ayu! Kalian jahat! Sungguh-sungguh kejam padaku!” Suara Mbak Mel menjerit histeris. Perempuan itu datang diiringi dengan tiga lelaki berpakaian santai dan seorang petugas berseragam hotel.
“Kami dari pihak kepolisian.” Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut sebahu dan wajah sangar memperlihatkan kartu tanda anggota polri.
Seketika aku dan Mas Wisnu hanya dapat diam membatu. Kami betul-betul syok. Mengapa nasib sial tak hentinya datang menerpa? Bagaimana bisa perempuan licik ini tahu keberadaan Mas Wisnu? Mengapa timing-nya bisa begitu tepat seolah aku dan suaminya tengah berzina?
“Pak, kami sama sekali tidak melakukan tindak asusila.” Mas Wisnu memohon pada pria berkaus polo dengan rambut cepat dan kulit sawo tersebut.
“Tapi kan kenyataannya kalian berdua di sini.” Pria tersebut membentak marah. Sementara seorang rekannya yang mengenakan kaus biru bertulis Turn Back Crime, berjalan menggeledah kamar.
“Jahat kalian, Mas! Kamu pikir aku bakalan diam saja atas perselingkuhan kalian? Pantas kamu tadi malam ngamuk dan minta cerai!” Mbak Mel terus meraung bagai singa betina yang marah akibat buruannya lepas. Perempuan yang telah berpakaian rapi seolah mau ke kantor tersebut mendekat ke arahku. Dia berjalan dengan wajah merah padan dan mendaratkan sebuah tamparan. Perih sekali rasanya. Penuh kemenangan, perempuan itu turut meludahi mukaku. Dia membalas apa yang telah kuperbuat tadi malam.
“Kamu jahat, Yu. Ibu memang benar, kamu itu persis dengan mendiang ibumu yang telah mati akibat kebiasaannya melacur dulu! Asal kamu tahu, ibumu itu pramuria dan menggoda Bapak sampai lahirlah anak haram ke dunia ini. Lihat dirimu sekarang, tega kamu melacur pada suamiku!”
Seolah gunung berapi yang memuntahkan lava dari dalam kawahnya, rasa amukku membara dan tumpah pada Mbak Mel. Tak kupedulikan lagi tiga orang polisi yang ada di kamar ini. Segera kutampar wajahnya sekuat mungkin dan mencekik wanita itu sampai dia keok di lantai.
“Kau yang pramuria! Kau yang anak haram!” Sekuat tenaga kutarik rambutnya hingga berguguran di tangan.
“Hentikan!” Dua polisi yang berambut gondrong dan berkaus polo berusaha melerai. Tangan keduanya kuat memisahkan kami berdua. Sialan, jika tak ada mereka, sungguh mati aku tak akan mau melepaskan perempuan licik ini.
“Sekarang, kalian berdua ikut kami ke kantor polisi. Kita selesaikan di sana karena perselingkuhan ini telah dilaporkan oleh Ibu Melani.” Polisi rambut gondrong tersebut mempersilakan kami untuk mengemaskan barang-barang dan ikut mereka ke kantor untuk memberikan keterang.
Aku mengumpat dalam hati sepanjang perjalanan menuju kantor polisi yang kami tempuh dengan mobil patroli bak terbuka. Bedebah Mbak Mel, bisa-bisanya dia memainkan peran begitu ciamik di hadapan penegak hukum. Mengapa juga kami harus digerebek layaknya pasangan haram? Rasa amarah memenuhi aliran darah, membuatnya mendidih di ubun-ubun dan siap untuk meledak. Andai saja aku punya banyak uang, akan kuperkarakan balik perempuan sialan itu dengan pasal pencemaran nama baik. Apanya yang berzina? Aku hanya berada di dalam untuk menunggu Mas Wisnu, sudah hanya itu!
“Maafkan aku, Dek. Melani mungkin tahu keberadaan kita lewat aplikasi pelacak. Bodohnya aku, seharusnya GPS dan hape kumatikan saja. Maafkan kecerobohan Mas.” Mas Wisnu tertunduk lemas saat duduk di sebelahku dengan raut penuh penyesalan.
Aku hanya dapat terdiam sembari menahan muntab. Sembari menahan malu akibat dibawa dengan mobil seperti ini, aku bersumpah dalam hati untuk membalas semua rasa sakit yang telah Mbak Mel ukir. Cepat atau lambat, balas dendam itu akan mendarat mulus menghancurkan seorang Melani yang penuh dengan tipu daya serta kelicikan.
***
Di kantor polisi, kami dimintai keterangan dengan menjawab berpuluh pertanyaan yang membuat kepala sakit. Belum juga perut terisi, kami sudah harus mengeluarkan banyak energi untuk menjalani proses sialan ini. Berdasar oleh TKP, polisi tak menemukan barang-barang mencurigan seperti obat-obatan, alat kontrasepsi, pakaian dalam milikku, atau cairan bekas sperma di kasur. Mereka juga melihat sendiri bagaimana kondisi kamar yang aku dan Mas Wisnu sewa. Jelas-jelas melalui CCTV hotel pun aku masuk dan keluar jam berapa. Perzinahan seperti apa yang dapat dilakukan selama sepuluh menit tanpa menyisakan bekas apa pun? Dasar Melani sinting! Bisa-bisanya dia bergerak cepat untuk lapor polisi dan mengajak mereka untuk menggerebek kami. Uang dan kecantikan memang berperan penting dalam kehidupan ini.
“Cabut laporannya, Mel! Semua ini hanya membuat kita saling repot.” Mas Wisnu memohon pada sang istri untuk mencabut laporan sintingnya itu.
Mbak Mel memasang wajah angkuh. Berjam-jam kami di kantor polisi hanya untuk menyelesaikan perkara mengada-ada ini, sikapnya masih sama tak berubah. Seolah dialah yang paling benar dan hebat di muka bumi.
“Oke. Akan aku cabut sekarang juga. Kita anggap semua selesai, tapi Mas harus kembali ke rumah. Tanpa perempuan ini!” Mbak Mel membelalakkan mata. Nadanya tinggi seolah dia yang sedang memegang kartu AS dalam permainan.
“Baik. Mas, silakan kembali pada istrimu. Aku akan keluar dari rumah dan tak lagi mengusik kalian. Puas?” Kutantang balik Mbak Mel. Jika ini demi kebaikan bersama, aku rela.
Mas Wisnu hanya terdiam. Dia tertunduk lemas sembari menumpu keningnya dengan dua belah tangan.
“Aku cabut laporannya! Pergilah kamu, Ayu. Jangan pernah muncul lagi dalam kehidupan kami. Kalau sempat kamu menjual tanah peninggalan Bapak, lihat saja. Aku punya banyak cara untuk membuatmu celaka, sama seperti Ibu yang memiliki segudang langkah kala melenyapkan ibumu.” Mbak Mel menyeringai sadis, membuat ngilu ulu hatiku. Tercabik-cabik perasaan ini ketika mendengar lontaran jahat itu. Jadi, ibuku mati di tangan mereka? Bagaimana bisa? Ya Tuhan, ingin sekali aku mengetahui hal yang sebenarnya dari rahasia ini! Namun, pada siapa aku bertanya? Siapa yang akan menyingkap segala tabir?
Dengan penuh perasaan hancur layaknya serpih kaca, aku melangkah meninggalkan mereka sambil mengambin tas ransel di pundak. Tak ada tangis yang meluncur membasahi pipi, yang ada hanya kepal di tangan menunjukkan betapa geramnya diri ini. Melani, tertawalah dirimu sekarang di atas penderitaanku. Bukankah itu hal yang telah lama kau idamkan? Nikmati waktu bahagiamu, sebelum datang waktu sengsara. Yakin sekali, Tuhan itu Maha Adil. Keadaan akan cepat berputar layaknya roda, hanya tinggal menunggu waktunya saja.
“Ingat, Ayu, jangan pernah memimpikan Mas Wisnua dapat kau miliki. Seumur hidup, takkan pernah itu terjadi!” Kata-kata perpisahan sebelum aku benar-benar hilang dari pandangan mata mereka, meluncur mulus dari bibir Mbak Mel. Suaranya nyaring sehingga orang-orang yang kebetulan ada di sekita kami menoleh dan menatap rendah padaku. Sempurnalah drama yang dirancang olehnya. Kini cap perebut suami orang melekat jelas di kening.
Mbak Mel, percaya atau tidak, Mas Wisnu akan sungguhan jatuh dalam pelukanku. Tunggu saja dan sampai kau menyesalinya.
(Bersambung)
“Sebentar!” teriak Mas Wisnu sambil terburu-buru berlari ke arah pintu.
“Mas Wisnu! Dek Ayu! Kalian jahat! Sungguh-sungguh kejam padaku!” Suara Mbak Mel menjerit histeris. Perempuan itu datang diiringi dengan tiga lelaki berpakaian santai dan seorang petugas berseragam hotel.
“Kami dari pihak kepolisian.” Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut sebahu dan wajah sangar memperlihatkan kartu tanda anggota polri.
Seketika aku dan Mas Wisnu hanya dapat diam membatu. Kami betul-betul syok. Mengapa nasib sial tak hentinya datang menerpa? Bagaimana bisa perempuan licik ini tahu keberadaan Mas Wisnu? Mengapa timing-nya bisa begitu tepat seolah aku dan suaminya tengah berzina?
“Pak, kami sama sekali tidak melakukan tindak asusila.” Mas Wisnu memohon pada pria berkaus polo dengan rambut cepat dan kulit sawo tersebut.
“Tapi kan kenyataannya kalian berdua di sini.” Pria tersebut membentak marah. Sementara seorang rekannya yang mengenakan kaus biru bertulis Turn Back Crime, berjalan menggeledah kamar.
“Jahat kalian, Mas! Kamu pikir aku bakalan diam saja atas perselingkuhan kalian? Pantas kamu tadi malam ngamuk dan minta cerai!” Mbak Mel terus meraung bagai singa betina yang marah akibat buruannya lepas. Perempuan yang telah berpakaian rapi seolah mau ke kantor tersebut mendekat ke arahku. Dia berjalan dengan wajah merah padan dan mendaratkan sebuah tamparan. Perih sekali rasanya. Penuh kemenangan, perempuan itu turut meludahi mukaku. Dia membalas apa yang telah kuperbuat tadi malam.
“Kamu jahat, Yu. Ibu memang benar, kamu itu persis dengan mendiang ibumu yang telah mati akibat kebiasaannya melacur dulu! Asal kamu tahu, ibumu itu pramuria dan menggoda Bapak sampai lahirlah anak haram ke dunia ini. Lihat dirimu sekarang, tega kamu melacur pada suamiku!”
Seolah gunung berapi yang memuntahkan lava dari dalam kawahnya, rasa amukku membara dan tumpah pada Mbak Mel. Tak kupedulikan lagi tiga orang polisi yang ada di kamar ini. Segera kutampar wajahnya sekuat mungkin dan mencekik wanita itu sampai dia keok di lantai.
“Kau yang pramuria! Kau yang anak haram!” Sekuat tenaga kutarik rambutnya hingga berguguran di tangan.
“Hentikan!” Dua polisi yang berambut gondrong dan berkaus polo berusaha melerai. Tangan keduanya kuat memisahkan kami berdua. Sialan, jika tak ada mereka, sungguh mati aku tak akan mau melepaskan perempuan licik ini.
“Sekarang, kalian berdua ikut kami ke kantor polisi. Kita selesaikan di sana karena perselingkuhan ini telah dilaporkan oleh Ibu Melani.” Polisi rambut gondrong tersebut mempersilakan kami untuk mengemaskan barang-barang dan ikut mereka ke kantor untuk memberikan keterang.
Aku mengumpat dalam hati sepanjang perjalanan menuju kantor polisi yang kami tempuh dengan mobil patroli bak terbuka. Bedebah Mbak Mel, bisa-bisanya dia memainkan peran begitu ciamik di hadapan penegak hukum. Mengapa juga kami harus digerebek layaknya pasangan haram? Rasa amarah memenuhi aliran darah, membuatnya mendidih di ubun-ubun dan siap untuk meledak. Andai saja aku punya banyak uang, akan kuperkarakan balik perempuan sialan itu dengan pasal pencemaran nama baik. Apanya yang berzina? Aku hanya berada di dalam untuk menunggu Mas Wisnu, sudah hanya itu!
“Maafkan aku, Dek. Melani mungkin tahu keberadaan kita lewat aplikasi pelacak. Bodohnya aku, seharusnya GPS dan hape kumatikan saja. Maafkan kecerobohan Mas.” Mas Wisnu tertunduk lemas saat duduk di sebelahku dengan raut penuh penyesalan.
Aku hanya dapat terdiam sembari menahan muntab. Sembari menahan malu akibat dibawa dengan mobil seperti ini, aku bersumpah dalam hati untuk membalas semua rasa sakit yang telah Mbak Mel ukir. Cepat atau lambat, balas dendam itu akan mendarat mulus menghancurkan seorang Melani yang penuh dengan tipu daya serta kelicikan.
***
Di kantor polisi, kami dimintai keterangan dengan menjawab berpuluh pertanyaan yang membuat kepala sakit. Belum juga perut terisi, kami sudah harus mengeluarkan banyak energi untuk menjalani proses sialan ini. Berdasar oleh TKP, polisi tak menemukan barang-barang mencurigan seperti obat-obatan, alat kontrasepsi, pakaian dalam milikku, atau cairan bekas sperma di kasur. Mereka juga melihat sendiri bagaimana kondisi kamar yang aku dan Mas Wisnu sewa. Jelas-jelas melalui CCTV hotel pun aku masuk dan keluar jam berapa. Perzinahan seperti apa yang dapat dilakukan selama sepuluh menit tanpa menyisakan bekas apa pun? Dasar Melani sinting! Bisa-bisanya dia bergerak cepat untuk lapor polisi dan mengajak mereka untuk menggerebek kami. Uang dan kecantikan memang berperan penting dalam kehidupan ini.
“Cabut laporannya, Mel! Semua ini hanya membuat kita saling repot.” Mas Wisnu memohon pada sang istri untuk mencabut laporan sintingnya itu.
Mbak Mel memasang wajah angkuh. Berjam-jam kami di kantor polisi hanya untuk menyelesaikan perkara mengada-ada ini, sikapnya masih sama tak berubah. Seolah dialah yang paling benar dan hebat di muka bumi.
“Oke. Akan aku cabut sekarang juga. Kita anggap semua selesai, tapi Mas harus kembali ke rumah. Tanpa perempuan ini!” Mbak Mel membelalakkan mata. Nadanya tinggi seolah dia yang sedang memegang kartu AS dalam permainan.
“Baik. Mas, silakan kembali pada istrimu. Aku akan keluar dari rumah dan tak lagi mengusik kalian. Puas?” Kutantang balik Mbak Mel. Jika ini demi kebaikan bersama, aku rela.
Mas Wisnu hanya terdiam. Dia tertunduk lemas sembari menumpu keningnya dengan dua belah tangan.
“Aku cabut laporannya! Pergilah kamu, Ayu. Jangan pernah muncul lagi dalam kehidupan kami. Kalau sempat kamu menjual tanah peninggalan Bapak, lihat saja. Aku punya banyak cara untuk membuatmu celaka, sama seperti Ibu yang memiliki segudang langkah kala melenyapkan ibumu.” Mbak Mel menyeringai sadis, membuat ngilu ulu hatiku. Tercabik-cabik perasaan ini ketika mendengar lontaran jahat itu. Jadi, ibuku mati di tangan mereka? Bagaimana bisa? Ya Tuhan, ingin sekali aku mengetahui hal yang sebenarnya dari rahasia ini! Namun, pada siapa aku bertanya? Siapa yang akan menyingkap segala tabir?
Dengan penuh perasaan hancur layaknya serpih kaca, aku melangkah meninggalkan mereka sambil mengambin tas ransel di pundak. Tak ada tangis yang meluncur membasahi pipi, yang ada hanya kepal di tangan menunjukkan betapa geramnya diri ini. Melani, tertawalah dirimu sekarang di atas penderitaanku. Bukankah itu hal yang telah lama kau idamkan? Nikmati waktu bahagiamu, sebelum datang waktu sengsara. Yakin sekali, Tuhan itu Maha Adil. Keadaan akan cepat berputar layaknya roda, hanya tinggal menunggu waktunya saja.
“Ingat, Ayu, jangan pernah memimpikan Mas Wisnua dapat kau miliki. Seumur hidup, takkan pernah itu terjadi!” Kata-kata perpisahan sebelum aku benar-benar hilang dari pandangan mata mereka, meluncur mulus dari bibir Mbak Mel. Suaranya nyaring sehingga orang-orang yang kebetulan ada di sekita kami menoleh dan menatap rendah padaku. Sempurnalah drama yang dirancang olehnya. Kini cap perebut suami orang melekat jelas di kening.
Mbak Mel, percaya atau tidak, Mas Wisnu akan sungguhan jatuh dalam pelukanku. Tunggu saja dan sampai kau menyesalinya.
(Bersambung)
oceu dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup