Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
220.1K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#530
Part 53-c
"Kamu yakin disini?" Tanya Dinda saat kami sudah tiba di depan cattery yang dimaksud oleh Tante Elsa.

"Gak tau, tapi kalo dari alamatnya, sih. Disini bener." Sahut gue.

"Bukan itu. Kamu yakin mau nyari Shasa sama Sachi disini? Kita engga nyari di Barito atau dimana gitu?" 

"Aku kan tadi udah bilang, Din. Kalo di Barito itu…"

"Engga, kok. Kalau kita bisa nyarinya. Pasti bakal aman-aman ajah." Selak Dinda.

"Kamu bisa?" Tanya gue.

"Bisa, deh. Aku…"

"Deh? Gak meyakinkan, yah. Lagian emang kenapa sih disini? Tempatnya ajah bagus tuh." Sambar gue.

"Ya emang bagus. Gak usah diraguin lagi kalo disini, sih. Tapi…"

"Udah gak usah tapi-tapi. Yuk! Nanti keburu sore. Kan nanti katanya mau ngumpul karang taruna." Sambar gue dan percayalah gue menyesali mengapa tidak mengikuti perkataan Dinda.

...


Setelah hampir dua jam berada di dalam cattery, akhirnya Dinda menemukan all new Shasa dan Sachi. Gue langsung keluar setelah Dinda serah terima antara Dinda dan Breeder pemilik cattery ini selesai; gue mual, kepala gue sedikit sakit, mata gue berair—ingin menangis. Nafas gue juga sesak!

"Haaah…" Gue menghelas nafas sambil menggaruk kepala. "Sialan Tante Elsaaaaaaaaa!" Gumam gue dalam hati. 

"Wid." Suara Dinda terdengar.

Gue langsung berbalik badan dan melihat ekspresi Dinda yang sulit untuk gue jelaskan; Dinda senang (pasti!), dia juga terlihat seolah tidak percaya dengan ini semua, dan gue juga melihat ekspresi sungkan dalam raut wajahnya. "Kenapa? Kamu kok kaya gak seneng gitu?" Tanya gue.

"Seneng! Aku seneng, Wid. Seneng banget sumpah! Tapi… ini beneran gak apa-apa. Semua ini?"

"Gak apa-apa, kok. Beneran gak apa-apa. Santaaiiii." Sahut gue memaksakan senyum. Bagaimana tidak senyum ini terpaksa, untuk mengadopsi dua ekor anak kucing (All NEW BANGOR DAN TEKOR!!!!! GUE GANTI NAMANYA BUKAN LONJONG LAGI!) gue harus menebusnya dengan 8 digit angka dalam nominal rupiah. 

Ini perlu dicatat kedalam buku sejarah sebagai pengeluaran terbanyak gue untuk sesuatu hal yang, I'm sorry to say, tidak perlu! Maaf untuk pecinta kucing, karena untuk gue yang tidak terlalu menyukainya, sampai saat gue menulis ini gue masih mempertanyakan urgensi-nya. Tapi gak apa-apa, namanya nyari jodoh kadang emang begitu. Ye gesss yaaa

Dalam perjalanan pulang, kami lebih banyak diam. Gue tidak mengerti kenapa Dinda juga banyak berdiam diri, tapi yang jelas gue diam untuk menenangkan dan meyakinkan diri kalau apa yang gue lakukan ini adalah hal yang masih dalam konteks hal yang wajar (?).

"Wid." Dinda membuka suara.

"Iya, Dind."

"Aku masih gak percaya, loh. Tapi makasih banget, loh. Wid sebelumnya. Aku gak tau lagi harus ngomong apa. Aku gak enak sama kamu. Gimana kalo nanti aku cicil ajah, yah. Tapi cicilnya pelan-pelan, Wid…"

"Apa, sih. Dind. Gak usah! Seriusan. Anggap ajah itu permintaan maaf aku." Selak gue.

"Gak gini juga, Wid. Ini too much buat sebuah permintaan maaf. Lagian aku juga sebenernya gak marah. Cuma bete ajah kemaren kamu bohong."

"Yaudah itu biar kamu gak bete lagi." Sahut gue.

"Iya tetep ajah aku malah jadi gak enak. Kaya yang aku bilang tadi, too much! Aku juga tau kamu ngerasa sama. Kalau ini terlalu mahal."

"Haaah." Gue menghembuskan nafas. "Dind. Jujur IIYYYAAAA, ini terlalu mahal. Hahahah."

"Kan!? Padahal dari awal udah aku bilang kita ke Barito ajah." Celetuk Dinda.

"Yaudahlah ya, Din. Gak apa-apa. Santai ajah. Lagian buat anak, kok coba-coba. Hahaha."

"Ishh serius, Wid."

"Iyah aku serius, loh. Beneran gak apa-apa. Jujur sih aku kaget, yah. Tapi cuma sebates kaget ajah, kok. Mungkin karena aku gak pernah tau harga kucing jadi gak ada ekspeks sama sekali kalo ada kucing yang harganya bisa segitu. But, yaudahlah yah. Apasi artinya harga kalo dibanding sama jaminan kesehatan si Bangor sama…"

"Widiiiiii!!!!!" Dinda memukul bahu gue.

"Hahaha, iya-iya Mecin sama Cireng!"

"Tau ah!" 

"Hahaha, kamu tuh sayang banget, ya. Sama kucing."

"Boddo!"

"Hahaha, yaudah Shasa sama Sachi nya dirawat yang baik, yah. Din. Jangan kamu terlantarin."

"Engga akan! Gila kali kalo aku terlantarin mereka. Kamu tenang ajah. Aku pasti rawat mereka dengan baik. Aku bakal anggep mereka ini ANAK-ANAK KITA." 

"..." GUE SPEECHLESS!

"By the way. Aku boleh nanya sesuatu gak?" Ucap Dinda.

"Apa?"

"Maaf yah, kalo aku nanyanya begini. Tapi kamu punya uang sebanyak itu dari mana?" Tanya Dinda.

"Haah? Oh… itu. Itu tabungan aku, Dind."

"Masa, sih. Itu tabungan kamu?"

"Iyalah. Terus apa lagi kalo bukan?"

"Enggak, maksud aku. Hebat banget kamu, cowo, bisa nabung sampe segitu. Aku ajah yang perempuan ajah boro-boro punya tabungan segitu. Bisa nabung ajah engga."

"Lah, emang bukannya emang borosan cewe, yah? Kita cowo-cowo duit abis buat apa, sih? Paling jajan doang. Kalo cewe kan kadang banyak mau…"

"Ih, tapi temen aku cowo rata-rata boros. Beli sepatu inilah, beli tas itulah, beli baju distro inilah itulah. Heee, belanjanya bisa lebih-lebihin aku yang perempuan."

"Emmm… temen… temen apa temen? Mantan kamu kali?" Sahut gue karena gue melihat Dinda sedikit menggunakan Emosi saat berbicara, seolah dia mengingat kembali sesuatu yang pernah membuatnya geram.

Dinda terlihat panik dan itu gue gunakan untuk memancingnya berbicara tentang mantannya. Karena selain untuk mengalihkan topik pembicaraan soal uang, gue ingin tahu cowok seperti apa yang pernah menjadi pacarnya, tipikal yang ia suka dan gue juga sedang menggali penyebab putusnya mereka—Dinda dan mantan pacarnya, untuk informasi yang kelak akan selalu gue ingat supaya gue menghindari apa-apa saja yang tidak disukainya.

Namun tetap saja, wanita adalah mahakarya Semesta paling misterius yang tidak akan pernah mudah seorang pria menerka


...


Gue menepati janji gue untuk bergabung dalam organisasi karang taruna. Pukul 8 malam tepat, gue sudah berada di kantor sekretariat RW yang berada di sebelah lapangan. Tepat di depan rumah Dinda. Menurut penuturan Dinda sebelumnya, malam ini akan diadakan rapat terakhir sekaligus gladi resik acara pemilihan ketua karang taruna sekaligus pelantikan  yang akan dilaksanakan esok pagi.

Rapat dimulai pukul 8 lewat. Rapat diawali, tentunya, dengan perkenalan diri gue sebagai anggota yang paling baru. Walaupun rata-rata pemuda-pemudi yang berada di dalam forum ini juga notabene-nya masih baru, karena hanya ada 3 orang yang sudah aktif dari periode sebelumnya, yang konon tidak berjalan baik karena masalah pengelolaan dana organisasi yang tidak beres alias korupsi. 

Tapi walaupun rata-rata yang berada di dalam ruangan ini juga masih anggota baru, setidaknya mereka sudah terkumpul dalam forum ini selama dua bulan kebelakang dan mereka juga rata-rata sudah saling mengenal satu sama lainnya. Sedangkan gue yang gue kenal disini hanya Dinda dan Hendra. 

Gue memperkenalkan diri gue di depan forum setelah Ayahnya Dinda, ketua RW disini yang bertindak selaku pembina karang taruna yang juga memimpin rapat imi mempersilahkan tempat untuk gue memperkenalkan diri.

"Halo, rekan-rekan semua…"

"REKAN-REKAN GAK TUH!" Celetuk Hendra yang disusul tawa seisi ruangan ini. "Hahahaha." Hendra ikut tertawa.

Hendra adalah seorang mahasiswa tingkat awal di sebuah Universitas Negeri yang ada di Jakarta. Hendra tinggal bersama orang tuanya dan rumahnya berada di depan rumah gue, di sebelah rumah Mbak Andin tepatnya. Gue mengenal Hendra karena dia sering ke rumah gue, rumah Mbah, ketika dia akan mengeluarkan mobilnya yang kadang terhalang mobilnya Tante Elsa yang terkadang parkir di depan rumahnya ketika Tante Elsa hanya pulang sebentar. 

Hendra orang yang sangat asik, begitu pun keluarganya. Awal pertemuan gue ketika baru sehari disini, dia datang dan gue menyangka dia akan marah-marah karena mobil Tante Elsa menghalangi gerbang garasi rumahnya. Gue yang sudah siap-siap untuk meminta maaf pun saat itu terkejut ketika dia dengan santai dan ramahnya meminjam kunci mobil Tante Elsa dan berkata, "Udah Cuy, santai. Gue ajah yang pindahin. Udah biasa gue mindahin mobilnya Mbak Elsa." 

Karena seringnya kejadian seperti itu, lama kelamaan gue dan Hendra mulai saling bertanya-tanya sampai akhirnya ngobrol dan Hendra pula yang mengenalkan gue pada akamsi yang biasa nongkrong di lapangan. 

Dan Hendra adalah salah satu dari tiga orang anggota yang sudah aktif dalam organisasi ini sejak periode sebelumnya.

"Sialan lu ndra!" Gue berbicara tanpa suara.

Lalu gue mengulangi perkenalan, kali ini tanpa interupsi candaan dari Hendra. Setelah gue memperkenalkan diri, Pak RW pun menyarankan supaya gue dimasukan kedalam bidang lingkungan hidup karena menurut beliau hal itu akan selaras dengan Mbah Uti yang juga aktif dalam PKK dan Mbah Uti juga adalah seorang penggiat lingkungan hidup.

Namun kali ini Dinda yang menginterupsi, Dia mengajukan gue untuk mengganti dirinya menjadi bendahara, "Widi ini pinter megang uang. Jagonya banger nabungnya. Beneran, deh. Mending Widi ajah jadi bendara. Saya pindah ke bidang lain, lingkungan juga gak apa-apa." Ujar Dinda.

"Wih, Din. Tau banget si Widi jago nabung. Wah, ada apaan nih?" Celetuk Hendra (lagi) menggoda. 

"Ishhh, Kak Hend apa, sih." 

"Cie mukanya merah gitu. Pak RW! Anaknya udah mulai pacaran kayanya, nih." 

"Heeh… Sudah-sudah. Kalian nih bercanda melulu." Pak RW mencoba mengembalikan rapat ini pada jalurnya. "Jadi gimana, Widi. Kamu sanggup dimana?" Tanya Beliau.

"Pak, saran saya. Mending Widi dimasukin ke seksi olah raga dan seni, Pak. Soalnya kasian disana perempuan semua, gak ada laki-lakinya." Ujar Tomo. Tomo ini sama seperti Hendra dia salah satu anggota yang masih bertahan dari periode sebelumnya.

"Iyah, Pak." Celetuk salah satu perempuan yang duduk di sebelah Tomo. "Lagi pula program kerja kita padet banget, Pak. Kayanya keteteran, Pak. Kalau cuma perempuan-perempuan ajah." Lanjutnya.

"Gimana, Wid? Kamu bersedia? Sanggup?" Tanya Pak RW.

Gue berpikir sejenak sambil mengamati wajah perempuan itu, di satu sisi, gue juga melihat Dinda. Ada sedikit yang aneh dengan ekspresinya. "Baik, Pak. Saya bersedia. Tapi sanggup apa engganya… Saya bakal berusaha, Pak." Jawab gue dan disaat yang bersamaan akhirnya gue tau Dinda sedikit tidak menyetujui hal ini entah apa alasannya.

...


Kami semua telah berpindah ke gedung Sasana Krida—gedung aset milik kelurahan setempat, di gedung ini  pemilihan dan pelantikan anggota karang taruna unit xxx periode baru akan diselenggarakan esok hari.

Pukul 10.10 (mega big sale emoticon-Hammer (S)) kami semua sudah yakin akan susunan acara esok hari setelah melakukan gladi bersih untuk yang terakhir kali. "Gue rasa cukup kali, yah. Udah bagus semuanya. Tinggal besok eksekusinya semoga semuanya lancar tanpa kendala." Ujar Tomo yang sedari tadi memimpin kami semua.

Tomo memang ditunjuk sebagai ketua acara ini, dan dia juga yang sudah hampir pasti yang akan menjadi ketua karang taruna nanti—sebelumnya semua anggota sudah satu suara untuk memilih Tomo karena menurut mereka Tomo lah yang pantas untuk menjadi ketua. 

Sejujurnya pada saat gue mengetahui kalau semua anggota sudah satu suara, gue mempertanyakan fungsi acara pemilihan esok hari. "Lah buat apaan besok ada pemilihan kalo ketuanya udah ditentuin duluan?" Tanya gue pada Hendra saat gue dan dia sedang mengangkat kursi plastik dari gudang gedung ini.

"Ya, kan formalitas Cuy! Kan karang Taruna itu organisasi resmi, bukan geng motor. Semua ada prosedurnya. Gak bisa sembarangan tunjuk-tunjuk gitu ajah."

"Oh gitu. Terus kenapa engga elu ajah Ndra?" Tanya gue.

"Ogaaaahh banget gue. Mending maen ps ye gak, hahaha."

Setelah semuanya dipastikan siap. Tomo kembali berbicara, "Yaudah kalo ada yang mau langsung pulang. Gak apa-apa, kok. Istirahat, deh. Apalagi yang cewe-cewe. Udah malem juga." Dan satu persatu anggota-anggota lainnya pamit. Menyisakan Gue, Hendra, Tomo, Dinda, tiga orang perempuan yang salah satunya bernama Ria, dia adalah salah satu anggota dari periode sebelumnya dan dua sisanya adalah perempuan yang sebelumnya mengiyakan usulan Tomo untuk memasukan gue ke dalam seksi olahraga dan seni budaya.

Gue belum mengetahui nama dua perempuan yang akan berada di dalam satu seksi yang sama dengan gue, hingga ia menghampiri gue, "Hey, Wid. Kita dari tadi belom kenalan, loh. Gue Linda, ini Fania." Dia menjulurkan telapak tangannya.

"Oh, iya. Widi," Sahut gue pada Linda menyambut tanganya, "Widi." Gue bersalaman dengan Fania. "Oh iya, lo berdua satu seksi sama gue, yah? Satu lagi siapa?" Tanya gue.

"Tadi kita udah ngomong sama Tomo, Wid. Kita bertiga ajah. Si Nur dipindahin ke seksi kerohanian." Jawab Linda yang juga diiyakan oleh Fania.

"Oh gitu, yaudah. Nan…

"WID, SINI BENTAR, DEH. TOLONGIN PASANG INI DONG!" Suara Dinda menghentikan ucapan gue.

"Iya, bentar!" Sahut gue pada Dinda.

"Ih cepet, ini susah banget!" Ujar Dinda.

"Bentar ya, Lin, Fan." Ucap gue pada Linda dan Fania kemudian bergegas menghampiri Dinda yang sedang memasang telapak meja. "Kenapa?" Tanya gue pada Dinda.

"Ngapain, sih. Kamu deket-deket mereka. Cewek-cewek centil!" Bisik Dinda.

"Loh emangnya kenapa?" 

"Ya gak apa-apa! Males ajah liatnya." 

Gue menggelengkan kepala, "Yaudah mana sini aku bantuin." Ujar gue lalu membantu Dinda menancapkan paku payung untuk menguatkan posisi telapak meja. Entah mengapa melihat Dinda seperti ini gue merasa makin besar kepala dan semakin yakin kalau jalan gue akan mulus untuk mendapatkannya.

Kemudian saat tidak ada lagi yang dikerjakan karena semua sudah beres. Kami bertujuh berbincang-bincang hingga dari perbincangan itu gue mengetahui kalau; Tomo adalah seorang mahasiswa jurusan kedokteran, Ria adalah seorang mahasiswi pendidikan, sementara Linda dan Fania seorang siswi kelas 11 SMA. 

"Lah jadi gue paling muda dong disini? Masih kelas 1."

"Iyee lu masih kelas 1 tapi umur lo banyak!" Celetuk Hendra.

"Tetep ajah banyak lo Ndra!" Celetuk Tomo.

"Yeee dia gak sadar siapa yang umurnya paling banyak disini!" Celetuk Hendra lagi lalu dia dan Tomo sama-sama menengok ke arah Ria, "Bu Guru!" Ucap Hendra dan Tomo kompak. 

"Sialan lo berdua!" Sahut Ria sambil melempar keripik singkong ke arah mereka berdua. "Oh, ya. Wid. Ceritain dong lo pas di STM gimana? Gue nanti dapet magang di STM nih soalnya."

"Serius, kak?"

"Anying lo manggil Ria pake Kak, manggil gue kagak." Celetuk Hendra.

"Idih males banget gue manggil elu kakak Ndra. Hahahaha." 



Aku sering bertanya-tanya, 
pada siapa saja yang ingin kutahu jawabnya,
Mengapa makna larut selalu berbeda;
Pada malam-malam yang larut
Pada hati-hati yang berlarut
Mengapa tak kunjung bertaut,
Perasaan-perasaan yang sudah terajut?
Diubah oleh nyunwie 24-11-2021 19:25
kakangprabu99
anonymcoy02
MFriza85
MFriza85 dan 30 lainnya memberi reputasi
31
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.