Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Hari kedua masuk sekolah sebagai anak kelas 2 SMA.
Gua berjalan disepanjang koridor sekolah, sementara tangan gua menyusuri railing besi yang masih basah akibat hujan semalam. Tepat di depan kelas gua, Larissa berdiri, bersandar pada dinding kelas, tangannya menggenggam paper bag coklat.
“Nih…” Ia menyerahkan paper bag coklat ke gua. Dan kemudian bergegas pergi kembali ke kelasnya. Sementara, gua hanya mampu memandangi punggungnya.
Gua membuka Paper bag darinya, berisi kotak bekal makan siang, sebotol air mineral.
dan secarik kertas. Gua mengambil kertas tersebut dari dalam paper bag. Sebuah poster hasil fotocopy, yang berisi ajakan untuk ikut kegiatan ekstrakurikuler. Pada poster tersebut terpampang aneka jenis kegiatan ekstrakurikuler beserta kontak perwakilannya.
Saat jam istirahat tiba, nggak mau keduluan Larissa, gua meraih paper bag coklat yang berada di atas meja dan bergegas menuju ke kelasnya.
“Nggak makan?” Tanya gua ke Larissa begitu gua tiba di kelasnya.
Ia menggelengkan kepala.
“Kenapa?”
“Gapapa…” Jawabnya singkat.
“Masih marah? kan kemaren kita udah baikan..”
“Kalo inget bekal, gw jadi kesel sendiri aja…” Jelasnya.
“Bekal lo mana?” Tanya gua, sambil mencari-cari kotak bekal makanan yang nggak ada di atas mejanya.
“Nggak ada” Jawabnya singkat.
“Lah?”
“Tadi pagi kesiangan, buru-buru.. Cuma sempet nyiapin satu bekal doang…”
“Ini doang?” Tanya gua sambil mengangkat paper bag coklat ditangan gua.
“Iya..”
“Trus kenapa malah dikasih ke gua?”
“Bokap lo belom ngasih duit kan?”
“Belom…”
“Yaudah makan aja… gw mah gampang. Nggak makan sehari juga gapapa..” Jawabnya dengan nada ketus.
“Jangan dong…”
“Kan gw udah bilang tadi, kalo ngeliat tuh kotak makan gw jadi kesel lagi. Udah lo makan sendiri sana…”
“Ya klo lo nggak makan, gua juga nggak makan… Ini gua kasih Sekar aja..” Gua mengancamnya. Kemudian bersiap ke meja dimana Sekar duduk. Sigap, Larissa meraih pergelangan tangan gua.
“Makan berdua ya?” Gua memberikan sebuah tawaran.
Larissa mengangguk.
“Suapin ya Bi…” Pintanya
Dengan cepat gua menggeleng; “Malu, Sa?”
“Plis…” Ia memohon sambil pasang ekspresi paling imut yang dimilikinya. Tak kuasa menahan permintaannya, gua pun mengangguk; setuju.
“Cieeeee….” Seisi kelas kompak berseru begitu melihat gua mulai menyuapi Larissa. Begitu pula dengan Sekar yang kini berjalan mendekat ke arah kami berdua.
“Jujur, ini cukup mengejutkan ya… Sasa nggak pernah bilang kalo lo berdua jadian… Tapi gw suka sih ngeliat kalian berdua. Yang satu bawelnya kayak jalak suren, yang satu diem aja kayak kukang.. ” Ucap Sekar sembari berkelakar, kemudian kembali ke tempat duduknya.
Perihal ‘Cieeeee’ ini terus berlanjut kala ada siswa-siswi yang masuk kedalam kelas dan mendapati gua tengah menyuapi Larissa.
“Kenapa? Pusing?” Tanya Larissa ketika melihat gua sambil menunduk kala menyuapinya.
“Nggak…”
“Trus kenapa nunduk aja?”
“Malu…” jawab gua singkat.
“Malu kenapa sih? Kita kan nggak ngapa-ngapain Bi? Liat tuh yang laen…” Ucap Larissa sambil menunjuk dengan dagunya ke arah sudut kelas. Sepasang muda-mudi tengah duduk sambil pangku-pangkuan, di sudut yang lain ada pula pasangan lain yang tengah saling duduk sambil berpegangan tangan.
“Lo cuma nggak biasa aja dapet exposure kayak gini, biasain lah…” Tambahnya.
Gua lalu teringat secarik kertas yang berada di paper bag. “Trus ini punya lo?” Tanya gua sambil mengeluarkan kertas fotocopy poster kepadanya.
Ia menggeleng, kemudian menunjuk ke arah gua; “Buat elo…”
“Gw udah daftarin elo ke Ekskul Taekwondo..” Tambahnya.
“Tapi, Sa …”
“Kenapa? nggak mau?”
“Nggak” Gua menjawab yakin.
Seperti sudah menebak jawaban gua, Larissa lalu mengeluarkan selembar potongan voucher kertas hadiah ulang tahun dari gua, meletakkannya di atas meja dan mendorongnya ke arah gua.
“Ikut Ekskul Taekwondo..” Ucapnya tenang, kemudian pasang senyum penuh kepuasan.
“...” Sementara gua hanya bisa terdiam, memandang nanar penuh penyesalan ke arah potongan voucher berisi tulisan tangan gua yang berbunyi; “Voucher: Doing anything for Larissa”
“Itu jangan lupa kertas posternya ntar balikin, tempel lagi.. Tadi pagi itu gw copot dari mading…”
---
“Sa… Ini bener gw harus ikut Ekskul?” Tanya gua ke Larissa, saat kami berdua duduk di depan teras pos satpam, seusai sekolah.
Larissa mengangguk yakin, sambil sibuk membuka kemasan beng beng yang tadi baru saja ia beli di koperasi.
“Selain, baik buat bersosialisasi, itu kan juga bisa jadi nilai tambahan, Bi..” Jelasnya. Merujuk ke isi pidato Pak Kepala Sekolah beberapa hari yang lalu, yang membahas perihal kegiatan ekstrakurikuler. Siswa-siswi kelas 2 diwajibkan untuk ikut; minimal 1 kegiatan dan maksimal 2 ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler ini nantinya akan digunakan sebagai salah satu syarat kenaikan kelas dan bisa digunakan sebagai ‘pendongkrak’ nilai jika dirasa kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti memiliki cukup prestasi.
“Kalo jadwal ekskulnya bentrok sama latihan gua gimana?” Tanya gua, sebisa mungkin mencari alasan.
“Nggak bakal…” Jawabnya yakin. Sementara tangannya kembali mengambil bungkusan beng-beng dari kardus kecil di sebelahnya. Iya, tadi Larissa beli 2 kardus beng beng di koperasi. Saat, gua tanya ‘kenapa beli banyak banget?’, simply dia menjawab; ‘Laper!’. Ya gimana nggak laper, makan siangnya dibagi dua sama gua.
“Kok yakin banget?” Tanya gua, mulai penasaran.
Larissa mengangkat jarinya ke bibir; “Sssstt!!... udah ah bawel, tinggal ikut aja, nggak pake bayar, nggak bakal rugi juga…” Ucapnya, kemudian meneruskan makan beng-beng.
‘Tin.. Tin…’ Suara klakson SUV Hitam membahana dari luar gerbang sekolah. Pak Sam datang menjemput, Larissa memasukkan beng-beng yang tersisa kedalam tasnya. Kemudian melempar kardus kemasan ke tempat sampah yang terletak nggak begitu jauh dari area pos satpam. Ia meraih lengan gua dan menariknya; “Ayok, bareng aja.. gw anterin ke tempat latihan…” Ajaknya.
Baru saja kami berjalan beberapa langkah, Larissa terlihat menyeka hidungnya dengan punggung tangan. Ia menatap darah yang menempel pada lengannya, lalu berpaling ke gua. Tatapan matanya perlahan kosong, tubuh mungilnya seperti kehilangan tenaga dan mulai ambruk. Dengan cepat gua menangkap tubuhnya, sementara, beberapa siswa yang melihat kejadian tersebut, mulai mendekat, bergerombol mengelilingi kami, dan mulai berasumsi.
Gua mengangkat tubuh Larissa yang terkulai dan mulai membopongnya ke arah mobil. Pak Sam yang mengetahui hal tersebut, turun dari kursi kemudi dan membukakan pintu bagian penumpang. Perlahan, gua membaringkan Larissa di bagian belakang mobil dan duduk disebelahnya. Tanpa basa-basi, Pak Sam kembali ke kemudi dan mulai menjalankan mobil.
“Sa… Sa..” Gua memanggil namanya beberapa kali sambil membelai kepalanya yang berada di pangkuan gua.
Pak Sam mencoba mengemudi sebisa mungkin, terlihat beberapa kali ia nyaris menabrak pengendara motor yang memotong jalurnya. Sementara gua berkali-kali menatap ke arah jendela depan, mencoba mengira-ngira sisa jarak tempuh ke rumah sakit terdekat.
“Sebentar lagi, Sabar ya Sa…” Bisik gua ke telinga Larissa yang masih tak sadarkan diri.
Nggak sampai setengah jam. Kami sudah tiba di rumah sakit yang berada paling dekat dengan lokasi sekolah. Pak Sam, berkali-kali meninju klakson yang berada di tengah kemudi, ia menurunkan jendela bagian kemudi, menjulurkan kepalanya, dan mulai berteriak kepada petugas keamanan yang tengah mengatur keluar masuk kendaraan ke dalam rumah sakit.
“Pak, cepet dong! Saya bawa orang sakit ini!” Teriaknya.
Mendengar teriakan Pak Sam, petugas keamanan tersebut tergopoh-gopoh berlari menghampiri kami. “Maaf Pak, ada mobil yang mogok, Itu mobil yang di depan juga udah mules-mules mau lahiran” ia menjelaskan, sambil sesekali menjawab panggilan dari HT yang tergantung di saku seragamnya.
Gua membuka pintu penumpang sebelah kiri, meraih lengan Larissa, melingkarkannya di pundak dan mulai menggendongnya. Dengan Larissa terbaring tak sadarkan diri di punggung, gua berlari sekuat tenaga menuju ke gerbang rumah sakit. “Sedikit lagi, Sabar ya Sa…”
Beberapa menit berikutnya, gua tiba tepat di depan gedung UGD yang memang terletak terpisah dari gedung perawatan lainnya. Seorang petugas keamanan yang bertugas di depan pintu masuk, bergegas membukakan pintu buat gua dan langsung diarahkan menuju ke salah satu ranjang kosong yang terletak di ujung ruangan.
Gua merebahkan Larissa di atas ranjang. Sementara, seorang perawat sudah bersiap untuk melakukan pemeriksaan awal kepadanya. Perawat tersebut, mengukur denyut nadi di lengan Larissa, begitu selesai ia langsung berlari menuju ke salah satu ruangan yang berada di tengah-tengah UGD. Nggak lama, ia kembali dengan seorang pria berpakaian serba putih; Dokter. Dengan sebuah senter kecil seukuran pulpen, dokter memeriksa kedua bola mata Larissa, kemudian kembali memeriksa denyut nadi di lengannya.
“Dia lagi kemo dok…” Sambil tersengal-sengal, gua memberi informasi ke dokter yang memeriksa.
Dokter tersebut, menoleh ke arah gua. Kemudian dengan cepat memberikan kode ke perawat di sebelahnya untuk membawa Larissa ke ruangan lain. Sementara, gua terduduk di lantai, bersandar pada pilar sambil mencoba mengatur kembali nafas yang masih nggak beraturan.
“Mas, ini boleh minta tolong diisi dulu dokumennya?” Pinta salah seorang perawat yang mendatangi gua.
Gua mengangguk, kemudian berdiri dan mulai mengikutinya dari belakang.
“Ini harus deposit dulu mas…” Ujar salah satu petugas di ruang administrasi khusus UGD. Sama seperti gedungnya yang terpisah, bagian administrasi di UGD juga sepertinya punya sistem administrasinya sendiri. Karena mungkin pola perputaran pasien di UGD yang amat cepat, membuat proses administratifnya dibuat punya ‘gaya’ yang lebih cepat pula.
“Berapa?” Tanya gua panik.
“Minimal 200.000…” jawabnya santai.
“Tapi, saya nggak bawa duit gimana?” Gua balik bertanya, sambil sesekali mencari-cari ke arah belakang berharap Pak Sam muncul dan punya solusi.
“Tapi, itu pasiennya langsung ditanganin kan?” Tanya gua
Mendengar pertanyaan gua barusan, petugas di balik counter tersebut nggak bisa menjawab. Ia hanya diam sambil berpura-pura mencari kesibukan dengan membolak-balik kertas yang berada di depannya.
‘Brak!’ Gua memukul bagian depan counter dan pergi dari sana.
“Pak… Punya uang cash 200.000?” Tanya gua ke salah satu sosok pria berpenampilan paling necis yang tengah duduk dibangku panjang di depan ruang UGD. Pria itu, menatap gua dari atas ke bawah, kemudian menggeleng.
Gua beralih ke seorang Ibu yang duduk disebelahnya. Dan mulai bertanya, sambil menyodorkan ponsel gua; “Bu, saya jual HP saya 200.000…”. Lagi, ibu tersebut menggelengkan kepalanya.
“Dek.. dek..” Panggil sosok bapak tua yang duduk di deretan seberang sambil melambaikan tangannya.
“Mau dijual berapa?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah ponsel ditangan gua.
“200ribu pak” jawab gua cepat sambil mengacungkan dua jari.
Bapak tua tersebut lalu merogoh saku bagian belakang celananya, mengeluarkan dompet yang saking tebalnya sampai nyaris nggak bisa ditutup. Ia menarik dua lembar pecahan 100 ribu dan menyerahkannya ke gua.
Dengan cepat gua menyambar lembaran uang tersebut, memberikan Ponsel gua kepadanya. Dan mulai berlari kembali ke counter administrasi.
“Totalnya 230ribu mas…” Ucap petugas administrasi
“Hah, tadi katanya 200 ribu?” Tanya gua sambil merogoh semua saku di celana termasuk saku baju.
“Tanda tangan disini mas…” Tunjuk petugas administrasi di salah satu kolom kosong di bagian bawah formulir. Sementara, ia melanjutkan menghitung uang receh yang barusan gua serahkan.
“Pasiennya udah langsung ditanganin kan?” Gua kembali bertanya. Dan, tentu saja pertanyaan gua kali ini langsung dijawabnya dengan anggukan.
Gua berjalan cepat ke arah koridor tempat tadi Larissa di bawa.
Pada sisi kanan dan kiri koridor terdapat ruangan-ruangan besar tanpa pintu yang berisi beberapa baris ranjang. Sebagian ranjang terlihat kosong, sementara sisanya diisi oleh pasien dengan beraneka jenis penyakit. Sebagian besar pasien disini, masuk karena sesuatu yang sifatnya Insidental seperti korban kecelakaan lalu lintas, jatuh dari atap, cedera karena olahraga, hingga yang terdengar sepele seperti telinga yang kemasukan jangkrik dan bocah yang tanpa sengaja menelan koin.
Disalah satu sudut ruangan terlihat sosok pasien yang terbaring masih dengan seragam SMA. Gua mempercepat langkah menuju ke arahnya.
Seorang perawat baru saja selesai memasangkan jarum di bagian dalam lengan kanannya. Jarum tersebut terhubung langsung melalui selang kecil menuju ke botol infus yang diletakan pada tiang besi di sebelah ranjang. Sementara, masker oksigen terpasang di wajah, menutupi bagian hidung dan mulutnya.
Sedikit perasaan lega perlahan muncul begitu melihat dadanya yang bergerak naik dan turun.
Gua duduk di bangku kecil yang berada tepat di sebelah ranjang. Lalu membelai lembut rambut di dahinya dengan tangan gua yang masih bergetar. “Sa, bangun sa.…” Gua berbisik di telinganya.
Dari ujung koridor terlihat Pak Sam berjalan tergopoh-gopoh, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari gua dan Larissa. Sementara, kedua tangannya membopong tas milik gua dan Larissa. Begitu mengetahui posisi kami berdua, Pak Sam mendekat, ia meletakkan kedua tas kami di lantai dan berdiri mematung menatap ke arah Larissa. Sesekali ia menyeka ujung matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Saya udah telpon ibu…” Ucapnya pelan.
Gua mengangguk pelan.
---
Hampir satu jam kemudian, Maminya dan Resti tiba. Gua berdiri dan memberikan duduk untuk maminya. Ia duduk, menggenggam tangan anak bungsunya sambil tak kuasa membendung tangisnya. Masih sambil terisak, ia memberi perintah ke Resti untuk ke ruang administrasi dan mengurus kepindahan Larissa ke rumah sakit tempat biasa ia menjalani perawatan.
Tak seperti proses kepindahan bokap gua waktu itu. Proses perpindahan Larissa ke rumah sakit lain tergolong kilat. Mungkin karena posisi Bokap gua kali itu sudah terlanjur masuk ke ruang perawatan, sementara Larissa saat ini masih berada di UGD. Terhitung, hanya butuh waktu tak sampai satu jam, hingga akhirnya Larissa akhirnya dipindahkan.
Gua memandang Ambulan yang membawa Larissa, mami dan papinya berjalan menjauh. Bunyi sirinenya yang Cumiakan telinga perlahan terdengar samar lalu sirna. Sementara, Pak Sam dan Resti mengikuti dari belakang dengan mobil masing-masing. Gua mulai melangkahkan kaki menuju gerbang rumah sakit.
Sambil merogoh saku celana, gua baru menyadari kalau semua uang gua sudah diserahkan di counter administrasi tadi. Gua akhirnya harus rela pulang dengan berjalan kaki.
Jam menunjukkan pukul 10 malam begitu gua tiba dirumah. Tanpa berganti pakaian, apalagi mandi, gua langsung duduk di sofa ruang tamu dan mulai mengangkat gagang telpon dan menghubungi nomor rumah Larissa.
---
Lost In Space - Lighthouse Family
Sometimes I get tired of this me-first attitude
You are the one thing that keeps me smiling
That's why I'm always wishing hard for you
'Cause your light shines so bright
I don't feel no solitude
You are my first star at night
I'd be lost in space without you
And I'll never lose my faith in you
How will I ever get to heaven, if I do
Feels just so fine
When we touch the sky me and you
This is my idea of heaven
Why can't it always be so good?
But it's all right, I know you're out there
Doing what you've gotta do
You are my soul satellite
I'd be lost in space without you
And I'll never lose my faith in you
How will I ever get to heaven, if I do