Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

meisyajasmineAvatar border
TS
meisyajasmine
HASRAT SEORANG IPAR
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besarku. Ya, hari itu adalah pernikahan Mbak Mel, putri kesayangan ibu dan almarhum bapak. Walau keduanya memiliki dua orang putri, Mbak Mel dan aku, namun jauh di relung hati ini aku sangat paham jika yang paling mereka cintai adalah Mbak Mel seorang.

Sejak kecil, ibu dan bapak selalu saja mendahulukannya. Membelikan barang-barang mahal untuknya, sampai menyekolahkan perempuan cantik itu hingga S-1. Sedang aku? Selalu mendapat lungsuran barang darinya dan hanya berkesempatan berkuliah hingga D-3. Alasan klasik, uang ibu dan bapak sudah tidak cukup jika menguliahkan dua anaknya ke jenjang sarjana.

Aku yang hanya berbeda usia setahun saja dengan Mbak Mel, sudah sangat paham dengan pembedaan perlakuan yang kami dapat dari kecil hingga dewasa. Jadi, aku tak akan heran lagi jika nikahan Mbak Mel hari ini sangat istimewa untuk keluarga kami. Dan dapat kupastikan, pernikahanku kelak mungkin akan disambut biasa saja oleh ibu dan sanak famili lain.

Aku mendesah letih. Dari subuh hingga malam hari berkutat dengan dapur dan segala pernak pernik hajatan. Jangan membayangkan jika sebagai adik aku berdiri di depan untuk menerima tamu atau minimal duduk anggun menjaga buku tamu lalu membagikan suvenir. Tidak sama sekali. Bahkan aku tak dapat berdandan cantik di hari bahagia Mbak Mel. Ketersediaan konsumsi adalah tanggung jawabku, begitu perintah Mbak Mel.

“Dek Ayu, pokoknya kamu standby di dapur. Cek makanan. Jangan sampai ada yang kurang. Tolong arahkan juga sinoman untuk memungut piring dan sampah-sampah, ya.” Saat itu aku jelas saja membelalak. Bagaimana bisa tugas itu diberikan padaku, sementara panitia acara itu ada banyak dan harusnya dapat diberikan kepada kerabat lain.

Tiba-tiba aku menyadari satu hal. Hidupku bagi Mbak Mel memang tidak berarti. Hanya sebagai pemeran pembantu yang melengkapi kemeriahan hidupnya. Aku yang adik kandungnya, lebih patut mengurusi dapur dan tetek bengek sepele dalam acara, ketimbang sebagai si empunya hajatan.

Oke, Mbak Mel. Apapun yang kau lakukan padaku hari ini, anggap saja sebuah kado untuk pernikahan manismu. Namun, aku tak dapat menjamin, sampai kapan aku harus berlaku manis di hadapanmu.

***

“Mas Wisnu akan tinggal di sini selamanya bersama kita, Yu. Jadi, ibu mohon kamu jaga sikap dan berpakaian yang sopan. Hormati iparmu.” Ibu membuka percakapan saat aku sibuk membereskan rumah sisa hajatan. Waktu masih pukul empat, angin berembus begitu dingin. Sedingin kalimat ibu barusan.

“Memangnya selama ini sikapku selalu buruk? Terus, pakaian seperti ini kurang sopan apalagi, Bu?” Kupingku tentu saja langsung memerah. Aku yang sebenarnya tak ingin berdebat sepagi ini, langsung tersulut amarah.

Mata Ibu seketika mendelik. Dia terlihat tak kalah geram. Tanpa bicara lagi, orang tua itu balik badan dan meninggalkanku sendirian di teras rumah.

Tangisku terakhir kali luruh akibat perlakuan ibu sudah sangat lama. Tepatnya waktu kelas sepuluh SMA. Saat itu aku ulang tahun dan ibu tak sama sekali mengucapkannya. Dia malah membelikan Mbak Mel kasur pegas baru berawarna merah muda, warna kesukaanku. Aku jelas saja marah, iri, dan merasa sedih yang tiada tara. Seharian kuhabiskan untuk menangis dan pada akhirnya kuharamkan air mataku keluar lagi untuk Ibu.

Hari ini, air mata itu tak dapat kubendung. Tangisan yang sama. Air mata kekecewaan. Mengalir deras hingga membuat dadaku berguncang. Lemas, tubuhku duduk memeluk tiang penyangga teras.

“Sejak kecil hingga dewasa, ibu seakan memperlakukan aku bagai anak tirinya. Dia selalu saja mengganggap aku salah dan bahkan tidak memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu pada anak bungsu. Terus, sebenarnya aku ini anak mereka atau bukan?” Dalam kegetiran, aku berkata-kata sambil menutup wajah dengan kedua belah tangan. Perasaanku hancur sehancurnya. Kerja kerasku semalam bagai tiada arti di mata ibu.

Setelah lama aku menangis dan matahari mulai naik menyinari bumi, aku bangkit dari duduk. Takut-takut akan banyak orang lewat di depan sini lalu menjadikanku sebuah tontonan. Sudah cukup selama ini mereka membicarakan ku di belakang, tak perlu lagi para tetangga melihat secara langsung betapa mirisnya kehidupanku.

Saat akan berbalik, aku kaget luar biasa. Sosok lelaki tinggi dengan kaus putih dan celana hitam selutut. Wajahnya tampak cerah dengan senyuman yang hangat. Aku cepat-cepat mengusap sisa air mata dan membuang muka.

“Dek Ayu, kamu kenapa?” Dia mencegatku. Tangannya berusaha meraih sisi lenganku, namun aku mundur untuk menjaga jarak.

“Nggak apa-apa, Mas.” Gara-gara manusia ini, ibu telah menyakiti perasaanku secara lisan.

“Dek, kamu tau nggak tempat bubur ayam langganan Mbakmu? Aku disuruh beli sama dia. Tapi aku takut nyasar. Kamu mau nemenin?” Suara lembutnya mengalun di telingaku. Harusnya aku senang mendapatkan kata-kata halus dari orang di rumah ini, karena Ibu dan Mbak Mel jelas saja jarang bahkan tak pernah melakukannya padaku. Namun, karena mood-ku sedang rusak, ucapan Mas Wisnus tetap saja bikin muak.

Terpaksa, aku mengangkat kepala. Berdecak kesal dan memasang wajah tak suka. “Bilang aja kalau mau nyuruh aku yang belikan. Banyak basa-basi.” Aku berucap ketus, lalu melangkah ke arah luar dan membuka pagar. Ternyata Mas Wisnu mengejar dan menahan tanganku.

“Dek, maaf. Aku nggak maksud begitu. Serius. Maksudku kamu tunjukkan arahnya. Kalau tidak merepotkan, temenin aku. Bisa?” Mas Wisnu mengeluarkan senyuman manisnya. Wajah putih dengan bulu-bulu halus di pipi, dagu, dan bagian atas bibirnya begitu tampan saat tertimpa sinar mentari. Aku hampir saja terpana dengan kegantengan pria tiga puluh tahun ini, tapi segera kutepis saat membayangkan bahwa dia adalah suami dari perempuan yang sangat kubenci nomor dua setelah ibu.

“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari bibirku. Kakiku malas untuk berjalan menuju gerobak bubur ayam Pak Min yang berjarak hampir lima puluh meter dari rumah. Sepanjang jalan, kami berdua hanya membisu. Hanya bunyi derap langkah kaki yang saling beradu di udara.

“Ini tempatnya.” Jutek aku berkata.

“Makasih ya, Dek. Maaf aku merepotkan. Oh, ya, kamu pesan juga. Kita sarapan bareng di rumah.” Geligi putih bersih milik Mas Wisnu tampil dari balik senyum lebarnya. Ya Tuhan, setan apa yang membujuk seorang Wisnu hingga dia harus menikah dengan Mbak Mel? Orang sebaik ini tak pantas membersamai perempuan pemarah, tukang perintah, dan selalu merasa superior di mana pun.

“Terserah.” Aku buru-buru duduk di samping gerobak. Di sebelahku ada seorang ibu-ibu yang ikut mengantre. Tetangga juga, tapi aku tidak hafal namanya. Tidak penting.

“Eh, ini Ayu anaknya Bu Mayang kan?” Ibu-ibu berdaster hijau lumut dengan jilbab oranye—sangat tidak matching—itu menegurku dengan suara yang sok akrab. Aku mengerling malas. Tersenyum terpaksa dan mengangguk kecil.

“Kerja di mana? Kok kelihatannya nggak pernah pergi ke kantor, ya?”

Telingaku langsung berdiri. Hebat, pertanyaannya seperti seorang wartawan majalah gosip yang kehabisan berita.

“Adik ipar saya ini pengusaha online, Bu. Kantornya di rumah. Iya, kan, Dek?” Mas Wisnu tiba-tiba bergabung dan duduk di hadapanku.

“Eh?” Aku salah tingkah. Terlebih memperhatikan Mas Wisnu yang meminta pembenaran dengan senyum khasnya.

“I-iya,” jawabku sambil terbata. Pipiku langsung terasa merah rasanya. Antara malu, senang, dan hmm... sebuah perasaan yang tak dapat dijelaskan.

“Lho, ini siapa? Bukannya suami kakaknya, ya?” Ibu itu tiba-tiba terdengar syok. Perasaanku jadi merasa tak enak. Urusan bakal panjang, pikirku.

“Iya. Saya Wisnu, suami Melani.” Mas Wisnu dengan penuh keramah-tamahan menjabat tangan ibu berjilbab oranye itu.

“Saya Srinti, teman pengajian ibu kalian. Lho, mana Melani? Kok malah pergi sama iparnya?” Kedua Alis si Srinti bertautan. Mukanya tampak heran. Aku jelas saja memperhatikan wajahnya dengan malas dan muak.

“Bu, pertanyaannya banyak sekali? Aku pusing. Lebih baik ibu diam saja biar udaranya tidak tercemar karbondioksida.” Akhirnya kata-kata tajamku keluar. Aku santai saja. Sementara Mas Wisnu berubah muka menjadi tak enak. Begitu pula si Srinti yang terlihat keki.

“Yo wis!” Tanpa kuusir akhirnya si Srinti kabur juga. Lega. Seperti barusan buang air besar setelah setahun konstipasi.

“Dek, kok jawabnya seperti itu?” Mas Wisnu berbisik pelan.

“Jangan terlalu diladeni orang-orang sini, Mas. Tukang gosip dan nyebar hoax.” Mukaku datar. Lalu aku bangkit dan menyambar pesanan yang sudah siap.

“Aku yang bayar, Dek.” Mas Wisnu buru-buru merogoh dompetnya.

“Ya memang harusnya seperti itu, Mas.” Aku ngeloyor pergi dengan langkah kaki cepat. Sementara Mas Wisnu berlari kecil mengejarku. Bodo amat.

***

“Lho? Berduaan perginya?” Mata Mbak Mel membulat saat melihat aku dan Mas Wisnu tiba di dapur bersamaan.

“Suamimu yang maksa minta ditemenin.” Aku menatap tajam pada Mbak Mel. Oke, kalau mau bertikai hari ini, aku punya energi lebih untuk melawanmu. Mbak Mel mendengus dan mengalihkan pembicaraan

“Maaf, ya, aku nggak nemenin?” Kata-kata Mbak Mel halus lembut bagai putri keraton. Tidak biasanya. Hmm, tunggu saja kau Wisnu, bulan depan sifat aslinya pasti akan keluar.

“Nggak apa-apa. Mas tahu kamu capek, Sayang.”

Aku menelan liur. Seketika bergidik geli. Apa-apaan dua orang ini? Jika mau bermesraan, apa wajib 'ain kalau harus di depanku?

Setelah menyiapkan bubur ke dalam mangkuk-mangkuk, secepat kilat aku beridiri dan melangkah pergi. Tapi, lagi-lagi Mas Wisnu mencegah.

“Dek, kita makan bareng. Sini!”

Aku balik badan. Kelihatan wajah Mbak Mel keberatan. Hatiku tersenyum. Oke, akan kurusak makan pagi pertama kalian kali ini.

“Baiklah.” Aku duduk di seberang Mbak Mel. Mata perempuan berkulit Langsat itu bertumbuk padaku. Menyiratkan sebuah ketidaksukaan dan seolah memintaku untuk pergi.

“Kenapa, Mbak? Ada yang mau diceritakan?” Aku tersenyum tipis. Aku mengerti jika Mbak Mel pasti ingin melempari dengan sendok atau bubur yang panas ini. Namun, tidak mungkin itu terjadi. Mana dia mau reputasinya hancur di depan suami gantengnya itu?

“Tidak.” Mbak Mel ketus. Dia beralih pada suaminya dan sibuk memuji-muji betapa ganteng dan baik hatinya seorang Wisnu. Dia ingin mempertegas bahwa dia telah menikah dan menemukan suami sempurna, tidak seperti aku yang masih sendiri.

“Lho, kok makan bertiga begini? Ayu, kamu harusnya kan beres-beres dulu. Masa mengganggu mbak dan masmu?” Oke, sekarang negara api telah menyerang. Akhirnya si pawang ular datang untuk menjinakkan peliharaannya yang tak lain adalah aku.

“Beres-beresnya nanti setelah sarapan saja, Bu. Nanti Wisnu bantu juga. Ibu, ayo kita makan bersama. Wisnu dan Dek Ayu juga belikan untuk Ibu.” Ibu menatapku tajam. Seolah tak terima dengan perkataan Wisnu barusan.

“Kamu dan Ayu? Kalian pergi berdua ke tempat Pak Min?” Mata Ibu membelalak. Ekspresinya beda tipis dengan si Srinti kawan karibnya tadi.

“Kenapa Bu, memangnya? Kami Cuma pergi beli bubur, bukan berduaan di kamar hotel atau tempat remang-remang.” Aku langsung menembak tepat sasaran. Aku tidak bodoh dan sangat mengerti apa yang ditakutkan oleh Ibu.

“Sudah-sudah. Nggak perlu diperpanjang. Besok-besok Mas Wisnu kalau pergi ajak aku aja, jangan Dek Ayu. Nggak elok dilihat tetangga sini.” Mbak Mel segera melerai. Matanya lagi-lagi melirik ke arahku dengan kesal.

“Bu, Mbak Mel. Kalian boleh aja nggak suka sama aku. Tapi, dengan curiga dan ketakutan aku ngapa-ngapain dengan iparku sendiri itu picik. Kamu Mbak Mel, percuma sekolah tinggi dan kerja di tempat yang katamu oke itu kalau pikiranmu sama saja kaya orang kampung.” Aku merasa puas. Selama ini aku hanya diam dan manggut-manggut saja saat Ibu maupun Mbak Mel bersikap buruk. Namun hari ini aku memiliki kesempatan untuk balas dendam serta mempermalukan mereka di hadapan orang baru.

Semua orang terdiam. Mbak Mel dan Ibu dengan muka merah padamnya serta Mas Wisnu dengan wajah bingungnya.

“Oh ya, Mas Wisnu. Jangan heran ya kalau tinggal di sini. Aku memang diperlakukan berbeda. Jangan terlalu dekat denganku. Istri dan mertuamu pasti sangat tidak suka.” Aku berdiri dari kursi makan dan beranjak meninggalkan mereka. Terdengar derap kaki menyusul. Aku menoleh. Ternyata Ibu.

“Perempuan tidak tahu malu!” Sebuah tamparan mulus mendarat di pipiku.

Aku tercengang. Sangat-sangat kaget luar biasa. Setelah sekian lama Ibu tak berani menamparku, kini dia melakukannya lagi. Kemudian diri ini tersenyum. Tidak banyak berbicara. Kutatap wajahnya yang berlinang air mata.

“Terima kasih, Bu.” Aku melangkah lagi dan masuk ke dalam kamar. Hari ini benar-benar begitu spesial untukku.

KELANJUTANNYA AKAN DIPOSTING DI KOMENTAR YA GAN. PANTAU AJA TERUS BIAR GAK KETINGGALAN,

INSYA ALLAH AKAN DIUPDATE SETIAP HARI ANTARA JAM 10.00-13.00

MAKASIH AGAN .....

HASRAT SEORANG IPAR
Diubah oleh meisyajasmine 21-11-2021 04:56
tjawetkendor
oceu
Araka
Araka dan 39 lainnya memberi reputasi
40
22.4K
191
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
meisyajasmineAvatar border
TS
meisyajasmine
#60
Bagian 5
Sepanjang perjalanan pulang, aku memeluk Mas Wisnu di atas motor. Terpaan angin dini hari yang sejuk membuat tubuh Mas Wisnu mampu menghangatkan. Harum tubuhnya yang maskulin membuatku merasa begitu betah dan ingin berlama-lama berdua bersamanya. Terbesit di benak, coba Mas Wisnu adalah milikku. Takkan kubiarkan dia mengeluh tentang hidup sedikit pun. Kubebaskan dia bagai burung untuk terbang mengitari cakrawala dan kembali ke sarang saat senja tiba. Mbak Mel yang keras dan banyak mau, jelas bukan wanita idaman yang dibutuhkan lelaki tampan itu. Tuhan, bolehkah aku merebut suami mbakku sendiri?

Kami tiba di rumah pukul satu lewat tiga puluh menit dini hari. Ini benar-benar pengalaman yang gila. Aku keluar rumah tengah malam dengan seorang lelaki pula. Pelan Mas Wisnu menuntun motor ke halaman. Jantungku tiba-tiba berdegub sangat kencang. Lampu ruang ramu yang tadinya kami matikan, kini terang benderang. Ada apa? Apakah Mbak Mel dan Ibu terbangun?

“Mas....” Ucapanku tercekat. Kutarik ujung lengan bajunya. Lelaki itu maju ke depan untuk membuka pintu, sementara aku berlindung di balik punggung tingginya.

Pelan tangan berbulu Mas Wisnu membuka kenop. Suara derit engsel sebisa mungkin kami minimalisir. Betapa mataku membelalak kaget seiring dengan denyut jantung yang tak keruan berdetak. Jelas terlihat sosok Mbak Mel sedang duduk memainkan ponselnya di kursi ruang tamu. Dia menunduk sembari jari jemarinya sibuk mengetik sesuatu.

“S-sa-yang. K-kamu terbangun...?” Mas Wisnu terbata. Terlebih aku. Kami seakan mati kutu di hadapan Mbak Mel yang perlahan mengangkat kepalanya. Wajah perempuan itu terlihat begitu marah. Matanya nyalang menatap kami. Dia lalu tersenyum menyeringai seolah sebentar lagi akan memuntahkan segala caci maki.

“Mas, kita baru sebulan menikah dan kelakuanmu sudah seperti ini?” Mbak Mel berdiri dari duduknya. Dihempaskannya ke lantai ponsel mahal yang tadi dipegang. Berderai sudah benda yang terbuat dari kaca tersebut. Pilu hatiku melihat uang dua puluh juta lenyap dalam sekali hantam.

“K-kami, hanya keluar sebentar, Mel....” Mas Wisnu mendekat pada Mbak Mel. Lelaki itu memegang kedua tangan kakaku. Namun, Mbak Mel malah menepis dan menampar pipi lelaki itu dengan keras.

“Ada apa ini?” Ibu datang dengan wajah yang mengantuk. Matanya menyipit melihat keributan di ruang tamu. Seketika nyaliku menciut. Habis sudah riwayat kami berdua malam ini. Tamat!

“Bu, lihatlah Ayu! Anak haram ini sudah berani merebut suamiku, Bu! Lihat, Bu! Apa yang dia lakukan seperti ibunya dulu merebut Bapak! Seharusnya, Ibu tidak pernah setuju dia dibawa ke rumah ini. Ibunya dan almarhum Bapak memang berpisah, tapi lihat sekarang. Dia malah mau menghancurkan rumah tanggaku!” Mbak Mel berteriak sejadinya. Tangisnya pecah, membelah keheningan malam.

Kupingku jelas-jelas panas mendengarkan ucapannya. Hatiku hancur berkeping-keping. Kepala ini terasa dihantam oleh pada godam raksasa, membuat kesadaranku hampir hilang akibat syok. Terduduk lemas aku di lantai sembari berurai air mata. Apa yang Mbak Mel ucapkan barusan? Anak haram? Ibuku merebut Bapak? Ibuku siapa? Lantas, apakah aku bukan anak dari Ibu yang sekarang berada di depan kami ini?

Tak terduga, Ibu datang ke arahku. Perempuan berdaster batik panjang itu merenggut rambutku hingga mampu membuatku terbangun. Sakit, tetapi lebih nyeri lagi hati ini.

“Anak haram! Anak sialan! Berpuluh tahun kami membesarkanmu, berpuluh tahun juga aku menahan diri untuk tidak mengungkap asal usulmu yang kampang itu! Namun, lihat sekarang balasanmu, Ayu! Tega kamu!” Tamparan dan tendagan mengarah padaku dengan membabi buta.

“Cukup, Bu!” Mas Wisnu mencoba melerai kami. Namun, Mbak Mel malah menarik kuat suaminya.

“Laki-laki bajingan! Ingat, semua kenikmatanmu di kantor itu adalah upayaku! Kalau bukan aku yang mati-matian membujuk bos untuk mempromosikanmu, tak aka kau seperti sekarang!” Mbak Mel kembali berteriak, sementara aku terus mendapat pukulan dari Ibu yang membuat tubuhku tersungkur di lantai.

“S-sudah, Bu! A-am-pun....” Aku memohon sembari menangis sesegukan. Ini memang salah dan khilafku. Namun, apakah layak aku diperlakukan layaknya binatang seperti ini.

“Cukup!” Mas Wisnu mendorong Ibu sampai wanita itu hampir terjungkal. Mataku yang penuh dengan tangisan, terkaget melihat aksi lelaki itu.

“Ayu bukan manusia yang bisa seenaknya kalian perlakukan seperti hewan!” Mas Wisnu membantuku untuk bangkit, lalu merangkul tubuhku yang remuk redam akibat ulah tangan tua Ibu yang kesetanan.

“Mas Wisnu, kamu sudah gila? Beraninya kamu berbuat kasar pada ibuku!” Mbak Mel semakin mengamuk. Dia melemparkan vas bunga ke arah kami, tapi lemparannya meleset menghantam dinding.

“Mulai detik ini, aku cerai kamu Mel! Terserah jika kamu ingin menghasut bos untuk memecatku. Harusnya kau jadi istrinya bos saja kalau memang bisa. Dari pada harus melacurkan diri demi mendapat semua kemauanmu. Aku bukannya tak tau kebusukanmu, tapi jujur aku dulu memang memanfaatkanmu untuk menunjang karierku. Sekarang kuputuskan untuk meninggalkanmu dan pekerjaan. Silakan kau lakukan ancamanmu untuk bunuh diri akibat kucerai, sekarang aku sudah tak peduli!” Suara Mas Wisnu menggelegar, membuat kami terperanjat dan terdiam mendengarnya. Ibu langsung memeluk Mbak Mel yang menangis sejadi-jadinya, sementara aku hanya dapat berlindung takut di samping tubuh tinggi Mas Wisnu.

“Dek Ayu, kemasi barang-barangmu dan jangan lupa bawa sertifikat rumah ini. Kamu bilang, rumah ini untukmu bukan? Ambil sertifikatnya dan kalau perlu jual saja. Kita tinggalkan mereka berdua di sini. Kamu berhak untuk bahagia dan tak perlu takut untuk memulai hidup yang baru.” Mas Wisnu berkata dengan sangat tegas. Tak kusangka lelaki itu kini berubah menjadi seorang lelaki yang tak lagi takut pada sang istri. Sikapnya berubah menjadi keras dengan suara yang menggelegar. Aku mengangguk, mengikuti perkataan lelaki itu dan segera masuk ke kamar.

“Apa hak kamu untuk memerintahkan hal tersebut, Wisnu? Kamu orang baru dan tidak mengerti dengan masalah keluarga kami!” Terdengar olehku suara teriakan Ibu di ruang tamu sana. Cepat tanganku mengambil sertifikat tanah di dalam lemari pakaian dan membawa beberapa helai pakain kemudian memasukannya ke dala ransel. Tak lupa, aku juga memasukan buku dan laptop yang kugunakan untuk menjalankan bisnis daring.

Saat aku keluar kamar, Mbak Mel menghadangku. Dengan marah perempuan itu menjambak rambut dan menamparku berulang kali. Namun, tiba-tiba rasa geram memuncak di ubun-ubun dan membuatku berani untuk membalasnya. Perut wanita itu kudorong keras dengan kaki kananku hingga dia jatuh terlentang di lantai. Rupanya hanya segitu kekuatan Mbak Mel. Kuhadiahi kembali dia dengan sebuah sepakan di pipi hingga darah segar mengucur dari bibirnya yang pecah.

“Kalau aku adalah anak haram, maka dari itu sikapku juga tak boleh lemah. Inilah sikap yang harus dilakukan oleh seorang anak haram, seperti katamu tadi!” Kuludahi perempuan itu.
Cepat aku keluar dari rumah bersama Mas Wisnu. Lelaki itu mengendara motornya tanpa membawa barang apa pun kecuali dompetnya dan pakaian yang melekat di tubuhnya.

Sebelum pergi meninggalkan rumah, Mas Wisnu menggeber suara motornya hingga nyaring terdengar. Entah apa maksudnya, tapi kutangkap itu seperti sebuah ejekan kepada dua perempuan jahat di dalam sana.

Sambil menangis pilu, kupeluk tubuh Mas Wisnu dengan erat. Tak ingin aku kehilangan lelaki ini. Dia dalah serupa pahlawan penyelamat yang melepaskanku dari belenggu iblis yang selama ini mencekik kuat. Mas Wisnu merupakan lelaki pertama yang membelaku atas penindasan hasil perbuatan Ibu dan Mbak Mel. Tanpanya, aku tak bakal berani untuk meninggalkan mereka dan memulai babak baru dalam lembar kehidupan.

“Mas, mau ke mana kita?” tanyaku padanya dengan suara parau menahan tangis.

“Kita akan pergi jauh dan memulai semuanya bersama, Dek. Kamu mau kan hidup dengan Mas?” Tangan Mas Wisnu menggenggam pada tanganku yang sedari tadi memeluk pinggangnya. Telapaknya yang lebar melingkupi jemariku hingga aku dapat merasakan sebuah sentuhan yang hangat. Hati ini meleleh mendengar ucapan Mas Wisnu.

Tentu saja aku mau hidup bersamanya.

(Bersambung)

Terbit setiap hari di kolom komentar, ya. Jangan bingung cariin part selanjutnya, Gan. Ane belum bisa bikim index soalnya emoticon-Ngakakemoticon-Betty
udien80dien670
yanti580
oceu
oceu dan 27 lainnya memberi reputasi
28
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.