Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
Tenung (Based on true story)


Quote:



Quote:



Update santai tiap selasa, jumat dan minggu jam 5 sore..


___________________________________________



Prolog

 Bel panjang pulang sekolah telah membuyarkan lamunan Anggita, Jam pelajaran terakhir telah usai. Dia bergegas membereskan semua alat-alat tulisnya dan memasukkan ke dalam tas sebelum akhirnya keluar dari kelas itu, menyusul teman-temannya yang udah duluan keluar kelas.

 Anggita adalah gadis manis siswi salah satu SMA swasta di kota X. Wajah yang bulat telur, kulit putih bersih, bibir mungil dan mata bulat bening berbulu mata lentik, rambut lurus hitam panjang, dengan tubuh sempurna khas cewek remaja yang sedang mekar-mekarnya, menjadikan dia sebagai salah satu kembang sekolah yang dikagumi, baik di sekolahnya sendiri, ataupun di sekolah lain.

 Saat keluar kelas, Anggita disamperin sama satu cewek yang telah jadi sahabat karibnya sejak dari SMP. Mereka lalu jalan bareng menuju pintu gerbang untuk pulang. Yosi memang sahabat Anggita yang paling dekat, mereka selalu berbagi segala hal, saling menceritakan semua hal tanpa ada yang ditutupi, bahkan termasuk urusan asmara.

Quote:


 Sampai di pertigaan, mereka pun berpisah, Yosi jalan lurus, dan Anggita belok ke kiri. Rumah mereka emang nggak begitu jauh dari sekolah, jadi mereka cuma jalan kaki ke sekolah. Sepanjang perjalanan pulang itu Gita kembali memikirkan apa yang telah dia lamunkan di kelas tadi, biaya sekolahnya telah menunggak 3 bulan, dia tadi telah dipanggil oleh guru bp terkait dengan masalah itu, dan Gita kembali meminta kompensasi. Tapi sampai kapan?

 Gita merasa sungkan dan nggak enak kalo meminta ayahnya lagi, memang ayahnya, pak Harjanto, cuma berprofesi sebagai buruh dengan gaji pas-pasan. Sedangkan ibunya, bu Ningsih, adalah seorang ibu rumah tangga yang punya kerjaan sambilan menjahit baju di rumah untuk mendukung ekonomi keluarga, tapi sepertinya itu masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. 

 Anggita masih punya seorang kakak laki-laki yang duduk di bangku SMA kelas tiga bernama Anggara, dan sebentar lagi dia akan menghadapi ujian kelulusan. Gita juga masih punya satu adik laki-laki yang menginjak di kelas 2 SMP bernama Anggo. Dua saudaranya itu juga butuh banyak biaya sekolah, dan kakaknya tentu butuh biaya lebih besar untuk ujian.

 Sampailah Gita pada sebuah rumah sederhana yang selama ini dia tinggali bersama orang tua dan kedua saudaranya. Meskipun rumah itu sudah berdinding tembok, tapi banyak cat yang mengelupas, atapnya juga ada yang bolong, jadi kalo hujan, maka rumah itu jadi bocor di beberapa tempat. Dan begitu masuk rumah, Gita menekan keresahan hatinya agar tidak terpancar keluar, biar ibunya nggak tau, ibunya udah banyak menanggung beban, jadi dia nggak akan menambahinya lagi. 'Biarlah nanti aku langsung ngomong sama ayah aja', gitu pikirnya.

 Tepat jam 3 sore, Anggita telah siap berangkat, dia menunggu Yosi sambil duduk di lincak atau kursi panjang dari bambu di depan rumahnya, tepat di bawah jendela. Lima menit kemudian, Yosi pun datang mengendarai motor maticnya. Sore itu mereka akan pergi ke kolam renang umum dimana akan diadakan pengambilan nilai dari sekolah untuk pelajaran olah raga renang.

 Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kolam renang umum itu. Suasana sangat ramai karena ternyata sekolah SMA lain yang juga sedang mengadakan pengambilan nilai di situ. Teman-teman satu kelasnya Anggita juga udah pada datang. Anggita langsung merasa nggak nyaman dengan situasi yang ramai itu, dia udah nggak mood lagi untuk mengikuti tes renang itu. Tapi Yosi sahabatnya terus membujuknya hingga akhirnya Anggita luluh juga.

 Dan saat memasuki pintu loket, Anggita tertegun, dia melihat satu cowok yang sedang melihat dia juga. Anggita mengenalinya sebagai cowok yang sedang mengejar-ngejar dia selama beberapa minggu terakhir. Ternyata SMA lain yang sedang penilaian di kolam renang itu adalah sekolahnya cowok yang mengejarnya. Sudah beberapa kali Gita menopak cowok itu, tapi dia masih nekat mengejar. Bukannya Gita membenci, tapi belum kepikiran olehnya untuk menjalin suatu hubungan dengan cowok.

 Suasana kolam renang yang sangat ramai, dan masih ditambah oleh keberadaan cowok itu, membuat Gita merasa semakin nggak nyaman. Maka langsung aja dia balik badan dan melangkah menuju pintu keluar. Tapi langkahnya segera terhenti saat ada satu suara besar dan lembut yang menegurnya.

Quote:


 Yosi menggamit tangan Gita dan mengajaknya menuju ke deretan kursi di pinggir kolam renang. Pak Zaini juga duduk di situ sambil memberi penilaian pada siswa yang lain yang sedang berenang satu persatu. Gita benar-benar nggak jadi renang kali itu. Dan dia ngerasa makin nggak nyaman karena cowok itu terus memperhatikannya dari seberang kolam renang. 

 Anggita berencana untuk menunggu sampai Yosi mendapat nilainya aja, abis itu dia akan langsung pulang. Tapi setelah Yosi selesai, dia malah mengajak Anggita makan di kantin kolam renang dulu sebelum pulang, bahkan Yosi bilang kali dia yang akan membayar semua makanan. Dengan terpaksa akhirnya Anggita mau menurutinya.

 Selesai makan, Gita merogoh saku celananya untuk mengambil duit, dia berniat untuk membayar makanannya sendiri. Gita emang nggak pernah bawa dompet, jadi duit dan kartu pelajar dia bawa di saku celananya. Tapi ternyata Yosi sudah membayar semua makanan itu saat memesan tadi, hingga akhirnya Gita memasukkan lagi duitnya ke dalam saku, tanpa dia sadari kalo kartu pelajarnya juga ikut keluar dan terjatuh ke lantai saat dia tadi mengambil duit dari sakunya. 

 Saat mereka mau beranjak pergi dari kantin itu, seorang karyawan kantin cewek datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah kue besar berbentuk bulat, si karyawan meletakkan kue itu di atas meja, tepat didepan Anggita. Di atas kue itu ada dua buah lilin berbentuk angka 16 yang sudah menyala, dan di kue itu ada tulisan 'happy b'day Anggita', itu adalah kue ulang tahun! Gita bahkan sama sekali nggak ingat kalo hari ini adalah ulang tahunnya!

Quote:


 Dua cewek, terbengong keheranan menatap kue ultah itu, siapa yang udah repot-repot ngasih kue ultah kayak gitu? Tapi pertanyaan mereka pun segera terjawab saat ada seseorang berdiri di ambang pintu kantin sambil membawa seikat besar bunga mawar. Dia adalah cowok yang tadi, cowok yang telah mengejar-ngejar Anggita!

 Cowok itu tersenyum sambil melangkah perlahan memasuki kantin. Dan ternyata dibelakangnya ada banyak temen-temen satu SMA dengan cowok itu yang membawa kertas besar bertuliskan 'happy b'day Anggita, will you be my girl?'. Bahkan temen-temen yang satu SMA dengan Anggita pun ikut bergabung dengan mereka. Si cowok yang membawa bunga mendekati Anggita dan berdiri tepat di depannya.

Quote:


 Suasana kantin yang semula sepi itu jadi riuh oleh suara temen-temen si cowok yang meneriakkan kata-kata agar Gita menerima, tapi hal itu tetap nggak membuat Gita bergeming, dalam hatinya membatin, mungkin inilah saat bagiku untuk ngomong jujur, gitu pikirnya.

Quote:


 Anggita bangkit dari tempat duduknya dan langsung beranjak keluar kantin. Yosi pun langsung menyusulnya. Sementara si cowok cuma terdiam menatap nanar pada kue ultah diatas meja. Dadanya bergemuruh, menahan rasa malu yang teramat sangat.

 Apalagi kini teman-temannya pun beranjak pergi dari kantin satu persatu tanpa ngomong apa-apa. mereka bahkan nggak berusaha nyamperin si cowok. Sape akhirnya kantin itupun sepi kembali, cuma beberapa pengunjung yang ikut menyaksikan seluruh adegan drama itu. Drama tentang seorang anak remaja yang telah gagal nembak seorang cewek.

 Si cowok masih berdiri mematung, hatinya serasa hancur, sia-sia sudah semua perjuangannya selama beberapa bulan ini, semua usahanya menyiapkan pesta ultah hari ini ternyata nggak ada gunanya. Dan satu hal yang paling memukul egonya adalah, rasa malu yang teramat sangat, ditolak di depan semua temen-temennya, temen-temen Anggita, dan semua pengunjung kantin.

 Seluruh rasa cintanya pada Anggita telah sirna dengan seketika, berganti oleh suatu perasaan benci dan dendam yang meluap-luap. Lalu tanpa sengaja matanya tertumbuk pada suatu benda yang tergeletak di lantai kantin, tepat di bawah meja. Dia beranjak memungut benda itu yang ternyata adalah sebuah kartu pelajar. 

 Kartu itu adalah kartu pelajarnya Anggita yang tadi terjatuh tanpa sengaja. Dia memandangi foto wajah cantiknya Anggita di kartu pelajar itu. Setanpun menyelinap di hati dan otaknya, membuat semua rasa malu, sakit hati, amarah dan rasa sedih meluap-luap campur aduk menjadi satu. Mendadak suatu ide gila terlintas begitu saja, ide dari setan yang membisikinya.

Quote:


 Satu tekad bulat terpatri di hati dan pikirannya, dia harus membalas semua yang dia peroleh hari ini. Lalu dengan langkah-langkah lebar, cowok itu beranjak menuju ke pintu kantin, meninggalkan kue ulang tahun di atas meja yang lilinnya masih menyala..



-----<<<{O}>>>-----



 Langit sudah mulai menggelap karena matahari sudah terbenam, ditambah lagi mendung hitam tebal telah menggantung di langit sejak tadi sore, sesekali terlihat kilatan-kilatan petir menerangi alam dalam sekejap, disusul suara menggelegar yang teramat keras sampai mampu menusuk gendang-gendang telinga. 

 Tapi semua pertanda kalo akan terjadi badai itu tak membuat langkah kaki seorang cowok jadi terhenti, dengan mantap dia memasuki sebuah halaman rumah luas yang berpagar bambu. Dia adalah cowok berusia 17 tahun, masih kelas dua SMA, cowok yang telah ditolak cintanya oleh Anggita di depan banyak orang. Dengan nekat dia telah mendatangi rumah ini untuk melaksanakan tekadnya.

 Untuk sejenak cowok itu memandangi keseluruhan rumah itu. Rumah sederhana berdinding papan, dan dia merasa ragu, benarkah ini rumah yang dimaksud? Tapi menurut petunjuk yang dia dapat, memang inilah rumah yang dimaksud. Maka dia pun mulai mengetuk pintu rumah itu dan menunggu.

 Tiga kali mengetuk, dan akhirnya pintu itupun terbuka. Muncullah seorang aki-aki berusia sekitar 50 tahunan, rambut sebagian sudah memutih. Dia memakai hem batik dan sarung. Sekilas penampilannya nggak berbeda dengan penduduk biasa di desa ini, dan itu membuat si cowok kembali ragu.

Quote:


 Si cowok pun mengikuti si aki memasuki ruang tamu rumah itu. Si cowok memandang berkeliling, nggak ada yang aneh, perabotan meja kursi biasa, sangat jauh berbeda dengan yang dia bayangkan sebelumnya. Ruang tamu itu sama kayak ruang tamu di rumah-rumah lain, sama sekali nggak menandakan kalo itu adalah rumah seorang praktisi. Si cowok duduk di kursi berhadapan dengan si aki.

Quote:


 Si pemuda mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang ternyata adalah beberapa bundel uang, dia letakkan uang itu di atas meja di depannya. Dan mata si aki membesar melihat tumpukan uang itu, semua rasa ragunya hilang seketika, kepercayaannya timbul perlahan. Cowok itu memang sengaja keluarkan duit buat nunjukin kalo dia nggak main-main.

Quote:


 Hujan telah turun dengan sangat deras saat si cowok keluar dari rumah itu. Angin ribut bertiup sangat kencang disertai gelegar petir tanpa henti. Badai besar telah melanda kawasan desa itu. Tapi si cowok nekat berlari ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan depan rumah. 

 Suatu kepuasan terlintas, sebentar lagi dia akan melihat Anggita menderita hingga meminta ampun padanya. Sebuah rencana jahat dan keji telah tersusun dan mulai dijalankan, rencana yang berdasar pada bisikan setan. Mata hati dan pikirannya telah tertutupi oleh sakit hati dan dendam..



Bersambung..



Diubah oleh Mbahjoyo911 10-10-2021 10:11
sampeuk
xue.shan
jondero
jondero dan 257 lainnya memberi reputasi
256
141.2K
3.9K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Tampilkan semua post
Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
#653
Cobaan
 Dua bulan berlalu, enam bulan sejak Anggita mendapat kiriman tenung itu. kehidupan keluarga Anggita sudah berjalan normal kembali. Bahkan selama dua bulan terakhir ini tidak ada lagi orang yang datang ke rumah Gita untuk meminta bantuan, orang terakhir yang datang adalah bu Marni. 

 Gita seolah merasa kembali menjadi seorang remaja seperti pada umumnya, seperti tanpa suatu kemampuan mata batin. Dia sudah merasa lega, bisa bersekolah seperti biasa, bermain bersama teman-teman seusianya, nongkrong dan jalan-jalan. Semua kehidupannya berjalan normal. Tapi ternyata masih ada aja cobaan yang datang menguji keluarganya.

 Akhir-akhir ini kerjaan pak Harjanto seakan semakin sepi saja, dia cuma buruh borongan, dan tidak mendapat gaji tetap. Jadi kalau kerjaan sepi, tentunya pendapatannya juga berkurang. Gaji pak Harjanto jadi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini jadi lebih terasa saat sembako pemberian orang-orang yang ditolong Gita juga mulai habis. 

 Ternyata sembako dan uang pemberian orang-orang itu berarti banyak bagi keluarga pak Har. Tanpa mereka sadari, orang-orang itu telah membantu kehidupan keluarga itu. Dan saat sudah tidak ada yang memberi lagi, keluarga itu baru menyadarinya kalo ada sesuatu yang hilang.

 Malam itu, persedian beras dan sembako sudah benar-benar habis, keluarga itu juga tidak mempunyai uang sepeserpun. Pak Har dan bu Ningsih jadi bingung, gimana makan malam mereka, juga buat sarapan pagi nya. Dan pertengkaran kecil pun terjadi antara suami istri itu. Ketiga anaknya yang sedang belajar itu cuma saling pandang dengan sedih. 

 Hingga akhirnya Gita tak tahan lagi. Dia mencari akal agar bisa menghentikan pertengkaran itu. Lalu terlintaslah sebuah ide, meskipun Gita tau kalau ide itu salah, tapi Gita harus melakukannya demi keluarga. Maka Gita pun mengajak Anggo.

Quote:


 Lalu Gita beranjak menuju ke dapur, dengan terpaksa Anggo mengikutinya. Gita terus keluar dari pintu belakang dan menuju kebun tetangga di belakang rumahnya. Malam sangatlah gelap, bahkan bintang pun tak nampak. Anggo mengikuti mbaknya dengan hati berdebar, dia celingukan kesana kemari.

 Anggita menuju ke sebuah bekas tempat tidur yang ditaruh di bawah pohon besar. Bekas tempat tidur itu memang sengaja ditaruh di sana oleh pemilik kebun, untuk duduk-duduk mencari angin di waktu siang yang panas. Pada siang hari, tempat itu memang sangat teduh karena dinaungi pohon-pohon besar yang berdaun lebat. tempat itu juga sangat bersih dan terawat. Tapi di malam hari gini, semua nampak sangat menyeramkan di mata Anggo.

 Anggita duduk di bekas tempat tidur itu, Anggo pun mengikutinya, dia duduk tepat di belakang Gita. Lalu Gita memberi isyarat agar Anggo tidak mengeluarkan suara apapun, sedangkan dia sendiri duduk bersila memejamkan mata. Dan kebun itu jadi terasa sangat sunyi. Anggo cuma celingukan kesana kemari, dia merasa takut dan ingin balik pulang dengan segera, tapi dia juga tidak berani membantah mbaknya.

 Mendadak saja Anggo mendengar suara tawa anak kecil, dan suara tawa itu jadi makin banyak, seperti ada sekelompok anak kecil sedang bercanda tawa dan berlarian di tempat itu, tapi dia tidak melihat satu bocah pun. Bulu kuduk Anggo pun meremang. 

 Lalu dia melihat satu bayangan anak kecil berlari di bawah salah satu pohon. Menyusul kemudian satu anak kecil lagi, tiga, empat, lima.. hingga akhirnya ada tujuh anak kecil yang kesemuanya berkepala botak dan tanpa baju sedang bermain kejar-kejaran sambil tertawa-tawa. 

 Rasa takut Anggo malah berubah jadi keheranan. Anak-anak siapa itu? Kenapa masih berlarian di malam yang sudah larut begini? Apa mereka nggak dicari sama orang tuanya? Lalu kenapa mereka tidak memakai baju? Dan lagi, kenapa mereka bertujuh bisa kompakan gundul plontos gitu?

 Berbagai pertanyaan berputar di benak Anggo. Dia coba mengamati wajah bocah-bocah itu, tapi malam yang gelap membuatnya tidak bisa melihat mereka dengan jelas. Rasa-rasanya Anggo belum pernah melihat anak-anak yang berciri seperti mereka, jelas mereka bukanlah anak-anak tetangga.

 Lalu tiba-tiba saja ketujuh anak itu hentikan kejar-kejaran itu, canda tawa lenyap seketika. Mereka berdiri mematung dengan jarak 20 meter dari Anggo, dan mereka sedang memandang ke arah Anggo dan Gita. Kemudian satu anak mulai melangkah pelan mendekati Gita, dan anak-anak lainpun ikut menyusul. 

 Mereka bertujuh berdiri diam di depan Gita. Bahkan dari jarak sedekat itupun Anggo tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Anggo ingin bertanya pada mereka, tapi kemudian dia teringat pesan mbaknya agar jangan mengeluarkan suara. Maka diapun memutuskan untuk diam saja, meski rasa keheranan membuncah di dada.

 Dua menit berlalu, dan tiba-tiba saja ketujuh anak itu berlari sangat cepat menjauhi Gita, menuju ke arah yang berbeda-beda. Kebun itu kembali hening. Gita masih diam tak bergerak dalam posisi bersila tadi. Sementara Anggo kini jadi sibuk menepuki nyamuk yang mampir di muka dan tangannya, dia mulai merasa tidak nyaman. Tapi akhirnya Gita pun mulai bergerak, dia berbalik menghadap Anggo.

Quote:


 Anggo bergegas meninggalkan kebun dan menuju rumahnya, memang dari tadi dia juga sudah ingin pulang saja, dan kini malah ditambah dapet uang buat makan malam. Dan saat sampai di dalam rumah, Anggo melihat kembali uang itu, dan dia tertegun. Uang itu bernilai limapuluh ribu! 

 Tentu Anggo merasa sangat senang. Memang waktu itu, uang segitu memang sangat berharga, bisa membeli beras berkilo-kilo sekaligus lauk yang enak-enak. Anggo segera menemui ibunya dan memberikan duit itu. Bu Ningsih jadi keheranan,

Quote:


 Bu Ningsih masih merasa heran, tetau dia Gita sudah nggak punya duit lagi, tapi kena tau-tau bisa ngasih duit segitu banyak? Tapi kemudian dia berpikir, mungkin Anggita memang masih punya uang simpanan lain, pemberian dari orang-orang yang ditolongnya. 

 Bu Ningsih merasa sangat bersyukur, dia punya anak perempuan yang berbakti sama orangtua. Berkali-kali dia mengucap hamdalah dengan penuh rasa syukur. Dia pun segera membelanjakan uang itu untuk membeli bahan-bahan kebutuhan pokok rumah tangga. Malam ini keluarga pak Har bisa mendapatkan makan malam, tanpa ada yang tau darimana asal uang itu kecuali Gita.

 Hari berikutnya, malam hari itu sehabis isya, pak Rohani berkunjung lagi menjenguk Gita. Di amalah membawa buah tangan berupa sembako juga, padahal dia lah yang membantu Gita. Pak Rohani merasa bangga sama Gita, karena sudah bisa menggunakan kelebihannya untuk menolong orang yang membutuhkan.

 Saat mereka lagi asyik ngobrol, masuklah Anggo, dia baru pulang dari main sama teman-temannya. Pak Rohani langsung memanggil Anggo, lalu dia memandang tajam ke arah Anggo, ada raut keheranan di wajahnya, bergantian dia melihat ke arah Gita dan Anggo. Yang dilihat pun jadi sama herannya.

Quote:


 Pak Rohani meminta Anggo duduk bersila di tikar yang tergelar di lantai ruang tamu itu. Lalu dia sendiri duduk bersila di belakang Anggo. Telapak tangan kanannya ditempelkan ke tengkuk Anggo, dan dia memejamkan mata. Lalu pak Rohani membuat gerakan seolah menarik sesuatu dari tengkuk Anggo, telapak tangan itu menjauh ke belakang.

 Anehnya, badan Anggo ikut doyong ke belakang seolah ikut tertarik, padahal jelas tangan pak Rohani sudah tidak menyentuhnya lagi. Pak Rohani membuat gerakan seakan membuang sesuatu ke samping. Dan saat itulah tiba-tiba Anggo merasa tubuhnya sangat lemas, dia bahkan sampai rebah ke samping. Bu Ningsih langsung mendekat dengan kuatir.

Quote:


 Pak Rohani meminta segelas air pada bu Ningsih, dan setelah segelas air itu datang, pak Rohani membaca sesuatu dan ditiupkan pada air di gelas itu. Anggono diminta untuk meminum air itu, dan ajaibnya, setelah meminumnya, Anggono seakan jadi bertenaga kembali, dia bisa duduk dengan tegak. Mukanya yang tadinya pucat, kini sudah nampak Normal kembali.

Quote:


 Jelaslah sudah, pak Rohani sudah mengetahui semuanya, jadi tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu darinya. Sedangkan seluruh keluarga jadi sedih mendengar pengakuan Gita, mereka belum tau apa kesalahan Gita, tapi apapun kesalahan yang dia perbuat, seluruh keluarga sadar kalo itu demi keluarga juga. Pak Harjanto dan bu Ningsih jadi ngerasa bersalah karena sempat bertengkar kemarin malam.

Quote:


 Kini seluruh keluarga jadi tahu, kesalahan apa yang diperbuat Gita, dia telah meminta duit pada tujuh tuyul yang dia temui bersama Anggo di kebun belakang kemarin. Tapi semua sudah terjadi, dan mereka juga nggak bisa menyalahkan Gita, karena Gita melakukannya demi keluarga juga. Dan sekarang mereka harus memohon ampunan pada Allah, karena bukan Gita saja yang salah.

 Pak Harjanto dan bu Ningsih malah merasa paling bersalah, sebagai orang tua, harusnya mereka lah yang memberi makan anak-anaknya, bukannya malah membuat Gita jadi ikut berpikir dan bahkan sampai membuat suatu kesalahan fatal yang tidak mereka ketahui.

 Dalam hati suami istri itu berjanji, tidak akan lagi membiarkan anak-anaknya ikut memikirkan masalah rumah tangga. Cukup mereka saja yang memikirkannya. Satu kejadian yang bisa diambil hikmahnya oleh seluruh keluarga, dan bisa dijadikan suatu pelajaran agar mereka tidak mengulanginya lagi. Dan kejadian itu makin menyatukan mereka hingga menjadi sebuah keluarga yang dekat satu sama lain. 

Bersambung..



22


tantinial26
sampeuk
jondero
jondero dan 99 lainnya memberi reputasi
100
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.