- Beranda
- The Lounge
Buntut Pengurus MUI Terduga Teroris, Tagar Bubarkan MUI Bermunculan! Kamu Setuju?
...
TS
c4punk1950...
Buntut Pengurus MUI Terduga Teroris, Tagar Bubarkan MUI Bermunculan! Kamu Setuju?

Sepertinya kerja keras densus 88 membuahkan hasil yang gemilang, dengan adanya penanganan anti teror berhasil menangkap 3 orang dari Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) Ustaz Farid Okbah. Kemudian, Ahmad Zain An-Najah Pengurus MUI pusat, dimana beliau tercatat menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat dan Anung Al-Hamat di Pondokmelati, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Menariknya pengurus MUI sendiri yang terduga teroris, ketika ada fatwa No.3/2004 tentang Terorisme.

Maka hal inipun menjadi besar hingga publik di medsos melihat apakah MUI saat ini berada di dua sisi?
Menariknya sebelum kasus ini muncul, sering ada cuitan untuk membubarkan densus 88 karena sering terjadi pelanggaran HAM mereka yang bicara bukan orang sembarangan seperti di tahun 2013 ada Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah saat itu, Din Syamsudin, lalu di tahun 2015 ada Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Tengku Zulkarnain menyampaikan hal serupa bahkan di tahun 2021 ada anggota DPR Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon yang bicara sama tentang densus 88 agar dibubarkan.

Semakin menarik ternyata politik di tanah air ini bak benang kusut, saat ini menjadi terbalik ketika ada tagar bubarkan MUI namun dukungan kepada MUI juga cukup besar, disinilah banyak terjadi framing, seperti adanya cuitan “PENJAHAT tidak suka dengan polisi. KORUPTOR tidak suka dengan KPK. TERORIS tidak suka pada Densus 88,”
Tentu saja cuitan tersebut menohok mereka yang meminta Densus dibubarkan bisa saja dipelintir mendukung Teroris. Tentu framingnya akan melihat organisasi Islam di Indonesia mudah disusupi oleh pemahaman teroris.


Disini orang awam yang tak ada kepentingan harusnya bisa melihat lebih bijak, jangan sampai terpancing masalah mendukung atau membubarkan MUI.
Karena semakin ruwet dan masalah ini dihadapi dengan emosi yang bisa berujung Anarki, maka disana akan banyak ulama yang kena sikat. Disini framing kriminalsasi ulama pun akan menguat, hasilnya sesama anak bangsa akan saling baku hantam.
Pemenangnya siapa? Tidak ada, karena ini bak benang kusut semakin dirunut senakin ruwet, ujungnya banyak orang tak mengerti saling ribut hasilnya keadaan bisa menjadi chaos.
Yang untung siapa? Pasti ada kelompok yang diuntungkan, tapi siapa! Entahlah agak sulit menerka tanpa bukti.
Namun apa tanggapanmu dengan hal ini ikut berseteru, atau senyumin saja dengan secangkir kopi...

Yang jelas kalau ingin demo saat ini ingat status ppkm sekarang dinaikkan lagi, mirip dengan harga telur naik dan turun seenaknya saja. Mungkin perlukah sertifikasi ulama dimasa depan? Karena ulama su memang ada dan nyata.
Terima kasih yang sudah membaca thread ini sampai akhir, bila ada kritik silahkan disampaikan dan semoga thread ini bermanfaat, tetap sehat dan merdeka. See u next thread.


"Nikmati Membaca Dengan Santuy"
--------------------------------------
Tulisan : c4punk@2021
referensi : klik, klik, klik, klik, klik
Pic : google




Diubah oleh c4punk1950... 19-11-2021 09:40
smashbusuk dan 34 lainnya memberi reputasi
29
11.5K
317
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•104.1KAnggota
Tampilkan semua post
NabiGantengs
#93
Lah emang bener itu majelis ga guna
Ngatur azan aja ga becus

ADZAN DENGAN SPEAKER/TOA : Sebuah Budaya Yang Diwajibkan
Sebelum mulai agar dipahami dulu bahwa yg wajib itu solat, bukan adzan. Tanpa adzan pun solat jatuhnya sah yg penting waktunya sesuai.
Lalu apakah itu adzan ? Syahdan ketika kaum muslimin masih di Mekkah mereka sudah solat tanpa adzan. Penanda waktunya adalah kesadaran mereka akan peralihan waktu2 itu. Ketika mereka hijrah ke Madinnah barulah Nabi dan para muslimin bersepakat merumuskan bentuk signal untuk penanda waktu solat. Jadilah itu adzan, yg isinya adalah kesepakatan orang2 masa itu. Sebab tidak akan ditemukan lafaz adzan baik di Quran dan hadis.
Caranya bagaimana ? seperti yg dicontohkan Bilal naik ke tempat tertinggi dan berteriak. Kok begitu ? Ya karena jaman dulu belum ada gadget, radio, televisi atau alarm adzan otomatis di ponsel. Berteriak di tempat tinggi adalah yg efektif.
Sekeras2nya suara Bilal tetap saja jangkauannya terbatas. Ada sudut kota Madinnah yg tidak terjangkau suara Bilal. Tapi tidak lantas rutinitas solat terputus karena muslimin tidak bodoh, mereka diberi panca indera untuk mengetahui waktu solat melalui petanda alam.
Sampai masa sepeninggal nabi, budaya adzan ini masih dilestarikan di era dinasti2 islam. Jangkauannya pun makin luas seiring banyaknya masjid2 yg memiliki radius satu sama lain sehingga suara adzan itu bisa di-estafetkan. Meminimalisasi sudut2 kota yg tidak terjangkau adzan.
Adzan masa itu masihlah "beradab dan santun". Suaranya merdu dan murni dilantukan oleh suara manusia. Dilafazkan dari menara yg tinggi agar dapat terdengar mengalun, syahdu, khidmat tidak mengganggu dan tidak menyakiti siapapun. Seperti halnya nilai-nilai islam itu sendiri, indah, khidmat, tidak menyakiti.
Lho memangnya ada adzan yg menyakiti ?
Coba saja bagaimana rasanya kuping anda disembur loud speaker rutin 5 kali sehari 35 kali seminggu. Terus2an setahun entah itu oleh lagu rohani atau adzan. Bagi yg tidak berkepentingan itu pasti amat mengganggu.
Padahal Indonesia dikenal sebagai negeri berjuta masjid. Lebih banyak masjid daripada era dinasti islam bahkan negeri arab sekalipun. Sudah begitu banyak saling berdekatan pakai loudspeaker dan toa semua. Apa jadinya orang2 non muslim yg rumahnya dekat masjid.
Sudah menaranya pendek2, dipakai toa pula ?
Kalau dipikir2 sekarang sudah ada televisi, radio, aplikasi2 ibadah yg memasang alarm adzan di ponsel. Seharusnya cara memanggil orang solat menjadi lebih mudah, efektif dan makin santun.
Adzan, sesuatu yg tidak wajib tidak pula sunnah, tanpa sadar dijadikan sebuah kewajiban secara taklid buta, tanpa menelaah esensinya dan makna nilai islam (tidak menyakiti) yg dicerminkan di dalamnya.
Bukan hanya menjadi polusi suara. Bahkan tanpa sadar generasi2 muslim yg tumbuh akan menganggap itu sebagai sebuah kewajiban selayaknya solat. Tidak berani merombak menyesuaikan diri dg perkembangan zaman akhirnya mereka mewarisi pola pikir jumud. Mirip kumpulan kerbau yg dicocok hidungnya.
Yah memang itulah dilema umat muslim saat ini Gagal memahami esensi agama islam tapi pandai dalam meniru budayanya. Akal dan hatinya sudah lumpuh tidak bisa membedakan mana yg wajib dan yg bukan.
Akhirnya, berlaku sewenang2 dg dalih agamanya (baca : dzolim). Dan menjadi sebuah permakluman
Naudzubillah min dzalik..
Ngatur azan aja ga becus

ADZAN DENGAN SPEAKER/TOA : Sebuah Budaya Yang Diwajibkan
Sebelum mulai agar dipahami dulu bahwa yg wajib itu solat, bukan adzan. Tanpa adzan pun solat jatuhnya sah yg penting waktunya sesuai.
Lalu apakah itu adzan ? Syahdan ketika kaum muslimin masih di Mekkah mereka sudah solat tanpa adzan. Penanda waktunya adalah kesadaran mereka akan peralihan waktu2 itu. Ketika mereka hijrah ke Madinnah barulah Nabi dan para muslimin bersepakat merumuskan bentuk signal untuk penanda waktu solat. Jadilah itu adzan, yg isinya adalah kesepakatan orang2 masa itu. Sebab tidak akan ditemukan lafaz adzan baik di Quran dan hadis.
Caranya bagaimana ? seperti yg dicontohkan Bilal naik ke tempat tertinggi dan berteriak. Kok begitu ? Ya karena jaman dulu belum ada gadget, radio, televisi atau alarm adzan otomatis di ponsel. Berteriak di tempat tinggi adalah yg efektif.
Sekeras2nya suara Bilal tetap saja jangkauannya terbatas. Ada sudut kota Madinnah yg tidak terjangkau suara Bilal. Tapi tidak lantas rutinitas solat terputus karena muslimin tidak bodoh, mereka diberi panca indera untuk mengetahui waktu solat melalui petanda alam.
Sampai masa sepeninggal nabi, budaya adzan ini masih dilestarikan di era dinasti2 islam. Jangkauannya pun makin luas seiring banyaknya masjid2 yg memiliki radius satu sama lain sehingga suara adzan itu bisa di-estafetkan. Meminimalisasi sudut2 kota yg tidak terjangkau adzan.
Adzan masa itu masihlah "beradab dan santun". Suaranya merdu dan murni dilantukan oleh suara manusia. Dilafazkan dari menara yg tinggi agar dapat terdengar mengalun, syahdu, khidmat tidak mengganggu dan tidak menyakiti siapapun. Seperti halnya nilai-nilai islam itu sendiri, indah, khidmat, tidak menyakiti.
Lho memangnya ada adzan yg menyakiti ?
Coba saja bagaimana rasanya kuping anda disembur loud speaker rutin 5 kali sehari 35 kali seminggu. Terus2an setahun entah itu oleh lagu rohani atau adzan. Bagi yg tidak berkepentingan itu pasti amat mengganggu.
Padahal Indonesia dikenal sebagai negeri berjuta masjid. Lebih banyak masjid daripada era dinasti islam bahkan negeri arab sekalipun. Sudah begitu banyak saling berdekatan pakai loudspeaker dan toa semua. Apa jadinya orang2 non muslim yg rumahnya dekat masjid.
Sudah menaranya pendek2, dipakai toa pula ?
Kalau dipikir2 sekarang sudah ada televisi, radio, aplikasi2 ibadah yg memasang alarm adzan di ponsel. Seharusnya cara memanggil orang solat menjadi lebih mudah, efektif dan makin santun.
Adzan, sesuatu yg tidak wajib tidak pula sunnah, tanpa sadar dijadikan sebuah kewajiban secara taklid buta, tanpa menelaah esensinya dan makna nilai islam (tidak menyakiti) yg dicerminkan di dalamnya.
Bukan hanya menjadi polusi suara. Bahkan tanpa sadar generasi2 muslim yg tumbuh akan menganggap itu sebagai sebuah kewajiban selayaknya solat. Tidak berani merombak menyesuaikan diri dg perkembangan zaman akhirnya mereka mewarisi pola pikir jumud. Mirip kumpulan kerbau yg dicocok hidungnya.
Yah memang itulah dilema umat muslim saat ini Gagal memahami esensi agama islam tapi pandai dalam meniru budayanya. Akal dan hatinya sudah lumpuh tidak bisa membedakan mana yg wajib dan yg bukan.
Akhirnya, berlaku sewenang2 dg dalih agamanya (baca : dzolim). Dan menjadi sebuah permakluman
Naudzubillah min dzalik..
Diubah oleh NabiGantengs 19-11-2021 22:07
sekeleke dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup