Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Just like that?” Ucap Larissa begitu gua berjalan pergi meninggalkan dirinya tepat di depan pagar rumahnya.
Gua berbalik, mengangkat kedua bahu; “What should i do, then?”
Larissa membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, berharap sebuah pelukan. Sementara gua hanya berdiri mematung, menatap dirinya.
Gua melangkah, mendekat ke arahnya.
“Nggak ada yang ngeliat… Lagian emang kenapa sih cuma peluk doang…” Ucap Larissa, ketika melihat gua menoleh ke kiri dan kanan.
Gua sedikit membungkuk dan mulai memeluknya. Tangan Larissa mengusap lembut punggung gua, kemudian berbisik; “Jangan kangen ya? gw cuma pergi 5 hari doang…”
Masih dalam pelukannya gua mengangguk.
Baru saja, Larissa dapet kabar dari Papinya kalau besok ia harus menyusul Papinya ke Singapura untuk berobat.
“Jangan kesepian ya, Bi…” Tambahnya.
Gua kembali mengangguk, kali ini sambil berusaha keluar dari dekapannya.
“Sebentar lagi, Bi…” Ucapnya, sementara dekapannya semakin erat.
Beberapa menit kemudian, Larissa akhirnya melepas pelukannya.
“Besok berangkat jam berapa?’ tanya gua.
“Pagi-pagi, jam 6 atau 7an kayaknya…”
“Ok, Bye then…” Gua lalu berbalik dan melangkah pulang.
---
‘Drrrt Drrt’ Ponsel gua bergetar di atas meja belajar. Gua bergegas bangkit dari kasur dan meraihnya.
Sebuah icon pesan singkat berkedip di layar ponsel. Gua membuka pesan tersebut; dari Larissa.
“Gw brngkt y”
Gua menjawab singkat; “Iya, Ati-ati”
Hari pertama tanpa Larissa berjalan lancar. Tak ada tanda-tanda munculnya kerinduan. Gua hanya menghabiskan waktu tidur-tiduran di kamar, sambil membaca buku dan mendengarkan radio. Hal yang memang biasa gua lakukan saat waktu senggang atau saat liburan sekolah seperti sekarang.
Tak pernah sekalipun terbesit rasa bosan dan kesepian kala menjalani pola hidup seperti ini. Atau paling tidak itu yang gua rasakan sebelumnya.
Nyatanya semua berubah, begitu masuk hari kedua liburan kenaikan kelas.
Buku yang gua baca hanya mengalihkan mata, sementara suara musik dan penyiar di radio hanya sementara mengalihkan pendengaran gua. Namun, jauh di dalam hati gua merasa seperti ada kehampaan. Apa ini yang disebut ‘Kesepian?’
Larissa pernah bilang ke gua kala itu; “Gimana lo bisa tau arti kesepian, kalo lo nggak punya temen”
Artinya selama ini, gua nggak pernah merasa kesepian karena emang gua nggak merasa ada ‘sesuatu’ yang hilang. Sesuatu yang biasanya selalu ada dan menemani, dalam hal ini tentu saja Larissa.
Gua meraih ponsel, dan mencoba menelponnya. Tak terdengar nada sambung, hanya suara gema yang mengganggu telinga. Gua kembali meletakkan ponsel di atas meja belajar.
‘Drrrt Drrt’ Nggak lama kemudian, ponsel gua bergetar. Sigap gua meraihnya, nomor tak dikenal muncul pada layarnya. Sempat ragu sesaat, namun gua akhirnya memutuskan untuk menjawabnya. Siapa tau Larissa menelpon dengan nomor lain.
“Halo…” Sapa gua.
“Kangen nggak?” Suara Larissa terdengar dari ujung sana.
Gua mengangguk, nggak sadar kalau Larissa saat ini nggak bisa melihat gua secara langsung.
“Oi.. Kangen nggak?” Ia kembali bertanya.
“Biasa aja…” Jawab gua meledeknya.
“Yaudah kalo nggak kangen, gw tutup ya…?”
“Eh, jangan…” Gua buru-buru menjawab.
“...”
“Iya, Kangen…”
“Lagi ngapain?”
“Baca buku…”
“Come out and play lah, Bi… jangan dirumah aja…” Saran Larissa.
“Mau kemana?” Tanya gua.
“Ya kemana kek gitu…”
“Yang gua tau cuma Sekolah, tempat latihan, Rumah Lo, sama rumah Dita…”
“Eh.. yaudah, di rumah aja…, baca buku, dengerin musik, masak, nyuci… di rumah aja ya…” Larissa meralat sarannya.
“Iya…” Gua merespon singkat.
“...”
“By the way, gua kalo mo telpon lo ke nomor yang ini?” Tanya gua.
“Gw aja yang telpon lo, tiap hari gw bakal telpon lo, tenang aja… yang kangen bukan cuma lo aja…” Larissa memberi penjelasan.
“...”
“Yaudah, besok gw telpon lagi ya…”
“Oke…”
Gua lalu mengakhiri panggilan, menghela nafas lega. Seperti ada sesuatu yang mengisi rongga-rongga kosong di dalam hati. Gua kembali merebahkan diri diatas kasur, masih menggenggam ponsel, menatap ke langit-langit kamar dan tak henti-hentinya menyunggingkan senyum.
---
Besoknya, gua memutuskan untuk ke tempat latihan Taekwondo. Nggak ada jadwal latihan, cuma pengen nonton yang lagi latihan atau kalo lagi beruntung bisa liat yang sparing tanding. Dan akhirnya gua menyadari sedikit perubahan dalam diri, gua nggak lagi ‘nyaman’ terus berdiam diri di dalam rumah.
“Lah, lo latihan?” Tanya Tile begitu melihat kehadiran gua.
Gua menggelengkan kepala.
“Lo bukannya lagi ujian, makanya kita libur…” Gua bertanya balik ke Tile.
“Ujian udah kelar dari tadi…” Jawabnya santai sambil bersandar pada kursi plastik. Ia lalu menyodorkan salah satu kursi plastik yang berada di sebelahnya ke arah gua.
“Trus, ngapain disini?” Tanya Tile.
“Nggak ngapa-ngapain” gua menjawab.
“Aneh” Responnya.
“Ikut gw yuk…” Ajak Tile.
“Kemana?”
“Udah ikut aja, lo nggak ngapa-ngapain kan?”
Entah terhipnotis atau memang gua yang pada akhirnya mulai membuka diri terhadap dunia luar. Akhirnya gua mengiyakan ajakan Tile.
Dengan motor bebek tua-nya yang terlihat nggak keurus, Tile membawa gua melintasi daerah Bintaro, lalu terus ke selatan. Motor bebek yang keliatan butut, nyatanya nggak mengurangi kelincahan Tile mengendarainya. Ia berkelit, bergoyang ke kiri dan kanan menghindari kaca spion mobil-mobil yang terhadang macet. Sesekali ia mengerem mendadak sambil membungkukan tubuhnya kala kendaraan di depannya tiba-tiba berhenti.
Hampir satu jam berikutnya, kami sudah tiba di daerah Parkir Timur, Senayan.
Langit mulai gelap, lampu-lampu jalan mulai menyala. Ia memarkir motornya di tepi jalan, seakan nggak peduli dengan rambu dilarang parkir yang berada tepat di sebelah motornya.
“Banyak cewek-cewek cakep, cuy…” Ucapnya tanpa diminta.
Tile mengajak gua duduk di atas trotoar di area Parkir Timur. Parkir Timur seperti namanya, merupakan tempat parkir kendaraan yang masih berada di area Stadion Bung Karno. Namun, daripada dikenal sebagai tempat parkir, saat siang area ini lebih dikenal sebagai tempat orang-orang belajar mengemudi. Sementara, saat malam hari seperti sekarang ini, Parkir Timur lebih sering digunakan sebagai tempat ‘kongkow’ anak-anak orang kaya berduit yang saling pamer mobil.
Banyak mobil dengan tampilan ‘custom’ terparkir di sana. Beberapa diantaranya, membuka bagasi belakang, lampu warna-warni bersinar dari bagian dalam mobil, sementara suara musik dari sound system yang dipasang di mobil terdengar menggelegar saling bersahut-sahutan.
Gadis-gadis dengan tampilan yang stylish wara-wiri tiada henti. Tile nggak henti-hentinya berdecak sambil sesekali menyeka liurnya.
“Tuh, yang baju biru,Bi… liat.. Cakep yak?” Tanyanya sambil menyenggol lengan gua dengan sikunya.
Gua hanya tersenyum. Nggak, Nggak ada yang lebih cakep dari Larissa.
“Tuh cewek kalo gw ajak jalan mau nggak ya?” Tanyanya, tapi kali ini sepertinya ia mengajukan pertanyaan kepada dirinya sendiri. Yang lalu di jawabnya sendiri; “Tapi naek motor butut mana mau ya…”
‘Drrrt Drrt’ Ponsel di saku celana gua berdering.
Nomor tak dikenal tertera pada layarnya; Larissa, tebak gua.
“Halo…”
“Lagi ngapain?” Tanya Larissa dari ujung sana, mengabaikan sapaan gua.
“...”
“Eh, lagi dimana? Kok berisik? Sama siapa?...” Larissa menambah pertanyaannya.
“Lagi di senayan” Gua menjawab singkat.
“Senayan? Sama Siapa? Ngapain?” Tanyanya lagi.
“Duduk duduk aja ngeliat orang parkir…” Jawab gua.
“Sama Siapaaaaaaaaa?”
“Sama Agus Tile, yang waktu itu gua ceritain…”
“Bohong?”
Gua lalu menyerahkan ponsel yang masih terhubung dengan Larissa ke Tile. Awalnya Tile sempat pasang tampang bingung, namun begitu gua berbisik ‘Larissa’, ia langsung paham dan meraih ponsel gua.
“Halo..” Sapanya.
Lalu hanya terdengar jawaban-jawaban dari Tile, yang kebanyakan cuma terdiri dari; ‘Siap’, ‘OK’, ‘Iya iya’, ‘Oh gitu’
Nggak lama Tile lalu mengembalikan ponsel ke gua, dari layarnya terlihat panggilan masih berlangsung.
“Halo…” Gua kembali menyapa.
“Pulangnya jangan malem-malem ya Bi..”
“Iya…”
“Yaudah, gw tutup ya..besok gw telpon lagi… Bye” Larissa berpamitan, suaranya terdengar ceria di ujung sana.
“Bye…”
Gua mengakhiri panggilan, lalu kembali duduk disebelah Tile; di atas trotoar salah satu sudut Parkir Timur Senayan. Tile menyodorkan gelas plastik berisi kopi instan ke arah gua, sementara bagiannya sudah ia seruput dan tersisa setengah. Kemudian ia kembali menyodorkan sesuatu, kali ini bungkusan rokok. Gua menggeleng, menolaknya.
“Nomer HP lo berapa?” Tanya Tile, sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya.
“Eh…” Gua kebingungan. Sejak dibelikan Larissa gua sama sekali nggak tau berapa nomor ponsel yang saat ini gua pakai.
“Yaudah lo Miskol* gw aja…” Ucap Tile, kemudian menyebutkan nomor Ponsel miliknya.
*Miskol (Missed Call)
“Nih, namain sendiri…” Gua memberikan ponsel ke Tile, agar dia memberi namanya sendiri di contact list ponsel gua.
“HP lo baru yak? kok baru ada nama Larissa sama gw doang?” Tanya Tile sambil mengembalikan ponsel ke gua.
“Udah lumayan lama kok…” Gua menjawab.
“Oh, berarti emang lo nggak punya temen beneran yak…” Tile melancarkan pertanyaan yang di gabung dengan asumsi. Namun, nyatanya asumsinya benar.
Gua mengangguk.
Sisa malam itu kami habiskan dengan memandangi mobil mobil custom yang wara-wiri sambil pamer fitur. Sesekali, Tile bertanya tentang kehidupan, tentang musik, tentang buku, tentang film, tentang sepak bola dan tentang wanita. Gua nggak mampu menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan. Entah karena memang nggak punya jawabannya atau gua memang kesulitan mencari kalimat yang tepat untuk menjawab.
Semakin malam tempat tersebut semakin ramai, mobil-mobil yang jauh lebih keren mulai berdatangan. Begitu pula dengan cewek-ceweknya, semakin malam semakin ‘gawat’. Tentu saja hal ini bikin gua pusing. Mulai kunang-kunang dan mual.
“Gw balik yak…”
“Lah, ini yang Jos-jos baru pada dateng…” Ucap Tile.
“Iya gapapa lo disini aja, gua balik sendiri…”
“Sakit lo yak?” Tanyanya, kemudian menyentuh dahi gua dengan punggung tangan, kemudian memindahkan tangannya tersebut ke pantat.
“Sehat kok…” Ujarnya sambil tertawa,
---
‘Ya, paling abis ini si Tile BT trus nggak mau lagi ngajak gua maen’ Tebak gua dalam hati.
Nyatanya, Tebakan gua salah.
Besoknya, ponsel gua bergetar, sebuah pesan masuk dari ‘Agus Tile’.
“Bi, ikut nongkrong nggak?, sama anak2 taekwondo”
Belum sempat gua membalas. Sebuah pesan masuk darinya kembali muncul; “SMS alamat lo, gw jmpt”
Dengan cepat gua menghapus pesan sebelumnya yang belum selesai gua ketik, kemudian mulai mengetik alamat rumah dan membalas pesannya.
Sore itu, Gua, Tile dan beberapa teman dari klub Taekwondo berkumpul di salah satu restoran outdoor di daerah Sektor 9 Bintaro, lokasinya dipilih karena nggak begitu jauh dari tempat latihan.
Tempatnya cukup luas, terdapat banyak stan-stan berjejer mengelilingi area makan yang berada di tengah-tengah. Pasangan meja dan kursi kayu berjejer memenuhi area makan dimana lampu-lampu kecil digantung tak beraturan di bagian atasnya. Sementara, di arah berlawanan dengan pintu masuk terdapat sebuah panggung sederhana yang juga terbuat dari kayu. Diatasnya terdapat beberapa set sound system dan alat musik.
Begitu tiba, kondisi yang ramai dan riuh rendah mulai mengganggu gua.
Disaat yang sama ponsel di dalam saku bergetar. Nomor tak dikenal tertera pada layar ponsel; Larissa.
Gua berjalan menjauh ke area yang lebih sepi, kemudian menjawab panggilannya.
“Halo…”
“Lagi ngapain?” Tanya Larissa. Seperti biasa, keceriaan selalu membayangi dirinya. Bahkan nada suaranya saja mampu membawa rasa ceria. Ia seperti titisan dewi kebahagiaan, dan dewi kecantikan tentunya.
“Baru sampe nih, lagi ngumpul sama anak-anak Taekwondo…”
“Waaah, senang sekali mendengarnya…” Respon Larissa dari ujung sana.
“...”
“Rame nggak tempatnya?” Tanyanya.
“Rame banget…” Gua menjawab.
“Yah, tar lo pusing deh…” Tebak Larissa, seakan bisa tau apa yang tengah gua rasakan.
“Gapapa, ntar kalo pusing gua balik aja…”
“Ati ati tapi baliknya…”
“Iya, eh by the way, gimana kemo-nya?” Tanya gua. Sebenarnya sejak kemarin gua pengen banget nanyain hal ini. Namun, entah kenapa gua merasa waktunya kurang tepat.
“Sakit, obatnya tuh disuntikin ke bawah kulit gitu bi… gw pikir kalo disini nggak sakit, ternyata sama, sakit-sakit juga…” Ucapnya menjelaskan.
“Gapapa sakit sedikit, yang penting sembuh…” Hibur gua.
“Yaudah deh, gw nggak mau ngobrol lama-lama sama elo..”
“Hah, kenapa?” Tanya gua kaget begitu mendengar kata-katanya barusan.
“Biar ntar pas ketemu elo gw bisa cerita banyak… hehe…”
“Bye…”
“Bye…”
Gua kembali ke tempat duduk dan bergabung bersama yang lain. Suasana semakin ramai, banyak orang mulai berdatangan, mengisi kursi-kursi kosong di area makan. Riuh rendah suara obrolan semakin menjadi. Gua memejamkan mata dan mulai memijat sisi kening dengan tangan.
“Kenapa, Bian?”
Tanya salah satu ‘teman’ yang duduk tepat di seberang gua.
“Pusing dia kalo rame…”
Jawab Tile santai, sambil menyulut rokok di bibirnya.
‘Ini hanya ada di pikiran gua’ batin gua dalam hati, sambil sekuat tenaga melawan rasa pusing yang menyerang. Disana, Larissa yang punya penyakit jauh lebih menakutkan tengah berjuang melawannya. Masa iya, gua disini nggak bisa cuma mengatasi rasa pusing kayak gini!
Perlahan gua menghentikan pijatan di kedua sisi dahi, menarik nafas panjang dan mulai membuka mata.
“Kopi, kopi, nih ngopi biar seger…” Ujar Tile sambil menyodorkan secangkir kopi panas di hadapan gua.
---
“Pas di telpon kemaren sebenernya Sasa udah bilang ke gua, kalo lo nggak biasa di tempat rame…” Ujar Tile saat kami tengah mengantri di pom bensin.
“...”
“Makanya lo gw ajak ke tempat rame sekalian, biar latihan…” Tambahnya.
“...”
“Lo tau nggak kalo kita latihan angkat beban, itu sebenernya kita lagi bikin otot-otot di badan stress. Selesai latihan, badan istirahat, nah otot-otot bakal meregenerasi dirinya sendiri menjadi lebih kuat akibat beban yang dibuat sebelumnya…”
“...”
“Nah, kira-kira lo juga harus diperlakukan kayak otot, bi…” Tambahnya.
Oke. Gua cukup mengerti dengan analogi yang disampaikan oleh Tile barusan. Namun, pertanyaan terbesarnya adalah; kenapa Tile melakukan ini semua? Apa ada campur tangan Larissa? atau ada hal lain yang mendorong Tile memperlakukan gua seperti ini?
Seakan tau dengan jalan pikiran gua. Tile lalu mulai bercerita tentang sosok adiknya, yang kurang lebih memiliki usia yang sama seperti gua dan Larissa. Adiknya punya gejala-gejala yang sama seperti yang gua alami. Dan nggak ada penanggulangan yang berarti yang dapat dilakukan keluarganya. Efeknya, adiknya Tile kini mengidap gangguan komunikasi akut; ia sama sekali nggak bisa berbicara kepada siapapun. Hidupnya hanya dihabiskan di dalam kamar yang gelap, cahaya pun menyakiti dirinya.
“Oke, Le… Kapan-kapan ajak gua ke tempat kayak tadi lagi…”
“Gila lu yak? ngajak elo mulu, lo kira gw nggak punya kehidupan… gw kan juga harus nyari cewek cakep…” Ujarnya, sambil membuka jok motornya yang nggak terkunci.
“...”
“Ya lo kan bisa nyoba jalan sama cewe lo…” Tambahnya.
“Ok…” Gua menjawab pelan.
---
Dua hari berikutnya, Tile membuktikan ucapannya. Dia nggak lagi mengajak gua untuk pergi ke luar. Gua kembali tenggelam dalam genangan kata-kata dalam buku, sambil mendengarkan musik di dalam kamar. Takut akan kondisi yang sama dengan Adiknya Tile juga menimpa gua, sesekali gua berlatih ngobrol. Iya ngobrol dengan diri sendiri, atau sekedar menjawab ucapan dari penyiar radio yang tengah bicara.
Saat tengah asyik berlatih bicara di depan radio. Suara pagar rumah gua terbuka. Dari suaranya terdengar kalau pagar rumah nggak digeser sepenuhnya, yang artinya bukan bokap yang datang. Gua bergegas menuju keluar.
Suara ketukan terdengar begitu gua tiba tepat di depan pintu depan. Gua membuka pintu; sosok Larissa berdiri di hadapan gua. Dengan Jumpsuit denim overalls yang dipadukan tees berwarna putih dan rambut yang digelung ke atas membuatnya tampil manis.
“Kok udah pulang?” Gua bertanya.
Ia nggak menjawab, hanya melangkahkan kaki mendekat, melintasi ambang pintu. Kedua tangannya dilingkarkan di pinggang gua dan mulai merebahkan kepalanya di dada.
Sementara dari balik pagar, Pak Sam terlihat menatap kami canggung. Ia kemudian memberanikan diri bertanya; “Non, ini saya balik aja apa nunggu?”
Larissa nggak menjawab, masih dalam pelukan ia melambai ke arah Pak Sam, memberikan isyarat agar Pak Sam pergi meninggalkan dirinya. Pak Sam terlihat mengangguk, kemudian berbalik, masuk kedalam mobil dan bergegas pergi.
“Biasa aja karena nggak ada gw, kalo ada gw liburan lo pasti lebih menyenangkan…”
Gua tersenyum. Dalam hati mengakui apa yang barusan Larissa katakan.
“Bi, kemaren kan gw ulang taun…” Ucapnya, kali ini ia menundukkan kepalanya.
“Hah, kok nggak bilang?”
Larissa menggeleng. Ia lalu melepas pelukannya kemudian mengangkat telapak tangan kanannya ke arah gua; “Kado…”
“Dih, ya belom beli lah…” Jawab gua sambil berbalik dan menuju ke ruang TV. Sementara Larissa mengikuti gua, bibirnya komat-kamit tak bisa diam menggerutu perihal ‘Kado’.
“Elu kan nggak pernah bilang ke gua ulang tahun lu kapan..” Ucap gua sambil duduk di sofa.
“Kan tanggal lahir gw ada di surat diagnosa yang waktu itu gw kasih liat…” Larissa membalas ucapan gua, merefer pada kejadian disini waktu ia memberitahu gua perihal diagnosa penyakitnya.
“Ya, mana gua merhatiin…” Gua berusaha mengelak.
Larissa lalu menjatuhkan dirinya di atas sofa, persis di sebelah gua. Tangannya ia lipat di dada, wajahnya terlihat merajuk. Gua tersenyum kemudian mencubit pipinya yang lembut. “Baru juga ketemu, udah ngambek…”
Gua bangkit menuju kamar, mengambil salah satu buku catatan milik gua dan pulpen kemudian kembali duduk di sebelahnya. Gua mulai menulis sesuatu pada salah satu lembar buku catatan, kemudian merobeknya.
“Gua sekarang nggak punya duit, Sa… ini aja ya kadonya…” Ucap gua sambil menyerahkan empat potongan kertas kecil tersebut kepadanya.
Ia meraih keempat potongan kertas tersebut. Ekspresi wajahnya mulai berubah, kali ini ia pasang tampang kegirangan.
“Yes!” teriak Larissa, sementara tangannya menggenggam empat potongan kertas yang masing-masing berisi tulisan tangan gua; “Voucher: Doing anything for Larissa”
“Gw langsung pake satu, nih…” Ujarnya sambil menyerahkan selembar potongan kertas ke gua.
“Gua harus ngapain?” Tanya gua sambil mengambil potongan kertas yang ia sodorkan.
“Jalan-jalan, udah mandi sana…” Larissa memberikan perintah sambil tangannya menunjuk ke arah kamar mandi.
Gua bangkit dan bersiap untuk mandi. Sementara, terlihat Larissa meringis sambil memegangi bagian punggungnya. “Kenapa?” tanya gua. Larissa nggak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya. Perlahan ia membungkukkan tubuhnya, rintihannya semakin kuat. Gua membatalkan rencana untuk mandi dan kembali duduk di sebelahnya.
Til I Hear It From You - Gin Blossoms
I didn't ask
They shouldn't have told me
At first I'd laugh, but now
It's sinking in fast
Whatever they've sold me
Well baby
I don't want to take advice from fools
I'll just figure everything is cool
Until I hear it from you
It gets hard
The memory's faded
Who gets what they say
It's likely they're just jealous and jaded
Well maybe I don't want to take advice from fools
I'll just figure everything is cool
Until I hear it from you
Until I hear it from you
I can't let it get me off
Or break up my train of thought
As far as I know, nothing's wrong
Until I hear it from you