Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Larissa terlihat duduk di kursi plastik di halaman rumahnya yang luas. Ia tengah memperhatikan Papinya yang tengah menunduk, memperhatikan bagian mesin mobil sedan yang terbuka kap-nya. Gua memperhatikannya dari sela-sela balik pagar besi.
“Ngapain diem aja?” Tanya Larissa begitu menyadari kehadiran gua yang masih berdiri mematung di depan pagar rumahnya. Ia bangkit dari kursi plastik dan bergegas membukakan pagar untuk gua.
“Bukannya masuk, malah bengong…” Tambahnya, begitu selesai membuka pagar.
“Eh ada Bian, Nggak sekolah?” Tanya Papinya Larissa begitu melihat gua.
“Berantem…” Larissa menjawab mewakili gua. Ia lalu menarik lengan gua masuk kedalam rumah, meninggalkan papinya yang terlihat masih terbengong-bengong ria mendengar jawaban Larissa barusan.
“Udah makan?” Tanya Larissa begitu kami sudah di dalam rumah.
Gua mengangguk pelan.
“Bohong…”
“Bener…” Gua berusaha meyakinkannya. Larissa lalu menatap wajah gua, matanya tertuju ke hidung. Dengan cepat gua menyentuh hidung. Metode macam apa ini, bisa-bisanya Larissa tau gua bohong atau tidak hanya dari hidung gua.
“Hmm.. bener ternyata…” Ucapnya setelah selesai menatap hidung gua.
Pandangannya lalu beralih ke kepala gua. “Perbannya kemana?” Tanyanya.
“Copot” Gua menjawab singkat.
“Kok bisa?” Ia kembali bertanya, kali ini sambil memberi perintah dengan tangannya agar gua duduk di sofa.
“Tadi pas mandi, copot…” Gua menambahkan penjelasan. Sementara Larissa berdiri di depan gua, sambil memeriksa bekas luka di kepala.
“Ya jangan di kenain air doong…” Ucapnya sambil tetap memeriksa bekas luka di kepala gua.
“...”
“Ini kan jaitannya belom kering…” Tambahnya. Ia lalu pergi meninggalkan gua. Selang beberapa menit kemudian, ia kembali. Di Tangannya ia menenteng kotak kecil transparan berlogo palang merah.
“Lo udah sehat?” tanya gua ke Larissa yang kali ini sibuk membersihkan bekas luka di kepala gua dengan kapas dan alkohol.
“Gak papa…” Jawab gua santai. Kemudian menyibak sisi rambut di sisi kepala gua yang lain, memperlihatkan bekas luka jahitan lama kepadanya.
“Wah, jadi dua pitaknya ntar…”
Gua menoleh ke samping, kembali menyibak sisi rambut bagian belakang kepala. memperlihatkan satu lagi bekas luka jahitan lama.
“Eh, tigaaa…” Ujarnya
Larissa menjewer telinga, kemudian berbisik ke gua; “ini gara-gara berantem semua?” tanyanya.
Gua mengangguk.
Larissa lalu menjatuhkan diri di sebelah gua, ia menghela nafas panjang kemudian mulai bicara; “Jangan berantem lagi, Bi”
Gua mengangguk.
“Berarti gua nggak usah Taekwondo lagi…”
“Eh, bukan… maksudnya berantem di luar taekwondo…”
Gua kembali mengangguk.
“Janji?” Ucap Larissa sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
“Iya…” Gua menjawab.
Larissa meraih tangan gua, dan mengaitkan jari kelingking gua ke jarinya.
Gua menatap wajahnya yang kini tak lagi sepucat sebelumnya, matanya yang indah dan bibir mungilnya yang kini merona. Ia melepaskan tautan jari kelingking kami, kemudian mencubit pinggang gua.
“Aww… kenapa?” Tanya gua sambil meringis.
“Kangen aja, udah lama nggak nyubit elo…” Jawabnya sambil tertawa.
Benar tebakan gua sebelumnya; Larissa sudah kembali sehat wal afiat.
“Sa…”
“Apa?” Larissa tampak excited begitu gua menyebut namanya. Ia merubah posisi duduknya dan kini menghadap ke arah gua.
Mata kami saling menatap, dekat.
“Gua… “
“...”
“Haus…”
Ekspresi wajahnya berubah, pasang tampang cemberut. Ia berdiri, menendang tulang kering gua kemudian bergegas ke dapur.
---
Bersamanya membuat waktu berjalan begitu cepat. Hari-hari membosankan gua telah berlalu, berganti dengan waktu penuh tawa dan keceriaannya. Gua akhirnya punya sebuah tujuan dalam hidup; Larissa.
Dua hari berikutnya gua habiskan bersama Larissa. Sebenarnya Larissa sudah sehat dan bisa aja langsung kembali masuk ke sekolah. Tapi, nyatanya doi lebih pengen ‘liburan’ bareng gua.
“Ih, ngapain masuk, lo nya juga nggak ada…” Ucapnya
“Ntar ketinggalan pelajaran, kan mau ulangan, gimana?…” Tanya gua kala itu.
lalu dijawab dengan santainya; “Ya lo kasih contekan ke gw lah…”
Di balkon belakang lantai dua rumah gua, tempat biasa gua mencuci dan menjemur pakaian. Kami berdua duduk diatas atap rumah, memandang ke arah deretan pohon-pohon yang menghalangi cahaya sore menembus ke atap-atap rumah penduduk. Sementara suara deru mesin cuci dan samar teriakan bocah-bocah yang tengah bermain di lapangan badminton belakang rumah gua menjadi latar diamnya kami berdua.
Ia menyandarkan kepalanya di bahu gua, sementara tangannya sibuk membolak-balik ponsel miliknya.
“Emang lo udah belajar?” Tanyanya.
Gua menggeleng.
Iya dalam hal sosialisasi kehidupan emang gua agak ‘kurang’ yah. Tapi kalo urusan pelajaran sepertinya otak gua nggak bego-bego amat. Energi yang tak terpakai untuk urusan sosialisasi, biasanya gua alihkan ke urusan belajar.
Sepertinya, kemampuan bicara gua yang ‘kurang’ diganti dengan kelebihan mampu ‘mendengar’ dengan lebih baik. Sejak SD gua mampu mendengarkan penjelasan guru dengan baik tanpa harus mengulang pelajaran yang sama di rumah.
Pernah suatu ketika, Bokap diam-diam memeriksa buku-buku catatan sekolah gua. Kemurkaannya muncul kala tak ada satupun catatan di buku gua, yang ada hanya coretan-coretan nggak jelas di bagian belakang buku.
‘Niat sekolah nggak?’, ‘Mau jadi apa?’, ‘Papah udah capek-capek nyari duit buat kamu sekolah’, ‘Belajar yang bener’, dan bla bla bla lainnya sempat diutarakan bokap kala itu.
Namun, sejak melihat nilai raport kelas 1, kelas dan kelas 3 SMP yang cukup memuaskan, ia nggak pernah lagi menggubris cara gua belajar.
“Gimana mau ngasih contekan kalo lo aja nggak belajar?” Tanya Larissa sambil menyentil dahi gua.
Suara deru mesin cuci berhenti. Gua meloncat ke arah mesin cuci, mulai memindahkan cucian ke tabung pengering di sebelahnya.
Gua berbalik, kemudian menadahkan tangan kepadanya. Ia menggapai tangan gua dan meloncat ke dalam pelukan.
Kami saling menatap, wajahnya hanya berada beberapa senti dari gua.
“Kok gw belom pernah denger lo bilang suka sama gw ya, bi” Ujarnya sambil berbisik.
“Harus?” Gua bertanya Lalu dijawabnya dengan anggukan cepat darinya.
Gua terdiam sejenak, mencari kalimat yang sesuai.
Sejenak gua teringat akan sebuah frasa dari buku anak-anak karya Sam McBratney.
Kemudian mulai berbisik di telinganya; “‘I love you up to the moon…”
Larissa menatap gua, wajahnya merah merona. Ia kemudian menjawab; “I love you to the moon and back…”
“Gw udah nggak berat kan sekarang?” Tanyanya, masih dalam pelukan.
“Iya..” Jawab gua sambil mengangguk.
Sejak pertama kali bertemu, hingga saat ini, terlihat jelas bobot tubuhnya berkurang. Tubuhnya yang mungil kini semakin mengecil.
---
Seminggu sejak masa skorsing gua berakhir, kami akhirnya menempuh ulangan umum kenaikan kelas. Posisi duduk para siswa di dalam kelas saat ulangan umum kembali diacak, kali ini berdasarkan nomor absen. Gua duduk di kursi baris kedua, sedangkan di baris pertama duduk teman sekelas gua yang namanya; Aan. Si Aan ini gua rasa semenjak SD hingga SMA, urutan nomor absennya nggak akan pernah bergeser, pasti nomor 1. Sementara Larissa duduk di posisi tengah kelas.
Gua menoleh ke arahnya. Terlihat Ia tengah mengeluarkan memutar-mutar pulpen Hello Kitty miliknya dengan kedua jari. Sementara, bibirnya komat-kamit seperti tengah menghafal sesuatu, sesekali matanya menatap ke langit-langit seakan-akan bakal menemukan jawaban dari sana.
Kertas soal mulai dibagikan. Guru pengawas memberikan tumpukan kertas soal ke murid yang duduk paling depan, kemudian kertas tersebut di estafet ke murid di belakangnya, and so on, and so on. Sementara kami, para murid menggunakan ‘Kertas Ulangan’ sebagai media untuk menjawab soal tersebut.
Kertas ulangan tersebut merupakan hasil cetakan dari pihak sekolah yang bisa kita dapatkan dengan membeli-nya di koperasi sekolah. Satu lembar kertas ulangan dibanderol seharga 100 rupiah. Kertas tersebut memiliki kop berlogo sekolah dan dinas pendidikan di bagian paling atas, kemudian di baris berikutnya terdapat dua tabel bersisian; tabel di sisi kiri harus diisi dengan Data diri siswa berikut dengan Nama mata pelajaran, sedangkan tabel di sisi kanan nantinya akan diisi dengan Nilai dan paraf guru yang memeriksa.
Baris berikutnya diisi Kolom jawaban untuk soal pilihan ganda. Dengan tabel kotak-kotak kecil dimana bagian atasnya terdapat nomor-nomor yang merujuk ke nomor soal, dan dibagian kirinya terpampang abjad A,B,C,D dan E yang merupakan pilihan jawaban.
Bagian terakhir dan paling bawah kertas ulangan hanya berisi garis-garis kosong ala buku tulis. Biasanya digunakan untuk mengisi soal-soal Essay. Baris-baris kosong ini berlanjut hingga ke sisi bagian belakang kertas ulangan.
Bel berbunyi. Para siswa kompak menundukkan kepala, mulai membaca kertas soal.
Gua menyempatkan diri menoleh ke arah Larissa yang masih sibuk membolak-balik kertas soal. Seperti yang pernah gua sampaikan ke dia sebelumnya; “Kerjain yang gampang dulu, yang susah belakangan aja..”. Mungkin, ia mengikuti saran gua dan tengah mencari soal yang mudah.
“Lima soal gw jawab asal-asalan tadi…” Celoteh Larissa ke Sekar dan Dita saat istirahat.
“Lumayan susah sih emang, Sa…” Kata Sekar santai, ucapannya lalu disetujui oleh Dita dengan anggukan kepala.
“Nih, si oncom gw panggil-panggil nggak nengok…” Gerutu Larissa, sementara dengan entengnya menjambak rambut gua.
“Ya lo termasuk hebat Sa, Nggak belajar, cuma nggak bisa jawab lima dari tiga puluh soal” Dita buka suara.
“Yang 25 soal laen gua kasih tau…” Kali ini giliran gua yang buka suara.
Larissa menoleh ke arah gua, sambil menepuk-nepuk kepala gua dia bicara; “Hehe, kan lo udah janji mau nyontekin gw… Lagian kalo gw belajar, bisa kok gw jawab semua sendiri…”
Iya, Sejak divonis menderita Leukimia, Larissa lebih banyak menghabiskan waktu untuk ‘having fun’ dan enggan berurusan dengan hal yang berbau pelajaran.
Tepat saat bel tanda masuk berbunyi; Ulangan Umum pelajaran berikutnya, Mata Larissa tertuju kesosok remaja botak yang tengah berjalan cepat ke arah kelasnya. Tangannya menggenggam gulungan kertas ulangan.
“Rioo!!...” Larissa berteriak memanggil, kemudian bersiap untuk menghampirinya.
Gua meraih pergelangan tangannya; “Udah bel, ntar terlambat…”
Ia menepis genggaman gua; “Sebentar doang…” lalu mulai berlari menghampiri Rio.
Gua hanya berdiri memandang dari kejauhan, sementara Sekar dan Dita buru-buru masuk ke kelasnya. Larissa terlihat tengah bicara ke Rio dengan ekspresi berapi-api, sembari tangannya tak henti-henti menunjuk ke wajah lawan bicaranya. Sesekali telunjuknya mengarah ke arah gua. Sementara, Rio si lawan bicaranya sesekali mendebat Larissa, tanganya mengepal, membuat kertas ulangan di genggamannya semakin lecek.
Nggak seberapa lama perdebatan tersebut di interupsi dengan keluarnya para pengawas dari ruang guru. Larissa harus pasrah untuk meluapkan kekesalannya kepada Rio di kesempatan lain.
Larissa berbalik dan berjalan ke arah gua. Rambutnya yang tak terikat, tergerai disapu angin. Sesekali ia berpaling, menatap ke arah Rio, ekspresinya tampak masih kesal. Ia lalu meraih ujung seragam sekolah gua dan menarik-nya, masuk ke dalam kelas.
Jujur aja sih, gua kurang nyaman dengan perlakuan Larissa yang seperti itu. Gua jadi kayak bocah cilik yang abis di bully sama temannya lalu ngadu ke emaknya. Si Emak lalu nyamperin si bocah pembully, ngomel dan marah-marah, sementara gua cuma jadi bocah cilik pengadu yang berdiri di balik daster si Emak. Cuma kebetulan aja yang jadi Emaknya; Larissa.
---
Sepulang sekolah, seperti biasa, gua dan Larissa duduk di teras kecil depan pos satpam sambil menunggu Larissa dijemput. Tiba-tiba ia berdiri dan melemparkan tasnya ke pangkuan gua.
‘Ah paling mau ke toilet’ tebak gua dalam hati. Namun tebakan gua langsung berubah begitu melihat Rio dan beberapa rekannya berjalan menuju ke arah kami; ke arah gerbang sekolah.
Gua meraih pergelangan tangannya. Kali ini gua menggenggamnya lebih kuat.
“Lepas…” Ucapnya.
“...”
“Lepas!!...” Teriaknya ke arah gua, matanya menatap tajam berapi-api.
Gua yang terkejut melihat responnya mendadak mengendorkan genggaman. Larissa yang terbebas dari genggaman tangan gua berjalan cepat menghampiri Rio. Ia sempat menghentikan langkahnya sebentar kemudian berjongkok seperti mengambil sesuatu.
Dengan bongkahan paving block besar di tangannya ia kembali melangkah cepat ke arah Rio. Gua dengan cepat berlari menyusulnya.
Melihat ada gelagat aneh Larissa yang tengah bersiap ke arahnya, Rio menghentikan langkahnya. Sementara rekan-rekannya perlahan memisahkan diri ke arah yang berbeda.
Hanya beberapa meter lagi sampai Larissa tiba ke lokasi Rio. Dari arah belakang gua berhasil merebut Bongkahan batu di tangannya, dan menjatuhkannya ke tanah. Gua lalu merangkul pinggulnya dan membopongnya pergi menjauh ke arah berlawanan. Sementara, dari sudut mata gua melihat Rio masih berdiri mematung dengan tampangnya yang syok.
“Turunin gw, Bi…” Teriak Larissa yang masih berada di gendongan gua. Banyak mata yang menatap kami, membuat gua semakin gugup dan nggak karuan. Tapi disisi lain, hal ini harus dilakukan daripada kepala orang pecah gara-gara dia.
Gua mengabaikan teriakannya. Sementara gua mempercepat langkah menuju ke sisi lapangan basket, tempat sepi paling dekat yang terpikirkan.
“Ngapain sih lo…” Ucap Larissa sambil memukuli lengan gua, begitu turun dari gendongan.
“...” Gua nggak menjawab hanya terdiam kemudian duduk di kursi besi panjang yang terletak di sisi lapangan basket.
Larissa menyeka matanya yang basah, kemudian duduk di kursi yang sama dengan gua. Kali ini ia memberi jarak diantara kami berdua. Ia menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Lo tau nggak sih, Kalo gw sebel sama Rio?” Tanyanya, masih sambil menunduk.
Gua menggeser posisi duduk mendekat ke arahnya, kemudian berbisik dekat telinganya; “Beli es krim yuk…”
Larissa berpaling, menatap gua tajam, dan kembali memukuli bahu gua dengan kedua tangannya.
Setelah lelah memukul, ia bersandar di bahu yang baru saja selesai dijadikan samsak olehnya.
“Es krimnya yang gede ya, Bi…” Ucapnya pelan sambil memperagakan bentuk box es krim ukuran besar dengan kedua tangannya.
“Ok!…” Jawab gua pelan.
---
“Emang lo nggak sebel sama Rio?” Tanya Larissa, sementara tangannya sibuk menyendok Es krim.
“Nggak…”
“Hah? Pala lo bocor kan gara-gara dia…”
“Nggak tau, kalo gua jadi Rio mungkin gua bakal ngelakuin hal yang sama…” Gua menjelaskan.
Larissa terlihat nggak begitu puas dengan penjelasan gua. Sepertinya ia masih menyimpan dendam ke Rio. Dendam yang ingin ia lampiaskan dengan mengatasnamakan gua.
“Rio pernah ngomong sesuatu tentang gw nggak ke elo?” Tanya Larissa, kali ini raut wajahnya berubah jadi serius.
Gua mengangguk.
“Bilang apa dia?” Tanyanya.
Gua merubah posisi duduk, kali ini menghadap ke arahnya. “Lo pernah suka sama dia…”
‘Plak!’ Tutup box es krim berwarna merah melayang, tepat mengenai wajah gua.
“Sembarangan mulutnya tuh si botak…” Maki Larissa.
“Ya tapi kenapa gua yang lo lempar…” Keluh gua, sembari mengambil tutup es krim yang kini berada di sela-sela kaki gua.
“Abis kesel banget gw dengernya…” Tambah Larissa, wajahnya masih pasang tampang kesal.
“Berarti lo nggak pernah suk…” Belum selesai gua bicara. Larissa tiba-tiba menarik bibir gua dengan tangannya.
“Ya nggak lah…” Jawabnya tegas. Sementara ibu jari dan telunjuknya masih menjepit bibir gua.
---
Setelah kejadian kemarin, terlihat Rio semakin menjauh. Ia tak lagi terlihat bicara, atau bahkan menyapa Larissa. Dan sejauh yang gua tau, Dita dan Sekar pun nggak lagi banyak berkomunikasi dengannya. Larissa sendiri sepertinya sudah mulai bisa berdamai dengan emosinya, ia tak lagi menggebu-gebu punya hasrat ingin ‘mecahin’ kepala Rio.
Hari ini merupakan hari terakhir ulangan umum. Pagi ini Larissa terlihat tak bersemangat, rambutnya digelung ke atas, menyisakan rambut-rambut tipis di sekitar tengkuk bagian atas. Wajahnya yang manis kali ini tak tersentuh make-up, bibirnya pun dibiarkan apa adanya tanpa sentuhan Lipgloss yang biasa ia gunakan.
Ia berjalan gontai menghampiri gua yang tengah bersandar pada dinding kelas; menunggu bel masuk.
Larissa menatap dinding di sebelah gua, lalu menyandarkan dahinya pada dinding. “Ngantuuuk…” Ucapnya lirih.
“Bukannya semalem tidur cepet…?” Gua merespon keluhannya. Sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan mengecek SMS terakhir darinya semalam; Jam 22.00.
“Dibangunin Papi jam 4 pagi, mau berangkat ke singapur… trus nggak bisa tidur lagi” Jawabnya datar.
“...”
“Kayaknya pas libur kenaikan kelas gw bakal berobat ke singapur deh…” Tambahnya, kali ini ia sudah merubah posisinya, bersandar pada dinding kelas, menatap ke arah yang sama dengan gua.
“Oh…”
“Gitu doang respon lo? cuma ‘Oh’?” Tanya nya nggak bersemangat.
“Harusnya gimana?” Gua balik bertanya.
“Ntar lo bakalan kangen sama gw lho…”
“Kangen kan bisa ditahan, yang penting lo sembuh…” Respon gua santai.
“Atau lo ikut aja, Bi…” Ujar Larissa, kali ini muncul sedikit semangat dalam kalimatnya.
Gua menggeleng; “Gw nunggu lo disini aja…”
“Kalo gw nggak balik-balik gimana?” Tanyanya.
Gua berpaling dan menatapnya. Baru mendengar kata-kata perandaian darinya saja sudah bikin lutut lemas dan rasa menusuk yang sesak di dalam dada.
“Jangan, Sa… Jangan…”
Suara Bel masuk menginterupsi percakapan kami.
---
Sister Hazel - All For You
Finally I figured out, but it took a long long time
And now there's a turnabout, Maybe cause I'm trying
There's been times, I'm so confused
All my roads, They lead to you
I just can't turn, And walk away...
It's hard to say, What it is I see in you
Wonder if I'll always, Be with you
But words can't say, And I can't do
Enough to prove, It's all for you
I thought I'd seen it all, 'Cause it's been a long long time
But then we'll trip and fall, Wondering if I'm blind
Rain comes pouring down (Pouring down)
Falling from blue skies (Falling from blue skies)
Words without a sound, Coming from your eyes