Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Eh.. anak Mami udah bangun…” Mami Larissa masuk ke dalam kamar dan kembali duduk di posisi yang sama seperti sebelumnya; di tepi ranjang.
“Makan ya neng, geulis…?” Ucap maminya kepada Larissa sambil memperagakan gerakan menyuap.
Larissa meresponnya dengan anggukan kepala.
Mami Larissa lalu berpaling ke gua; “Bian, makan sekalian ya…”
Gua menggeleng; “Makasih Tante, nanti aja…”
“Eeeeh.. ini kan udah jam 11, kamu belum makan dari tadi lho… Makan ya” Bujuknya.
“Makasih tan, nanti saya makan di rumah aja…” Jawab gua, mencari celah agar nggak melulu merepotkan keluarga ini dengan memberi gua makan.
“Ih, harus makan disini lho… Tante udah masak. Yaudah nanti kalo laper, turun ya, ambil makan sendiri…” Ucapnya, kemudian ia bergegas keluar dari kamar.
Beberapa menit berikutnya, Mami Larissa kembali ke kamar. Kali ini sambil membawa nampan, diatasnya terdapat mangkuk porselen berwarna putih yang isinya terlihat seperti bubur. Ia meletakkan nampan tersebut diatas meja kecil yang terletak di sisi ranjang Larissa.
“Mau disuapin apa makan sendiri, neng?” Tanyanya.
“Nanti mau disuapin sama Bian…” Jawab Larissa lirih.
“Duh, manjanya… Emang Bian-nya mau nyuapin kamu?” Tanya Mami Larissa sambil melirik ke arah gua.
“Eh.. anu.. ee…” Gua nggak tau harus merespon apa; Salah tingkah.
“Mau kan Bi?” Kali ini Larissa yang bertanya ke gua.
“Eh… i..iya..” Gua menjawab ragu.
Keraguan gua jelas ada sebabnya. Ihwal menyuapi orang sakit sebenernya bukan masalah besar. Orang buta yang nggak bisa denger pun mampu melakukan hal tersebut. Namun, kenapa harus meminta sesuatu hal seperti ini di hadapan maminya. Gua kan malu!
Mami Larissa mengangkat mangkuk porselen putih berisi bubur dari nampan dan menyerahkannya ke gua. “Kalo nggak abis nggak apa-apa, bi…” ucapnya.
Sebelum pergi, Maminya membantu Larissa duduk bersandar beralas bantal, kemudian menyiapkan beberapa butir obat yang harus diminum Larissa setelah makan. Ia meletakkan butiran pil beraneka warna diatas sebuah mangkuk plastik berukuran sangat kecil berwarna merah.
Gua memandangi bubur beraroma kaldu ayam di mangkuk yang kini berada di tangan gua. Lalu mulai menyendok porsi kecil dan menyodorkannya ke arah bibir Larissa.
“Nanas, mbi…” Ucap Larissa, sambil mengibaskan telapak tangan di depan mulutnya.
“Eh, sorry.. sorry...”
Gua meniup porsi kecil diatas sendok sebelum memberikannya ke Larissa. Dan kembali menyuapinya.
“Elaaaaaaah… manja bangeeet…” Resti muncul dan masuk kedalam kamar.
Ia duduk di kursi belajar milik Larissa, tangannya meniti deretan rak kaset dan CD yang berada di meja. Menarik sebuah kaset, membuka cover, mengeluarkan isinya dan memasukkannya ke radio player yang berada di sebelahnya.
Sebuah intro lagu bergenre New Wave menggema di udara, lalu disusul dengan suara garing Simon Le Bon melantunkan Come Undone. Resti bergerak mengikuti irama, tangan dan pinggulnya ikut bergoyang.
“Sini…” Ucapnya, sambil mengambil alih mangkuk bubur dari genggaman gua.
“Pala lo kenapa? Berantem?” Tanya Resti sambil menunjuk ke arah perban di kepala gua.
Gua nggak menjawab. Hanya melangkan senyuman.
Resti mengaduk-aduk bubur dalam mangkuk, dan mulai menyuapi Larissa.
“Banyak amat…” Ucap Larissa begitu melihat porsi dalam sendok yang disodorkan kakaknya.
Seakan nggak memberikan waktu bagi Larissa untuk mencerna suapan terakhirnya. Resti sudah kembali menyodorkan sendok berisi bubur ke Adiknya. Larissa menggelengkan kepalanya, sambil menunjuk ke arah mulutnya yang masih penuh.
“Udah sana deeh…” Ucap Larissa begitu selesai menelan porsi bubur di mulutnya.
“Yee..” Resti lalu kembali menyerahkan mangkuk bubur ke gua. Ia berdiri dan duduk di kursi, kakinya ia naikkan ke atas meja dan mulai bernyanyi mengikuti suara wanita backing vocal di lagu tersebut; “Can't ever keep from falling apart at the seams… Can't I believe you're taking my heart to pieces…”
Come Undone-nya Duran Duran berakhir. Resti menekan tombol stop, mengeluarkan kaset dari dalam player dan memasukkan ke dalam bungkusan Covernya.
“Gw pinjem ini ya, Sa…” Ucapnya ke Sasa, kemudian keluar dari kamar tanpa menunggu persetujuan pemiliknya.
Gua lalu melanjutkan menyuapi Larissa.
“Bi, Bokap lo gimana?” Tanyanya
“Udah nggak usah ngurusin bokap gua, lo aja masih gini…” Jawab gua santai.
“Ih ga boleh gitu dong,..., Kakinya udah bisa buat jalan?” tanyanya.
Gua menggeleng.
“Lah terus gimana? belum masuk kerja dong?”
Gua tersenyum sini mendengar pertanyaanya.
“Sehari keluar dari rumah sakit udah masuk kerja, pake kursi roda” Gua bercerita.
“Wah, Bokap Lo determinasi-nya tinggi ya, Bi…”
“Determinasi my ass…” Gua menggumam pelan.
“Apa Bi?” Tanya Larissa, nggak begitu mendengar gumaman gua barusan.
“Nggak…” Gua mencoba mengalihkan perhatiannya, dengan menyodorkannya minum.
Selesai makan, dan meminum jatah obatnya. Larissa kembali berbaring. Ia memiringkan tubuhnya sehingga kami berdua saling berhadapan.
“Obatnya bikin ngantuk nih, bi…” Ucap Larissa memberikan informasi, sementara matanya masih menatap gua.
“Ya tidur kalo ngantuk…” Gua menjawab sekenanya.
“Lo pulangnya kalo gw udah tidur ya…”
Gua mengangguk. Agak ‘malu’ karena tatapannya yang menusuk hati, gua menundukkan kepala, memainkan kuku jari tangan.
“Madep sini, Bi…” Ucapnya pelan.
Perlahan gua mengangkat kepala dan memberanikan diri menatapnya.
“Gw mau ngeliat lo sampe gw tidur…” Tambahnya, matanya terlihat sayu. Namun, wajahnya tak lagi sepucat sebelumnya.
“Gua harus ngapain?” tanya gua.
“Gausah ngapa-ngapain, diem aja…”
---
“Biaan, Bi…” Suara dari dalam memanggil gua, begitu gua melangkah keluar dari rumah Larissa.
“Lo nggak makan dulu?” Tanya Resti sambil berusaha mengejar gua.
Gua menggeleng.
“Duh, gw ntar di omelin nyokap kalo lo nggak makan dulu…”
Gua mengernyitkan dahi, bingung dengan statement-nya barusan.
“...Nyokap tadi pesen, lo disuruh makan dulu sebelum pulang…” Resti menjelaskan seakan tau akan kebingungan gua.
“Ya bilang aja, gua udah makan…” Gua menjawab, kemudian kembali berpaling dan berjalan menuju ke arah pagar.
---
Suara langkah kaki yang berlari cepat terdengar mendekat. Resti menyusul gua, ia berhenti tepat di hadapan gua, membungkuk dan nafasnya tersengal-sengal. Terlihat ia membawa sebuah paper bag berwarna coklat dengan tali rami sebagai gantungannya. Ia meraih tangan gua dan menggantung paper bag tersebut di jemari gua. Kemudian kembali berjalan pulang ke arah rumahnya.
Gua merogoh kedalam paper bag coklat tersebut dan mengeluarkan isinya; Dua buah kotak makan kecil berwarna senada. Pasti makanan.
“Thank You…” Gua bicara ke Resti yang berjalan semakin menjauh.
Ia nggak menoleh ataupun menjawab. Hanya mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mengacungkan jari tengahnya.
---
“Abian…” Panggil salah seorang siswa dari muka kelas.
Gua berdiri dan menghampirinya.
“Lu dipanggil Pak Kukuh, ke Ruang BK…” Ujar siswa berkacamata tersebut begitu gua mendekat. Siswa tersebut kemudian bergegas pergi.
Gua berjalan menuju ke arah ruang guru yang kebetulan, bersebelahan dengan ruang Tata Usaha dan Ruang BK. Gua berdiri mematung tepat di depan ruangan tertutup dengan tulisan Ruang Bimbingan dan Konseling tergantung di bagian pintunya.
Dari ekor mata terlihat sosok pemuda jangkung menghampiri gua.
“Lo dipanggil juga, Le?” Tanya gua ke Tile yang saat ini berdiri di sebelah gua.
“Iye…” Jawabnya santai, sambil memainkan batang korek api di mulutnya.
Gua mengetuk dua kali sebelum kemudian membuka pintunya.
Ruangan ini lebih kecil dari yang gua bayangkan waktu diluar tadi. Sebuah sofa berbentuk L, berbahan kulit imitasi berwarna coklat terletak di sudut ruangan tepat setelah pintu masuk. Sementara sebuah lemari kabinet besi abu-abu memisahkan sofa dengan meja besar dengan dua kursi yang saling berhadapan.
Di Sofa terlihat Rio dan beberapa rekannya yang kemarin duduk disana, hampir semuanya pasang tampang gelisah. Sementara Pak Kukuh duduk di ujung sofa sambil membolak-balik kertas catatan sambil sesekali membetulkan posisi kacamatanya yang melorot. Kepalanya yang plontos, samar memantulkan cahaya dari lampu ruangan. Ia menatap ke arah gua dan Tile sesaat kemudian kembali berpaling pada kertas catatan.
Pak Kukuh meletakkan catatan di atas meja, kemudian memandangi kami satu persatu.
“Pada mau jadi apaan? Berandalan?” Pak Kukuh buka suara, sementara matanya masih menatap tegas.
“Kalian ini kan sebentar lagi mau ulangan kenaikan kelas, bukannya belajar malah pada berantem…”
“Siapa yang mulai?” Ia kembali mengajukan pertanyaan. Kali ini matanya mengarah ke Tile, yang merupakan sosok paling tua diantara kami semua.
“Dia nih…” Jawab Tile sambil menunjuk ke arah Rio.
Pak Kukuh mengalihkan pandangannya ke Rio yang masih tertunduk.
“Bener Rio?” Tanya Pak Kukuh.
Sementara yang ditanya nggak menjawab, diam seribu bahasa.
“Apa masalahnya?” Pak Kukuh kembali bertanya.
“Masalah pribadi pak…” Jawab Rio pelan, masih tetap sambil menundukkan kepala.
“Ya apa masalahnya?” Pak Kukuh mengulang kembali pertanyaannya.
“Biasa masalah cewek, pak…” Tile buka suara, sambil cengengesan.
“Lha ini, Bian di kepruk palanya ambe bocor alus…” Tambah Tile sambil meraih kepala gua dan menariknya, membuat gua membungkuk.
Pak Kukuh kemudian berdiri dan berjalan ke mejanya. Ia mengambil beberapa amplop dengan stempel sekolah di bagian belakang. Ia membaca nama yang tertera di bagian depan amplop, kemudian menyerahkan kepada masing-masing dari kami, sesuai dengan nama yang tertera pada amplop, kecuali Tile.
“Kalian di Skors 3 Hari ya, itu suratnya tolong di kasih ke Orang Tua. Besok suru dateng kesini, ketemu saya…” Ujarnya.
“Lah, saya juga di skors pak?” Tanya Tile.
“Kamu saya kasih surat nggak?” Pak Kukuh balik bertanya.
Tile lalu menggelengkan kepalanya.
“Ya berarti kamu nggak di skors…” Tambahnya.
---
“Enak Bi, libur gratis tiga hari…” Ucap Tile begitu kami keluar dari ruang BK.
Ria dan rekan-rekan menyusul keluar. Ia menatap gua sebentar, kemudian buang muka dan pergi menjauh.
“Oi Botol, Botak Tolol…” Panggil Tile ke Rio. Sementara yang dipanggil nggak menggubris dan tetap melangkah pergi menjauh.
‘Prak!’ Gulungan kertas mendarat di kepala Tile. Pak Kukuh berdiri tepat di belakang kami, tangan kanannya menggenggam gulungan yang digunakan untuk memukul kepala Tile. Sementara tangan kirinya memeluk map berisi dokumen-dokumen.
Ponsel di saku gua bergetar. Sebuah pesan masuk; dari Larissa.
‘lg ap?’ tulisnya dalam pesan singkat tersebut.
‘Sekolah’ Balas gua.
‘Koq, lgsng bls? g ad gru?’ Larissa kembali membalas.
Gua mengernyitkan dahi, mencoba mencerna apa yang dimaksud Larissa pada pesan terakhirnya. Kemudian memasukkan ponsel ke saku celana dan kembali ke kelas.
---
Tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi, ponsel gua kembali bergetar. Nama Larissa muncul di layarnya.
“Halo..” Sapa gua
“Kok tadi nggak bales?” Tanya Larissa, suaranya masih terdengar lemas, namun sangat terasa semangatnya sudah kembali normal.
“Bales apa? gua nggak ngerti isinya…” Gua berusaha menjelaskan.
Terdengar suara tawa Larissa di ujung sana.
“Iya itu kata-katanya disingkat bi…”
“Kenapa harus disingkat?”
“Ya biar cepet, sama SMS itu kan cuma bisa 160 karakter, Bian…” Jelas Larissa.
“Kata-kata lo di SMS tadi kan nggak sampe 160 karakter, kenapa disingkat…?” Gua berargumen.
“Emang gitu esensi SMS-an, Bian… Namanya juga short message service, ya pesannya harus pendek…” Larissa menambahkan, ia memberi penekanan pada kata “Short”.
“Oh, i see…” Tanya gua ke Larissa, memastikan.
“Tapi kalo lo nggak suka gw nyingkat-nyingkat kata pas SMS, besok gw nggak singkat lagi deh....” Ujarnya.
“Eh, Sa…” Panggil gua.
Disusul suara teriakan riang Sasa dari ujung sana; “Kyaaaa….. kenapa ya, gw suka deh kalo lo lagi manggil nama gw… iya kenapa-kenapa?”
“Besok gua nemenin lo tiga hari istirahat di rumah ya…”
“Lho, kenapa? emang besok tanggal merah?” Tanyanya penasaran.
“Nggak…”
“Trus kenapa?”
“Gua di skors…”
“Haaah… Gara-gara berantem kemaren? Tuh kaaan… Yaudah besok kesini aja dari pagi…”
---
Come Undone - Duran Duran
Mine, immaculate dream made breath and skin
I've been waiting for you.
Signed with a home tattoo,
Happy Birthday to You was created for you
Oh, it'll take a little time,
Might take a little crime
To come undone now
We'll try to stay blind
To the hope and fear outside
Hey, child, stay wilder than the wind
And blow me in to cry
Who do you need, who do you love
When you come undone?
Who do you need, who do you love
When you come undone?
Words, playing me deja vu
Like a radio tune I swear I've heard before
Chill, is it something real
Or the magic I'm feeding off your fingers?
Lost in a snow filled sky,
We'll make it alright
To come undone now
We'll try to stay blind
To the hope and fear outside.
Hey, child, stay wilder than the wind
And blow me in to cry...
Who do you need, who do you love
When you come undone?
Who do you need, who do you love
When you come undone?