Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

penacintaAvatar border
TS
penacinta
Mertua Si Pahit Lidah
Mertua Si Pahit Lidah


Part 1


“Na, Mamak ambil sayuran dalam kulkasmu, ya!” ujar Mamak mertuaku saat ia memasuki dapurku.

“Iya, ambil aja yang mana Mamak sukak!”

“Gitu, lah! Jadi mantu itu harus nurut sama mertua! Udah dimarahi Bondan baru kau paham, kan?” Mamak masih saja merepet sambil membongkar isi kulkasku.

Kami memang baru saja bertengkar beberapa hari yang lalu. Penyebabnya adalah karena aku sudah sangat muak pada kelakuan Mamak. Hanya karena membelikan anakku es tong-tong seharga seribu rupiah saja, Mamak bilang pada tetangga kalau anakku selalu meminta dibelikan jajan olehnya. Padahal itu semua hanya pandai-pandainya Mamak saja. Anakku belum genap berusia tiga tahun. Anakku juga bukan model anak yang rakus jika melihat jajan ataupun tukang es krim lewat. Mamak sendiri yang menawari anakku es krim. Namanya anak-anak, mana mungkin menolak. Tapi dengan teganya Mamak berkata pada orang-orang kalau anakku itu sangat rakus pada makanan.

Ibu mana yang tak sakit hati anaknya disebut seperti itu. Akhirnya pecahlah perang mulut diantara kami berdua. Sayangnya semua itu berakhir dengan aku yang dipersalahkan dan dipaksa Bang Bondan untuk meminta maaf pada Mamak. Mamak yang merasa menang semakin merajalela di dalam rumahku. Apapun yang dia lihat, dia inginkan, dengan bebas akan diambilnya tanpa meminta izin.

“Loh, kok kosong kulkasmu, Nina? Gak belanja nya kau?”

“Nampak Mamak kayak mana? Kalau ada isinya ambillah!”

“Kulkas kosong kayak gini kok bisanya kau suruh mamak ambil isinya? Ambil angin?” gerutu Mamak. Aku sengaja tak belanja hari ini. Aku muak, aku kesal, aku bosan. Bang Bondan suamiku memang anak kesayangan Mamak. Tapi kasih sayang itu tak kurasakan sebagai menantu. Mamak selalu mencari-cari kesalahanku. Sama sekali tak pernah melihat apa yang selama ini sudah aku korbankan.

“Nina! Kok diam kau?” bentak Mamak. Aku sengaja tak lagi menjawab. Aku biarkan dia ngomel, sedangkan aku sengaja asyik dengan tontonanku.

“Jadi maunya Mamak cemana?” ujarku pada akhirnya.

“Kau kemanakan duit yang dikasi anakku? Kau korupsi, iya?”

“Iya!”

“Heh! Sopan kali kau!” geram Mamak lagi.

“Ya kan Mamak udah nampak kalau kulkasku kosong. Ya ngapain lagi Mamak tanyak?”

“Jadi kau gak masak? Mau makan apa anakku nanti kalau kau gak masak, Nina?” Mamak berkacak pinggang berdiri di dekatku.

“Pande lah dia, Mak!”

“Betul-betul kau ini, ya! Mantu gak tau diuntung!”

“Terserah Mamak aja mau bilang apa!”

“Oo, masih dendam rupanya kau sama Mamak ya?”

“Nggak!”

“Kok kayak gitu kali gayamu?”

“Jadi maunya Mamak cemana? Kulkas penuh Mamak bilang aku boros. Padahal Mamak jugak nya yang ngabiskan isinya. Sekarang kulkas kosong pun aku salah jugak! Mana ada betulnya aku ini di mata Mamak.”

“Njawab aja pun kau kalok dibilangi! Betul-betul salah si Bondan milih istri.”

“Ya udah, suruh aja Bang Bondan cari istri lain yang tahan setiap hari direpeti Mamak!” jawabku kesal.

“Apa lagi, sih, kelen berdua ini selalu ribut?” Bapak mertuaku masuk dari pintu dapur. Mungkin Bapak mendengar suara berisik yang disebabkan oleh mulut Mamak. Rumah kami memang berdekatan. Dapur kami saling bersinggungan. Itulah sebabnya Mamak dengan bebas menjarah isi rumahku. Tapi mau gimana lagi, mau mengadu pada suami juga percuma. Padahal tidak semua barang-barang milik kami ini dibeli dengan uang suamiku. Aku juga bekerja, dan memiliki penghasilan sehingga bisa mencicil membeli perabotan.

“Si Nina ini, Pak. Masak iya kulkasnya kosong melompong. Dia gak masak untuk si Bondan. Istri macam apa itu?”

“Mak, anak kita itu sudah berumah tangga! Mamak jangan lah terlalu merusuh. Biarkan mereka mengatur rumah tangganya!” ujar Bapak. Suaranya jauh lebih lembut daripada Mamak. Memang Bapak baru saja sembuh dari penyakitnya. Sehingga suara dan tenaganya masih lemah.

“Loh, kok Bapak malah belain si Nina? Bondan itu kan anak kita, laki-laki satu-satunya. Penerus marga! Sudah sewajarnya kalau kita ikut mengatur apa yang baik dan tak baik untuk hidupnya! Apalagi si Nina ini, sudah boros, pemalas, pulang kerja malah nonton TV bukannya masak untuk suami. Punya anak pun perempuan, cemana mau neruskan marga?” ujar Mamak berapi-api.

“Ya kan belum tau, Mak. Siapa tau nanti anak kedua dan seterusnya laki-laki.”

“Udahlah Bapak diam! Bapak ini pun gak sadar diri. Habis harta kita udah untuk biaya berobatmu, Pak. Sekarang kita ini susah, apa salah kalau aku mau minta makanan mereka sedikit? Cuma mau mintak sayuran nya Mamak, bukan mintak emas sama si Nina ini. Malah sengaja dikosongkannya kulkas.”

“Udahlah, Mak. Malu didengar tetangga. Udah pulang aja! Ayok mari!” Bapak menarik tangan Mamak untuk kembali pulang ke rumah mereka. Aku sengaja tak menjawab apapun sejak Bapak mertua masuk. Biar Bapak lihat sendiri bagaimana jahatnya mulut Mamak padaku.

Empat tahun sudah aku menjadi menantunya. Sebelum rumah ini berdiri, kami memang menumpang di rumah Mamak. Anak Mamak hanya dua. Kakak Bang Bondan, sekarang tinggal di kota Medan bersama suaminya. Sementara kami tinggal di pinggiran kota. Saat awal menikah, Mamak memaksaku untuk berhenti bekerja. Namun aku menolak. Aku memilih tetap bekerja sebab aku ingin mandiri. Aku ingin suatu saat nanti kami memiliki rumah sendiri. Bapak setuju, kami diberi sepetak tanah di samping rumah mereka untuk tempat kami mendirikan rumah.

Sedikit demi sedikit aku mengumpulkan uang untuk membeli material. Semantara gaji Bang Bondan sebagian besar dikuasai oleh Mamak. Mamak bilang, perempuan kalau diberi uang banyak pasti akan boros. Hobinya menghabiskan uang suami. Aku tak pernah ambil pusing, sebab aku juga punya uang sendiri.

Enam bulan setelah menikah, Mamak selalu menanyakan kapan aku hamil. Pokoknya aku harus segera memberinya cucu. Aku juga tak tahu kapan aku bisa hamil. Seolah-olah memiliki anak itu bisa diatur waktunya sesuka hati.

“Mamak dulu, baru sebulan nikah langsung hamil. Kok kau ini udah enam bulan belum hamil-hamil?” ujarnya waktu itu.

“Hamil itu kuasa Allah, Mak. Mana bisa Nina nentukan.”

“Ah! Banyak aja alasanmu. Jangan sampe tahun depan kau belum kasi Mamak cucu, ya!”

“Loh, ya mana bisa gitu, Mak. Anak itu Tuhan yang atur. Emangnya kenapa kalau Nina gak hamil tahun ini?” tanyaku menantang.

“Ya Mamak suruh aja si Bondan kimpoi lagi!” jawabnya enteng.

“Terus Mamak bisa jamin binik barunya langsung hamil?” tanyaku. Mamak langsung terdiam mendengar pertanyaanku. Hanya bunyi nafasnya saja yang terdengar kesal.

“Bapakmu itu udah sakit-sakitan. Kalau dia gak sempat gendong cucu apa kelen gak nyesal?”

“Mak, kok Mamak bilang gitu? Apa Mamak kira Bapak udah mau mati?” tanya Bapak. Ia tahu kalau kata-kata Mamak membawa-bawa nama Bapak hanya sebagai kambing hitam saja.

“Pak, masih untung sekarang Bapak masih bisa hidup. Walaupun korban harta. Bapak tengok, lah! Apa lagi yang kita punya sekarang? Cuma rumah ini, kan? Kebon, sawah udah habis semua, Pak.”

“Ya memang itu lah gunanya harta, Mak. Lebih parah lagi kalau kita susah. Mau berobat gak ada yang bisa dijual. Udahlah, harta yang udah habis jangan dibahas lagi. Yang penting kan Bapak sekarang udah mulai sehat!” jawabku.

“Iya kau bisa ngomong gitu karna kau gak ikut ngeluarkan duit.” Mamak masih saja merepat.

“Gak perlu lah aku sebutkan berapa duit yang aku keluarkan, Mak. Nanti Mamak bilang lagi aku ini sombong lah apa lah macem lah.”

“Kayak gitu mantumu itu, Pak. Hih kalok ada si Bondan sekarang, udah Mamak suruh dia hajar si Nina ini.”

“Apa lah Mamak ini. Sama menantu jangan kayak gitu, Mak. Kita ini udah tua, bentar lagi pasti sakit-sakitan. Kalau Mamak jahat sama menantu, gak akan mau dia ngurus Mamak besok kalok Mamak sakit.” Bapak mertua masih saja membelaku.

“Halah! Pinter Bapak kalok disuruh belain si Nina. Mandul nya dia itu kurasa!” Ucapan Mamak barusan terasa amat menyakitkan. Sejak saat itu aku bertekad untuk pisah rumah dan hidup mandiri. Namun sayangnya, meski kini semua itu telah terwujud, namun tekanan batin masih aku alami. Ini semua demi Bapak. Bapak yang melarang kami untuk tinggal jauh dengan mereka. Apa mau dikata. Memang nasibku kini ada di ujung lidah mertua.



Tika1909
joyanwoto
redrices
redrices dan 13 lainnya memberi reputasi
14
3K
26
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
shine3wAvatar border
shine3w
#10
Bah, kau gantung pulak ceritanya, dasar mantu biadab... 🤣🤣🤣
kakekane.cell
Oakleyfans
rinandya
rinandya dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.