- Beranda
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah
...
TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25
bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
90.5K
Kutip
2.7K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#351
Quote:
Original Posted By benbela►
Belitan di kaki terasa merayap, menjepit pinggang dan mencengkram leher. Tubuh lemahku meluncur deras dalam gulungan air keruh yang telah berubah menjadi sungai darah.
"Uhuuk...uhuukk..."
Seketika aku terbatuk dan memuntahkan air sangat banyak. Seolah tak percaya, ternyata aku sudah di permukaan.
"Cepat kepinggir...!"
Kapten Anang ! Dia telah menyelamatkanku. Aku segera berbalik dan menyusulnya berenang ke pinggir sungai.
Di tengah sungai, ular naga itu masih terus mengamuk melilit mangsa. Air sungai telah berubah menjadi pekat darah.
Hempasan gelombang masih menghantam tubuhku, diiringi gemuruh pusaran air yang belum berhenti. Gelombang bertubi-tubi masih menerjang tanpa ampun, membuat tenagaku semakin habis terkuras.
Untung saja, arus sungai membantuku mencapai pinggir. Begitu mencapai tepi, kapten Anang langsung meraih tangan dan menyeret tubuhku menerobos lumpur dan belukar.
Seketika aku dan Kapten Anang terbirit tanpa arah ke dalam hutan. Kami berdua terus berlari menerjang rimbun belukar penuh duri. Di belakang, entah siapa yang jadi korban.
Entah sudah berapa lama kami berlari, yang jelas sudah semakin jauh ke dalam hutan. Sesekali aku menoleh ke belakang, badan sungai sudah tidak lagi terlihat.
Namun, semak belukar dan pepohonan terlihat bergoyang-goyang diiringi suara desisan yang sesekali terdengar samar. Kadang, suara desisan terdengar pendek-pendek di samping kanan. Benakku dihantam kenyataan bahwa mahluk itu masih mengejar.
Di depan, kapten Anang dengan lincah melompat ke sana kemari, menghindari batang-batang pohon tumbang yang telah membusuk.
Kelelahan, nafasku mulai tersengal dan pandanganku berkunang-kunang. Tanpa sengaja, kakiku tersangkut salah satu batang pohon yang melintang. Tubuhku terpelanting ke depan dan berguling beberapa kali, lalu terhenti saat membentur salah pohon besar yang tegak menjulang.
"Kaaapppptteeennnnnn..!!!"
Aku berteriak memanggil nama kapten hingga suaraku parau dan tenggorokanku sakit. Aku berteriak berkali-berkali namun tidak ada jawaban, hanya ada suara angin bertiup yang menggoyang dahan-dahan pohon.
Terbaring di dasar hutan, tenagaku sudah habis. Aku menengadah, menatap barisan pohon yang tegak berdiri. Bagaikan pasak-pasak kayu yang ditancapkan ke bumi, barisan pohon ini sangat rapat hingga sinar matahari pun terlihat samar di atas pucuknya.
Aku mencoba merayap, mencari tempat bersandar. Berpegang pada akar-akar merambat, aku berhasil mencapai sebuah pohon besar yang melintang dan tertutup dedaunan dan belukar.
Dengan nafas tersengal, aku menyandarkan badan di situ. Kaki kuselonjorkan dan punggung kehempas begitu saja.
Barulah terasa badanku remuk, sakit dan memar di sekujur tubuh. Lagi-lagi aku meringis menahan perih. Tubuhku terasa lemas saat kulihat potongan kayu menembus perut bagian pinggang. Kayu itu menancap cukup dalam, menembus kulit dan merobek daging. Darah merah pekat mengucur deras, bercampur tanah dan lumpur yang membalur tubuhku.
Tubuhku mulai menggigil, entah karena dingin atau karena kehabisan darah. Bagai disiram es, dingin menjalari tubuhku dari ujang kaki hingga kepala. Nafasku semakin sesak dan pandanganku semakin kabur. Tubuhku melemah dan tak bisa bergerak.
Tanpa terasa, air mataku mengalir. Bayang-bayang tangisan putri mungilku kembali datang. Senyum lembut istri dan nasehat cerewet ibu datang silih berganti.
Tidak, aku tidak boleh mati di sini. Aku harus bisa bertahan demi anak, istri dan ibu di rumah. Aku harus tetap hidup, demi 3 orang yang sudah tak sabar menanti kepulanganku di rumah.
Aku harus selamat apapun yang terjadi. Aku harus bisa lepas dari buruan mahluk itu. Mahluk yang telah menghabisi dan menyeret satu-persatu rekan kerjaku ke dalam sungai.
Entah dapat pikiran dari mana, aku nekat mencabut kayu yang menusuk perut hingga kedua kakiku menggelepar kesakitan.
"Aaaarrrrggggghhhhhhh....!!!"
Jeritku menggema dari dasar hutan, menelusup di antara dahan-dahan pohon dan menyebar ke segala penjuru belantara.
Burung dan monyet riuh demi melihat upayaku mencabut kayu itu.
Bukannya terlepas, aku justru merasakan sakit yang menjadi-jadi. Kayu itu masih menancap, merobek kulit hingga dagingnya terkoyak, bergelantungan penuh darah. Usahaku sia-sia.
Kedua telapak tanganku telah basah bersimbah darah. Kakiku gemetaran dan tubuhku kejang-kejang tidak karuan.
"Uhuuk...uhuuk...!"
Aku terbatuk memuntahkan darah kental bercampur lendir. Kepala terasa berat dan bumi terlihat berputar-putar. Tak sanggup menahan pusing, kesadaranku hilang begitu saja.
Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Yang jelas, saat membuka mata langit masih terang. Suara serangga, burung, monyet dan berbagai penghuni hutan masih bersahutan.
Ya Allah...batinku. Jujur aku sudah tidak sanggup dan ingin menyerah. Harapanku rasanya semakin tipis.
Air mataku lagi-lagi berurai. Ya, aku takut akan kematian. Takut akan dosa-dosa yang telah kuperbuat. Aku merasa bersalah pada istri dan juga Dayat.
Ya, aku telah mengkhianati mereka berdua. Aku telah mengkniati kesetian cinta istriku yang lugu. Aku juga telah mengkhianati kepercayaan Dayat, kawan setia yang selalu membantuku.
Juminah namanya, gadis berkulit putih yang dipersunting Dayat. Di depan Dayat, ia terlihat penurut dan lembut.
Bila di belakang, ia tak ubahnya bagai kancil. Kalau berjalan, wanita itu suka berlenggok dengan kerling mata nakal penuh rayuan.
Wanita itu memang terkenal suka menggoda sedari remaja. Cita-citanya jadi biduan dangdut terkenal. Suaranya memang tak kalah merdu dengan Elvy Sukaesih. Tapi lenggoknya tidak kalah mengerikan dengan mesin gergaji.
Aku yakin, malaikat pun akan tergoda dengan senyumnya yang merayu. Apalagi aku, lelaki rendahan yang tipis iman.
Aaaargghhhh !!! Aku menyesal telah bermain api. Aku malu pada diri sendiri. Aku malu atas ulahku yang hina sebagai suami. Aku malu atas perilaku yang khianat pada kawan.
Aku menangis sejadinya. Kini karma datang menghampiri, menuntut balas atas perbuatanku yang terlarang.
Rasanya aku memang pantas mati. Harusnya aku yang duluan mati, bukan Lai, bukan mas Sugang, bukan juga lainnya.
Tapi bagaimana dengan keluargaku bila aku mati. Aku mungkin layak mati, tapi mereka juga berhak punya kepala keluarga.
Tidak, aku tidak boleh pasrah sekarang !
Kukerahkan tenaga sekali lagi. Kuraih sepotong ranting di samping lalu kugigit kuat-kuat.
Bismillah, ucapku dalam hati.
Sekuat tenaga kucopot kayu yang menancap di dekat pinggang. Perlahan-lahan kayu itu bergerak, mengorek-ngorek daging yang berlumur darah.
Rasa sakitnya membuat pandanganku menjadi gelap namun masih bisa kutahan.
Kedua kakiku menggelepar menahan sakit hingga kayu akhirnya terlepas.
"Aaarrrrgggghhhhh...!!!"
Aku kembali menjerit hingga ranting yang di mulutku terlepas.
"Allahu Akbar...Allahu Akbar !"
Aku meneriakan takbir penuh syukur. Sakit di perut dekat pinggang telah berkurang, namun darah masih mengalir deras, membasahi baju dan celana.
Kulihat, dagingnya terkelupas dan meninggalkan bekas luka yang menganga. Sepertinya potongan-potongan kecil sisa kayu masih tertinggal di sana.
Tapi aku tidak peduli. Segera kutekan luka itu untuk menghentikan pendarahan. Tanpa antibiotik, luka itu terasa nyeri dan menusuk-nusuk.
Aku kembali bersandar untuk mengatur nafas. Pandanganku menerawang ke pohon-pohon besar yang menjulang.
Seketika aku merasa sangat kecil di tengah hutan yang sunyi ini. Tenagaku benar-benar telah terkuras. Rasanya aku ingin tidur walau hanya sesaat.
Baru saja memejamkan mata, batang pohon melintang tempatku bersandar tiba-tiba bergerak.
Sreekk....sreeek...
Terdengar suara gesekan belukar dan dedaunan. Semak belukar yang menutupi batang pohon ini bergoyang-goyang.
"Allahu Akbar !"
Aku mengucapkan takbir sambil berteriak. Darahku berdesir dan bulu kudukku merinding. Batang pohon tempatku bersandar tidak hanya bergerak, tapi menggeliat.
Seesshhh....sessshhhhh....
Desis kematian kembali terdengar, memacu jantungku berdetak semakin kencang.
Ternyata tempatku bersandar bukanlah batang pohon, tapi tubuh Tambun.
...bersambung...
Bab 18 : Tangis Penyesalan
Belitan di kaki terasa merayap, menjepit pinggang dan mencengkram leher. Tubuh lemahku meluncur deras dalam gulungan air keruh yang telah berubah menjadi sungai darah.
"Uhuuk...uhuukk..."
Seketika aku terbatuk dan memuntahkan air sangat banyak. Seolah tak percaya, ternyata aku sudah di permukaan.
"Cepat kepinggir...!"
Kapten Anang ! Dia telah menyelamatkanku. Aku segera berbalik dan menyusulnya berenang ke pinggir sungai.
Di tengah sungai, ular naga itu masih terus mengamuk melilit mangsa. Air sungai telah berubah menjadi pekat darah.
Hempasan gelombang masih menghantam tubuhku, diiringi gemuruh pusaran air yang belum berhenti. Gelombang bertubi-tubi masih menerjang tanpa ampun, membuat tenagaku semakin habis terkuras.
Untung saja, arus sungai membantuku mencapai pinggir. Begitu mencapai tepi, kapten Anang langsung meraih tangan dan menyeret tubuhku menerobos lumpur dan belukar.
Seketika aku dan Kapten Anang terbirit tanpa arah ke dalam hutan. Kami berdua terus berlari menerjang rimbun belukar penuh duri. Di belakang, entah siapa yang jadi korban.
*****
Entah sudah berapa lama kami berlari, yang jelas sudah semakin jauh ke dalam hutan. Sesekali aku menoleh ke belakang, badan sungai sudah tidak lagi terlihat.
Namun, semak belukar dan pepohonan terlihat bergoyang-goyang diiringi suara desisan yang sesekali terdengar samar. Kadang, suara desisan terdengar pendek-pendek di samping kanan. Benakku dihantam kenyataan bahwa mahluk itu masih mengejar.
Di depan, kapten Anang dengan lincah melompat ke sana kemari, menghindari batang-batang pohon tumbang yang telah membusuk.
Kelelahan, nafasku mulai tersengal dan pandanganku berkunang-kunang. Tanpa sengaja, kakiku tersangkut salah satu batang pohon yang melintang. Tubuhku terpelanting ke depan dan berguling beberapa kali, lalu terhenti saat membentur salah pohon besar yang tegak menjulang.
"Kaaapppptteeennnnnn..!!!"
Aku berteriak memanggil nama kapten hingga suaraku parau dan tenggorokanku sakit. Aku berteriak berkali-berkali namun tidak ada jawaban, hanya ada suara angin bertiup yang menggoyang dahan-dahan pohon.
Terbaring di dasar hutan, tenagaku sudah habis. Aku menengadah, menatap barisan pohon yang tegak berdiri. Bagaikan pasak-pasak kayu yang ditancapkan ke bumi, barisan pohon ini sangat rapat hingga sinar matahari pun terlihat samar di atas pucuknya.
Aku mencoba merayap, mencari tempat bersandar. Berpegang pada akar-akar merambat, aku berhasil mencapai sebuah pohon besar yang melintang dan tertutup dedaunan dan belukar.
Dengan nafas tersengal, aku menyandarkan badan di situ. Kaki kuselonjorkan dan punggung kehempas begitu saja.
Barulah terasa badanku remuk, sakit dan memar di sekujur tubuh. Lagi-lagi aku meringis menahan perih. Tubuhku terasa lemas saat kulihat potongan kayu menembus perut bagian pinggang. Kayu itu menancap cukup dalam, menembus kulit dan merobek daging. Darah merah pekat mengucur deras, bercampur tanah dan lumpur yang membalur tubuhku.
Tubuhku mulai menggigil, entah karena dingin atau karena kehabisan darah. Bagai disiram es, dingin menjalari tubuhku dari ujang kaki hingga kepala. Nafasku semakin sesak dan pandanganku semakin kabur. Tubuhku melemah dan tak bisa bergerak.
Tanpa terasa, air mataku mengalir. Bayang-bayang tangisan putri mungilku kembali datang. Senyum lembut istri dan nasehat cerewet ibu datang silih berganti.
Tidak, aku tidak boleh mati di sini. Aku harus bisa bertahan demi anak, istri dan ibu di rumah. Aku harus tetap hidup, demi 3 orang yang sudah tak sabar menanti kepulanganku di rumah.
Aku harus selamat apapun yang terjadi. Aku harus bisa lepas dari buruan mahluk itu. Mahluk yang telah menghabisi dan menyeret satu-persatu rekan kerjaku ke dalam sungai.
Entah dapat pikiran dari mana, aku nekat mencabut kayu yang menusuk perut hingga kedua kakiku menggelepar kesakitan.
"Aaaarrrrggggghhhhhhh....!!!"
Jeritku menggema dari dasar hutan, menelusup di antara dahan-dahan pohon dan menyebar ke segala penjuru belantara.
Burung dan monyet riuh demi melihat upayaku mencabut kayu itu.
Bukannya terlepas, aku justru merasakan sakit yang menjadi-jadi. Kayu itu masih menancap, merobek kulit hingga dagingnya terkoyak, bergelantungan penuh darah. Usahaku sia-sia.
Kedua telapak tanganku telah basah bersimbah darah. Kakiku gemetaran dan tubuhku kejang-kejang tidak karuan.
"Uhuuk...uhuuk...!"
Aku terbatuk memuntahkan darah kental bercampur lendir. Kepala terasa berat dan bumi terlihat berputar-putar. Tak sanggup menahan pusing, kesadaranku hilang begitu saja.
*****
Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Yang jelas, saat membuka mata langit masih terang. Suara serangga, burung, monyet dan berbagai penghuni hutan masih bersahutan.
Ya Allah...batinku. Jujur aku sudah tidak sanggup dan ingin menyerah. Harapanku rasanya semakin tipis.
Air mataku lagi-lagi berurai. Ya, aku takut akan kematian. Takut akan dosa-dosa yang telah kuperbuat. Aku merasa bersalah pada istri dan juga Dayat.
Ya, aku telah mengkhianati mereka berdua. Aku telah mengkniati kesetian cinta istriku yang lugu. Aku juga telah mengkhianati kepercayaan Dayat, kawan setia yang selalu membantuku.
Juminah namanya, gadis berkulit putih yang dipersunting Dayat. Di depan Dayat, ia terlihat penurut dan lembut.
Bila di belakang, ia tak ubahnya bagai kancil. Kalau berjalan, wanita itu suka berlenggok dengan kerling mata nakal penuh rayuan.
Wanita itu memang terkenal suka menggoda sedari remaja. Cita-citanya jadi biduan dangdut terkenal. Suaranya memang tak kalah merdu dengan Elvy Sukaesih. Tapi lenggoknya tidak kalah mengerikan dengan mesin gergaji.
Aku yakin, malaikat pun akan tergoda dengan senyumnya yang merayu. Apalagi aku, lelaki rendahan yang tipis iman.
Aaaargghhhh !!! Aku menyesal telah bermain api. Aku malu pada diri sendiri. Aku malu atas ulahku yang hina sebagai suami. Aku malu atas perilaku yang khianat pada kawan.
Aku menangis sejadinya. Kini karma datang menghampiri, menuntut balas atas perbuatanku yang terlarang.
Rasanya aku memang pantas mati. Harusnya aku yang duluan mati, bukan Lai, bukan mas Sugang, bukan juga lainnya.
Tapi bagaimana dengan keluargaku bila aku mati. Aku mungkin layak mati, tapi mereka juga berhak punya kepala keluarga.
Tidak, aku tidak boleh pasrah sekarang !
Kukerahkan tenaga sekali lagi. Kuraih sepotong ranting di samping lalu kugigit kuat-kuat.
Bismillah, ucapku dalam hati.
Sekuat tenaga kucopot kayu yang menancap di dekat pinggang. Perlahan-lahan kayu itu bergerak, mengorek-ngorek daging yang berlumur darah.
Rasa sakitnya membuat pandanganku menjadi gelap namun masih bisa kutahan.
Kedua kakiku menggelepar menahan sakit hingga kayu akhirnya terlepas.
"Aaarrrrgggghhhhh...!!!"
Aku kembali menjerit hingga ranting yang di mulutku terlepas.
"Allahu Akbar...Allahu Akbar !"
Aku meneriakan takbir penuh syukur. Sakit di perut dekat pinggang telah berkurang, namun darah masih mengalir deras, membasahi baju dan celana.
Kulihat, dagingnya terkelupas dan meninggalkan bekas luka yang menganga. Sepertinya potongan-potongan kecil sisa kayu masih tertinggal di sana.
Tapi aku tidak peduli. Segera kutekan luka itu untuk menghentikan pendarahan. Tanpa antibiotik, luka itu terasa nyeri dan menusuk-nusuk.
Aku kembali bersandar untuk mengatur nafas. Pandanganku menerawang ke pohon-pohon besar yang menjulang.
Seketika aku merasa sangat kecil di tengah hutan yang sunyi ini. Tenagaku benar-benar telah terkuras. Rasanya aku ingin tidur walau hanya sesaat.
Baru saja memejamkan mata, batang pohon melintang tempatku bersandar tiba-tiba bergerak.
Sreekk....sreeek...
Terdengar suara gesekan belukar dan dedaunan. Semak belukar yang menutupi batang pohon ini bergoyang-goyang.
"Allahu Akbar !"
Aku mengucapkan takbir sambil berteriak. Darahku berdesir dan bulu kudukku merinding. Batang pohon tempatku bersandar tidak hanya bergerak, tapi menggeliat.
Seesshhh....sessshhhhh....
Desis kematian kembali terdengar, memacu jantungku berdetak semakin kencang.
Ternyata tempatku bersandar bukanlah batang pohon, tapi tubuh Tambun.
...bersambung...
Sampai jumpa update berikutnya yak. Update agak selow karena kesibukan RL. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁
Diubah oleh benbela 11-11-2021 13:28
bruno95 dan 61 lainnya memberi reputasi
62
Kutip
Balas
Tutup