dimasaria39Avatar border
TS
dimasaria39
Jurnal Terlarang Aryo

Gambar dicomot dari google.com dan diedit sedemikian rupa.


Quote:


Quote:


Quote:


Selamat pagi, siang, sore, ataupun malam untuk para agan dan aganwati sekalian serta para mimin ataupun momod yang bertugas.

Cerita ini berisi suatu informasi yang bisa dikatakan sangat teramat jarang diketahui dan mungkin seharusnya 'Terlarang' untuk disebar kepada khalayak umum.

Apakah ini benar-benar nyata? Ataukah hanya sebuah karangan belaka? Semua saya kembalikan kepada agan dan sista sekalian. Meskipun agan atau sista berkata ini hanyalah karangan belaka, tetaplah ingat bahwa ‘mereka’ yang tak terlihat dengan mata manusia normal itu ada.

Harap mematuhi peraturan yang berlaku di forum KasKus, Heart to Heart, Stories from the Heart, dan tentunya Indonesia tercinta.

Ini merupakan kisah nyata dari pengalaman pribadi dan telah dimodifikasi sedemikian rupa. emoticon-Ngacir

Secara garis besar, kejadian yang tertulis setidaknya memiliki kesesuaian 70-90% dengan pengalaman penulis.

Cerita, nama tokoh, bisnis, karakter, kejadian ataupun insiden merupakan hasil dari pengalaman nyata atau realita penulis, dan informasi yang dimiliki oleh sang penulis. Persamaan cerita, karakter ataupun kejadian adalah murni ketidaksengajaan.

Intinya, ini adalah karya semi-fiksi. Hanya untuk hiburan semata. Jika ada yang tersinggung dengan cerita ini, saya mohon maaf.

Jika ada kesalahan penulisan atau hal-hal lain yang tidak sesuai dengan fakta atau kenyataan di lapangan, saya mohon maaf.

POV Mira atau karakter lain selain Dimas Aryo (Saya sendiri) merupakan 99% Fiksi, kecuali ada keterangan. Jangan pernah dipercaya. Kejadian sesungguhnya seringkali belum diketahui hingga saat ini.

Silahkan dinikmati sembari meminum segelas kopi atau apapun itu.

Mohon kebijaksanaannya untuk dapat membedakan mana bagian yang 99% fiksi, semi-fiksi, ataupun realita.

Update jika sempat untuk menulis lanjutannya.

Bukan, ini bukan horor.
Tetapi supranatural dan slice of life.

-------
Quote:

-------

Spoiler for Index:


New Chapter(19-10-2022)
Chapter XXXVII

Spoiler for Mira pas lagi diam. Mirip gini lah.:


Spoiler for Dave kalau tanpa baju. Mirip gini lah.:
Diubah oleh dimasaria39 19-10-2022 13:53
wasesa882
terbitcomyt
arieaduh
arieaduh dan 76 lainnya memberi reputasi
73
71.6K
3.3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Tampilkan semua post
dimasaria39Avatar border
TS
dimasaria39
#179
Chapter XXIV

Suatu hari, dikala malam, aku sedang browsing-browsing ria menggunakan komputer untuk sekedar mengisi waktu setelah belajar. Sedangkan Mira saat ini sedang tiduran di atas kasurku sembari membaca sebuah buku bersampul biru gelap tanpa judul. Pernah beberapa kali aku mencoba untuk mengintip apa yang dia baca. Tapi sayang, sebelum aku berhasil melihat isi dari buku miliknya, aku sudah mendapat bogem mentah darinya.

Saat sedang berselancar ria, aku tanpa sengaja menemukan sebuah tulisan yang intinya menyatakan bahwa santet, guna-guna atau sejenisnya tidak dapat melewati laut. Jika target berada di seberang laut, maka tidak akan pernah kena. Sebagai orang yang haus akan pengetahuan, tentunya aku ingin mengkonfirmasi hal ini kepada ahlinya.

“Mir.”

“Apa?” Mira menjawabku tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia baca.

“Ini bener enggak?”

“Apanya?”

“Katanya, santet, guna-guna atau hal sejenisnya tidak dapat melewati laut.”

“Hoax,” ujar Mira dengan malas.

“Lah? Kok hoax? Ini banyak yang bilang bener loh,” balasku.

“Mainnya kurang jauh mereka.”

Aku masih sedikit bingung dengan jawaban Mira yang kurasa kurang jelas. Tapi setidaknya aku sudah mendapat sebuah pertanyaan.

“Kalau daun kelor, Mir? Katanya bisa buat nangkal-”

“Hoax. Kecuali kalau buat bahan ritual. Sama ngusir yang lemah-lemah.”

“Mir, aku tanya baik-baik loh. Jawabnya tolong baik-baik juga dong,” kataku dengan kesal.

Mira menutup bukunya lalu bangun dari posisi tidurnya dan berkata, “Gini loh. Pertanyaan Aria itu ga mutu. Terus, aku masih baca buku. Pahami dikit dong.”

Ahh ... cewek selalu benar. Bisa ribut ini nanti.

“Iya, iya. Maaf. Aku yang salah,” ujarku.

“Huh.” Mira mendengus mendengar permintaan maafku.

***

Seminggu kemudian ... di malam hari ....

Disaat aku sedang fokus bermain gim di komputerku, pintu kamarku ada yang mengetok beberapa kali. Saat aku buka, ternyata yang mengetok adalah sepupuku.

“Mas Dim, dicari bapak di warung. Katanya mau minta tolong.”

“Yoi, bentar.”

Bapak yang dia maksud adalah salah satu pamanku yang bernama Saptono(samaran). Dia adalah adik dari ibuku yang juga dapat melihat hal gaib meskipun tidak sepertiku atau adiknya Danu. Dia mendapatkan kemampuannya karena belajar dari mertuanya dan sering didatangi orang ketika malam hari di warungnya untuk meminta tolong dengan hal-hal yang berhubungan dengan gaib, seperti ketempelan, dan lain sebagainya.

Sedikit catatan, pamanku yang satu ini juga pernah bertemu dengan Mira dan reaksinya hampir sama dengan pamanku Danu kala itu. Rumahku, rumah Om Saptono, dan Om Danu juga terbilang dekat karena masih satu wilayah.

Kami bertiga turun dari lantai dua dan segera bergegas menuju warung. Sesampainya di sana, aku melihat pamanku sedang duduk dan berbincang dengan seseorang yang sepertinya merupakan pasien yang harus aku cek hari ini. Aku dan Mira mendekat ke arahnya, sedangkan sepupuku kembali menjaga warung untuk melayani pembeli yang lainnya.

“Dim! Om mau minta tolong. Ini tolong dicek,” katanya sembari menunjuk orang yang dihadapannya.

Aku menarik sebuah kursi dan duduk di hadapannya, sedangkan Mira berdiri di sebelahku.

“Pfft ... Lihat tuh! Bwahahahaha!!!” ucap Mira kepadaku sembari tertawa.

‘Bisa kulihat kok. Pfft ...,’jawabku sembari menahan tawa.

Di depanku ada seorang laki-laki yang kutaksir usianya sekitar dua puluh lima tahun dan seorang perempuan yang berusia sama. Sepertinya, mereka pasangan suami istri.

“Apa benar dia bisa membantu, Pak? Dia masih kecil,” ujar pria itu.

Aku terpelatuk mendengar ucapannya. Dia meremehkanku. Jika dia menggunakan akalnya, tak mungkin pamanku memanggilku jika pamanku bisa menyelesaikan kasus ini.

‘Sabar Dim, sabar ... harus sabar menghadapi pasien ...,’ batinku menenangkan diri.

“Percaya saja dulu,” jawab pamanku.

“Jadi, yang punya masalah siapa? namanya siapa?” tanyaku.

“Aku yang punya masalah, Mas. Namaku Septian(samaran). Kalau ini istriku, Mas. Namanya Diana(samaran).”

“Masalahnya apa ya, Mas? Bisa diceritakan?” tanyaku lagi. Sebenarnya, tanpa diceritakan pun aku sudah tahu masalah apa yang dia alami, karena memang terlihat sangat jelas.

“Tapi masalahnya masalah dewasa.” Mas Septian ragu-ragu untuk menceritakan.

“Ceritakan saja, Mas,” suruh pamanku.

“... Ceritanya itu seperti ini, Mas. Setiap kali kami berdua mau ... tidur berdua ... itu ....” Ceritanya dengan ragu-ragu.

“Burung kesayangannya sakit?” tanyaku dengan suara yang kupelankan.

“Kok tau?”

“Ya begitu deh. Ceritakan aja, Mas. Enggak usah ragu.”

Mas Septian merenung untuk beberapa saat lalu mengulang ceritanya, ”Setiap kali kami berdua mau gituan, seperti kata Masnya, burungku sakit. Rasanya seperti disilet-silet sama ditusuk-tusuk jarum. Sakit lah pokoknya. Sering kencing darah juga, Mas.”

“Sudah pernah ke rumah sakit, Mas?”

“Sudah berkali-kali, Mas. Periksa di beberapa dokter sama rumah sakit, katanya enggak ada masalah. Udah berobat juga ke alternatif lain. Masih belum sembuh juga, Mas. Terus dengar disini ada yang katanya bisa, makanya kami datang kesini.”

Aku manggut-manggut mendengar ceritanya. Aku melanjutkan pertanyaanku, “Masnya asli mana ya?”

“Asli Jawa Tengah. Dari ***.”

“Kalau mbaknya, orang Kalimantan?” tanyaku.

Mereka berdua kaget, lalu Mbak Diana bertanya, “Kok tau, Mas?”

“Ya ... Cuma nebak-nebak aja. Dari suku *** kah, Mbak?”

“Iya, Mas. Saya asli suku ***.”

“Dim, yang kamu lihat apa emang?” tanya Om Saptono.

“Bentar, Om. Masih tanya-tanya,” jawabku.

“Awal menikah, sudah gini enggak, Mas? Sudah berapa lama juga seperti ini, Mas?” tanyaku.

“Enggak, Mas. Mulai tiga bulan setelah menikah, Mas. Sudah satu tahun lebih sih, Mas.”

Setiap kali aku bertanya dan mendapatkan informasi baru, otakku langsung memprosesnya dan mendeduksi. Aku sudah dapat menarik sebuah kesimpulan dari informasi yang aku dapatkan.

“Masnya pernah tinggal di Kalimantan?”

“Iya, dulu. Sesudah satu bulan menikah, kami pindah ke Jawa, Mas.”

“Berarti mulai sakit itu pas udah di Jawa ya? Mertua juga enggak setuju ya, Mas?”

“Iya, Mas. Kok Masnya tau?”

“Cuma nebak-nebak aja sih, hehehe ....” Ternyata sesuai dengan dugaanku. Aku sepertinya memang sakti deh.

‘Mir, yang ngirim siapa?’ tanyaku ke Mira.

“Mertuanya sih ini.”

“Jadi gini, Mas. Burungnya Mas itu sekarang diemut-emut sama kuyang. Tau kuyang enggak, Mas?” Sedari awal, aku memang telah melihat selangkangan Mas Septian dihinggapi oleh sesosok yang sangat mirip dengan kuyang. Hanya kepala dengan panjang rambut sebahu dan jeroan. Seandainya bisa diternak itu organnya, auto kaya pastinya aku. Mwehehehe.

“Tau. Tapi bukannya kuyang itu ilmu hitam ya, Mas?”

“Ya ....” Aku melirik ke Mira untuk bantuan penjelasan.

“Kuyang itu ada yang kemampuan ada yang entitas. Yang ini entitas.”

“Kuyang itu ada dua, Mas. Yang satu itu ilmu hitam, sedangkan yang satu itu makhluk gaib. Kalau yang hinggap disitu, itu yang gaib, Mas.”

“... Yang ngirim siapa ya, Mas?”

“Kira-kira siapa ya?” tanyaku balik.

Mas Septian sedikit menunduk dan merenung sejenak. “... Masnya bisa ngobatin enggak?”

Aku melirik ke Mira untuk mendapat jawaban.

“Masalah gampang ini mah,” jawabnya.

Kalau begitu, “Huhuhu ... Tak usah risau! Tak usah cemas! Di depan Masnya ada seorang pemuda sakti! Saya bisa menyelesaikan masalah Masnya!” seruku alay. Sepertinya aku benar-benar ketularan sifatnya Mira.

Aku pun mulai beraksi dengan mengarahkan telapak tanganku ke arah burung dalam sangkar milik Mas Septian dan berkomat-kamit layaknya seorang dukun entertainer yang pernah kulihat di acara TV ataupun film. Aslinya, Mira yang kerja lagi. Dia menarik kuyang tersebut dan menendangnya entah kemana.

“Sudah kusepak balik ke Kalimantan tuh. Udah rebes.”

“Sudah selesai, Mas. Kuyangnya sudah saya usir. Besok sudah bisa dibawa ke medan perang,” ucapku sambil mengacungkan jempol.

“Beneran, Mas?” tanya Mbak Diana dengan semangat 45.

“Bener, Mbak. Tapi, Mas Septiannya tolong dikasihani ya, Mbak. Pfft,” ujarku sambil menahan tawa.

Kami berempat bercengkerama untuk beberapa saat sebelum aku memutuskan untuk pulang karena kantuk yang mulai menyerang. Mereka berdua juga memutuskan untuk pulang karena sudah larut malam. Sepertinya mereka sudah tidak sabar untuk pergi berperang. Sebelum pergi, mereka berdua memberikan beberapa lembar uang kepadaku dan sebungkus kopi instan besar. Tentunya kuterima tanpa penolakan. Kasus selesai.

Dua bulan berselang dan mereka kembali lagi ketempat pamanku, mereka ingin bertemu denganku. Setelah kami bertemu, Mas Septian berterimakasih sekali lagi kepadaku. Ternyata, setelah berobat disini, mereka langsung bertempur dan sekarang istrinya sedang hamil. Dia berkata semuanya berkat diriku. Dia memberikan beberapa lembar uang kepadaku sebagai bentuk terimakasih. Tentu kuterima dengan senang hati.

Balik lagi ke malam setelah pengobatan. Saat ini aku sedang berada dalam kamarku bersama Mira.

“Kan? Hoax.”

“Iya. Tapi kenapa kok banyak yang percaya kalau enggak bisa menyeberang laut, ya?”

“Soalnya main mereka kurang jauh. Mereka masih berkutat sama entitas-entitas lemah. Apalagi banyak yang kemampuannya diisi oleh gurunya. Bukan belajar dari gurunya dan berjuang untuk mendapatkan kemampuannya. Dan mereka juga suka nyombongin kemampuan karbitannya itu. Jangan ditiru loh.”

“Diatas langit masih ada langit, ya?”

“Betul. Diatas langit masih ada Hotman Paris,” sahut Mira.

“Terserah dah.”

“Betewe, duitnya mana?” Palak Mira padaku.

Sudah uangnya dibagi dengan pamanku, masih kena palak juga sama Mira. Gini dah kalau enggak bisa apa-apa. emoticon-Nohope
a.wicaksono
joyanwoto
oktavp
oktavp dan 28 lainnya memberi reputasi
29
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.