Wajahnya tertunduk lesu, sesekali dia melihat ke samping keluar kaca jendela mobil. Pantulan cahaya matahari dari jendela ruko-ruko yang di lewati mobil membuat kilatan-kilatan badai kesedihan dimatanya yang berkaca-kaca. Aku duduk di bangku paling belakang, hanya mampu menatap punggungnya yang ringkih. Ingin sekali memeluknya dan mebawanya lari dari kondisi yang menyiksanya dan menyiksaku saat ini. Tapi tangan dan tubuhku terlalu mungil untuk mampu melakukannya.

Di bangku kemudi, Ayah terlihat cuek, dia menaikan volume radio yang walaupun sudah maksimal tetap tidak mampu meredam kencangnya suara Ibu Suri (Ibu tiriku), istri pertama Ayah yang sejak mobil melaju, tidak berhenti memaki Ibu dengan bengisnya dari bangku samping kemudi.

Ayah menghentikan laju mobilnya dan turun dari mobil di susul Ibu Suri. Tidak lama kemudian Ibu juga turun. Aku mengekorinya, tanganku yang mungil memegang erat ujung bawah baju Ibu. Rasa takut dan sedih bercampur jadi satu membuat aku semakin kuat berpegangan pada bajunya.

Tanpa melihat sekitar yang ramai, Ibu Suri kembali beraksi memaki Ibu. Kali ini dengan kata-kata yang lebih kasar, nama-nama binatang bertebaran dari mulutnya yang ranum di balut lipstik merah pekat. Anehnya Ibu hanya tertunduk diam, membiarkan dirinya dimaki dicaci dan dihina di tempat ramai ini. Bahkan Ibu mampu untuk tidak menangis, matanya yang tadi di mobil sempat berkca-kaca, kini terlihat kering dan tegar.

Banyak orang asing menatap heran, diantaranya ada yang tidak perduli hanya melihat sekilas lalu pergi, ada pula yang terhibur, diam dan fokus menonton kami dengan seringai puas karena dapat tontonan gratis.

Malang nian Ibu, tubuhnya kurus di balut baju lusuh kebesaran. Berbeda sekali dengan Ibu Suri yang seperti keluarga bangsawan. Pakaiannya mewah, riasaannya menawan dan cantik bahkan tangan dan jemarinya penuh dengan emas berkilauan. Tidak akan ada yang mengira bahwa mereka adalah dua wanita yang di madu, karena lebih terlihat seperti seorang majikan dan pembantu.

Aku menatap tajam Ayah, aku benci laki-laki itu. Dia diam saja seolah tidak terganggu atau setidaknya merasa kasihan kepadaku dan ibu. Dia berlalu pergi masuk ke sebuah restoran Khas Masakan Padang dan membiarkan live drama berlangsung yang kini penontonnya lebih ramai dari hiburan topeng monyet.



“Maneh tong pipilueun asup, teu sudi aing kudu dahar ngariung jeung maneh!”1 Ibu Suri menghardik Ibu sebelum akhirnya dia berjalan cepat menemui Ayah yang terlihat sudah duduk nyaman di dalam restoran.

Setelah Ibu Suri pergi, Ibu menatapku dan tersenyum tegar. “Cahaya,aya cilok enak tuh di ditu, kamu pasti suka.”2 Aku mengangguk setuju.

Ibu menuntunku menuju deretan aneka penjual kaki lima yang mangkal di emperan toko-toko. Orang-orang yang menonton kami terlihat kecewa dan dengan sendirinya mereka bubar. Si abang tukang cilok terlihat kikuk melihatku dan Ibu semakin mendekat ke arahnya, dia termasuk salah satu orang yang fokus menonton kami tadi. “Bu, Cahaya alim cilok.”3

“Cilok wae nya Cahaya, Ibu gak mau makan berat seperti Ayah kamu dan Ibu Suri,”4 ibuku terlihat panik sekaligus menahan kesal, kali ini terlihat matanya mulai berkaca-kaca.

“Cahaya oge alim emam sama Ayah sama Ibu Suri, tapi Cahaya alim cilok, mau tahu itu aja,”5 aku menunjuk tukang tahu yang mangkal di barisan paling ujung.

Cepat-cepat ibuku mengusap matanya dengan bajunya yang berlengan panjang kemudian mengangguk dan menuntunku menuju tukang tahu.

Tidak apa-apa ya bu, kita berjalan sedikit jauh. Dari pada harus membeli dagangan tukang cilok yang tadi tertawa puas melihat ibu di maki-maki. Batinku.



1 Kamu jangan berani-beraninya masuk, gak sudi aku makan bareng sama kamu
2 Cahaya ada cilok enak tuh di situ
3 Bu, Cahaya gak amu cilok
4 Cilok aja ya
5 Cahaya juga gak mau makan sama Ayah sama Ibu Suri, tapi Cahaya gak mau cilok


Bersambung...