Kaskus

Story

nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Denting Waktu dalam Ruang Sepi
Denting Waktu dalam Ruang Sepi

Untuk kamu yang di sana, apa kabar? Apa kau masih mengingatku? Apakah kau masih ingat kapan terakhir kita bertemu? Aku ... ya, aku hanya rindu.

Kau tahu, aku tak pernah menyalahkan hujan untuk setiap rintik yang menghapus jejakmu. Aku pun tak pernah menyalahkan hembus angin yang menghilangkan aroma hadirmu. Dan, aku tak pernah menyalahkan alunan waktu yang secara perlahan merenggutmu.

Tak banyak waktu untukku menatapmu kala itu. Yang aku sesalkan, kenapa dulu kau tak pernah berpaling ke belakang, melihatku, meski hanya sekali? Sungguh, kepergianmu menguliti asaku yang tersudut di relung hati.

***

“Mel, aku mau bicara sebentar,” ucapnya tiba-tiba sembari menghampiriku. Kami baru saja selesai menghadiri acara kelas, buka puasa bersama di halaman kampus sebelum libur panjang menjelang hari raya Idul Fitri sekaligus libur semester dua menuju semester tiga.

Kami berada di depan teras masjid kampus, baru saja selesai melaksanakan shalat maghrib bersama. Aku yang sedang memakai sepatu, seketika menoleh. Alif tiba-tiba duduk di sampingku dengan jarak beberapa senti yang sengaja dia pertimbangkan, karena dia memang paham betul tentang aturan agama. “Eh, Alif. Kenapa?” Tanyaku seolah tak tahu apa yang akan diucapkannya. Sejujurnya, aku sudah menebak arah pembicaraanya. Dan aku yakin, tebakanku tak akan melenceng.

“Aku mau pamit,” tukasnya tanpa diselimuti raut kesedihan. Betul saja, tebakanku memang benar. Aku memang sudah tahu semuanya. Lagipula, siapa yang tidak tahu, satu kelas bahkan sudah mengetahuinya. Apalagi aku, yang selama ini diam-diam mengaguminya.

Aku terdiam sejenak, menoleh ke arahnya. Meski tanpa senyuman, air mukanya tetap menyenangkan. Kuperhatikan kembali, dia memakai kemeja biru gelap berlengan pendek dengan celana panjang berwarna cream. Sekali lagi kuperhatikan, rambut di sekitar dahinya masih tampak setengah basah, sisa dari air wudhu. Aku tersenyum, bergegas mengalihkan kembali pandanganku.

“Mel?” panggilnya sedikit bingung. Sepertinya dia menunggu jawaban dariku, bukan hanya sekadar tatapan menyelidik dan segores senyum. 

“Ah ... maaf, Lif. Kapan berangkatnya?” Tanyaku berpura-pura tidak tahu.

“Besok, Mel.”

“Besok? Sungguh?” Aku tak bisa menyembunyikan raut muka terkejut. Kali ini memang bukan sekadar pura-pura, aku sungguh tidak tahu. Selama ini aku mengira dia akan berangkat minggu depan.

Dia hanya mengangguk tanda mengiyakan pertanyaanku.

“Loh, bukannya masih satu minggu lagi?” Tanyaku penasaran.

“Loh, kamu tahu dari mana?” Tak kalah bingung, dia menimpali pertanyaanku.

Aku hanya tersenyum dengan pandangan mengeliling ke segala arah, berusaha  mencari alasan yang sedikit masuk akal. Sejujurnya, selama ini aku selalu mencari tahu apapun tentang dia, termasuk jadwal keberangkatannya ke Malaysia, kampus barunya. Diam-diam aku mengirimi pesan kepada adiknya lewat direct message Instagram, hanya untuk menanyakan kapan kakaknya akan berangkat. “Emm ... aku tak sengaja menguping dari perbincangan anak kelas,” jawabku asal.

Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil bergumam pelan, “Perasaan aku gak ngasih tahu ke siapapun.”

Buru-buru kualihkan topik, “Lupakan saja, lanjutkan saja pembicaraanmu.”

Dia terdiam sejenak, seolah masih mengira-ngira ucapakanku sebelumnya. “Ah, benar. Awalnya memang aku akan berangkat minggu depan. Namun, tiba-tiba saja jadwal berubah, lebih cepat dari perkiraan. Jadi aku akan berangkat besok.” Pungkasnya ringan.

Aku menghembuskan napas perlahan dan menatapnya lirih, “Setelah ini, apa kita masih berteman?”

“Tentu saja, Melati! Kau tak usah meragukan pertemanan kita.”

Sekali lagi aku menghembuskan napas berat dan berusaha menyunggingkan senyum, “Alif, apakah kau pernah mendengar fakta di balik persahabatan laki-laki dan perempuan?”

Dia terlihat merenung sejenak kemudian menggelengkan kepala tanda tidak tahu.
Aku hanya tersenyum dan berusaha kembali menghadapi kenyataan, “Lif, jangan lupakan aku, ya. Kau janji?”

Dia balas tersenyum, “InsyaAllah.

“Kau baik-baik di sana ya, Alif. Do your best. I’ll wait for you.”

Dia menganggukkan kepala, “Kau juga, Mel. Kau harus selalu baik-baik saja, jangan membuatku mengkhawatirkanmu. Setelah ini, jarak akan terbentang lebar di antara kita.”

“Kau ... peduli kepadaku?”

“Ya, tentu saja.” Jawabnya yakin.

Dan itulah pertemuan terakhir kami. Akankah takdir memberi jalan untuk kami saling tertaut kembali?

Aku dan Alif berteman baik sejak pertama menjadi mahasiswa baru. Di kampus ini, salah satu kampus negeri di Bandung. Kami mengambil jurusan Sastra Inggris. Di akhir semester dua, dia memutuskan untuk pindah kampus ke Malaysia. Selain demi masa depan yang lebih baik, alasan lainnya adalah keluarganya yang pindah ke negara tersebut. Mengingat semua anggota keluarganya pindah ke Malaysia, harapan untuk bertemu kembali dengan Alif semakin kecil dan hampir pupus. Ah, ya, tentang ucapan Alif yang menyatakan bahwa dia tak akan melupakanku, semuanya hanya kebohongan belaka. Aku, dilupakan.

*Bersambung*




Note: Cerita ini hanya fiktif belaka.

Quote:
Diubah oleh nanitriani 14-11-2021 00:11
User telah dihapus
User telah dihapus
dan.13lAvatar border
dan.13l dan 37 lainnya memberi reputasi
36
11K
211
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
#36
Denting Waktu dalam Ruang Sepi [Chapter 10]
kaskus-image
Aku tersenyum dalam sisa tangisku, “Aku ingin menikah dengamu.”

Keheningan seolah mencekik pita suara kami berdua. Dia tak langsung menjawab pernyataanku. Atau mungkin, dia butuh waktu untuk mencerna satu kalimat yang sederhana itu. Dia menatapku dengan tatapan menerawang untuk beberapa saat. Seolah tersadarkan, seketika dia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Bukan seperti ini, Mel, bukan.”

“Apa maksudmu?” Tanyaku bingung.

“Kau hanya kasihan kepadaku, benar?”

“Benar.”

Seolah tenaganya terkumpul seketika, dia mengepalkan tangannya dan menatapku tajam, “Sudah kuduga,” dia tersenyum kecut, “Aku merasa menyedihkan.”

“Benar. Kau sangat menyedihkan.”

Dia kembali menarik napas dengan perlahan, “Apakah kau pantas mengatakan itu?”

Aku tersenyum, “Kau yang berbicara seperti itu lebih dulu.”

“Apa maksud semua ini, Mel?” Gumamnya pelan.

“Apa kau tak cukup mengerti?”

“Tidak. Kau tidak mencintaiku,” tukasnya lirih.

“Apakah itu penting?” Tanyaku dengan suara yang meninggi.

“Menurutmu? Apakah kau mau menikah tanpa cinta? Seperti yang kau katakan, kau hanya iba kepadaku.”

Aku menghela napas, “Karena aku menyayangimu, Rai. Aku sangat menyayangimu.”

Dia hanya menatapku tanpa sepatah kata pun.

“Aku kasihan kepadamu karena aku peduli, karena aku sangat menyayangimu, Rai. Sangat menyayangimu. Sungguh. Jika aku tak menyayangimu, aku tak akan sepeduli, sekasihan, sekhawatir ini kepadamu, Rai.”

“Mel ... Kau ....”

“Bisakah kita lewatkan rasa cinta itu, Rai? Tak penting lagi rasa cinta dan mengagumi, aku sudah menyayangimu,” jelasku dengan isak tangis yang masih tersisa.

Dia kembali terbatuk dengan napas yang memburu. Lebih buruk dari sebelumnya.
Kuusap kembali kepalanya yang tersandar di bantal putih, “Kau mau minum lagi?”

Dia menggelengkan kepala, “Aku hanya ingin istirahat,” ucapnya. Kemudian dia memejamkan mata.

Aku berbisik di telinganya dengan lembut, “Setelah menikah, aku berjanji akan mencintaimu dengan benar.”

Dia kembali membuka mata dan menatapku tajam.

Aku berusaha menggodanya sambil mengusap pipinya pelan, “Kau akan terlihat sangat tampan saat kau sudah menjadi dokter nanti. Bagaimana mungkin aku tak mencintaimu,” aku tersenyum jahil, “Lagi pula, aku sangat mudah mencinta. Tenang saja,” ucapku masih setengah berbisik.

Seolah hati bekunya berhasil mencair, senyum indahnya berhasil terpancar, “Aku masih bisa menjadi dokter?”

Aku memajukan bibirku berpura-pura kesal, “Kau yang bilang, kankermu masih stadium satu. Kau masih bisa sembuh. Sangat bisa.”

“Benar. Aku sedikit beruntung mengetahuinya saat masih stadium awal. Katanya, aku tak butuh kemoterapi. Itu sedikit berlebihan untuk stadium awal. Aku hanya butuh operasi.”

Meski mataku masih sembab, rasa bahagia menyeruak menyembuhkan luka di hati yang sempat tersayat. Aku tak bisa menahan senyum yang mengembang di wajahku, “Kalau begitu, kita akan menikah setelah kau operasi,” ucapku yakin.

“Kau pikir semudah itu? Bagaimana jika operasinya gagal?”

“Akan berhasil, Rai. Kau punya Tuhan, kau bisa berdoa.”

Dia mengangguk, “Betul, akan berhasil,” dia tersenyum. “Hanya butuh beberapa hari lagi untuk memulihkan kondisiku. Saat kondisiku sudah cukup baik, aku bisa menjalani operasi itu.”

Aku menggenggam tangannya, “Kau pasti sembuh.”

Dia tersenyum, “Kau yakin ingin menikah denganku?” Dia balas menggenggam tanganku, “Kau tahu, itu akan menjadi penyemangatku untuk sembuh.”

Aku membalas senyumnya, “Aku serius dan tak main-main dengan ucapanku,” Aku menatapnya sekali lagi, “Aku harus pulang. Kau istirahatlah. Aku akan ke sini lagi besok.”

Dia mengangguk pelan dan kembali memejamkan matanya.

Denting waktu masih terdengar di tengah ruangan yang kini terasa sedikit menghangat. Aku tak bermaskud mengkhianati cintaku atau mempermainkan doaku. Namun, mulai dari sekarang, aku akan melayangkan doa yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini, yang terpenting dari segalanya, aku meminta kesembuhan Raihan. Tentang menikah dengannya, aku hanya bisa pasrahkan kepada Tuhan. Jika dia memang ditakdirkan menjadi pasangan hidupku, tak ada yang bisa kulakukan selain bersyukur.
*Bersambung*



Sumber Gambar Cover
Diubah oleh nanitriani 03-11-2021 22:25
Arsana277
User telah dihapus
User telah dihapus dan Arsana277 memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.