Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Denting Waktu dalam Ruang Sepi
Denting Waktu dalam Ruang Sepi

Untuk kamu yang di sana, apa kabar? Apa kau masih mengingatku? Apakah kau masih ingat kapan terakhir kita bertemu? Aku ... ya, aku hanya rindu.

Kau tahu, aku tak pernah menyalahkan hujan untuk setiap rintik yang menghapus jejakmu. Aku pun tak pernah menyalahkan hembus angin yang menghilangkan aroma hadirmu. Dan, aku tak pernah menyalahkan alunan waktu yang secara perlahan merenggutmu.

Tak banyak waktu untukku menatapmu kala itu. Yang aku sesalkan, kenapa dulu kau tak pernah berpaling ke belakang, melihatku, meski hanya sekali? Sungguh, kepergianmu menguliti asaku yang tersudut di relung hati.

***

“Mel, aku mau bicara sebentar,” ucapnya tiba-tiba sembari menghampiriku. Kami baru saja selesai menghadiri acara kelas, buka puasa bersama di halaman kampus sebelum libur panjang menjelang hari raya Idul Fitri sekaligus libur semester dua menuju semester tiga.

Kami berada di depan teras masjid kampus, baru saja selesai melaksanakan shalat maghrib bersama. Aku yang sedang memakai sepatu, seketika menoleh. Alif tiba-tiba duduk di sampingku dengan jarak beberapa senti yang sengaja dia pertimbangkan, karena dia memang paham betul tentang aturan agama. “Eh, Alif. Kenapa?” Tanyaku seolah tak tahu apa yang akan diucapkannya. Sejujurnya, aku sudah menebak arah pembicaraanya. Dan aku yakin, tebakanku tak akan melenceng.

“Aku mau pamit,” tukasnya tanpa diselimuti raut kesedihan. Betul saja, tebakanku memang benar. Aku memang sudah tahu semuanya. Lagipula, siapa yang tidak tahu, satu kelas bahkan sudah mengetahuinya. Apalagi aku, yang selama ini diam-diam mengaguminya.

Aku terdiam sejenak, menoleh ke arahnya. Meski tanpa senyuman, air mukanya tetap menyenangkan. Kuperhatikan kembali, dia memakai kemeja biru gelap berlengan pendek dengan celana panjang berwarna cream. Sekali lagi kuperhatikan, rambut di sekitar dahinya masih tampak setengah basah, sisa dari air wudhu. Aku tersenyum, bergegas mengalihkan kembali pandanganku.

“Mel?” panggilnya sedikit bingung. Sepertinya dia menunggu jawaban dariku, bukan hanya sekadar tatapan menyelidik dan segores senyum. 

“Ah ... maaf, Lif. Kapan berangkatnya?” Tanyaku berpura-pura tidak tahu.

“Besok, Mel.”

“Besok? Sungguh?” Aku tak bisa menyembunyikan raut muka terkejut. Kali ini memang bukan sekadar pura-pura, aku sungguh tidak tahu. Selama ini aku mengira dia akan berangkat minggu depan.

Dia hanya mengangguk tanda mengiyakan pertanyaanku.

“Loh, bukannya masih satu minggu lagi?” Tanyaku penasaran.

“Loh, kamu tahu dari mana?” Tak kalah bingung, dia menimpali pertanyaanku.

Aku hanya tersenyum dengan pandangan mengeliling ke segala arah, berusaha  mencari alasan yang sedikit masuk akal. Sejujurnya, selama ini aku selalu mencari tahu apapun tentang dia, termasuk jadwal keberangkatannya ke Malaysia, kampus barunya. Diam-diam aku mengirimi pesan kepada adiknya lewat direct message Instagram, hanya untuk menanyakan kapan kakaknya akan berangkat. “Emm ... aku tak sengaja menguping dari perbincangan anak kelas,” jawabku asal.

Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil bergumam pelan, “Perasaan aku gak ngasih tahu ke siapapun.”

Buru-buru kualihkan topik, “Lupakan saja, lanjutkan saja pembicaraanmu.”

Dia terdiam sejenak, seolah masih mengira-ngira ucapakanku sebelumnya. “Ah, benar. Awalnya memang aku akan berangkat minggu depan. Namun, tiba-tiba saja jadwal berubah, lebih cepat dari perkiraan. Jadi aku akan berangkat besok.” Pungkasnya ringan.

Aku menghembuskan napas perlahan dan menatapnya lirih, “Setelah ini, apa kita masih berteman?”

“Tentu saja, Melati! Kau tak usah meragukan pertemanan kita.”

Sekali lagi aku menghembuskan napas berat dan berusaha menyunggingkan senyum, “Alif, apakah kau pernah mendengar fakta di balik persahabatan laki-laki dan perempuan?”

Dia terlihat merenung sejenak kemudian menggelengkan kepala tanda tidak tahu.
Aku hanya tersenyum dan berusaha kembali menghadapi kenyataan, “Lif, jangan lupakan aku, ya. Kau janji?”

Dia balas tersenyum, “InsyaAllah.

“Kau baik-baik di sana ya, Alif. Do your best. I’ll wait for you.”

Dia menganggukkan kepala, “Kau juga, Mel. Kau harus selalu baik-baik saja, jangan membuatku mengkhawatirkanmu. Setelah ini, jarak akan terbentang lebar di antara kita.”

“Kau ... peduli kepadaku?”

“Ya, tentu saja.” Jawabnya yakin.

Dan itulah pertemuan terakhir kami. Akankah takdir memberi jalan untuk kami saling tertaut kembali?

Aku dan Alif berteman baik sejak pertama menjadi mahasiswa baru. Di kampus ini, salah satu kampus negeri di Bandung. Kami mengambil jurusan Sastra Inggris. Di akhir semester dua, dia memutuskan untuk pindah kampus ke Malaysia. Selain demi masa depan yang lebih baik, alasan lainnya adalah keluarganya yang pindah ke negara tersebut. Mengingat semua anggota keluarganya pindah ke Malaysia, harapan untuk bertemu kembali dengan Alif semakin kecil dan hampir pupus. Ah, ya, tentang ucapan Alif yang menyatakan bahwa dia tak akan melupakanku, semuanya hanya kebohongan belaka. Aku, dilupakan.

*Bersambung*




Note: Cerita ini hanya fiktif belaka.

Quote:
Diubah oleh nanitriani 13-11-2021 17:11
mr.nanonano
provocator3301
dan.13l
dan.13l dan 37 lainnya memberi reputasi
36
10.9K
211
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
#34
Denting Waktu dalam Ruang Sepi [Chapter 9]
Denting Waktu dalam Ruang Sepi
Tatapan kami tertuju pada sosok yang sedang terbaring tak berdaya. Selang oksigen terpasang di hidungnya, bibirnya pucat pasi, rambut hitamnya yang selalu tersisir rapi kini dibiarkan berantakan. Ruangan yang ditempatinya termasuk kamar VIP, suasananya disesuaikan semirip mungkin dengan kamar tidur seperti di rumah, termasuk televisi, cat dinding berwarna ungu muda dan putih, sampai kamar mandi yang ada di dalam kamar. Namun, tetap saja, dinginnya dinding rumah sakit masih sangat terasa.

“Ayah dan adiknya Raihan kemana, Tante?” Tanyaku kepada ibunya Raihan yang semenjak masuk hanya memandang anaknya dengan tatapan kosong.

Mata layunya kini menatapku, bibir keringnya perlahan bergerak, “Tante suruh pulang untuk ambil baju-baju Raihan.”

Jujur saja, seperti ada yang mengganjal di hati dan pikiranku. Aku mengepalkan kedua tanganku kuat-kuat hanya untuk menepis perkiraan-perkiraan buruk yang dibuat oleh imajinasiku. Namun, sekuat apapun aku mengusir pikiran burukku, semakin mereka menerjang dengan kuat. Biar kujelaskan sedikit, Raihan mengidap asma sedari kecil, entah sejak lahir atau tidak, aku tak tahu pasti. Sejak pertama kenal dengannya, saat itu kami masih kelas 1 SD, sampai perpisahan kami beberapa hari setelah kelulusan SMA, selama itu, asmanya memang sering kambuh dan beberapa kali masuk rumah sakit. Namun, waktu itu, hanya butuh satu sampai dua hari dan segera diperbolehkan pulang. Tak hanya itu, dulu, saat kami menjenguknya ke rumah sakit, dia masih bisa berusaha untuk duduk dan tersenyum lebar menyambut kedatangan kami. Namun kali ini, aku tak pernah melihat dia seperti ini sebelumnya.

Ibunya Raihan tiba-tiba menangis tak terkendali. Melihatnya seperti itu, ibuku seketika memeluknya dan berusaha menenangkan tanpa bertanya apa yang terjadi. Meskipun demikian, dengan mulutnya yang kelu dan tenggorokan yang mengering, satu kalimat berhasil dilayangkan, “Kanker paru,” meskipun lirih, satu kalimat tersebut terasa menggema ke seluruh penjuru ruangan.

Apakah jantungku lupa bagaimana caranya berdegup? Apakah organ pernapasanku lupa bagaimana caranya bernapas barang satu hembusan? Sudah jelas, bibirku terlalu kaku untuk terbuka sehingga hanya bisa bungkam. Di saat seperti ini, air mata selalu menjadi urutan nomor satu yang paling memahami. Dia mengalir membasahi pipi tanpa perintah. Sementara itu, ibuku langsung terisak dan memeluk Ibunya Raihan semakin erat. Dan entah mengapa, seketika ayahku beranjak dan keluar dari ruangan. Seolah mengetahui kegaduhan yang terjadi, Raihan pun terbangun.

“Rai,” panggilku dengan suara bergetar.

Dia hanya membalas dengan satu sunggingan senyum.

Aku semakin terisak. Kedua tanganku yang berkeringat dingin dan bergetar, perlahan mengusap rambutnya yang berantakan, “Rai, katakan, apa yang kau rasakan?”

Sekali lagi, dia hanya membalas ucapanku dengan satu sunggingan senyum.

“Kau mau minum?” Tanya ibunya sembari sibuk menghapus air mata yang selalu menggantung di kedua mata teduhnya.

Raihan hanya menggeleng tanpa mengucap satu patah kata pun.

Aku menghela napas dan berusaha menenangkan diri agar tangisku mereda. Entah mengapa, setiap hendak berbicara, suaraku tertahan dan ingin menangis lagi dan lagi. Meskipun demikian, tetap saja, aku harus mengatakannya. “Tante, Ibu, maaf, bolehkah Melati berbicara dengan Raihan berdua?”

Tak disangka, tak butuh usaha untuk membuat mereka mengerti. Tinggal kami berdua, aku dan Raihan, di ruangan dengan dinding yang dingin, televisi yang terpajang namun senyap, suara jam dinding yang semakin lama semakin melengking dan menjerit, seolah ingin menyampaikan bahwa waktu masih bisa berlari kencang meskipun hidup telah berhenti melangkah.

Aku berusaha mengusap pipiku yang basah dan menghela napas berat, “Rai, minum, ya. Aku bantu.”

Dia mengangguk. Aku mencoba mengatur tempat tidurnya agar dia bisa bersandar dengan nyaman. Setelah berhasil, kembali kubantu dia untuk minum meski hanya satu tegukan.

Aku menerawang ke dalam matanya yang sendu, “Apakah kau bisa mengatakan sesuatu?”

Dua pasang mata saling bertatapan, masing-masing menyimpan beribu kata yang terpaksa harus terkubur daripada terucap. Dia menarik napas dengan hati-hati dan menghembuskannya dengan berat, “Tentu. Kau mau aku mengatakan apa?” Tanyanya dengan suara pelan bahkan nyaris berbisik.

Entah mengapa, lirihnya kini menyayat hati. Aku mengusap pelan punggung tangannya yang dipasangi selang infus, aku kembali terisak, “Kenapa bisa seperti ini, Rai?”

Dia kembali menatapku masih dengan tatapan sendu, “Aku harus menjawab apa selain tidak tahu?”

“Kau tidak tahu?”

“Tidak," dia menggeleng, "Maksudku, ya, aku tidak tahu.”

“Kau sakit tepat setelah kejadian itu,” tuturku dengan wajah tertunduk.

Dia mulai terbatuk-batuk selama beberapa saat. Setelah itu, dia kembali menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan, “Aku bisa minta tolong?”

“Tentu,” jawabku cepat.

“Bisakah kau membantuku lagi untuk minum?”

Dua teguk air putih berhasil membasahi tenggorokannya. Aku kembali menatapnya, kuseka keringat dingin yang seperti percikan gerimis menyiprati pelipisnya, “Kau baik-baik saja?”

Dia tak menatapku, pandangannya kosong ke arah depan, “Pertanyaan yang tak perlu jawaban, bukan?”

Aku tersenyum, kembali kuusap punggung tangannya dengan lembut. Benar, bibirku tersenyum meski air mata tak bisa dicegah untuk mengalir. Kalian pernah merasakan tersenyum di dalam tangis?

Dia seolah sedang membalas senyumku, gigi gingsulnya kembali terlihat, “Satu hembusan napas pun terasa menyakitkan.”

“Aku tahu.”

Dia menatapku, “Kau hanya tahu tapi tak merasakannya.”

“Kenapa aku harus merasakan sesuatu yang tak ingin aku rasakan?” Aku menghela napas, “Aku baik-baik saja, Rai. Aku tak perlu ikut merasakan penderitaanmu hanya untuk peduli, bukan?” Aku sungguh tak bisa menenangkan suaraku yang semakin terisak dan bergetar, “Aku harus baik-baik saja, Rai. Aku tak ingin sepertimu. Jika aku sendiri lemah, bagaimana bisa aku menguatkanmu?”

"Kau tak perlu menguatkanku," ucapnya ketus.

aku hanya memandanganya sambil terisak. Seluruh permukaan wajahku bahkan kepalaku terasa kebas dan panas. Di saat seperti ini, pikiranku kalut dan tak bisa berpikir dengan benar.

“Masih stadium satu. Kau tenang saja,” ucapnya berusaha menenangkan meski tak terdengar seperti menenangkan.

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Seolah tak peduli dengan tempat dimana aku berada, aku mulai menangis kencang, “Aku tak peduli, Rai. Tetap saja, kau sakit.” Aku memandangnya meski pandanganku kabur karena air mata, “Kanker? Aku bahkan hanya tahu penyakit luar biasa itu di dalam drama dan film yang aku tonton. Kau pikir kau keren, hah?” Ungkapku dengan suara yang meninggi.

Dia menatapku heran, “Kau kenapa, Mel? Tenangkan dirimu.”

Aku mencoba mengatur napasku untuk meredam emosi yang meledak tak karuan, “Kenapa kau tak memberiku waktu, Rai?”

“Waktu? Waktu ... apa?”

Aku menatapnya serius dengan bibir yang terkatup rapat tanpa berusaha menyunggingkan segaris senyum. Kembali kami saling melempar tatap untuk beberapa saat, keheningan menggantung di langit-langit kamar, dan lagi, denting waktu masih berisik meski kami terdiam.

“Aku ingin merubah jawabanku.”

“Jawaban? Jawaban ... apa?”

Aku tersenyum dalam sisa tangisku, “Aku ingin menikah dengamu.”

*Bersambung*



Sumber Gambar Cover
Diubah oleh nanitriani 12-11-2021 16:17
makgendhis
mr..dr
janahjoy35
janahjoy35 dan 2 lainnya memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.