Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Setelah hampir seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya hari ini Larissa diperbolehkan untuk pulang. Wajahnya tak lagi tampak pucat dan sepertinya keceriaannya pun sudah kembali.
“Mikirin apaan?” Tanya-nya sambil meninju lengan saat melihat gua melamun.
“Apaan sih..” Gua merespon, sambil mengelus bekas pukulannya.
“Bi, kapan gw diajak ke rumah lo?” Tanya Larissa.
“Kapan-kapan…”
“Tuh kan, elo kan udah janji bi…”
“Besok, ya…” Gua memberi janji sambil tersenyum.
“Sekarang aja ya bi..” Pintanya.
Bagaimana mungkin gua bisa mengiyakan permintaannya, sementara saat ini Larissa baru saja keluar dari rumah sakit.
“Ya bi yaa, please… mumpung sekarang Sabtu, Bokap nyokap lo pasti libur kan?” Larissa memohon sambil menarik-narik seragam SMA gua.
“Besok kan masih minggu…” Gua memberi jawaban.
Lalu terlihat Larissa merajuk, melipat kedua tangannya sambil memandang ke luar jendela mobil. Sementara, Kakaknya yang duduk dibangku depan, melirik melalui kaca spion kecil di atas dashboard; “Jangan kayak anak kecil sih, Sa…” Ucapnya.
“Jadi, kemana ini non?” Tanya Pak Sam yang sejak tadi sibuk mendengarkan obrolan kami sambil menyetir.
“Ya pulang lah…” Jawab Kakak Larissa sangar.
“Siap…” Respon Pak Sam
Hingga tiba di rumahnya Larissa masih tetap merajuk dan diam saja. Ia merebahkan diri diatas sofa ruang keluarga kemudian meraih remote TV dan mulai menyalakannya.
“Papi sama Mami belom pulang ya mbak?” Tanya Larissa ke salah satu asisten rumah tangganya.
“Belom non…” Jawab si mbak sambil meletakkan dua gelas air putih untuk kami.
Larissa lalu meluruskan duduknya. “Tuh kan, gw pulang juga nggak ketemu Papi sama Mami bi…” Ucapnya.
“...”
“Bian… ngomong dong, ngomooong…” Ucap Larissa sambil menyentil dahi gua. Kemudian pergi, ia berlari menuju ke kamarnya di lantai atas membuat suara gaduh akibat pijakannya yang kelewat semangat. Melihat kelakuan Larissa yang terlalu ‘pecicilan’ membuat gua sedikit meringis; Ngilu. Bagaimana tidak, baru beberapa hari yang lalu, pinggulnya disuntik menggunakan jarum panjang, menembus kulit, daging dan tulangnya.
Sebuah sandal melayang ke arah Larissa saat ia tengah menaiki tangga, namun meleset.
“Pecicilan banget lo… sebel gw ngeliatnya…” Teriak Kakaknya dari bawah tangga, sementara tangannya sudah siap melemparkan sandal satunya.
“Wleee…” Ledek Larissa sambil kembali berlari menuju ke kamarnya.
Beberapa menit berikutnya, Larissa sudah kembali dari kamarnya. Ia terlihat berhati-hati dalam melangkah, bahkan sedikit berjinjit, seperti tengah menghindari Kakaknya. Larissa kali ini terlihat sangat berbeda; ia mengikat rambutnya dengan gaya cepol acak-acakan, dengan kaos putih yang dibalut cardigan cream dipadukan celana jeans pendek dengan aksen sobek-sobek pada bagian saku. She looks perfect!
Ia lalu dengan cepat berjinjit ke arah gua, lalu mengambil tas milik gua di sofa dan menarik lengan gua.
“Cepeet….” Ujarnya setengah berbisik.
“Kemana?” Gua bertanya.
“Sssst…” Ia meletakkan jari telunjuk di bibirnya, sementara tangan satunya masih menarik lengan gua sambil menenteng tas.
“Kemana?” Gua kembali bertanya.
“Ke rumah lo…” Jawabnya pelan.
Gua lalu menghentikan langkah. Terlihat Larissa berusaha keras tetap menarik gua, yang tentu saja nggak berhasil.
“Bilang kakak lo dulu lah…” Ucap gua kemudian kembali duduk.
Larissa lalu melepaskan lengan gua, ia berdiri sambil melipat tangannya dan menatap gua tajam. Kemudian ia menghentakkan kaki kirinya, dan berjalan ke arah ruang tamu depan sambil berteriak-teriak memanggil nama kakaknya.
Nggak lama kemudian sebuah Sandal kembali melayang ke arahnya, yang lagi-lagi berhasil ia hindari.
“Teriak-teriak kayak di hutan…” Ujar kakaknya.
“Gw mau kerumah Bian…” Ujar Larissa, menghiraukan teguran kakaknya.
Kakaknya lalu menoleh ke arah gua, seakan-akan meminta persetujuan. Gua hanya mengangkat bahu; terserah!
“Yaudah tapi ati-ati” Kakaknya lalu memberi ijin.
“Yeay.. ayo bi…” Ajak Larissa.
---
“Dirumah gua nggak seru loh…” Gua memberikan disclaimer.
“Emang lo pikir rumah gw seru…” Jawab Larissa santai, sementara tangannya sibuk memainkan ujung cardigan yang ia kenakan.
Saat ini kami berdua tengah duduk dibangku belakang sebuah sedan mewah yang berjalan menembus padatnya sabtu sore pinggiran Jakarta. Beberapa kali terlihat Pak Sam yang duduk dibalik kemudi menggerutu nggak jelas karena jalurnya diserobot pengemudi lain.
“Udah deket kan bi?” Tanya Larissa, yang sedikit banyak tau lokasi rumah gua, karena satu komplek dengan Dita.
Gua menjawabnya dengan anggukan.
“Ngomong…” ujarnya sambil tangannya menjambak rambut gua, sementara pandangannya masih belum beralih dari jendela mobil yang terjebak macet.
“Iya udah deket…” Gua menjawab sambil meringis.
“Yaudah jalan aja yuk…” Ajak Larissa.
“Ntar lo capek…”
“Idiih… balap lari sampe rumah lo juga gw berani…” Tantang Larissa kemudian bersiap membuka pintu bagian penumpang. Sebelum itu terjadi, Pak Sam lalu buka suara; “Non, kalo nggak sampe rumah mas Bian ntar saya diomelin…”
“Udah Pak Sam bilang aja udah dianterin sampe rumahnya Bian…” Ujar Larissa santai.
“Lah, ntar kalo saya suru jemput gimana? saya kan nggak tau rumahnya?” Respon Pak Sam kebingungan.
“Gapapa Pak, ntar saya yang anter pulang…” Gua menawarkan solusi ke Pak Sam kemudian bergegas menyusul Larissa turun dari mobil.
Terlihat Larissa sudah ngacir menyusuri trotoar jalan menuju ke arah Barat. Gua mengejarnya.
“Jadi mau balapan?” Tanya Larissa begitu posisi gua sudah berada didekatnya.
“Nggak…”
“Cemen lo…” Ejeknya.
“Kita seharusnya ke sana…” Ujar gua sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dengan yang saat ini kami tuju.
Larissa nggak bicara satu kata pun. Ia memutar tubuhnya kemudian kembali berjalan.
“Kenapa nggak bilang dari tadi…” Ucapnya sambil menendang tulang kering gua.
“Awww….”
---
“Masih jauh nggak bi?” Tanya Larissa, saat ini sudah terlihat aura kelelahan di wajahnya yang sepertinya sengaja ia sembunyikan.
“2 kilo lagi” Gua mengira-ngira.
“Heeeh… dua kilo kan jauh biii…” Keluhnya.
Duh! Padahal dari tadi dia yang ngebet pengen jalan kaki. Gua berjalan menyusulnya.
“Mau digendong?” Tawar gua.
“Nggak! gw masih kuat kok..” Ujarnya.
Gua lalu menarik tangannya, berjalan menuju ke sebuah warung kecil yang berada di tepi jalan. Kami berdua kemudian duduk disisi warung kecil tersebut; beristirahat sambil menikmati minuman isotonik yang baru saja gua beli.
“Nggak ada jalan pintas bi?” tanya Larissa kemudian meneguk habis minuman miliknya.
“Nggak ada” Gua menjawab.
“Gw capek…” Larissa akhirnya mengaku.
“...”
“Tapi kalo digendong, gw malu…” tambahnya.
“Malu sama siapa?” Gua bertanya.
“Sama orang-orang lah…”
Gua nggak menjawab, hanya tertawa. Mungkin lebih mirip tawa yang mengejek. Sejak kapan, orang se-supel dirinya memikirkan apa perkataan orang?
Gua merogoh saku celana SMA, mengeluarkan selembar lima ribuan dan membayar minuman ke Ibu penjaga warung.
“Bu, Saya mau gendong dia nih” Ucap gua ke Ibu Penjaga warung.
Ucapan gua barusan ke Ibu penjaga warung tentu saja mendapat respon dari Larissa; sebuah lemparan botol minum kosong yang tepat mengenai punggung gua.
Ibu penjaga warung hanya bisa terbengong-bengong ria mendengar ucapan gua.
“Naek” Gua lalu membungkuk membelakanginya.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Larissa naik ke gendongan gua. Sepanjang perjalanan, Larissa kerap menyembunyikan kepalanya di belakang tengkuk gua. Apalagi saat kami berdua melintasi sisi jalan yang tengah ramai dipadati orang-orang. Entah tak terhitung berapa banyak cubitan dan jambakan yang gua terima kala menggendong Larissa. Puncaknya adalah saat gua bilang; “Berat banget…” tepat saat gua menyusul gerombolan siswi-siswi SMA lain berjalan di arah yang sama dengan kami.
“Gw cuma 45kilo ya…” Ucapnya berbisik di telinga gua sambil menggeram. Sementara tangan kanannya mencubit dada gua. Cubitan disertai dengan putaran searah jarum jam dan diakhiri dengan tarikan kulit yang bikin pedes; Selanjutnya gua namai teknik tersebut sebagai: “Larissa Signature Pinch”
“Masih jauh nggak?” Tanya Larissa memastikan. Saat itu kami berdua hampir tiba di pintu depan gerbang komplek.
“Nggak”
“Gw mau turun…” Ujarnya.
Dengan sigap gua lalu membungkuk dan membiarkannya turun dari gendongan gua. Tanpa kata-kata, ia lalu mulai melangkah meninggalkan gua.
“Tau jalannya nggak?” Tanya gua sedikit berteriak dari belakang.
Ia lalu menghentikan langkah, menoleh dan menatap gua tajam; “Makanya buruan, lamban banget jadi orang…” Ucapnya membalas teriakan gua.
Gua lalu bergegas menyusulnya. Begitu tiba di posisinya, lagi-lagi sebuah tendangan dengan ujung sepatu mendarat di tulang kering gua; “Awww..”
“Awas sekali lagi lo bilang gw berat di depan orang”
“Iya sorry..”
Kami lalu melanjutkan perjalanan yang mungkin hanya tersisa beberapa puluh meter lagi. Sementara, matahari perlahan mulai menghilang. Digantikan dengan cahaya temaram lampu-lampu jalan yang menyala berurutan.
“Bi, gw mau diet…” Ucapnya di sela-sela keheningan.
“Kenapa?”
“Gw kan berat…”
“Nggak, lo nggak berat…” Gua berusaha meyakinkannya.
Ia lalu menatap gua, pandangannya terlihat teduh. Sangat berbeda dengan tatapannya tadi saat gua baru menurunkannya dari gendongan.
“Bener?”
Gua mengangguk. Kemudian mengelus rambutnya.
---
“Kok gelap bi?” Tanya Larissa begitu kami berdua tiba di depan rumah gua.
“Iya, nggak ada orang?” Gua menjawab sambil membuka pintu pagar kemudian masuk.
“Pada kemana?”
“Kerja…” Gua menjawab singkat.
“Ooh…”
Gua memutar kunci, dan membuka pintu rumah lalu masuk kedalam dan mulai menyalakan lampu-lampu ruangan. Sementara Larissa yang masuk menyusul gua, berdiri, mematung di ruang tamu, matanya mengelilingi seisi ruangan. Gua ke dapur, mengambil segelas air untuknya.
“Kecil ya?” Gua mengkondisikan rumah, sambil menyodorkan segelas air kepadanya.
“Nggak kok…”
Gua lalu duduk di sofa, sementara Larissa masih berdiri memandangi sekeliling. Entah apa yang dicarinya.
“Rumah lo bersih ya bi…” Ujarnya.
“...”
“Saking bersihnya sampe nggak ada foto satupun…” Tambahnya. Yang gua nggak tau itu merupakan sebuah pertanyaan atau pernyataan. So, sepertinya nggak membutuhkan respon dari gua. Hingga kemudian ia menatap gua, sementara gelas air masih digenggamannya, belum seteguk pun ia minum.
“Kenapa?” Tanyanya, mungkin merefer ke dinding kosong di area rumah gua; tanpa satupun foto.
“Apanya? Gua balik bertanya, pura-pura nggak tau.
“Kenapa nggak ada foto?” Ia mengulang pertanyaannya, wajahnya saat ini semakin lucu karena ekspresi penasaran.
“Ya emang nggak ada aja..”
“Iya… gw tau nggak ada… tapi kenapa?..., why?”
“Ya… gua nggak punya foto..” Gua mencoba menjelaskan apa adanya.
Ia lalu menjatuhkan diri di atas sofa, di sebelah gua. Kemudian meneguk air dalam gelas digenggamannya.
“Gua mau mandi dulu, lo mau disini aja, apa mau nonton tivi?”
“Nonton Tivi..” Jawabnya tak bersemangat.
Gua lalu bangkit, meraih tangannya dan mengajaknya ke ruang keluarga yang bersebelahan dengan ruang tamu. Ya, sebenarnya dua ruangan ini berada di area yang sama, sebuah lemari kabinet besar berada ditengah-tengah, memisahkan area ini menjadi ruang tamu dan ruang keluarga. Toh, di rumah gua ini nama ‘ruang keluarga’ nggak memiliki arti sebagai ruangan tempat berkumpulnya keluarga. Hanya berfungsi sebagai tempat nonton tivi salah satu personil keluarga, jika ada salah satu anggota keluarga yang ingin menonton, maka salah satunya akan pergi, menghindar, masuk kedalam kamar.
“Minum ambil sendiri…” Gua memberi informasi kepadanya, seraya menunjuk lokasi kulkas ke arah dapur.
“Boleh bikin sirup?” Ia bertanya, matanya terlihat memohon.
“Boleh, itu juga kalo ada sirupnya” Jawab gua seraya pergi meninggalkannya.
“Asik…”
---
I'm With You - Avril Lavigne
I'm standing on a bridge
I'm waiting in the dark
I thought that you'd be here by now
There's nothing but the rain
No footsteps on the ground
I'm listening but there's no sound
Isn't anyone trying to find me?
Won't somebody come take me home?
It's a damn cold night
Trying to figure out this life
Won't you take me by the hand?
Take me somewhere new
I don't know who you are
But I... I'm with you
I'm with you
I'm looking for a place
I'm searching for a face
Is anybody here I know
'Cause nothing's going right
And everything's a mess
And no one likes to be alone
Isn't anyone trying to find me?
Won't somebody come take me home?
It's a damn cold night
Trying to figure out this life
Won't you take me by the hand?
Take me somewhere new
I don't know who you are
But I... I'm with you
I'm with you