LordFaries3.0Avatar border
TS
LordFaries3.0
Tuntutan Reformasi Polri dan Budaya Buruk yang Sulit Digerus

Jakarta, CNN Indonesia -- Polisi tembak polisi; polisi pacaran di mobil dinas; polisi terlibat dalam perampokan mobil mahasiswa; polisi banting mahasiswa; polisi ditangkap saat pesta narkoba; korban pemukulan preman jadi tersangka polisi; polisi cabuli istri tersangka.
Itu semua merupakan sedikit contoh kasus dari banyak kabar buruk Korps Bhayangkara dalam satu dua bulan terakhir yang membuat geleng kepala rakyat Indonesia.

Beberapa bulan sebelum itu, dua perwira tinggi Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo diproses hukum lantaran terlibat dalam kasus suap buron Djoko Tjandra.

Perilaku buruk sejumlah oknum polisi dari pangkat tamtama hingga jenderal itu dianggap masyarakat sipil sebagai tanda sinyal genting daruratnya reformasi Polri. Hal yang salah satunya diejawantahkan publik lewat tagar #PercumaLaporPolisi dan sempat trending beberapa waktu lalu di media sosial.

Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan kasus-kasus penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebutkan beberapa di atas sudah menjadi model dan budaya di internal kepolisian. Ia menyebut peristiwa itu tidak bisa lagi disebut perbuatan oknum belaka.

"Jangan-jangan berbagai penyimpangan itu atau yang dibilang abuse itu sesuatu yang selama ini ada. Karena diturunkan dari senior ke junior, ada juga yang melihatnya sebagai modelling. Sudah jadi model bekerja sehingga muncul police culture yang kalau enggak diikuti malah aneh," ujar Adrianus kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (27/10).

"Alhasil kemudian kalau memang ini yang terjadi, ini bukan oknum. Ini adalah kecenderungan lembaga yang kebetulan saja ada beberapa orang ketahuan lalu mencuat dan dianggap oknum," sambung mantan anggota Ombudsman RI tersebut.

Adrianus mengatakan meski reformasi Polri sebagian besar sudah dijalankan pada aspek struktural dan instrumental, tapi masih ada persoalan laten yakin terkait kultur di dalam korps tersebut. Hal itu, menurut Adrianus, terlihat dari masih mengakarnya penyimpangan yang dilakukan.

Oleh karena itu, dirinya menilai langkah Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang menyatakan penegakan hukum secara menyeluruh terhadap anggota yang melanggar menjadi evaluasi jangka pendek yang tepat.

Sementara untuk jangka panjang, lanjut Adrianus, adalah memperkuat beberapa regulasi dan penegakan kode etik serta penegakan hukum tanpa pandang bulu.

"Jangan sampai misalnya yang bawah saja kena, yang atas enggak," kata dia yang juga pernah menjadi anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tersebut.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini melebur jadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sarah Nuraini Siregar, mengatakan upaya untuk melakukan reformasi dalam tubuh Polri secara fisik memang ada. Dia menilai saat ini secara kelembagaan Polri dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan masa orde baru.

"Akan tetapi, dari segi perilaku dan mental anggota masih cenderung belum banyak berubah," tulis Sarah dalam artikelnya bertajuk Evaluasi 10 Tahun Reformasi Polri yang diterbitkan 2016 silam.

Peneliti bidang keamanan politik BRIN tersebut mengizinkan agar pendapatnya dalam artikel itu dikutip CNNIndonesia.com,karena menurutnya masih relevan dengan kondisi 2021 ini.

Sarah menilai reformasi Polri yang masih berjalan secara konvensional bisa terlihat dari sejumlah indikasi, seperti belum ada sinkronisasi antara kebijakan dengan implementasi dan penerapan kebijakan masih bersifat atas ke bawah (top-down).

Mabes Polri, kata dia, hanya merumuskan konseptual secara sepihak sedangkan polisi di wilayah sekadar menjalankannya saja. Padahal, menurutnya di bawah kondisi masing-masing daerah selalu berbeda--baik kondisi wilayah, permasalahan, hingga pola gangguan keamanan.

Indikasi berikutnya yakni tumpang tindih kendali dalam pelaksanaan tugas rutin dengan amanat reformasi Polri; hingga tidak ada penghargaan dan sanksi bagi pelaksana upaya reformasi yang berhasil maupun yang tidak berhasil.

Oleh karena itu, terang Sarah, pekerjaan rumah utama Polri dalam membangun citra positif dan dukungan masyarakat adalah dengan kembali pada kemampuan mewujudkan polisi yang profesional.

Adapun indikatornya antara lain Polri yang ahli dan memiliki pengetahuan tentang kepolisian, tunduk pada ketentuan hukum dan sumpah jabatan, independen, tidak berpolitik dan berbisnis, serta akuntabel.

"Upaya-upaya ini tentu saja membutuhkan waktu serta kebijakan dan program yang jelas dari pemerintah, DPR, internal Polri, dan dukungan masyarakat," tulis Sarah.

Smackdown Mahasiswa, Bukti Polri Belum Presisi
Di sisi lain, saat merespons temuan banyaknya pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian di lapangan baru-baru ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan anggotanya yang melanggar aturan harus segera diproses dengan tegas.

Buntut dari temuan itu, Listyo lantas menerbitkan surat telegram yang ditujukan untuk seluruh Kapolda di Indonesia. Telegram itu bernomor ST/2162/X/HUK2.9/2021 dan ditandatangani Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo atas nama Kapolri.

2. Aspek Kultural dalam Reformasi Polri

Setidaknya dua pekan lalu Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI mempercepat reformasi Polri. Desakan itu menyusul maraknya kritik masyarakat melalui tagar #PercumaLaporPolisi dalam beberapa hari sebelumnya.
Koalisi tersebut terdiri dari anggota KontraS, Imparsial, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, LBH Jakarta, Setara Institute, ICJR, HRWG, Elsam, PBHI, LBH Masyarakat, Pil-Net, ICW, dan LBH Pers.

Sedikitnya ada enam tuntutan yang didesak untuk reformasi Polri yang empat di antaranya meminta Presiden RI dan DPR mengambil langkah membuat hal itu terwujud.



Seperti salah satunya menuntut Presiden dan DPR segera merevisi undang-undang yang berhubungan dengan kewenangan besar dari kepolisian dengan tujuan memberikan pengawasan dan kontrol yang efektif.

Terbaru, gaung reformasi Polri itu pun digemakan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang menggelar unjuk rasa berkaitan dengan hari ulang tahun pemerintahan Jokowi pada Oktober ini.

Anggota Komisi III DPR lainnya Nasir Djamil mengatakan kasus yang melibatkan sejumlah anggota polisi belakangan ini harus menjadi pelajaran penting dalam rangka mewujudkan Polri yang profesional, humanis, dan akuntabilitas.

"Memang belum sepenuhnya berjalan di lapangan soal reformasi kultural. Itu bukan hanya soal pembinaan dan pengawasan dari atas, tapi juga berangkat dari anggota Polri yang bersangkutan," kata Nasir saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (27/10).

Ia mafhum memperbaiki kultur di internal kepolisian bukan perkara mudah. Namun, langkah tegas memecat dan menyeret ke proses pidana terhadap anggota yang melakukan pelanggaran merupakan cara tepat untuk menjaga muruah Polri.

"Ketika dia lakukan pelanggaran langsung saja dipecat, kalau memang ada unsur tindak pidana diproses pidana. Jangan sampai ada orang di dalam tidak sejalan dengan institusi," pungkas politikus PKS tersebut.

Menanggapi tuntutan reformasi Polri tersebut, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, menilai sejumlah aspek yang diperlukan untuk itu memang belum terintegrasi. Ia mengatakan aspek struktural, instrumental, dan kultural di Korps Bhayangkara belum mendukung satu sama lain.

Dan, menurut dia, kabar negatif yang melibatkan anggota Polri belakangan ini memperlihatkan bahwa reformasi Polri terkait aspek kultural belum berjalan.

"Kasus-kasus yang tadi masuk di kultural. Kultural itu bisa bersumber dari struktural dan instrumental," kata Benny saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu.

Oleh karena itu, sambungnya, ketika aspek-aspek itu berjalan sendiri dan tak terintegrasi maka dapat ketemu bagian mana yang harus direformasi pada institusi Polri.

"Instrumen tadi sudah ada enggak? kultural tadi apa, struktural apa. Kalau ada semua, sudah jalan belum? Kalau enggak jalan, mengapa enggak jalan? Kalau belum jalan, apa langkah-kebijakannya supaya itu jalan? Apa yang dilakukan mulai dari zaman yang terakhir itu apa, jalan enggak, supaya kita lebih objektif," kata Benny.

Senada, Ketua Harian Kompolnas Irjen Pol (Purn) Benny Mamoto pekan lalu mengatakan untuk reformasi Polri memang membutuhkan setidaknya tiga aspek tersebut secara berkesinambungan.

"Jadi yang paling diperlukan sekarang setelah ada reformasi struktural, instrumental, maka reformasi kultural itu sangat penting. dan ini memerlukan waktu panjang, berproses," kata Benny dalam program #chatroom CNNIndonesia.com, Jumat (22/10).

Benny mengatakan ketika Kapori Jenderal Listyo Sigit Prabowo dilantik Jokowi lalu menelurkan segudang inovasi produk dan pelayanan publik polisi, maka itu harus diikuti juga dengan perubahan dasar.

"[Mengubah] sikap perilaku para petugas dalam melayani masyarakat, karena eranya juga era media sosial tadi. Sehingga ini mendorong untuk Polri perlu percepatan, tidak boleh menunggu lama," kata Benny.

Dia pun mengapresiasi ketika Listyo selaku Kapolri keras berbicara jangan ragu untuk mencopot, memecat, dan memidanakan bagi anggota yang melanggar.

"Nah inilah yang mengingatkan para anggota di lapangan untuk hati-hati, waspada. Dan, satu yang kami pesankan juga, tolong dideteksi hal-hal mana yang potensial akan menjadi masalah, contoh: nanganin kasus berlarut-larut," kata mantan Deputi BNN tersebut.

https://www.cnnindonesia.com/nasiona...-sulit-digerus

Ijo udah sukses mereformasi diri, tinggal coklat ini bijimana?
Diubah oleh LordFaries3.0 30-10-2021 10:07
gmc.yukon
scorpiolama
scorpiolama dan gmc.yukon memberi reputasi
2
1.9K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.8KThread40.8KAnggota
Tampilkan semua post
penthouse.3Avatar border
penthouse.3
#13
Gak bakal deh
Korupsi tuh dah budaya
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.