Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Bian…” Panggil Dita kala melihat gua berjalan di koridor sekolah menuju ke kelas.
“Lo tempo hari beneran jalan sama Sasa?” Tanyanya begitu ia mendekat ke arah gua.
Gua mengangguk pelan.
“Lo kenapa?” Ia kembali bertanya saat melihat luka di bibir gua.
“Jatoh” Gua memberikan penjelasan singkat, kebohongan yang sama yang gua berikan ke Larissa.
“Jatoh dimana, kok bisa, terus nggak kenapa-kenapa?” Dita melancarkan banyak pertanyaan.
Gua nggak menjawab, hanya menatap matanya kemudian pergi meninggalkan Dita yang masih berdiri mematung.
Ia lalu menyusul gua; “Lo marah sama gw?” Tanyanya lagi.
Gua lalu menghentikan langkah; “Kenapa gua harus marah sama elo?” Gua balik bertanya.
“Terus kenapa lo nggak jawab pertanyaan gw?”
“Ok, iya tempo hari gua jalan sama Larissa, terus kemaren gua jatoh dari motor, dan sekarang, gua nggak kenapa-kenapa…” Gua menjelaskan. Mungkin itu merupakan kalimat terpanjang yang pernah gua lontarkan semenjak gua bersekolah disini.
“Oh jadi bener, lo ngajak Sasa jalan?”
“Iya!” Gua menjawab singkat, kemudian pergi meninggalkannya. Sekalian aja gua selewengin semua informasi yang ia terima dari Sekar kemarin.
---
Dan tentu saja, meja Larissa pagi ini masih kosong. Jadi sepertinya, tak ada sapaan riang dan tawa candanya hari ini. Tak hadirnya Larissa di kelas, tentu sedikit banyak membuat suasana kelas nggak seramai biasanya. Tak ada Larissa, berarti tak ada pula siswa-siswi yang datang hanya sekedar untuk menyapa, atau hanya cari-cari alasan pinjam buku agar bisa ngobrol dengannya. Begitu pula rombongan Dita, Sekar dan Rio, yang sepanjang hari ini sama sekali nggak menunjukkan batang hidungnya di kelas ini.
Jadi, hari ini gua lalui seperti hari yang ‘seharusnya’ gua harapkan. Tak ada percakapan, tak ada sosialisasi, hanya ada gua dan kesendirian. Harusnya sih gua ‘happy’ dengan situasi seperti ini. Tapi, kok perasaan mengganjal di dalam hati masih tetap ada.
Gua berjalan menuju ke arah gerbang sekolah. Kondisi saat ini sudah cukup sepi, sudah hampir setengah jam sejak bel pulang sekolah berbunyi. Hanya ada beberapa siswi yang tengah duduk ngobrol di sisi taman bagian depan sekolah, dan samar terdengar teriakan para siswa yang sepertinya tengah bermain sepak bola dilapangan.
Di depan gerbang sekolah, berdiri Kakak Larissa yang bersandar pada sebuah sedan hitam mewah yang ia parkir bersebelahan dengan posisi gerbang. Tak perlu aba-aba, gua pun menghampirinya.
Tanpa bicara, Kakak Larissa membuka pintu penumpang buat gua. Ia lalu berjalan memutari mobil dan masuk kedalam melalui pintu pengemudi.
Gua masuk kedalam mobil, duduk disebelahnya. Masih mengenakan seragam SMA, si Kakak Larissa lalu menyalakan mobil, menggeser perseneling dengan tangan kirinya lalu melajukan mobil.
“Gw cuma beda dua tahun ya sama Sasa…” Ia memberikan informasi, seakan-akan menjawab pertanyaan gua, kenapa dia pake baju SMA.
“Kelas 3?” Tanya gua
Kakak Larissa, lalu mengangkat tangan kirinya dan mengacungkan dua jari. Memberi kode; Kelas dua.
Gua mengangguk.
“Gw pernah nggak naek…” Ia kembali memberi penjelasan.
“...”
“Kalo mau ketawa, ya ketawa aja gapapa, tapi asal lo tau, gw nggak naek bukan karena gw bego…”
“Ok..” Gua merespon. Ya sejatinya gua nggak terlalu butuh penjelasan tersebut darinya.
Kami lalu tenggelam dalam diam. Yang terdengar hanya suara Neil Finn dari Crowded House yang menyanyikan lagu Don’t Dream it’s Over dari speaker mobil.
“Ada apa?” Setelah beberapa lama di dalam mobil tanpa alasan yang jelas, gua bertanya.
“Akhirnya lo nanya juga…” Ujarnya.
“...”
“Gw pikir lo bakal diem aja, nggak nanya alesan gw jemput lo…”
“...”
“Jadi gini, Bi… gw mau cerita sesuatu ke elo..”
“Larissa?” Gua memastikan kalau yang bakal dibahasnya tentang Larissa. Yang lalu di jawabnya dengan sebuah anggukan kepala.
“Mau gw ceritain disini, sekarang? atau mau cari tempat enak buat ngobrol?” Tanyanya.
“Sekarang aja…” Gua menjawab pelan. Buat gua nggak ada beda-nya sekarang atau nanti.
Kakak Larissa menarik nafas panjang kemudian mulai bercerita.
“Lo tau Thalasemia nggak?” Tanya Kakak Larissa sambil tetap menyetir.
Gua mengangguk.
“Kalo Leukimia?” ia menambahkan pertanyaan, yang lalu kembali gua jawab dengan anggukan.
“Ok, berarti gw nggak perlu repot-repot jelasin tentang penyakit-penyakit itu ke elo…”
“Thalasemia atau Leukimia?” Gua memotong penjelasan si Kakak Larissa dengan pertanyaan. Tentu saja, jika ini membahas tentang Larissa, artinya kemungkinan ia mengidap dua diantara dua penyakit tersebut.
“Masih belum tau, lagi di observasi, tadi pagi Sasa baru aja diambil sampel sumsum tulang belakangnya, apa sih namanya ya...”
“BMA” Gua menebak
“Iya bener, kok lo tau?”
BMA (Bone marrow aspiration) merupakan tindakan untuk mengambil sampel dari tulang. Biasanya dilakukan di area tulang panggul bagian belakang. Sebuah jarum panjang dimasukkan ke dalam kulit hingga menembus tulang untuk mengambil sampel isi sumsum tulang. Membayangkan prosesnya saja membuat bulu kuduk gua merinding.
“Hasilnya kapan?” Gua nggak menjawab, malah balik bertanya.
Si Kakak Larissa menjawab dengan mengangkat kedua bahu nya; memberikan tanda ke-nggak tahuannya.
Gua memandang keluar melalui jendela mobil, dari sini gua bisa melihat pantulan wajah gua sendiri dengan latar bangunan-bangunan di tepi jalan yang bergerak cepat.
Thalasemia merupakan penyakit keturunan. So, kalau Larissa mengidap penyakit ini, berarti entah Bokap atau Nyokapnya, mungkin juga pernah mengidap penyakit ini. Ya walaupun bisa aja si pembawa gen-nya (Bokap atau nyokapnya) nggak mengalami gejala sama sekali, sehingga mereka nggak sadar kalau dirinya memiliki kelainan gen di sel darah merahnya.
Penderita Thalasemia memiliki kelainan pada sel darah merahnya, hal ini tentu saja menyebabkan sel darah merah di dalam tubuh ngga bisa bekerja dengan maksimal. So, bisa dibayangkan, bagaimana kondisi tubuh kita, saat sel darah merah yang punya tugas mengantarkan oksigen ke seluruh tubuh justru nggak dapat berfungsi maksimal? Iya, pasokan oksigen ke organ bakal terganggu atau parahnya; pasokan oksigen nggak sampai ke organ.
Ya, Thalasemia memang berbahaya. Tapi, sejauh ini Thalasemia masih bisa ‘dijinakkan’ melalui transfusi darah atau Transplantasi sumsum tulang.
Sementara, Leukimia is another level.
Leukimia atau biasa orang menyebutnya dengan Kanker darah. Penyakit ini mengakibatkan tubuh penderita terlalu banyak memproduksi sel darah putih abnormal. Beberapa kasus bahkan, sel darah putih-nya bisa ‘memakan’ sel darah merah, sehingga jumlah antara sel darah putih dan sel darah merah dalam tubuh tidak seimbang.
Well, dalam hal ini gua berdoa mudah-mudahan Larissa hanya mengidap Anemia biasa.
“Kayaknya lo tau banyak tentang penyakit ini…” Si Kakak Larissa bertanya.
“Baca...” Gua menjawab, Bohong.
“Owh…”
“...”
“Sekarang lo mau ketemu Sasa nggak?, kalo mau gw anterin sekalian ke Rumah Sakit…” Tawarnya.
“Nggak…” Gua menjawab. Entah, kenapa muncul keraguan ini, rasa mengganjal di hati semakin lama semakin nggak menentu. Sekarang, saat ini, gundah dan gelisah merayapi perasaan gua.
“Ok, gw anterin balik aja berarti…”
“Nggak usah, gua turun disini aja…”
Kakak Larissa menatap gua sesaat, kemudian melambatkan laju mobilnya. Sambil, sesekali melihat ke arah spion di sisi kiri, ia lalu menepi.
“Gw baru cerita ini ke elo doang lho…” Kakak Larissa memberikan informasi, saat gua baru saja melangkah keluar dari mobilnya.
Gua mengangguk pelan.
---
Malam itu, gua duduk di kursi panjang di loker ruang ganti pakaian. Sementara, mata gua masih berlinang, menatap sebuah foto didalam dompet. Gua berdiri, mengambil tas dan buru-buru pergi meninggalkan Dojang.
Hampir setengah jam kemudian gua sudah berada di Rumah Sakit tempat Larissa dirawat. Gua bergegas masuk dan menuju ke kamar Larissa.
Gua hanya bisa berdiri, diam, membisu begitu masuk kedalam kamar. Di Sebelah ranjang pasien terlihat seorang wanita tengah memotong buah apel kemudian memberikannya ke Larissa. Sementara di sofa, seberang ranjang, duduk seorang pria setengah baya, tinggi besar dengan rambut cepak ala tentara tengah duduk sambil memandangi lembaran kertas. Disebelah, pria tersebut kakak Larissa terlihat duduk bersandar sambil memainkan rambutnya.
“Bian…” Panggil kakak Larissa. Yang kemudian disusul tatapan semua orang berpaling ke arah gua, termasuk Larissa yang baru menyadari kehadiran gua.
“Biaaaaann, sini….” Panggil Larissa. Gua lalu menghampiri ke arahnya.
“Mi, ini Bian…” Larissa lalu mengenalkan gua ke wanita di sebelahnya yang ia panggil Mami.
“Itu Papi, Pi.. ini Bian” Tambah Larissa sambil menunjuk ke arah Pria tinggi besar disebelah kakaknya.
Gua lalu menghampiri keduanya dan menyalami mereka satu persatu. Begitu selesai bersalaman dengan Papinya, gua kembali tenggelam dalam kekikukan, hanya mampu berdiri dalam diam sambil menunduk. Beruntung ada Kakak Larissa yang berhasil mencairkan suasana, walau hal yang diucapkan nya nggak begitu layak didengar.
“Mami sama Papi tadi katanya udah mau pulang… Buruan pulang, Sasa mau peluk-pelukan lagi sama Bian nih…” Ucap Kakak Larissa kepada Papi dan Maminya.
Duh!
“Kemaren aku liat mereka pelukan lho mi…” Tambah kakaknya.
Mami Larissa terlihat tersenyum mendengar ucapan anak tertuanya barusan, kemudian membelai lembut Larissa, berdiri kemudian mencium kening-nya. Sementara, Papinya berdiri, menggulung kertas-kertas yang sedang dibacanya kemudian menyelipkannya ke saku belakang celananya. Ia lalu menghampiri Larissa, dan mengecup keningnya.
Kedua-nya lalu bergegas meninggalkan kamar. Sambil berjalan, Papinya Larissa menepuk pundak gua pelan tanpa kata-kata.
“Kamu ikut pulang juga nggak?” Tanya si Mami kepada kakak Larissa.
“...”
“Mau ngeliatin mereka berduaan?” Tambah Papinya.
Lalu, kakak Larissa bangkit, meraih tas dilantai dan bergegas menyusul orang tuanya. Nggak lama, ia kembali lagi, menghampiri Larissa lalu mengecup kening adiknya tersebut. Sebelum benar-benar pergi, ia sempat menoleh ke arah gua dan mengedipkan mata; seakan ingin berkata ‘bisa berduaan kan lo sekarang’.
“Sini bi…” Larissa menggeser tubuhnya, menyisakan tempat diatas ranjang pasien agar gua bisa duduk disebelahnya.
“Disini aja…” Gua menarik kursi kecil kemudian duduk di sebelah ranjangnya.
“Kenapa, nggak mau deket gw? gw bau ya?” Tanya Larissa sambil mengangkat tangan dan mengendus tubuhnya sendiri.
“Nggak kok…”
“Gw kan udah tiga hari lebih nggak mandi bi…” Tambah Larissa.
Gua hanya bisa terdiam sambil menatap wajahnya. Bisa-bisa nya disaat seperti ini ia malah mengkhawatirkan bau badannya sendiri. Justru yang gua khawatirkan adalah bekas luka di pinggulnya setelah diambil sampel sumsum tulangnya tadi pagi.
“Lo udah tau ya?” Tanyanya membuyarkan lamunan. Yang dimaksud Larissa tentu saja mengenai kemungkinan penyakit yang dideritanya.
Gua mengangguk.
“Gw takut bi…”
“...”
“Kalo gw mati gimana bi…?” ia kembali bertanya. Kali ini matanya terlihat berlinang, dari ujung matanya mulai menetes air mata.
Gua berdiri lalu meraih kepala dan mendekapnya; “Ya dikubur lah…”
“Aaah, elo maaaah… malah becanda…” Ujarnya sambil memukul-mukul gua pelan. Namun kali ini ia kembali tersenyum.
“Lo nggak bau kok…”
“Masa?” Larissa memastikan.
“Sungguh…”
Kami lalu tenggelam dalam diam. Larissa masih berada dalam dekapan gua, sementara kedua tangannya mencengkram erat sweater yang gua kenakan.
“Bi.. nanti kalo udah keluar rumah sakit, gw mau ke rumah lo…”
“Hah…”
Larissa lalu meraih sesuatu dari balik bantal-nya; sebuah buku catatan kecil dengan sampul berwarna merah muda dengan gambar Hello Kitty pada bagian depannya. Di Sela-sela buku kecil tersebut terselip sebuah pulpen yang amat gua kenali; pulpen dengan ujung kepala Hello Kitty. Ia lalu membuka halaman demi halaman kemudian memperlihatkannya ke gua.
Pada lembaran yang ia tunjukkan ke gua terdapat judul yang ia tulis dengan huruf kapital; Bucket List; things to do before i die. Kemudian disusul daftar-daftar bernomor yang beberapa diantaranya terdapat nama gua di dalamnya;
Get to know Abian
Pergi ke pantai
Ngobrol sama Abian (nggak cuma gw yang ngomong)
Nonton Abian Latihan/Tanding Taekwondo
Naik Kuda Poni
Learn how to drive a car or at least motorcycle
Eat/drink something new
Sementara, lembaran lain di sebelahnya ia tutupi dengan tangan. Mungkin catatan pribadinya yang memang sengaja ia sembunyikan. Belum selesai gua membaca seluruh daftarnya, Larissa menarik buku catatan, menutupnya dan kembali meletakkannya di bawah bantal.
“Yang nomer 1, 3 dan 4 kayaknya udah bisa diceklis” Ujar gua.
“No.. no..” Ia berkata sambil menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan.
“...”
“Gw harus kenal elo lebih dalam… makanya gw pengen banget ke rumah lo… Sekalian ngobrol banyak sama elo, selama ini kan kalo kita ngobrol gw terus yang ngomong, lo cuma ngangguk, geleng, kalau pun ngomong paling cuma ‘iya’, ‘nggak’” Tambahnya.
“...”
“Gapapa kan bi kalo gw nanti ke rumah lo?” Larissa memastikan.
Gua mengangguk.
Seketika, Larissa menepuk ujung kepala gua; “Ngomong…”
“Iya gapapa…” jawab gua sambil mengusap kepala.
“Nah gitu dong…”
Suara ketukan pintu terdengar; “Permisi”, disusul seorang perawat masuk sambil mendorong troli yang sepertinya berisi peralatan dan obat-obatan. Ia lalu meminta izin untuk memeriksa tekanan darah Larissa kemudian dengan sigap mencatatnya pada papan tulis kecil yang terletak di bagian kaki ranjang pasien. Sebelum pergi, perawat tersebut meninggalkan beberapa butir obat yang diletakan diatas mangkuk kecil berwarna hijau.
“Ini langsung diminum ya mbak…”
Lalu direspon dengan anggukan dari Larissa.
---
“Bi, lo nginep sini aja ya.. udah malem…” Ujar Larissa
“Kan bisa naek ojek…” Jawab gua, sambil memberikan obat yang barusan diberikan perawat ke Larissa.
“Ntar lo jatoh lagi kayak kemaren…” Larissa merespon, sementara tangannya meraih obat yang gua berikan kemudian menelannya.
“Naek taksi…” Gua memberikan solusi. Kemudian menyodorkan gelas berisi air kepadanya.
“Yaaah….”
“Lo tidur aja, nanti gua balik kalo lo udah tidur…” Ucap gua.
Larissa lalu merebahkan tubuhnya, sambil menatap ke langit-langit, terdengar ia bersenandung Stay the Same-nya Joey McIntyre; Don't be afraid, If you've got something to say, Just open up your heart and let it show you the way.
Don't you ever wish, You were someone else, You were meant to be, The way you are exactly…
Don't you ever say, You don't like the way you are, When you learn to love yourself, You're better off by far…
Perlahan suaranya memudar, kemudian menghilang. Larissa terlelap dalam tidurnya. Gua menyandarkan kepala diranjang. Sesaat tangannya membelai rambut gua; “Disini aja ya…” ucapnya lirih, sementara matanya tetap terpejam.
---
Stay The Same - Joey McIntyre
Don't you ever wish you were someone else,
You were meant to be the way you are exactly.
Don't you ever say you don't like the way you are.
When you learn to love yourself, you're better off by far.
And I hope you always stay the same,
cuz there's nothin' 'bout you I would change.
I think that you could be whatever you wanted to be
If you could realize, all the dreams you have inside.
Don't be afraid if you've got something to say,
Just open up your heart and let it show you the way.
Believe in yourself.
Reach down inside.
The love you find will set you free.
Believe in yourself, you will come alive.
Have faith in what you do.
You'll make it through.