Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

aisyahzshaki053Avatar border
TS
aisyahzshaki053
MISTERI HUTAN LARANGAN
Ada sesuatu yang berbeda dari hutan ini, desas-desus tentang angker dan berbahaya. Hutan
yang kata warga sekitar penuh dengan mistis dan cerita horor.

Aku Naya, seorang gadis pendiam yang berusia 22 tahun, bekerja di sebuah pabrik yang terletak di pinggir hutan. Tak menyangka, kemampuanku melihat mahluk tak kasat mata, membawa pada terungkapnya sebuah misteri dan rahasia besar di hutan itu. Pernyataan warga berbanding terbalik dengan apa yang kusaksikan, ada apakah sebenarnya?


Bisakah aku dan teman-teman menguak misteri di baliknya?
Diubah oleh aisyahzshaki053 25-10-2021 08:29
gembogspeed
bukhorigan
itkgid
itkgid dan 13 lainnya memberi reputasi
12
5.8K
65
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Tampilkan semua post
aisyahzshaki053Avatar border
TS
aisyahzshaki053
#12
Penemuan Mayat Perempuan
"Hah? Mayat?"

Zul, Ali dan Tiyas mendekat ke arahku, perlahan mereka mendekati kain putih yang kusibak tadi.

Huek!

Tiyas menutup hidungnya, dengan gemetar menarikku menjauh dari mayat itu. Tiyas membantu mengusap-usap bajuku yang kotor akibat berguling tadi, dia mengibas dedaunan kering yang menempel di jilbab dan gamisku.

"Kamu nggak apa-apa, Nay?" tanya Tiyas.

"Nggak apa-apa," jawabku, padahal jelas seluruh badanku sakit semua.

Zul menghampiri lagi, menyorotkan senter ke wajahku, aku mengedip silau.

"Kening kamu berdarah, Nay," ucapnya, bibir Zul sedikit komat-kamit membaca sesuatu, ia berdiri tepat di depanku, lalu meletakan ibu jari di lidahnya.

"Bismillah," gumamnya, ibu jarinya ditekankan di keningku, lalu diusap-usapnya perlahan.

Aku sedikit tergugu, memandang lekat ke arahnya, jantungku yang tadinya dag-dig-dug ketakutan, kini getarannya berganti haluan. Bukan karena takut, tapi....

Dia kembali menghampiri Ali yang masih menerangi mayat itu dengan senter, tangannya mencubit hidung, karena bau yang begitu mengganggu.

"Zul! Ambilkan teleponku!" pintaku sedikit mengeraskan suara, tanganku menunjuk ke arah ponsel.

Ketakutan refleks tadi membuat teleponku terpental jauh, senternya masih menyala jadi mudah menemukannya. Zul melenggang ke arah telepon yang kutunjuk,  meraih benda itu lalu mematikan nyala senter dan ia kembali menghampiri.

"Bawa senter yang aku bawa aja, ada dua lagi," usul Zul, ia menyerahkan ponsel lalu menurunkan tas yang digendong punggungnya, mengambil senter kecil dan menyerahkan satu padaku.

"Makasih, Zul."

"Ini ada satu lagi, kamu mau, Yas?" tanyanya pada Tiyas.

"Nggak deh, aku pegang HP punya aku aja," tolaknya.

Aku dan Tiyas tak berani mendekat pada mayat itu lagi, kami sedikit menjauh dari Zul dan Ali. Tiyas memandang sekeliling, suara lolongan anjing terdengar sayup di kejauhan sana.

"Aku takut, Nay," resahnya semakin mendekatkan tubuhnya denganku.

"Aku juga," keluhku sama resahnya.

Hutan ini begitu gelap, tak ada cahaya dari langit sedikit pun, terhalang pepohonan rimbun nan tinggi menjulang.

Tangan kami bertaut erat, suasana hutan terasa semakin mencekam, hawa dingin mulai merebak dibawa angin yang menerpa tubuh kami, dari gumaman Tiyas, dia menyesal sudah ikut ke dalam hutan ini.

"Gimana Zul? Mau diapain mayat ini?" tanya Ali menunjuk ke arah mayat.

"Kalau dibawa pulang rasanya nggak mungkin, sudah rusak dan bau bangkai, kita foto aja mayatnya, Li. nanti kita laporkan," saran Zul.

Memang akan sangat sulit jika kami harus membawa mayat itu pulang, selain kondisinya yang sudah mulai membusuk, baunya juga tak mungkin membuat kami tahan.

Ali mengarahkan senter ke arah mayat, Zul mengatur arah kamera ponselnya, beberapa kali jepretan ia ambil.

"Ayo kita pulang," ajak Ali. Dia memimpin jalan.

Untuk naik ke atas rasanya terlalu tinggi, kakiku juga masih terasa sangat sakit, aku jalan sedikit berjingkat dituntun oleh Tiyas.

kami memilih berjalan menyusuri dataran rendah tempatku terperosok tadi, berjalan di bawahnya, dan berharap di depan ada jalan untuk kami naik. Tak lupa Ali membuat tanda, memberi jejak pada jalan yang sudah kami lewati, agar tak tersesat. Bisa juga dijadikan tanda jika nanti kami melapor tentang keberadaan mayat tersebut.

Semakin jauh kami berjalan meninggalkan hutan, ada suara gemuruh air, ternyata di hutan ini ada sungai, Zul dan Ali menerangi sekeliling dengan senter mereka.

"Sepertinya ini sungai yang menuju ke kampung Pakidulan, kita ikuti aja sungai ini, dari kampung Pakidulan kita bisa berjalan menerobos sawah lapang, ke arah jalan kampung kita," ungkap Ali.

Kami berjalan mengikuti arah langkah kaki Ali, sementara Zul di belakangku dan Tiyas.

"Jam berapa ini, Yas?" tanyaku, rasanya sudah cukup lama aku di hutan ini.

Tiyas melirik jam tangannya dan mengarahkan pada Zul yang memegang senter.

"Jam sembilan, Nay," jawab Zul.

"Udah malam ternyata," sampai ketinggalan magrib, keluhku lirih.

Sungai menuju kampung tak tertutup pagar hutan, pagar hanya dipasang hingga tepi sungai, tapi kami tak tahu sungai tersebut dalam atau dangkal, airnya memang cukup tenang, tapi tak menjamin tak ada bahaya, apalagi malam begini. Untuk bisa keluar hutan, kami harus turun ke dalam sungai ini.

Ali turun lebih dulu, kakinya makin lama makin terendam hingga kedalaman sepinggang.

"Sambil pegang gini ya, ikutin aku," tutur Ali menunjukkan cara dia berjalan melewati sungai, tangannya bergelantung memegang tiang penyangga pagar kawat yang tertancap di pinggir sungai.

Giliranku dan Tiyas menuruni sungai, dalamnya kira-kira baru selutut, kakiku terseleo.

Byur!

Aku tercebur sedikit ke tengah.

"Nay!" pekik Tiyas

Sigap Zul dan Ali meraihku dari dalam air, seluruh tubuhku basah kuyup.

Celaka melulu sih aku, gerutuku sangat kesal, lalu istigfar, beruntung masih selamat juga.

Air sungai begitu dingin menembus tulang, tubuh rasanya mulai membeku, aku menggigil.

Setelah berjalan cukup jauh dari sungai dan meninggalkan hutan. Sampailah kami dikampung Pakidulan, masih cukup jauh menuju kampung tempat kontrakan kami.

Kampung ini tak kalah sepinya dengan kampung lainnya yang berdekatan dengan hutan ini, tak ada manusia yang berseliweran menjelang malam, penduduk menghasilkan malam di dalam rumah. Ini pasti karena rumor tentang hutan larangan, membuat mereka takut beraktivitas malam hari.

Perjalanan masih jauh, tubuhku semakin bergetar menggigil kedinginan, bajuku basah kuyup, sedangkan aku tak tahan dingin, badanku berguncang.

"Kamu kenapa, Nay?" tanya Tiyas bimbang melihatku.

"Aku kedinginan banget, Yas," sahutku, bibir bergetar dan gigiku berbunyi saling beradu.

"Aduh! gimana ini Zul?" tanya Tiyas.

Zul dan Ali mendekatiku, mereka mengajak istirahat sejenak.

"Buka aja gamisnya sampai ke pinggang lalu ikat, Nay. Nanti atasannya pake ini," titah Zul menyodorkan jaketnya.

Aku ikut saran Zul.

"Balik badanya," pintaku pada Zul dan Ali.

Mereka menuruti, Tiyas menjagaku mengawasi mereka, takutnya mengintip.

"Jaket kamu kok nggak basah, Zul? heran Tiyas.

"Sebelum turun ke sungai, aku buka dulu lah," jawab Zul.

"Aku nggak kepikiran tadi, sampai basah semua," timbrung Ali.

"Iya kalau panik dan buru-buru, ya ... gitu," tukas Zul.

"Ada plastik nggak?" tanyaku setelah selesai memakai jaket Zul.

Zul melihat tasnya, agak sedikit basah terendam air sungai tadi.

"Nih," asongnya. "buat apa?"

"Nggak usah kepo, balik badan!" Aku mendelik.

"Oh untuk si wadah gunung kembar," ledek Ali melihatku memasukkan bra yang basah ke dalam kantong plastik.

"Yang pasti, gunungnya nggak seseram hutan ini, gunung yang adem, bikin nyes," seloroh Zul.

"Gila ya, lelaki kalau bahas yang begitu nggak kenal tempat," marahku mendengar celotehan iseng mereka.

"Maaf, Nay. Bercanda. Sini masukan plastiknya," pinta Zul membuka tasnya.

Mereka berdua terkekeh, Tiyas juga ikut mesem melihat ketengilan mereka.

"Masih dingin, Nay?" Tiyas menggenggam jemari dan mengusap-usap telapak tanganku.

"Nggak terlalu," jawabku. Kami melanjutkan berjalan.

Akhirnya kami sampai di kontrakan, segera aku membersihkan diri, dan salat isya. Zul mengeluarkan makanan yang tadi ia bawa dalam tas, belum sempat kami makan.

Dia menyerahkannya padaku dan Tiyas. Tak selera makan rasanya, aku meringkuk dibalut selimut tebal, dinginnya benar-benar membuat tubuh terasa beku.

Zul dan Ali pamit pulang, mereka tak akan pulang ke kontrakan, pasti Muzi curiga. Malam ini Ali akan tidur di rumah Zul, motornya pun tadi sebelum ke hutan ditinggal di sana.

"Aku pulang, ya. Kalo ada apa-apa, telepon aja," pamit Zul

"Kamu janji, Yas. jangan cerita hal ini sama Muklis, demi keselamatan kita semua," pinta Ali.

"Iya, tenang aja, terus soal mayat itu gimana?"

"Besok kita bicarakan lagi, kita pikirkan harus lapor ke siapa," ulas Zul. "Kalian tenang saja, anggap nggak ada apa-apa, pokoknya pura-pura nggak tau."

Tiyas mengangguk mengerti pesan mereka, setelah mereka pergi, Tiyas mengunci pintu dan berbaring di dekatku yang masih menggigil.

"Masih dingin, Nay?"

"Huum."

"Aku bikinin teh anget, mau? tawarnya.

"Iya boleh, makasih, Yas."

"Nay, menurut kamu yang di hutan itu mayat siapa?" tanyanya seraya menyodorkan teh manis yang ia buat.

"Aku juga nggak tahu, Yas, tapi aku ada cerita, kan, soal mimpi, wanita itu mungkin saja yang selalu datang dalam mimpiku," jawabku, sambil menyeruput teh, rasanya hangat lewat di tenggorokanku.

"Jadi mimpi itu isyarat kasih tau kalau mereka ingin disempurnakan ya, Nay?"

"Bisa jadi, tapi aku nggak tau, Yas."

"Kasihan ya, Nay, kok bisa sampai dibuang di sana, siapa manusia yang tega berbuat seperti itu?"

"Entah lah, Yas, aku juga nggak tahu mayat siapa, untuk sementara kita pura-pura nggak tau aja, jangan bikin kepanikan."

"Iya, tenang aja."

Badanku sudah tak terlalu dingin, aku dan Tiyas pun mulai berbaring memejamkan mata. Baru terasa badanku pegal semua, bahkan kaki rasanya perih kanan kiri, entah terkena duri atau apa, waktu masih menggigil tadi tak berasa apa-apa.

Srek ... srek ... Srek. Suara seorang berjalan mendekati rumah ini, sama seperti di pabrik waktu itu.

Deg!

Apa itu perempuan yang menyeret kakinya waktu itu? Terdengar bergumam lirih di luar rumah ini, lalu suaranya hilang. Ia berjalan menjauh, apa benar yang di hutan itu adalah wanita yang selalu mendatangiku?

Kudengar suara terima kasihnya yang nyaris samar. Meskipun tak tahu siapa namanya, aku mengirimkan doa untuknya semoga amal ibadahnya di terima, dan diampuni segala dosanya, juga segera di dikebumikan dengan segera jasadnya yang masih di hutan sana. Aamiin.

           --🌳---🌳--

     Senin pagi aku dan Tiyas bersiap berangkat ke pabrik, Nining dan Lilis pun sudah sampai ke kontrakan ini.

"Kamu balik teu, Nay? (Kamu pulang nggak nay?)" tanya Nining.

"Nggak, Ning, aku tidur di sini sama Tiyas."

"Kirain jadi pulang, Nay," timpal Lilis.

"Hehe nggak jadi. Aku pulang siangnya, sore udah ke sini lagi nemenin Tiyas," sahutku sedikit berbohong.

Aku memegang tengkuk yang pegal, bahkan seluruh tubuhku rasanya sakit gara-gara malam terguling di hutan.

"Kamu sakit, Nay?" tanya Lilis.

"Nggak, cuma pegel dikit," ucapku tersenyum.

Sikap Lilis sudah kembali seperti biasa, tapi aku masih bimbang jika Lilis tahu Muzi mengutarakan rasa cintanya padaku. Ah... pasti Lilis sangat sakit hati.

"Nay, sini! ... lihat foto yang semalam aku foto," pinta Zul dan Ali menghampiri ketika aku sudah ada di pintu gerbang pabrik. Zul menunjukkan foto-foto itu padaku.

"Ya Allah," lirihku mendekap mulut.

"Ini pasti mayat yang menyeret kakinya, Nay. Selalu aku lihat dalam mimpi."

Kuperhati lagi mayat itu, kaki kirinya terlipat ke atas pinggangnya seperti sudah patah, wajahnya rusak dan belatung mengerumuni sekitar matanya juga bagian tubuh lain yang terbuka.

Huek!

Lagi-lagi aku mual, biarpun hanya dalam gambar, tapi aku sudah melihat aslinya malam tadi dan bau itu terbayang lagi.

"Aku udah kirim poto ini ke Pak Wardani, nanti beliau laporkan kejadian ini ke kantor polisi, semoga saja segera ditangani, nama kita sudah dijamin akan dirahasiakan," ungkap Zul

"Gimana kalau kita viralkan aja foto ini, Zul. Lewat sosmed, biar kita semua waspada, lama-lama aku kesal juga, sudah dua kali menghadapi hal pelik di hutan itu," gerutu Ali geram.

"Kita serahkan saja ke Pak Wardani dulu, nanti kita lihat hasilnya gimana."

Waktu istirahat makan siang, seperti biasa kami menuju kantin, aku tak masak lagi hari ini.

"Nay! Sini," panggil Muzi sedikit teriak, tangannya melambai ke arahku.

Lilis menatapku, seperti kesal melihat Muzi memanggil. Aku mengangkat bahu melirik pada Lilis. Kami duduk di bangku yang lain, tak kuhiraukan Muzi, dia malah mendekat membawakan makanan ke mejaku.

"Kamu ngapain sih?"

Mataku melirik Lilis yang mulai ketus, wajahnya tampak semakin kesal.

"Aku udah pesankan ini buat kamu." Muzi menyodorkan makanan ke meja di hadapanku.

"Kalau mau traktir harus adil, beliin juga semua temenku," tuturku.

Dia tak mendengarkan, langsung duduk di sebelahku. Lilis menghentikan kakinya lalu melangkah mencari tempat duduk lain.

Ah, benar-benar ya, si Muzi ini. Padahal aku dan Lilis sudah akur kemarin, malah sekarang begini lagi.

            --🌲---🌲--

     Pagi ini ketika aku akan masuk ke pabrik, ada seorang perempuan paruh baya dan seorang lelaki. Mungkin itu suaminya, lewat di hadapanku, tersenyum ramah, mereka berjalan tergesa menuju kantor. Segera aku masuk pabrik dan memulai pekerjaan.

Aku sedang sibuk membongkar jahitan yang salah, hari ini barang yang ditolak cukup banyak, malas sekali jika harus lembur.

"Nay."

Aku menoleh, Zul mendekat ke arahku.

"Kan, bener firasat aku," ujarnya tiba-tiba.

"Firasat apa?"

"Tentang bayangan itu, tadi ada orang tua yang mencari anaknya, udah dua hari anak mereka yang kerja di sini nggak pulang," terang Zul.

"Berarti bayangan bergerak itu memang sebuah isyarat," sambungnya.

"Terus gimana?"

Tiba-tiba orang dari dalam pabrik berhambur ke luar, aku dan Zul belum sempat menyelesaikan perbincangan, ikut merapat ke arah jendela melihat keadaan di luar.

Beberapa orang berseragam polisi, membawa sebuah bag plastik besar. Aku bertatapan dengan Zul, jangan-jangan itu....

Zul berhambur ke luar, aku masih di dalam memerhati, kulihat Zul bertanya pada polisi itu, aku hanya bisa melihat anggukan dan gerakan tangan mereka saja dari jauh.

Zul menganggukkan kepala, polisi itu berlalu ikut rombongan lain yang lebih dulu berjalan membawa bungkusan plastik.

"Itu mayat yang kita temukan di hutan, Nay," ungkapnya setelah berada di hadapanku.

"Pak Wardani melaporkan langsung ke kantor pusat, Insya Allah nama kita aman," Lanjutnya kemudian.

"Alhamdulillah, semoga bisa dikebumikan dengan selayaknya dan kasusnya segera diusut.

"Iya, Nay aamiin, nanti aku cari tahu siapa orang yang meninggal itu, pasti akan dibawa dulu ke rumah sakit untuk pemeriksaan penyebab kematian dan identifikasi jenazah," terang Zul.

Satu mayat ditemukan, namun satu orang lagi hilang, makin pelik saja rasanya, ada apa sebenarnya di hutan itu?

***

Agan, sista, cerita ini bisa Agan baca terusannya, di Play Store, ketik aja judul

SHAKILA MISTERI HUTAN LARANGAN
Diubah oleh aisyahzshaki053 25-10-2021 08:45
makgendhis
axxis2sixx
itkgid
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.