Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Kami duduk berdampingan dalam diam. Hanya meja kayu kecil yang memisahkan gua dan Dita. Sementara tak ada tanda-tanda hujan akan mereda, semakin malam hujan malah turun semakin deras. Cipratan air dari talang kini hampir mengenai kaki gua.
“Sejujurnya, kalo lo mau tau apa yang barusan terjadi. Gw juga nggak punya jawabannya…” Dita mulai angkat bicara, sementara matanya memandang kosong ke depan. Dagunya ia tenggelamkan di sela-sela kedua lututnya yang dilipat. Kata-kata Dita barusan sepertinya merujuk pada kejadian pulangnya Larissa, Sekar dan Rio.
“Lo nggak penasaran?” Tanya Dita sambil berusaha melihat gua dalam kegelapan.
Gua menggeleng.
Kemudian kami kembali tenggelam dalam diam.
“Kalo lampunya nggak nyala-nyala sampe pagi gimana ya bi?” Dita kembali melayangkan pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang gua pun nggak tau jawabannya.
“Nggak ada orang, gw takut sendirian…” Tambahnya pelan.
“Trus ayamnya siapa yang mau makan…” Gerutu Dita.
Ia lalu berdiri, terlihat kesal. Kemudian melangkah masuk kedalam. Nggak lama berselang ia kembali lagi dan duduk di tempatnya semula; Takut.
“Anterin ke dapur bi..” Pinta-nya, yang terdengar lebih mirip seperti perintah.
“Ngapain?” Gua bertanya.
“Ngambil ayam…” Dita menjawab singkat.
“Gua aja yang ambil, lo tunggu sini aja kalo takut..” Gua bangkit berdiri kemudian bersiap masuk kedalam. Seketika, Dita meraih kaos gua; “Justru gw takut kalo sendirian, gw ikut!” Ujarnya, kemudian ikut berdiri dan berjalan dibelakang gua. Sama seperti tadi, ia memeluk lengan gua sambil berjalan dibelakang.
Tumpukan ayam goreng kini tersaji. Di Atas meja kecil yang memisahkan kursi gua dan Dita. Ia lalu mengambil sepotong, mulai menggigit dan memakannya. Nggak butuh waktu lama buat Dita menghabiskan sepotong ayam goreng, disusul dengan potongan kedua dan potongan berikutnya dan potongan berikutnya.
“Bian…” Ia memanggil, begitu gua menoleh dengan dagunya Dita memberikan isyarat agar gua turut bergabung bersamanya dalam misi; ‘Menghabiskan Ayam Goreng’.
Gua mengambil satu potong ayam, sengaja memilih potongan paling kecil dan mulai makan.
‘Gini ternyata ngumpul sama temen-temen yang katanya seru’ gumam gua dalam hati sambil terus mengunyah ayam goreng.
Selepas menghabiskan dua potong ayam (dipaksa Dita tentunya) gua berdiri; berencana pulang. ‘Nggak ada gunanya juga gua terus berada disini’ pikir gua dalam hati.
“Lo mau kemana?” Tanya Dita begitu melihat gua berdiri.
“Balik” gua menjawab singkat.
“Gw gimana?” Dita kembali bertanya.
Gua menghentikan langkah dihadapannya.
“Dirumah lo kan juga pasti mati lampu..” Tambahnya.
Beberapa menit setelahnya. Tanpa melakukan mediasi maupun diskusi (yang memang gua hindari) kami berdua berjalan menembus hujan; ke arah rumah gua.
Dibawah payung yang sama; Dita berjalan sambil kakinya sesekali memainkan genangan air yang kami lewati, sementara kunci rumahnya ia kalungkan di jari tangannya. “Seru ya bi..” ujar Dita.
“Apanya?” gua bertanya, memastikan pernyataan barusan. Mati lampu dan hujan deras, gua sama sekali nggak menemukan keseruan dari dua hal tersebut.
“Main air…” Jawabnya singkat sambil tetap kakinya memainkan air yang menggenang. Sesekali ia menendang lepas sandalnya ke depan, dimana aliran air akan membawa kembali ke kakinya. Beberapa kali juga ia kedapatan keluar dari jangkauan payung hanya untuk sekedar merasakan tetesan air hujan di kepalanya.
“Ini rumah lo?” Dita bertanya begitu kami berdua sampai dirumah.
Gua mengangguk sambil mencoba membuka pagar.
“Ada siapa?” ia kembali bertanya.
“Nggak ada siapa-siapa” Gua menjawab cepat.
Mendengar jawaban gua, Dita lalu mematung, membuat dirinya kembali keluar jangkauan payung. Gua kemudian menariknya masuk melintasi pagar.
“Lo nggak bakal ngapa-ngapain gua kan bi?” Tanyanya sambil menyilangkan kedua tangan didepan dada.
Gua menoleh ke arahnya. ‘Kalo mau gua apa-apain, udah gua lakukan dirumah lo tadi’ ujar gw dalam hati.
“Bian…”
“...”
“Lo nggak bakal ngapa-ngapain gua kan?” Dita mengulang pertanyaannya.
“Nggak!” gua menjawab singkat sambil membuka kunci pintu rumah.
Begitu masuk kedalam, gua meraih lampu darurat yang memang sengaja disiapkan dekat dengan pemutus arus listrik (MCB) yang berada di ruang tamu, kemudian menyalakannya.
Dita lalu duduk di sofa, tempat paling dekat dengan posisinya berdiri. Sementara lampu darurat gua letakkan di meja tamu. Wajahnya kali ini terlihat jelas, ada ekspresi takut, lega dan kikuk yang bercampur menjadi satu.
“Lo mau kemana?” Tanya Dita begitu melihat gua menjauh.
“Ke kamar…”
“Gw gimana?” lagi-lagi pertanyaan yang sama ia lontarkan.
Gua menghentikan langkah sambil menghela nafas panjang. Kemudian mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Sambil bersandar di sofa, gua menyilangkan kaki diatas meja; “Gua mau ganti baju…”
Dita nggak menggubrisnya. Ia tetap diam, matanya memandang nanar ke arah lampu darurat.
“Jangan lama-lama…” ujarnya pelan, sangat pelan.
Gua pun kembali bangkit, berdiri dan berjalan menuju gelapnya kamar.
---
Gua kembali sambil menenteng bantal ke ruang tamu, dimana Dita saat ini tengah duduk meringkuk, terlihat ketakutan.
“Lo tidur di kamar gua aja, gua tidur disini..” Tawar gua ke Dita sambil menunjuk ke arah kamar.
Dita nggak langsung merespon, ia menoleh ke arah kamar gua yang terlihat gelap gulita kemudian berpaling menatap gua yang kali ini sudah duduk di sebelahnya.
“Yaudah…” gua lalu berdiri dan bergegas kembali ke dalam kamar. Dita memilih tidur di ruang tamu, yang artinya gua yang tidur dikamar.
Tak disangka, Dita langsung menyabet lampu darurat kemudian berlari menyusul gua masuk kedalam kamar.
Ukuran kamar gua nggak terlalu luas, mungkin kira-kira; 3x3m atau mungkin 3x4m entahlah. Isinya pun terbilang sederhana, nggak terlalu banyak barang. Hanya sebuah kasur, meja belajar dan lemari pakaian. Tak ada poster-poster yang menempel pada dinding kamar, tak ada pula hiburan lain seperti TV maupun gitar. Radio yang terletak di meja belajar pun, baru-baru ini gua pindahkan dari ruang keluarga, karena nggak ada satupun yang menggunakannya.
Gua meraih lampu darurat dari tangan Dita kemudian meletakkannya di meja belajar. Dita yang sejak tadi berada di belakang gua perlahan maju, matanya berkeliling.
“Lo tidur diatas” Gua bicara ke Dita sambil menunjuk ke arah kasur.
“Lo?” Dita bertanya. Yang lalu gua jawab dengan menunjuk ke arah lantai di sebelah kasur.
Ia lalu duduk di atas tepian kasur, sementara gua mengambil selimut dari dalam lemari dan menyerahkannya ke Dita. Kemudian menggelar selimut lama gua tepat diantara kasur dan meja belajar.
“Bokap nyokap lo pada kemana?” Tanya Dita yang kini berbaring menghadap ke gua. Sementara gua berada 20 cm dibawahnya.
“Kerja” gua menjawab singkat, sambil menutupi mata dengan lengan, mencoba untuk tidur.
Suasana lalu hening.
“Bi…”
“Hmm…” Enggan menjawab, hanya memberi tanda kalau gua masih belum tidur.
“Lo belom jawab pertanyaan gw tadi di dapur…” Tanya Dita.
“...”
“Lo Suka kan sama Sasa?” Tambahnya, suaranya terdengar amat lirih, seakan takut didengar oleh orang lain.
Gua nggak menjawab. Entah, gua nggak tau atau gua belum punya jawabannya. Seandainya pun gua udah punya jawabannya, gua nggak akan dengan mudah mengakuinya.
“Bi..”
“Hmm…”
“Nanti kalo lo udah tidur, gw boleh pegang tangan lo kalo gw takut?” Dita mengajukan pertanyaan. Nadanya sama seperti nada saat ia bertanya tentang perasaan gua ke Larissa.
Gua mengangkat lengan yang menutupi kedua mata, melihat ke arah Dita yang memandang kosong ke arah lampu darurat diseberangnya.
“Ya..” gua menjawab pelan.
Beberapa saat berikutnya, kala gua nyaris tertidur. Terlihat dari sela-sela tirai yang menembus jendela; Kilau kilat yang kemudian disusul gemuruh suara petir yang saling menyusul.
Sesuatu yang dingin menyentuh gua; Dita.
Tangannya mencengkram erat lengan gua, sementara kepalanya ia tutupi dengan bantal. Gua melepaskan cengkramannya yang kuat, lalu duduk dan bersandar pada tepian kasur. Kali ini Dita mengalungkan lengannya di pundak dan memeluk gua dengan sebelah tangannya.
Menit berganti jam.
Sekeras apapun gua mencoba memejamkan mata, gua nggak berhasil tidur. Lalu sebuah bisikan terdengar. Suaranya dekat dengan telinga gua…
lalu...
Sisa malam itu gua habiskan dengan duduk bersandar pada tepian kasur. Nggak sedetik-pun gua berfikir untuk tidur; Deg-degan!
---
“Abiaan...” Suara Bokap memanggil dari lantai bawah.
Gua yang tengah menjemur baju di lantai atas bergegas turun. Nggak biasanya bokap memanggil dengan nama depan gua. Apalagi saat ini ada seorang cewek yang tengah tertidur dikamar dan gua belum memberikan penjelasan apapun kepadanya.
Dari tangga menuju kebawah, terlihat bokap gua tengah berdiri, masih mengenakan sarung dan singlet favoritnya, di tangannya tergenggam secangkir kopi yang uapnya masih mengepul. Sementara, nggak jauh dari tempatnya saat ini berdiri Dita yang sepertinya baru saja bangun. Keduanya saling menatap, tatapan kebingungan; both of them.
Gua berdiri diantara mereka, kikuk. “Dit, ini Bokap…” Gua bicara ke Dita, kemudian berpaling ke Bokap; “Pah, ini Dita”
“Kamu ini gimana…” ucap bokap buka suara, sambil duduk di kursi meja makan.
“...” Gua berdiri mematung.
Memang sudah sejak lama gua nggak banyak berkomunikasi dengan bokap. Tapi, jarang komunikasi bukan berarti gua nggak tau wataknya. Ia memang jarang sekali marah, namun sekalinya marah, gua rasa Hercules sekalipun bakal mikir dua kali untuk menghadapinya. Dan bukan nggak mungkin gara-gara kejadian ini (bawa pulang cewek ke rumah), Ia bakal ngamuk abis-abisan. Skenario terburuk; gua diusir atau dimasukin ke pesantren.
“... ada tamu kenapa nggak dibikinin sarapan…” tambahnya.
Hah! Gua kaget mendengar respon bokap yang nggak sesuai dengan prediksi gua.
Ok, gua nggak mau terhanyut. Jangan-jangan bokap hanya menunda marahnya. Ketika Dita pulang bisa jadi skenario yang sempat gua bayangkan terjadi.
“Makasih Om, nggak usah saya masih kenyang…” Dita memberanikan bicara, sementara kepalanya masih ia tundukkan.
“Eh.. jangan-jangan.. sarapan dulu… sini-sini duduk…” Bokap gua merespon kemudian mempersilahkan Dita duduk dengan menarik salah satu kursi kosong yang berada di meja makan.
“Heh, sarapan.. mana..” Ujar bokap ke gua; sinis.
Gua menghela nafas, lalu membuka pintu kulkas dan mengeluarkan beberapa butir telur kemudian mulai memasaknya.
Dita berdiri. Dari gesturnya ia seperti ingin membantu gua. Yang lalu di sela oleh Bokap; “Hey, sst… udah jangan, biarin…” ucapnya ke Dita sambil menggelengkan kepalanya, kemudian memberi kode agar Dita kembali duduk.
“Nyuci-nya udah?” Tanya bokap ke gua begitu selesai menghidangkan sarapan; telur goreng diatas meja makan.
Gua menggeleng pelan.
“Yaudah lanjutin dulu sana..” Perintah bokap gua.
Gua kemudian beranjak, kembali ke lantai atas. Dari lantai atas terdengar samar suara obrolan seru antara Bokap gua dan Dita yang kadang diselingi suara tawa yang tertahan.
‘Pasti ngomongin gua’ ujar gua dalam hati.
Dan, gua nggak mau orang tau banyak hal tentang gua apalagi dari bokap. Kenapa? Pertama; ceritanya nggak 100% valid. Kedua; Gua benci masa lalu. Gua buru-buru menyelesaikan pekerjaan kemudian secepat kilat turun kebawah.
Gua berjalan melewati mereka berdua; yang tiba-tiba diam saat gua melintas menuju ke kamar. Mengambil Sweater dan bergegas kembali ke ruang makan.
“Ayo…” Gua menarik tangan Dita.
Dita, yang kini sepertinya menikmati ngobrol dengan bokap menatap gua bingung. Tapi, tetap menuruti gua. Ia berdiri.
“Nganter Dita dulu…” Gua pamit ke bokap. Sementara Bokap terlihat sedikit kecewa karena kehilangan teman ngobrol.
“Pulang dulu Om…” Ucap Dita sambil sedikit menundukkan kepalanya. Ekspresinya masih terlihat kebingungan.
“Ya hati-hati…” Balas Bokap, masih dengan tatapan nggak rela. Namun, dibalik tatapan itu, ada secercah kebahagiaan yang tersirat.
---
“Bokap gua cerita apa aja?” Gua bertanya ke Dita di perjalanan pulang menuju ke rumahnya.
“Cerita elo..” jawab Dita kemudian tersenyum.
“Cerita apa?” Gua kembali bertanya.
“Ada deeeeh….” Dita menjawab sambil meledek.
Gua menarik nafas panjang. Pasrah.
“Bi, semalem lo nggak denger apa-apa kan?”
Gua menggeleng. Berbohong!
Mungkin Dita mengira gua tertidur sehingga nggak mendengar ucapannya. Nyatanya, gua dengan jelas mendengarnya; Kata-kata yang membuat gua di sisa malam itu deg-degan nggak bisa tidur.
Kami berdua berdiri diam di depan pagar rumah Dita.
“Lo nggak mau mampir dulu?” Dita bicara, sementara kakinya memainkan kerikil-kerikil kecil di jalan.
“Nggak” gua menjawab.
“Yaudah, bye…” Dita kemudian membuka pintu pagar dan masuk. Baru beberapa langkah berjalan, ia memutar tubuhnya dan berjalan kembali ke tempat gua berdiri. Sedikit berjinjit, ia mencium pipi kiri gua. Lalu dengan cepat berbalik dan berlari masuk ke dalam rumahnya. Sementara, disini gua masih berdiri, meraba pipi kiri gua, sambil menatap kosong ke arah pintu rumah Dita yang kini tertutup rapat.
What the hell is that?
Anyone Of Us (Stupid Mistake) - Gareth Gates
I've been letting you down, down
Girl I know I've been such a fool
Giving in to temptation
When I should've played it cool
The situation got out of hand
I hope you understand
It can happen to..
Anyone of us, anyone you think of
Anyone can fall
Anyone can hurt someone they love
Hearts will break
'Cause I made a stupid mistake
It can happen to..
Anyone of us, say you will forgive me
Anyone can fail
Say you will believe me
I can't take my heart will break
'Cause I made a stupid mistake
A stupid mistake
She was kind of exciting
A little crazy I should've known
She must have altered my senses
'Cause I offered to walk her home
The situation got out of hand
I hope you understand
A stupid mistake
she means nothing to me
(nothing to me)
I swear every word is true
don't wanna lose you