Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua duduk disofa yang berada tepat di sebelah meja kecil tempat pesawat telepon berada. Terdiam memandang pesawat telepon sementara tangan gua menggenggam sobekan kertas yang berisi catatan nomor telepon Larissa. Gua mengangkat gagang telepon dan menekan 7 deret angka nomor telepon milik Larissa.
Nada dering berbunyi. Satu kali… Dua kali… Tiga kali… trek’
“Halo Assalamualaikum…” Terdengar suara salam Larissa dari ujung sana atau gua anggap begitu.
“Waalaikum salam… Sa…” Gua menjawab salam lalu menyebut namanya pelan.
Hening, tak ada jawaban dari ujung telepon, disusul sebuah teriakan yang terdengar samar; “Saaaaaa telpooon…”
Masih terdengar samar dari ujung telepon, seperti percakapan dua orang;
“Siapa?” Tanya suara lain di ujung sana.
“Nggak tau, cowok” Jawab suara pertama yang sepertinya si pengangkat telpon gua barusan
“Halo…” Kembali terdengar suara sapaan, dan suaranya sama persis dengan suara cewek sebelumnya.
“Halo, Sa..” Gua mengulang sapaan.
“Eh, Bian… Kenapa? jangan bilang lo nggak jadi ke tempat Dita?”
“...”
“Pokoknya lo harus dateng, apapun yang terjadi…”
“...”
“Pokoknya awas aja kalo lo sampe nggak jadi dateng..” Larissa mencerca gua dengan asumsi, tanpa memberikan gua kesempatan untuk meneruskan pembicaraan. Bagaimana mungkin gua bisa belajar bersosialisasi dari orang macam ini.
“Gimana gua bisa dateng…” Gua mencoba menjelaskan, tapi lagi-lagi Larissa memotong penjelasan gua.
“Tuuuh kaaaaan…. Biaan…”
“... Kalo gua nggak tau rumahnya…” Gua akhirnya berhasil melengkapi kalimat.
“Ooooh… iya ya…” Larissa baru menyadari kalau gua emang belum tau lokasi rumah Dita. Diseberang sana terdengar suara gumam khas Larissa, gumaman yang biasanya dilakukan saat berpikir. Sementara, gua disini membayangkan wajahnya yang menggemaskan kala sedang melakukan hal tersebut.
“Gini aja Bi, lo jemput gua aja dulu… ntar kita berangkat bareng ke rumah Dita..” Larissa mengusulkan opsi.
“...”
“Atau lo yang gua jemput…” Ia lalu menambahkan solusi lain.
“Nggak, sebutin aja alamatnya, gua kesana sendiri…” Gua memberikan alternatif lain.
“Yakin…? ah ntar lo nggak dateng. Gw jemput aja ya..” Larissa terdengar memaksakan opsi pilihannya.
“Sebutin aja alamatnya…” Gua bersikeras.
“Yaudah… nih catet…” Larissa akhirnya menyerah dan mulai menyebutkan alamat rumah Dita beserta dengan patokan-patokan jelas agar gua nggak nyasar.
“Thank you… bye..”
“Biaaan…”
“...”
“Lo beneran mau dateng kaan?” Tanya Larissa nggak yakin.
Gua nggak menjawab, lantas menutup telepon.
Baru saja gua meletakkan gagang telepon, beberapa detik kemudian pesawat telepon gua berdering. Gua lalu mengangkatnya; “Halo…”
“Kan gw udah pernah bilang, jangan pergi dulu kalo orang belum selesai ngomong…” Suara Larissa langsung menggema di telinga.
“Iya sorry…”
“Yaudah, sampe ketemu ntar di rumah Dita… bye.” tut tut tut tut
---
Setengah jam berikutnya gua sudah berdiri di depan rumah berlantai dua, dengan pagar tinggi bermotif kayu yang menutupi carport, sepertinya sengaja nggak dipasang terlalu rapat. Sehingga orang dari luar masih bisa sedikit ‘mengintip’ ke arah dalam. Gua melihat catatan alamat yang tadi gua tulis berdasarkan informasi dari Larissa, kemudian mencocokkannya dengan nomor rumah yang berada pada tembok sisi sebelah kiri. Nggak seperti rumah Larissa yang berada di dalam komplek perumahan yang terhitung bonafit, rumah Dita berada di dalam komplek perumahan lama. Dan yang cukup mengejutkan; satu komplek dengan rumah gua.
Gua berdiri lama di depan rumah Dita, cukup lama hingga membuat kedua kaki gua kesemutan. Kemudian cahaya lampu motor, menyilaukan mata gua. Motor tersebut berhenti tepat di depan rumah Dita, pengendaranya turun, lalu membuka helm-nya; Rio.
“Ngapain disitu?” Tanyanya seraya berjalan ke arah pagar dan membukanya.
“Masuk..” Rio melambaikan tangannya, memanggil. Gua mendekat dan kemudian ikut masuk kedalam bersama Rio.
“Yeaaaay… Biaaaann..” Terdengar teriakan Larissa dari dalam ruang tamu begitu melihat gua masuk bersama Rio. Ia tengah duduk di sofa sementara Dita dan Sekar duduk dilantai beralaskan permadani tebal.
“Kok bisa bareng Rio?” Tanya Dita yang tengah asik duduk di sofa sambil menikmati sesuatu yang dia ambil dari kemasan snack yang dipegang Larissa.
“Udah dateng dari tadi kayaknya dia, diem aja diri diluar kayak patung..” Rio menjelaskan sambil membuka jaketnya. Kemudian dengan santainya bersandar di sofa tepat bersebelahan dengan Dita.
“Sini duduk…” Larissa menawarkan tempat sembari menepuk-nepuk sofa tepat di sebelahnya.
Gua mendekat kemudian duduk tepat di posisi yang ditunjukkan Larissa.
“Naek apa, bi?” Tanya Larissa.
“Jalan” Gua menjawab singkat.
“Hah Jalan?!” Sambut Sekar seakan nggak percaya.
“Deket rumah gua…”
“Dimana?” Kali ini Larissa yang kembali bertanya.
“Blok B” Jawab gua sambil menunjuk ke arah depan. FYI Rumah Dita berada di Blok D, means rumah kami berdua hanya terpaut dua blok saja. Jika ditempuh dengan berjalan kaki paling kira-kira hanya membutuhkan waktu 10-15 menit. Itu kalo jalannya santai, kalo jalan mundur bisa setengah jam lah.
Mereka bertiga (kecuali Rio) lalu saling menatap, seakan nggak percaya.
“Jadi…? Selama ini lo sama Dita sekomplek…?” Tanya Larissa.
Gua mengangguk.
Tiba-tiba, sebuah sikutan mendarat di perut gua. “Kenapa nggak ngomong dari dulu…” Ujar Larissa, sementara sikutnya masih menempel di ulu hati gua.
Sikutan Larissa membuat gua terbatuk-batuk. Entah karena keramahan tuan rumah atau kasihan sama gua; Dita tergopoh-gopoh mengambilkan minum dan memberikannya ke gua.
“Thank you..” Ucap gua seraya menerima gelas berisi minuman dari Dita.
Nggak seberapa lama, kami lalu mulai menonton VCD film horor yang menurut gua nggak begitu menyeramkan. Justru berada disebelah Larissa saat menonton film model seperti ini lah yang jadi bagian paling Horor. Entah sudah berapa kali ia mencubit, menyikut dan menjewer telinga gua kala gemes dengan kelakuan para aktor dalam film. Nggak hanya itu, Larissa juga terkadang suka terbawa emosi saat ada adegan sedih atau tokoh yang berlaku nggak sesuai dengan prediksinya.
“Iiih… ngapain kesitu sihh… udah tau sereemm… bego banget..” Ujarnya kala itu, saat melihat si karakter utama sengaja mendatangi rumah kosong yang dikenal angker.
“Ya klo dia nggak dateng kesitu, ceritanya abis dong Sa..” Timpal Sekar santai.
Disisi lain, Dita terlihat nggak pernah menurunkan bantal kecil yang ia gunakkan untuk menutupi wajahnya saat ada adegan ‘Jumpscare’.
Level kehororan film yang kami tonton semakin lengkap saat tiba-tiba hujan deras turun. Sementara, Sekar memandangi keluar jendela seakan begitu pilu-nya melihat hujan; “Kita nggak jadi bakar ayam deh kalo ujan terus..” Ucapnya sedih.
“Udah yuk kita goreng aja ayamnya Kar..” Ajak Dita yang sejak tadi terlihat ingin segera mengakhiri film horor yang tengah kami tonton.
“Ih lagu seru Dit…” Tolak Sekar.
Dita kembali diam, sementara bantal masih menutupi wajahnya.
---
“Bian…” Dita memanggil selepas gua dari kamar mandi.
“Lo ga usah bantuin, duduk aja. Yang penting gw ada yang nemenin…” Tambah Dita sedikit memohon.
Gua mengangguk setuju.
Beberapa menit berselang, Dita mulai menggoreng ayam yang awalnya disiapkan untuk dibakar. Beberapa kali ia kedapatan menoleh ke arah gua, sepertinya takut di tinggalkan sendiri.
“Bi…” Dita memanggil.
“Ya” Gua menjawab singkat.
“Lo cerita apa kek, nyanyi kek.. biar gw tau kalo lo ada disitu” Dita meminta. Tebakan gua benar, Dita ketakutan gua tinggal sendirian
Gua bangkit berdiri dan menuju ke arah Dita. Jujur, gua nggak bisa mengabulkan satu pun dari permintaan Dita; Cerita dan Nyanyi. Jadi, gua mengambil Spatula dari tangannya yang tengah membolak-balik ayam; “Lo duduk aja” gua bicara ke Dita.
Ia lalu berjalan mundur dan duduk di salah satu kursi meja makan terdekat. Setelah membalik ayam, gua meletakkan spatula disisi kompor kemudian duduk di sebelahnya. Dita menatap gua; “Nggak di bolak balik, bi?” Tanyanya.
“Nggak usah” gua menjelaskan. Dengan menggunakan minyak panas yang cukup banyak (seperti yang digunakan Dita saat ini) menggoreng ayam nggak perlu terlalu sering di bolak-balik. Cukup balik saat sisi bawahnya sudah cukup matang, lalu tunggu hingga sisi sebelahnya matang, angkat, tiriskan. Sejatinya ingin gua menjelaskan hal ini ke Dita, tapi gua nggak tau caranya.
“Bian…” Dita memanggil gua.
Gua merespon dengan menoleh.
“Lo suka ya sama Larissa?” Tanya Dita, menunduk, tanpa berani menatap gua, sambil memainkan jari jemarinya.
“...”
Jedar! Suara petir menyambar. Disusul oleh padamnya listrik
Wajah Panik dan Takut Dita samar terkena pantulan cahaya dari kompor yang masih menyala. “Biaan…” Dita memanggil, suaranya pelan.
Gua meniriskan Ayam goreng yang entah sudah matang atau belum, mematikan kompor lalu, seketika ruangan dapur menjadi gelap gulita. “Biaaan…” Dita kembali memanggil nama gua.
Hanya berdasarkan ingatan akan posisi duduk Dita sebelumnya, gua berjalan mendekat ke arahnya. Dita, meraih lengan gua begitu mendekat, dan ia menggenggamnya erat.
“Ada lilin?” Gua bertanya ke Dita
“Ada…” Jawabnya pelan, seraya mendorong tubuh gua pelan. Sementara ia masih mendekap lengan gua, sambil sesekali memberi direksi arah ke lokasi ia menyimpan lilin. Beberapa kali gua menabrak sesuatu sebelum akhirnya Dita menarik lengan gua; “Disini, bi.. Sebelah kanan”
Gua menghentikan langkah, kemudian meraba-raba area sebelah kanan kami.
“Koreknya?” Gua bertanya ke Dita, sesaat setelah gua menemukan lilin.
“Lo Nggak punya?” Dita balik bertanya, sementara ia masih konsisten memeluk lengan sebelah kiri gua.
Gua berbalik, kembali melangkah menuju ke dapur berencana menyalakan lilin melalui api dari kompor. Dita yang berada di belakang gua tetap mengikuti dengan langkah-langkah kecil agar nggak menabrak kaki gua.
“Kok anak-anak pada nggak ada suaranya ya?” Tanya Dita, begitu gua berhasil menyalakan lilin dan meletakkan salah satunya di atas meja dapur. Sementara, gua berencana untuk mengantarkan lilin yang sudah dinyalakan ke Ruang tamu.
“Ikut Bi…” Dita menyusul, kembali memeluk lengan gua.
Menit berikutnya kami berdua sudah berada di ruang tamu. Nggak seperti di dapur, kondisi di ruang tamu ‘lumayan’ terang. Cahaya tipis dari luar sedikit-banyak membantu mata beradaptasi dengan kegelapan yang pekat. Terlihat Sekar tengah duduk sendirian di atas sofa sambil menghabiskan snack di tangannya. Gua meletakkan lilin, di meja telepon, Dita lalu menjatuhkan dirinya diatas sofa yang kosong, sementara tangannya masih menggenggam lengan gua.
“Pada kemana?” Dita sepertinya bertanya ke Sekar, yang lalu dijawab oleh Sekar dengan menunjukkan arah luar dengan dagunya.
Gua menyibak tirai jendela yang tepat berada bersisian dengan teras rumah dan ruang tamu. Terlihat, walaupun agak samar; Larissa duduk di kursi kayu depan teras, dua kakinya dinaikkan ke kursi, kedua tangannya memeluk kedua kakinya. Sementara kepalanya ia tundukan hingga menyentuh lutut. Dihadapan Larissa, Rio berdiri, bersandar pada pilar sambil menghisap rokoknya, wajahnya terlihat tegang.
“Ssst.. Bian..” Sekar berbisik memanggil gua, sambil menarik baju gua.
Gua menoleh ke arah Sekar, ia meletakkan jari telunjuk tangan kanannya di depan bibir kemudian memberikan kode agar gua duduk.
“Mereka lagi ngobrol serius...hihihi..” Sekar angkat bicara.
Kilat menyambar, lalu disusul suara gemuruh petir menggelegar; Jedar!
Nggak lama setelah-nya, Larissa masuk kedalam lalu sekonyong-konyong menjatuhkan dirinya di pelukan Sekar. Samar terdengar suara isak tangis dari Larissa, Sekar yang awalnya terlihat shock kemudian membelai kepala Larissa sambil sesekali membisikinya sesuatu. Menit berikutnya, Larissa, Sekar, dan Rio terlibat dalam sebuah obrolan yang sepertinya cukup penting. Melihat sepertinya gua nggak begitu diperlukan dalam percakapan tersebut, gua pun pergi keluar, berdiri di sisi terjauh teras sambil menadahkan tangan, menyentuh tetesan hujan.
Beberapa menit berikutnya, Sekar keluar dari dalam rumah sambil membawa tas, tas yang gua kenali sebagai milik Larissa. Sekar masuk kedalam mobil yang terparkir di carport dan mulai menyalakan mesinnya. Seketika, semua berubah menjadi amat terang dan menyilaukan karena sinar lampu dari mobil milik Sekar. Nggak lama kemudian, Larissa; dengan sweater merah dan kepala yang ditutupi hoodie berjalan cepat menuju ke mobil milik Sekar, membuka pintu depan sebelah kiri dan masuk kedalamnya.
Sekar memundurkan mobil, sedikit memutar kemudian pergi. Menit berikutnya, disusul Rio yang buru-buru mengenakan jaket juga helmnya. Dalam hujan ia berlari kecil menuju ke tempat motornya diparkir, menyalakannya dan bergegas pergi.
Tak ada informasi dan penjelasan apa-apa yang gua terima tentang hal yang terjadi barusan. Gua hanya berdiri, diam mematung, memandang kosong ke arah carport basah yang kini kosong.
Gua menoleh, terlihat kali ini Dita menjatuhkan diri di kursi teras. Ia duduk dengan pose yang sama dengan Larissa tadi; kedua kakinya dinaikkan ke kursi, kedua tangannya memeluk kedua kaki. “Lo, mau balik juga?” Tanya Dita
“Iya…” Gua menjawab singkat.
“Mau nggak nemenin gw sampe lampu nyala?”
Gua mengangguk, kemudian duduk disebelahnya.
If You're Not The One -Daniel Bedingfield
If you're not the one then why does my soul feel glad today?
If you're not the one then why does my hand fit yours this way?
If you are not mine then why does your heart return my call?
If you are not mine would I have the strength to stand at all?
I never know what the future brings
But I know you're here with me now
We'll make it through
And I hope you are the one I share my life with
I don't want to run away but I can't take it, I don't understand
If I'm not made for you then why does my heart tell me that I am?
Is there any way that I could stay in your arms?
If I don't need you then why am I crying on my bed?
If I don't need you then why does your name resound in my head?
If you're not for me then why does this distance maim my life?
If you're not for me then why do I dream of you as my wife?
I don't know why you're so far away
But I know that this much is true
We'll make it through
And I hope you are the one I share my life with
And I wish that you could be the one I die with
And I'm praying you're the one I build my home with
I hope I love you all my life
I don't want to run away but I can't take it, I don't understand
If I'm not made for you then why does my heart tell me that I am?
Is there any way that I could stay in your arms?
'Cause I miss you, body and soul so strong that it takes my breath away
And I breathe you into my heart and pray for the strength to stand today
'Cause I love you, whether it's wrong or right
And though I can't be with you tonight
You know my heart is by your side
I don't want to run away but I can't take it, I don't understand
If I'm not made for you then why does my heart tell me that I am?
Is there any way that I could stay in your arms?