- Beranda
- Stories from the Heart
LIMA BELAS MENIT
...
TS
gitartua24
LIMA BELAS MENIT


PROLOG
"Masa SMA adalah masa-masa yang paling ga bisa dilupakan." menurut sebagian orang. Atau paling engga gue anggepnya begitu. Di masa-masa itu gue belajar banyak tentang kehidupan mulai dari persahabatan, bandel-bandel ala remaja, cita-cita, masa depan, sampai menemukan pacar pertama dan terakhir?. Drama? mungkin. pake banget? bisa jadi.
Masa Sma bagi gue adalah tempat dimana gue membentuk jati diri. Terkadang gue bantuin temen yang lagi kena masalah dengan petuah-petuah sok bijak anak umur tujuh belas tahun. Gak jarang juga gue ngerasa labil sama sikap gue sendiri. mau gimana lagi, namanya juga anak muda. Kadang gue suka ketawa-ketawa sendiri dan mengamini betapa bodohnya gue saat itu.
Gue SMA di jaman yang namnya hp B*ackberry lagi booming-boomingnya. Di jaman itu juga yang namanya joget sapel-sapelan lagi hits. Mungkin kalo lo inget pernah masuk atau bahkan bikin squd sendiri terus launching jaket sambil jalan-jalan di mall mungkin lo bakal malu sendiri saat ada temen lo yang ngungkit-ngungkit masa itu. Gue sendiri paling kesel kalo adan orang petantang-petenteng dengan bangganya bilang kalu dia anggota salah satu squad sapel terkenal di ibu kota dan sekitarnya. Secara saat itu gue lebih suka nonton acara metal di Rossi Fatmawati. Playlist lagi gue juga ga jauh-jauh dari aliran metal, punk, hardcore. Mungkin itu yang ngebuat gue ga terlalu suka lagu EDM atau rap yang mumble. Atau bahkan lagu RnB yang sering ada di top 100 Joox dan Spotify. Yaaa meskipun gue sekarang lebih kompromi dengan dengerin lagu apa aja yang gue suka, ga mandang genre.
Oiya, nama gue Atreya xxxxx. Biasa dipanggil Treya, dengan tinggi 182 cm dan berat 75 kg (naik turun tergantung musim). Ganteng dan menawan? relatif. Nama gue mungkin aneh ntuk orang Indonesia. Tapi gue suka dengan nama ini. karena pada dasarnya gue emang gasuka segala sesuatu yang banyak orang lain suka. Gue anak kedua dari dua bersaudara. Gue lahir dan besar di Jakarta, lebih tepatnya Jakarta selatan. Ga tau kenapa ada pride lebih aja Jakarta selatan dibanding bagian Jakarta lainnya, meskipun gue tinggal di Bintaro, hehe. Bokap gue kerja di suatu kantor yang ngurusin seluruh bank yang ada di Indonesia. Meski kerja kantoran tapi bokap gue suka banget yang namanya musik. mungkin darah itu menurun ke gue. Nyokap gue seorang ibu rumah tangga yang ngerangkap jadi pebisnis kecil-kecilah dimana orderan paling ramenya dateng pas bulan puasa. mulai dari makanan kering sampe baju-baju. Kakak gue cewek beda empat tahun. Waktu gue masuk SMA berarti doi baru masuk kuliah. Kakak gue ini orangnya cantik pake banget gan. kembang sekolah gitu dah. Gue bahkan sampe empet kalo ada temen cowoknya yang sok-sok baikin gue.
Lo percaya dengan dunia pararel? Dunia dimana ada diri kita yang lain ngelakuin sesuatu yang beda sama apa yang kita lakuin sekarang. Misalnya lo ada di dua pilihan, dan lo milih pilihan pertama. Untuk beberapa lama setelah lo ngejalanan pilihan lo mungkin lo bakal mukir ""Gue lagi ngapain yaa sekarang kalo milih pilihan yang kedua. mungkin gue lebih bahagi. Atau mungkin lebih sedih." Hal itulah yang ngebuat gue bikin cerita ini.
Ditahun itu gue baru masuk salah satu SMA di Jakarta selatan. Disaat itu juga cerita gue dimulai
INDEX
Part 1 - MOS day
Part 2 - Perkenalan
Part 3 - Peraturan Sekolah
Part 4 - Balik Bareng
Part 5 - Masih MOS Day
part 6 - Terakhir MOS Day
Part 7 - Hujan
Part 8 - Pertemuan
Part 9 - Debat Penting Ga Penting
Part 10 - Atas Nama solidaritas
Part 11 - Rutinitas
Part 12 - Om Galih & Jombang
Part 13 - Gara Gara Cukur Rambut
Part 14 - Rossi Bukan Pembalap
Part 15 - Bertemu Masa Lalu
Part 16 - Menghibur Hati
Part 17 - Ga Makan Ga Minum
Part 18 - SOTR
Part 19 - Tubirmania
Part 20 - Bukber
Part 21 - Masih Bukber
Part 22 - Wakil Ketua Kelas & Wacana
Part 23 - Latihan
Part 24 - The Rock Show
Part 25 - After Show
Part 26 - Anak Kuliahan
Part 27 - Malam Minggu Hacep
Part 28 - Aneh
Part 29 - Kejutan
Part 30 - Dibawah Sinar Warna Warni
Part 31 - Perasaan
Part 32 - Sela & Ramon
Part 33 - HUT
Part 34 - Masuk Angin
part 35 - Kunjungan
Part 36 - Wacana Rico
Part 37 - Atletik
Part 38 - Pengganggu
Part 39 - Nasib jadi Adek
Part 40 - Boys Talk
Part 41 - Taurus
Part 42 - Klise
Part 43 - Eksistensi
Part 44 - Utas VS Aud
Part 45 - Naik Kelas
Part 46 - XI IPA 1
Part 47 - Yang Baru
Part 48 - Lo Pacaran Sama Putri?
Part 49 - Sok Dewasa
Part 50 - Masih Sok Dewasa
Part 51 - Salah Langkah
Part 52 - Penyesalan
Part 53 - Bubur
Part 54 - Bikin Drama
Part 55 - Latihan Drama
Part 56 - Pertunjukan Drama
Part 57 - Coba-Coba
Part 58 - Greet
Part 59 - Sparing
Part 60 - Sedikit Lebih Mengenal
Part 61 - Hal Tidak Terduga
Part 62 - Hal Tidak Terduga Lainnya
Part 63 - Ngedate
Part 64 - Berita Dari Kawan
Part 65 : Second Chance
Part 66 - Maaf Antiklimaks
Part 67 - Bikin Film
Part 68 - Sudden Date
Part 69 - Masih Sudden Date (Lanjut Gak?)
Part 70 - Kok Jadi Gini
Part 71 - Sedikit Penjelasan
Part 72 - Sehari Bersama Manda
Part 73 - Masak Bersama Manda
Part 74 - Malam Bersama Manda
Part 75 - Otw Puncak
Part 76 - Villa & Kebun Teh
Part 77 - Malam Di Puncak
Part 78 - Hari Kedua & Obrolan Malam
Part 79 - Malam Tahun Baru
Part 80 - Shifting
Part 81 - Unclick
Part 82 - Gak Tau Mau Kasih Judul Apa
Part 83 - 17
Part 84 - Hari Yang Aneh
Part 85 - Pertanda Apa
Part 86 - Ups
Part 87 - Menjelang Perpisahan
Part 88 - Cerita Di Bandung
Part 89 - Obrolan Pagi Hari & Pulang
Part 90 - Awal Baru
Part 91 - Agit
Part 92 - Tentang Sahabat
Part 93 - Keberuntungan Atau Kesialan
Part 94 - Memulai Kembali
Part 95 - Belum Ingin Berakhir
Part 96 - Makan Malam
Part 97 - Rutinitas Lama
Part 98 - Sekedar Teman
Part 99 - Bukan Siapa-Siapa
Part 100 - Seperti Dulu
Part 101 - Kue Kering
Part 102 - Perusak Suasana
Part 103 - Cerita Di Warung Pecel
Part 104 - Konfrontasi
Part 105 - Tragedi Puisi
Part 106 - Gak Sengaja Jadian
Part 107 - Day 1
Part 108 - Mengerti
Part 109 - Sisi Lain
Part 110 - Cemburu
Part 111- Cemburu Lagi
Part 112 - Cerita Akhir Tahun
Part 113 - Ketemu Lagi
Part 114 - Malam Panjang
Part 115 - Malam Masih Panjang
Part 116 - Malam Berakhir
Part 117 - Mereka Bertemu
Part 118 - rekonsiliasi
Part 119 - Bicara Masa Depan
Part 120 - Langkah
Part 121 - UN
Part 122 - Pilox & Spidol
Part 123 - Menjelang Prom
Part 124 - Malam Perpisahan
Part 125 - Sebuah Akhir Untuk Awal Baru (TAMAT)
Epilog - Untuk Perempuan Yang Sempat Singgah Di Hati
Terima Kasih, Maaf, & Pengumuman
Special Part : Gadis Manis & Bocah Laki-Laki Di Kursi Depan
MULUSTRASI
Diubah oleh gitartua24 25-04-2022 01:17
JabLai cOY dan 122 lainnya memberi reputasi
119
197.8K
1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
gitartua24
#851
Part 118 - Rekonsiliasi
Gue kira masalah yang kemarin udah seselai begitu aja dengan sendirinya. Ternyata masih ada sesuatu yang mengganjal, tapi gue nggak tau apa hal yang mengganjal tersebut.
Ketika hari minggu berganti menjadi hari senin, gue kembali melakukan rutinitas gue seperti biasanya. Bangun pagi sekitar jam enam, mandi dengan ngelakuin empat ritual yang selalu gue lakukan (sabunan, keramas, cuci muka, sikat gigi), terus bersiap-siap dengan seragam sekolah yang udah disiapkan sama nyokap. Kadang yang menghambat gue ke sekolah cuman gara-gara bingung mau milih luaran yang mana setelh hampir satu minggu nggak ganti-ganti.
Setelah semuanya siap gue pamit dan salim sama kedua orang tua gue lantas memacu motor menuju rumah Putri. Kalau berangkat dari rumah jam enam pas jalanan masih relatif kosong. Gue masih bisa jalan santai sambil menikmati udara pagi yang masih sejuk. Tapi kalau gue telat sepuluh menit aja jalanan langsung berubah jadi macet di beberapa titik yang sebelumnya nggak macet sama sekali. Kalu udah kaya gini mau sengebut apa pun gue ngerasa bawa motornya tetap aja lama jadinya. Anehnya jam gue sampe di sekolah sama aja mau gue jalan pagian ataupun rada siangan, ketika gue jalan rasa santai atau jalan buru-buru.
Sampai di rumah Putri semuanya pun masih terkesan biasa bagi gue. Gue harus menunggu beberapa saat sebelum Putri keluar. Putri yang menyapa gue setelah menutup pintu gerbang rumahnya. Masalah malem minggu kemaren seolah menguap begitu aja kayak air yang dipanasin. Tapa gue sadar ternyata masih ada embun-embun yang tersisa hasil penguapan tersebut.
Ketika tiba di sekolah Putri juga masih menunggu gue ngerapihin pernak pernik yang harus diurusin. Nyantolen helm, mastiin kalau stang motor gue ga dikunci. Kalau engga helm yang ditaro di spion atau di atas jok motor bakalan dilempar begitu aja sama satpam entah kemana pas lagi ngerapihin semua motor yang parkir. Sama terakhir gue harus ngelepas jaket atau sweater yang gue pake karena harus ngelewatin guru yang lagi piket jaga pagi. Kalau gue dateng ngepas ketika bel bunyi sih biasanya gurunya udah pada cabut, tapi toh di dalem kelas juga nantinya disuruh dibuka lagi.
Saat jalan bareng menuju kelas masing-masing pun juga masih seperti biasa. Putri masih dadahin gue sebelum dia masuk ke dalam kelasnya. Begitu juga waktu kegiatan sekolah berlangsung. Gue dan Putri jarang menghabiskan waktu berdua di sekolah. Pas istirahat biasanya kita main, makan, atau nongkrong bareng sama temen kelasan kita masing-masing. Nggak ada masalah, semuanya masih berjalan normal. Rico yang gue ceritain masalah kemaren juga nggak komentar apa-apa atau menanyakan hal tersebut lagi.
Keanehan terjadi pas pulang sekolah. Biasanya gue dan Putri akan menghabiskan waktu berdua di sela-sela jam menuju bimbel masing-masing. Kalau hari itu gue ada bimbel kadang gue nongkrong di sekitaran rumah Putri atau main ke rumah Putri. Hal ini nggak terlalu sering terjadi karena kadang-kadang gue langsung nganterin Putri balik dan gue nunggu jam menuju bimbel di rumah Bobby bareng temen-temen gue yang lain yang satu tempat bimbel. Di lain hari, kalau Putri yang hari itu bimbel maka akan lebih besar kemungkinan gue menghabiskan waktu berdua bareng Putri. Entah jalan di pim, makan, atau melakukan dua kegiatan sebelumnya.
Tapi hari itu Putri memilih langsung pulang ke rumah atau langsung menuju tempat bimbelnya dengan berbagai alasan. Di hari senin yang jadi hari pertama kita ketemu lagi setelah kesalahpahaman kemarin gue masih belom sadar apa-apa. Tapi menginjak dua sampe tiga hari merikutnya gue baru menyadari embun yang tersisa dari air yang menguap tersebut.
Dengan berbagai alasan Putri terus menolak ajakan untuk sekedar menghabiskan waktu berdua di sela-sela jam menuju bimbel. Masalahnya gue sama sekali nggak bisa melawan penolakan dari Putri karena semua alasan yang dia kasih itu sangat logis dari gue. Mulai dari ada urusan penting di rumah yang dia jelasin meskipun gue nggak tau itu beneran atau boongan, atau sekedar udah janjian bareng temen di tempat bimbelnya buat ngebahas soal un.
Sampai akhirnya gue menceritakan keluh kesah tersebut di rumah Bobby. Awalnya cuman ada Rico dan Bobby yang ada di balkon, tapi mungkin karena temen-temen gue yang lagi main kartu di dalem ngeliat ini adalah pembahasan menarik buat diikutin mereka jadi ikutan nimbrung-_-.
“Lo udah jelasin beneran ke Putri belom?” Tanya Rico setelah mendengar cerita gue, lagi.
“Jelasin gimana lagi?”
“Kaya yang gue bilang kemaren Tre, lo jelasin beneran kalo emang nggak ada apa-apa dan lo beneran serius.”
“Emangnya kemaren kenapa Co?” Tanya Bobby yang ikutan penasaran.
“Biasa lah noh temen lo.” Kemudian seolah langsung mengerti dengan omongan Rico, Bobby cuman manggut-manggut sambil ber oh ria.
“Ada apa sih kawan”. “DI lipet aja tuh komuk”. “Coba sini cerita sama abang”. Begitulah ucap temen-temen gue yang lain yang tiba-tiba aja nyamperin. Dikira gue lagi ngewayang kali yeee jadi antusias bener. Mau nggak mau gue kembali menceritakan rangkaian kejadian dari tahun baru sampe Manda yang ketemu Putri, dan juga keadaan sekarang.
“Wah, susah itu mah Tre”. “Ribet kalo gitu urusannya”. “Nggak ketolong sih Tre kayaknya.” Kampret emang ini orang-orang pada, bukannya ngasih dukungan ke temennya malah disumpahin-_-. Belom lagi cara mereka ngomong yang awalnya serius dan malah berakhir dengan tawa.
“Anjing yeee lo pada, orang lagi bingung juga.” Gerutu gue.
Setelah itu mereka mulai mengeluarkan saran-saran tanpa gue minta. Mulai dari yang paling wajar, paling rasional, sampe yang paling absurd. Ditambah juga kensekuensi-konsekuensi yang mungkin juga bakalan terjadi.
“Daaah, yang penting lo yakinin Putri aja yang serius.” Begitu ucap Rico pada saat kita semua memutuskan buat balik menjelang jam sembilan.
*****
Hari ini adalah hari terakhir dimana angkatan gue akan merayakan ulang tahun sekolah yang entah keberapa, tapi yang jelas hari ini adalah salah satu hari yang paling ditunggu oleh seluruh murid sekolah gue. Selain karena jam pelajaran berakhir lebih cepet, ada pertunjukkan-pertunjukkan yang akan dilakukan oleh berbagai macam ekskul yang ada di sekolah gue. Rasanya kayak hari terakhir pas mos.
Hari itu jam sekolah cuman berlangsung dua jam matapelajaran, alias cuman satu pelajaran, alias cuman sampe sekitar jam sembilan. Setelah itu seluruh siswa dibebaskan dari kegiatan belajar mengajar tetapi nggak boleh keluar dari lingkungan sekolah, meskipun begitu mungkin ada beberapa siswa yang berhasil cabut entah gimana caranya. Gue dan temen-temen gue sendiri lebih memilih menikmati hari-hari terakhir masa sekolah dengan mengikuti kegiatan tersebut.
Pas bel berbunyi gue, Rico, Bobby, Iman dan Rian langsung menuju kantin buat beli makan siang yang kepagian, terus menduduki salah satu meja panjang yang masih kosong. Setelah pesenan kita dateng (lebih tepatnya kita yang bawa sendiri sih, soalnya kaya nasi warteg), dan nggak lama setelahnya Anda, Sam, dan Gedak nyusul satu persatu. Meskipun sekarang beberapa dari kita ada yang beda kelas, tapi kalau di luar sekolah atau saat-saat seperti ini anak-anak kelas sebelas gue lebih sering nongkrong bareng.
Saat kita lagi ngupul bareng tiba-tiba Putri masuk ke kantin bersama teman-temannya. Ketika mata kita berdua bertemu, dia berdua cuman saling dadah-dadahan dan melempar senyum. Gue dan Putri emang nggak terlalu menampilkan kedekatan di sekolah. Kemudian Putri dan teman-temannya segera berlalu kembali ke kelas Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan dari kantin.
Temen-temen gue pada nanya gimana hubungan gue sama Putri setelah kejadian kemarin. Gue bilang udah mendingan, meskipun masih berasa anehnya. Terus Rico nanya tentang saran yang dia kasih kemaren, gue bilang kalo belom nemu momen yang pas.
“Momen itu dibuat, bukan ditungguin.” Begitu kata Rico yang sok tua setelah mendengar alasan gue, meskipun ada benernya juga sih.
Ketika suara microphone dan audio system terdengar jelas dari arah lapangan bawah kita semua langsung bangkit dari tempat duduk dan segera bergegas. Kerumunan siswa juga mulai bergerak ke arah yang kita tuju. Tiba di lapangan bawah hampir seluruh siswa udah memenuhi sekitaran lapangan. Gue dan temen-temen gue segera mengambil posisi dimana banyak anak-anak angkatan kita juga disana.
Setelah sambutan basa-basi yang diutarakan oleh kepala sekolah selesai, kerumunan mulai berteriak ketika satu persatu anggota ekskul menampilkan kebolehan mereka. Kebanyakan sih sama aja kayak tahun-tahun sebelumnya. Ada anak saman, ada anak merpati putih yang matahin batu, dan yang lainnya. Yang nggak berhenti diperbincangkan adalah pertunjukkan cheers dan modern dance yang akan dilakukan sekitar jam setengah dua siang nanti.
Tapi entah kenapa gue sama sekali nggak berminat buat melihat penampilan tersebut. Kalau seandainya gue sekarang lagi nggak punya pacar mungkin gue akan merasa antusias dengan penampilan tersebut. Tapi bukan karena gue sadah gue udah punya pacar juga yang ngebuat gue nggak antusias, gue cuman ngerasa males aja. Terlebih lagi pikiran gue sekarang masih mikirin Putri.
Pertunjukkan demi pertunjukkan terus ditampilkan di tengah-tengah lapangan dan nggak berhenti-berhenti menerima tepuk tangan penonton yang berada di sekeliling mereka. Tanpa kita sadarin ternyata udah waktunya istirahat dan seluruh penonton pun nyorakin karena mereka nggak mau penampilan di lapangan berhenti.
Gue dan temen-temen gua memutuskan untuk membubarkan diri sementara terlebih dahulu dari kerumunan anak kelas tiga yang ada di lapangan, melakukan kegiatan kita masing-masing selama beberapa saat. Tapi nggak lama setelahnya kita malah ngumpul lagi di sekitaran depan kelas gue, tapi tiba-tiba pada mencar lagi nggak tau kemana. Aneh banget kalau ada jam kosong kelamaan.
Sampe akhirnya pengumuman dari panggung yang ada di lapangan bawah nyuruh semua murid buat turun lagi. Saat itu gue, Rico dan Bobby lagi di dalem kelas. Suasana kelas bisa dibilang sepi. Entah pada kemana penghuninya. Temen-temen gue yang lainnya kayaknya udah pada turun ke bawah. Rico pun mengajak kita buat ikutan turun. Karena nggak ada kegiatan lain gue dan Bobby pun mengiyakan.
Tiba-tiba gue menemukan Putri lagi sendirian di depan kelasnya, nggak tau temen-temen kelasnya yang lain pada kemana. Gue ngerasa kalau ini adalah sebuah kesempatan buat akhirnya gue bisa ngobrol sama Putri. Kemudian dengan memberikan kode kepada Rico dan Bobby mereka berdua jalan duluan.
Dengan langkah pasti gue langsung duduk di depan Putri, bersandarkan dinding balkon dan beralaskan lantai. Sementara Putri duduk di kursi yang ada di depan gue. Bersamaan dengan duduknya gue, Putri melihat gue dengan pandangan terkejut, namun dengan cepat bisa menguasai diri.
“Sendirian aja Put?” Ucap gue berbasa-basi. “Pada kemana?” Temen-temennya maksudnya.
“Pada kebawah.” Jawab Putri. “Kamu nggak ke bawah?”
“Males ah, pengen di sini aja. Kamu?”
“Sama, males juga.” Kemudian kita tertawa bersama sebelum diem-dieman selama beberapa saat.
“Ke depan kelas gue aja yuk.” Gue mengajak Putri sembari berdiri dari duduk gue. Tanpa banyak bertanya Putri juga berdiri mengikuti gue. Sengaja gue pindah ke depan kelas gue karena gue terlalu malu buat berada di area yang nggak biasa gue tempatin. Anak cowok di kelasnya Putri nggak ada yang satu tongkrongan sama anak kelasan gue. Selain itu Sebelahnya kelas Putri adalah kelas Mantannya. Meskipun gue udah lama nggak denger kabarnya tetep aja terlalu terasa risih buat gue berada di sekitar sana.
Saat berada di depan kelas gue posisi kita duduk masih sama, gue duduk di lantai dan Putri duduk di kursi. Dan kita juga masih diem-dieman selama beberapa saat. Lebih tepatnya otak gue lagi berusaha merangkai kata yang ingin gue ucapkan. Sementara lidah gue terasa membeku.
“Put, aku minta maaf yaaa soal yang tahun baru kemarin. Harusnya aku bisa cerita lebih cepet.”
Kemudian dengan sebuah senyuman Putri membalas perkataan gue. “Gapapa Treya. Mungkin kamu sebegitu nggak nganggep kehadiran dia sampe kamu sendiri lupa nyeritain.”
Waktu Putri bilang begitu gue ngerasa bersyukur bisa bersama dia. Pikirannya kayak selalu positif tentang semua hal. Akan sangat bodoh buat gue kalau gue sekali aja mengecewakan kepercayaan dia. “Sumpah, waktu aku ketemu dia seketia aku mikir, coba kalau tiba-tiba kamu yang ada di sini. Waktu aku sama anak-anak main kembang api aku malah kepikiran waktu kita bukber kelas sepuluh dulu.”
“Masa sih? waktu main kembang api sama saudara-saudara aku juga malah kepikiran waktu kita main kembang api waktu kelas sepuluh dulu.”
Kemudian kita berdua malah cerita-cerita gimana kita bisa deket dulu tanpa sama sekali menyinggung kenapa kita bisa sempet jauhan. Suara musik dan sorak sorai penonton seolah gak kedengeran sama sekali di telinga kita berdua. Tiba-tiba Dary, temen kelas sebelas gue dulu muncul dari bawah sambil bawa gitar yang entah punya siapa.
“Woy Dar, itu gitar siapa?” Panggil gue dari kejauhan.
“Gitar gue Tre, kenapa?”
“Lo mau kemana? Gue minjem dong.”
“Bentar.” Kemudian Dary berjalan mendekati gue, kemudian menyerahkan gitar yang dia bawa. "Tumben lo berduaan di sekolah." Terus dia cabut lagi ke bawah sambil ketawa-ketawa.
"Kampret lo!" Gue berteriak dan membuat Dary semakin ketawa, Putri pun juga ikutan terkikih ngeliat tingkah gue.
Setelah gitar tersebut nyaman berada di pangkuan, gue mulai memeriksa senarnya satu persatu, meyakinkan kalau gitarnya udah kestem. Kemudian gue mulai menyanyikan sebuah lagi yang menggambarkan perasaan gue saat ini. Jreng.
Saat semuanya telah berbeda apa yang kita rasa
Ku tak ingin engkau terluka
Memang kita belum terbiasa atau mungkin tak bisa bersama
Tapi ku ingin kau percaya
Ku tak ingin kau terluka
Hanya kali ini ku tak ingin kau pergi
Walau sejenak tuk pejamkan mata ini
Mungkin waktu ini terlalu lama bagiku
Untuk memintamu selalu ada di sampingku
Coba genggamlah tanganku dan biarkanlah diriku menjagamu
Hingga kau terlelap
Ku kan menunggu dirimu karena kau sangatlah berarti untukku
"Mungkin ku terlalu mencintaimu"
Putri tersenyum setelah gue menyelesaikan lagu tersebut dengan mata yang berkaca-kaca, mungkin lagi berusaha mengendalikan emosinya. Kemudian dia turun dari bangku tempat duduknya dan duduk di bawah bersama gue. Bersandar pada sebuah pilar kelas dan otomatis pesisi kita jadi semakin berdekatan.
"Gue request lagu dong Tre."
"Apaan?"
"The Only Exceptionnya Paramore."
Kemudian kita larut dalam akustikan bersama. Entah udah berapa lagu yang kita nyanyikan bareng sampe tiba-tiba temen-temen kelasan yang lain balik ke kelas.
"Woy!, Berduaan ae lo." Teriak Sam, padahal dia masih berada di ujung lorong.
"Kaga ngajak-ngajak lo Tre." Sela Rico.
"Bacot lo pada ah, gangguin orang seneng aja." Kemudian mereka semua malah ngumpul di depan kelas gue dan ikutan akustikan bareng.
Seperti yang selalu terjadi setiap acara hari ulang tahun sekolah gue, hari itu pasti turun hujan. Nggak terkecuali hari ini. Penampilan terakhir di panggung ada band anak kelas tiga yang bawain lagu rege-regean. Gue dan yang lainnya langsung ikutan turun ke bawah dan hujan-
hujanan bareng anak angkatan kita yang lain. Menikmati hari-hari terakhir kita di SMA.
Sementara itu Putri dengan setia menunggu gue di koridor bawah nggak jauh dari panggung sambil ngejagain barang bawaan gue. Ketika Pulang seluruh pakaian gue basah kuyup. Tepat setelah gue nurunin Putri di depan rumahnya dia langsung mengultimatum buat langsung mandi dan keramasan biar gue nggak masuk angin, gue pun mengiyakan. meskipun gue pulang dengan keadaan basah kuyup, tapi hati itu gue bahagia.
Gue kira masalah yang kemarin udah seselai begitu aja dengan sendirinya. Ternyata masih ada sesuatu yang mengganjal, tapi gue nggak tau apa hal yang mengganjal tersebut.
Ketika hari minggu berganti menjadi hari senin, gue kembali melakukan rutinitas gue seperti biasanya. Bangun pagi sekitar jam enam, mandi dengan ngelakuin empat ritual yang selalu gue lakukan (sabunan, keramas, cuci muka, sikat gigi), terus bersiap-siap dengan seragam sekolah yang udah disiapkan sama nyokap. Kadang yang menghambat gue ke sekolah cuman gara-gara bingung mau milih luaran yang mana setelh hampir satu minggu nggak ganti-ganti.
Setelah semuanya siap gue pamit dan salim sama kedua orang tua gue lantas memacu motor menuju rumah Putri. Kalau berangkat dari rumah jam enam pas jalanan masih relatif kosong. Gue masih bisa jalan santai sambil menikmati udara pagi yang masih sejuk. Tapi kalau gue telat sepuluh menit aja jalanan langsung berubah jadi macet di beberapa titik yang sebelumnya nggak macet sama sekali. Kalu udah kaya gini mau sengebut apa pun gue ngerasa bawa motornya tetap aja lama jadinya. Anehnya jam gue sampe di sekolah sama aja mau gue jalan pagian ataupun rada siangan, ketika gue jalan rasa santai atau jalan buru-buru.
Sampai di rumah Putri semuanya pun masih terkesan biasa bagi gue. Gue harus menunggu beberapa saat sebelum Putri keluar. Putri yang menyapa gue setelah menutup pintu gerbang rumahnya. Masalah malem minggu kemaren seolah menguap begitu aja kayak air yang dipanasin. Tapa gue sadar ternyata masih ada embun-embun yang tersisa hasil penguapan tersebut.
Ketika tiba di sekolah Putri juga masih menunggu gue ngerapihin pernak pernik yang harus diurusin. Nyantolen helm, mastiin kalau stang motor gue ga dikunci. Kalau engga helm yang ditaro di spion atau di atas jok motor bakalan dilempar begitu aja sama satpam entah kemana pas lagi ngerapihin semua motor yang parkir. Sama terakhir gue harus ngelepas jaket atau sweater yang gue pake karena harus ngelewatin guru yang lagi piket jaga pagi. Kalau gue dateng ngepas ketika bel bunyi sih biasanya gurunya udah pada cabut, tapi toh di dalem kelas juga nantinya disuruh dibuka lagi.
Saat jalan bareng menuju kelas masing-masing pun juga masih seperti biasa. Putri masih dadahin gue sebelum dia masuk ke dalam kelasnya. Begitu juga waktu kegiatan sekolah berlangsung. Gue dan Putri jarang menghabiskan waktu berdua di sekolah. Pas istirahat biasanya kita main, makan, atau nongkrong bareng sama temen kelasan kita masing-masing. Nggak ada masalah, semuanya masih berjalan normal. Rico yang gue ceritain masalah kemaren juga nggak komentar apa-apa atau menanyakan hal tersebut lagi.
Keanehan terjadi pas pulang sekolah. Biasanya gue dan Putri akan menghabiskan waktu berdua di sela-sela jam menuju bimbel masing-masing. Kalau hari itu gue ada bimbel kadang gue nongkrong di sekitaran rumah Putri atau main ke rumah Putri. Hal ini nggak terlalu sering terjadi karena kadang-kadang gue langsung nganterin Putri balik dan gue nunggu jam menuju bimbel di rumah Bobby bareng temen-temen gue yang lain yang satu tempat bimbel. Di lain hari, kalau Putri yang hari itu bimbel maka akan lebih besar kemungkinan gue menghabiskan waktu berdua bareng Putri. Entah jalan di pim, makan, atau melakukan dua kegiatan sebelumnya.
Tapi hari itu Putri memilih langsung pulang ke rumah atau langsung menuju tempat bimbelnya dengan berbagai alasan. Di hari senin yang jadi hari pertama kita ketemu lagi setelah kesalahpahaman kemarin gue masih belom sadar apa-apa. Tapi menginjak dua sampe tiga hari merikutnya gue baru menyadari embun yang tersisa dari air yang menguap tersebut.
Dengan berbagai alasan Putri terus menolak ajakan untuk sekedar menghabiskan waktu berdua di sela-sela jam menuju bimbel. Masalahnya gue sama sekali nggak bisa melawan penolakan dari Putri karena semua alasan yang dia kasih itu sangat logis dari gue. Mulai dari ada urusan penting di rumah yang dia jelasin meskipun gue nggak tau itu beneran atau boongan, atau sekedar udah janjian bareng temen di tempat bimbelnya buat ngebahas soal un.
Sampai akhirnya gue menceritakan keluh kesah tersebut di rumah Bobby. Awalnya cuman ada Rico dan Bobby yang ada di balkon, tapi mungkin karena temen-temen gue yang lagi main kartu di dalem ngeliat ini adalah pembahasan menarik buat diikutin mereka jadi ikutan nimbrung-_-.
“Lo udah jelasin beneran ke Putri belom?” Tanya Rico setelah mendengar cerita gue, lagi.
“Jelasin gimana lagi?”
“Kaya yang gue bilang kemaren Tre, lo jelasin beneran kalo emang nggak ada apa-apa dan lo beneran serius.”
“Emangnya kemaren kenapa Co?” Tanya Bobby yang ikutan penasaran.
“Biasa lah noh temen lo.” Kemudian seolah langsung mengerti dengan omongan Rico, Bobby cuman manggut-manggut sambil ber oh ria.
“Ada apa sih kawan”. “DI lipet aja tuh komuk”. “Coba sini cerita sama abang”. Begitulah ucap temen-temen gue yang lain yang tiba-tiba aja nyamperin. Dikira gue lagi ngewayang kali yeee jadi antusias bener. Mau nggak mau gue kembali menceritakan rangkaian kejadian dari tahun baru sampe Manda yang ketemu Putri, dan juga keadaan sekarang.
“Wah, susah itu mah Tre”. “Ribet kalo gitu urusannya”. “Nggak ketolong sih Tre kayaknya.” Kampret emang ini orang-orang pada, bukannya ngasih dukungan ke temennya malah disumpahin-_-. Belom lagi cara mereka ngomong yang awalnya serius dan malah berakhir dengan tawa.
“Anjing yeee lo pada, orang lagi bingung juga.” Gerutu gue.
Setelah itu mereka mulai mengeluarkan saran-saran tanpa gue minta. Mulai dari yang paling wajar, paling rasional, sampe yang paling absurd. Ditambah juga kensekuensi-konsekuensi yang mungkin juga bakalan terjadi.
“Daaah, yang penting lo yakinin Putri aja yang serius.” Begitu ucap Rico pada saat kita semua memutuskan buat balik menjelang jam sembilan.
*****
Hari ini adalah hari terakhir dimana angkatan gue akan merayakan ulang tahun sekolah yang entah keberapa, tapi yang jelas hari ini adalah salah satu hari yang paling ditunggu oleh seluruh murid sekolah gue. Selain karena jam pelajaran berakhir lebih cepet, ada pertunjukkan-pertunjukkan yang akan dilakukan oleh berbagai macam ekskul yang ada di sekolah gue. Rasanya kayak hari terakhir pas mos.
Hari itu jam sekolah cuman berlangsung dua jam matapelajaran, alias cuman satu pelajaran, alias cuman sampe sekitar jam sembilan. Setelah itu seluruh siswa dibebaskan dari kegiatan belajar mengajar tetapi nggak boleh keluar dari lingkungan sekolah, meskipun begitu mungkin ada beberapa siswa yang berhasil cabut entah gimana caranya. Gue dan temen-temen gue sendiri lebih memilih menikmati hari-hari terakhir masa sekolah dengan mengikuti kegiatan tersebut.
Pas bel berbunyi gue, Rico, Bobby, Iman dan Rian langsung menuju kantin buat beli makan siang yang kepagian, terus menduduki salah satu meja panjang yang masih kosong. Setelah pesenan kita dateng (lebih tepatnya kita yang bawa sendiri sih, soalnya kaya nasi warteg), dan nggak lama setelahnya Anda, Sam, dan Gedak nyusul satu persatu. Meskipun sekarang beberapa dari kita ada yang beda kelas, tapi kalau di luar sekolah atau saat-saat seperti ini anak-anak kelas sebelas gue lebih sering nongkrong bareng.
Saat kita lagi ngupul bareng tiba-tiba Putri masuk ke kantin bersama teman-temannya. Ketika mata kita berdua bertemu, dia berdua cuman saling dadah-dadahan dan melempar senyum. Gue dan Putri emang nggak terlalu menampilkan kedekatan di sekolah. Kemudian Putri dan teman-temannya segera berlalu kembali ke kelas Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan dari kantin.
Temen-temen gue pada nanya gimana hubungan gue sama Putri setelah kejadian kemarin. Gue bilang udah mendingan, meskipun masih berasa anehnya. Terus Rico nanya tentang saran yang dia kasih kemaren, gue bilang kalo belom nemu momen yang pas.
“Momen itu dibuat, bukan ditungguin.” Begitu kata Rico yang sok tua setelah mendengar alasan gue, meskipun ada benernya juga sih.
Ketika suara microphone dan audio system terdengar jelas dari arah lapangan bawah kita semua langsung bangkit dari tempat duduk dan segera bergegas. Kerumunan siswa juga mulai bergerak ke arah yang kita tuju. Tiba di lapangan bawah hampir seluruh siswa udah memenuhi sekitaran lapangan. Gue dan temen-temen gue segera mengambil posisi dimana banyak anak-anak angkatan kita juga disana.
Setelah sambutan basa-basi yang diutarakan oleh kepala sekolah selesai, kerumunan mulai berteriak ketika satu persatu anggota ekskul menampilkan kebolehan mereka. Kebanyakan sih sama aja kayak tahun-tahun sebelumnya. Ada anak saman, ada anak merpati putih yang matahin batu, dan yang lainnya. Yang nggak berhenti diperbincangkan adalah pertunjukkan cheers dan modern dance yang akan dilakukan sekitar jam setengah dua siang nanti.
Tapi entah kenapa gue sama sekali nggak berminat buat melihat penampilan tersebut. Kalau seandainya gue sekarang lagi nggak punya pacar mungkin gue akan merasa antusias dengan penampilan tersebut. Tapi bukan karena gue sadah gue udah punya pacar juga yang ngebuat gue nggak antusias, gue cuman ngerasa males aja. Terlebih lagi pikiran gue sekarang masih mikirin Putri.
Pertunjukkan demi pertunjukkan terus ditampilkan di tengah-tengah lapangan dan nggak berhenti-berhenti menerima tepuk tangan penonton yang berada di sekeliling mereka. Tanpa kita sadarin ternyata udah waktunya istirahat dan seluruh penonton pun nyorakin karena mereka nggak mau penampilan di lapangan berhenti.
Gue dan temen-temen gua memutuskan untuk membubarkan diri sementara terlebih dahulu dari kerumunan anak kelas tiga yang ada di lapangan, melakukan kegiatan kita masing-masing selama beberapa saat. Tapi nggak lama setelahnya kita malah ngumpul lagi di sekitaran depan kelas gue, tapi tiba-tiba pada mencar lagi nggak tau kemana. Aneh banget kalau ada jam kosong kelamaan.
Sampe akhirnya pengumuman dari panggung yang ada di lapangan bawah nyuruh semua murid buat turun lagi. Saat itu gue, Rico dan Bobby lagi di dalem kelas. Suasana kelas bisa dibilang sepi. Entah pada kemana penghuninya. Temen-temen gue yang lainnya kayaknya udah pada turun ke bawah. Rico pun mengajak kita buat ikutan turun. Karena nggak ada kegiatan lain gue dan Bobby pun mengiyakan.
Tiba-tiba gue menemukan Putri lagi sendirian di depan kelasnya, nggak tau temen-temen kelasnya yang lain pada kemana. Gue ngerasa kalau ini adalah sebuah kesempatan buat akhirnya gue bisa ngobrol sama Putri. Kemudian dengan memberikan kode kepada Rico dan Bobby mereka berdua jalan duluan.
Dengan langkah pasti gue langsung duduk di depan Putri, bersandarkan dinding balkon dan beralaskan lantai. Sementara Putri duduk di kursi yang ada di depan gue. Bersamaan dengan duduknya gue, Putri melihat gue dengan pandangan terkejut, namun dengan cepat bisa menguasai diri.
“Sendirian aja Put?” Ucap gue berbasa-basi. “Pada kemana?” Temen-temennya maksudnya.
“Pada kebawah.” Jawab Putri. “Kamu nggak ke bawah?”
“Males ah, pengen di sini aja. Kamu?”
“Sama, males juga.” Kemudian kita tertawa bersama sebelum diem-dieman selama beberapa saat.
“Ke depan kelas gue aja yuk.” Gue mengajak Putri sembari berdiri dari duduk gue. Tanpa banyak bertanya Putri juga berdiri mengikuti gue. Sengaja gue pindah ke depan kelas gue karena gue terlalu malu buat berada di area yang nggak biasa gue tempatin. Anak cowok di kelasnya Putri nggak ada yang satu tongkrongan sama anak kelasan gue. Selain itu Sebelahnya kelas Putri adalah kelas Mantannya. Meskipun gue udah lama nggak denger kabarnya tetep aja terlalu terasa risih buat gue berada di sekitar sana.
Saat berada di depan kelas gue posisi kita duduk masih sama, gue duduk di lantai dan Putri duduk di kursi. Dan kita juga masih diem-dieman selama beberapa saat. Lebih tepatnya otak gue lagi berusaha merangkai kata yang ingin gue ucapkan. Sementara lidah gue terasa membeku.
“Put, aku minta maaf yaaa soal yang tahun baru kemarin. Harusnya aku bisa cerita lebih cepet.”
Kemudian dengan sebuah senyuman Putri membalas perkataan gue. “Gapapa Treya. Mungkin kamu sebegitu nggak nganggep kehadiran dia sampe kamu sendiri lupa nyeritain.”
Waktu Putri bilang begitu gue ngerasa bersyukur bisa bersama dia. Pikirannya kayak selalu positif tentang semua hal. Akan sangat bodoh buat gue kalau gue sekali aja mengecewakan kepercayaan dia. “Sumpah, waktu aku ketemu dia seketia aku mikir, coba kalau tiba-tiba kamu yang ada di sini. Waktu aku sama anak-anak main kembang api aku malah kepikiran waktu kita bukber kelas sepuluh dulu.”
“Masa sih? waktu main kembang api sama saudara-saudara aku juga malah kepikiran waktu kita main kembang api waktu kelas sepuluh dulu.”
Kemudian kita berdua malah cerita-cerita gimana kita bisa deket dulu tanpa sama sekali menyinggung kenapa kita bisa sempet jauhan. Suara musik dan sorak sorai penonton seolah gak kedengeran sama sekali di telinga kita berdua. Tiba-tiba Dary, temen kelas sebelas gue dulu muncul dari bawah sambil bawa gitar yang entah punya siapa.
“Woy Dar, itu gitar siapa?” Panggil gue dari kejauhan.
“Gitar gue Tre, kenapa?”
“Lo mau kemana? Gue minjem dong.”
“Bentar.” Kemudian Dary berjalan mendekati gue, kemudian menyerahkan gitar yang dia bawa. "Tumben lo berduaan di sekolah." Terus dia cabut lagi ke bawah sambil ketawa-ketawa.
"Kampret lo!" Gue berteriak dan membuat Dary semakin ketawa, Putri pun juga ikutan terkikih ngeliat tingkah gue.
Setelah gitar tersebut nyaman berada di pangkuan, gue mulai memeriksa senarnya satu persatu, meyakinkan kalau gitarnya udah kestem. Kemudian gue mulai menyanyikan sebuah lagi yang menggambarkan perasaan gue saat ini. Jreng.
Saat semuanya telah berbeda apa yang kita rasa
Ku tak ingin engkau terluka
Memang kita belum terbiasa atau mungkin tak bisa bersama
Tapi ku ingin kau percaya
Ku tak ingin kau terluka
Hanya kali ini ku tak ingin kau pergi
Walau sejenak tuk pejamkan mata ini
Mungkin waktu ini terlalu lama bagiku
Untuk memintamu selalu ada di sampingku
Coba genggamlah tanganku dan biarkanlah diriku menjagamu
Hingga kau terlelap
Ku kan menunggu dirimu karena kau sangatlah berarti untukku
"Mungkin ku terlalu mencintaimu"
Putri tersenyum setelah gue menyelesaikan lagu tersebut dengan mata yang berkaca-kaca, mungkin lagi berusaha mengendalikan emosinya. Kemudian dia turun dari bangku tempat duduknya dan duduk di bawah bersama gue. Bersandar pada sebuah pilar kelas dan otomatis pesisi kita jadi semakin berdekatan.
"Gue request lagu dong Tre."
"Apaan?"
"The Only Exceptionnya Paramore."
Kemudian kita larut dalam akustikan bersama. Entah udah berapa lagu yang kita nyanyikan bareng sampe tiba-tiba temen-temen kelasan yang lain balik ke kelas.
"Woy!, Berduaan ae lo." Teriak Sam, padahal dia masih berada di ujung lorong.
"Kaga ngajak-ngajak lo Tre." Sela Rico.
"Bacot lo pada ah, gangguin orang seneng aja." Kemudian mereka semua malah ngumpul di depan kelas gue dan ikutan akustikan bareng.
Seperti yang selalu terjadi setiap acara hari ulang tahun sekolah gue, hari itu pasti turun hujan. Nggak terkecuali hari ini. Penampilan terakhir di panggung ada band anak kelas tiga yang bawain lagu rege-regean. Gue dan yang lainnya langsung ikutan turun ke bawah dan hujan-
hujanan bareng anak angkatan kita yang lain. Menikmati hari-hari terakhir kita di SMA.
Sementara itu Putri dengan setia menunggu gue di koridor bawah nggak jauh dari panggung sambil ngejagain barang bawaan gue. Ketika Pulang seluruh pakaian gue basah kuyup. Tepat setelah gue nurunin Putri di depan rumahnya dia langsung mengultimatum buat langsung mandi dan keramasan biar gue nggak masuk angin, gue pun mengiyakan. meskipun gue pulang dengan keadaan basah kuyup, tapi hati itu gue bahagia.
japraha47 dan 20 lainnya memberi reputasi
21