Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Menit berikutnya, sepasang siswa senior masuk kedalam kelas; laki-laki dan perempuan. Si laki-laki bertubuh tinggi, putih dan rambut berponi berjalan ke arah meja guru, mengambil spidol, kemudian mulai menulis namanya. Sementara si perempuan sambil melipat tangan di dada, berkeliling. Sesekali ia berhenti di depan meja salah seorang siswi baru, menatapnya dari ujung kaki ke ujung rambut dengan tatapan sinis.
“Gua males ngomong! itu nama gua..” Ujar si laki-laki sambil menunjuk ke arah papan tulis.
“... mulai tiga hari kedepan, gua dan Desi bakal jadi kakak pembimbing kalian…”
“... lanjutin, Des..” Tambah si laki-laki, kemudian di bersandar di tembok samping papan tulis. Berlagak sok keren.
“Nama gua Desi!” Si perempuan angkat bicara. Untuk ukuran tubuhnya yang mungil, suara perempuan ini tergolong lantang.
“Mulai detik ini, nggak boleh ada yang ngomong sebelum gw ijinin…” Desi menambahkan, masih sambil berkeliling di dalam kelas.
“Gw sebel sama cewek yang sok cantik, jadi nggak usah TP-TP didepan gw..”
*TP (Tebar pesona)
Kemudian, pasangan yang disebut Kakak pembimbing ini memulai orasinya. Menjelaskan ngalor-ngidul tentang peraturan sekolah, apa yang boleh, apa yang nggak boleh, disusul daftar hukuman-hukuman yang bakal diterima si pelanggar.
Penjelasan didominasi, oleh si laki-laki yang tadi sempat memberikan statement kalau dia males bicara. ‘Alah, sempak!’ gua membatin. Sementara si perempuan yang bernama Desi beberapa kali hanya terlihat manggut-manggut, sambil sesekali memainkan rambutnya; Tebar Pesona. ‘Sempak!’
Menjelang jam istirahat, pasangan Kakak Pembimbing sok keren ini lalu memberi instruksi untuk kami; para siswa baru mengeluarkan bekal makan siang. Suara riuh plastik bergesek memenuhi kelas. Semua terlihat mengeluarkan kotak makan masing-masing dari dalam plastik.
“Baru boleh mulai makan saat gua bilang, silahkan makan…” Ujar si Kakak pembimbing laki-laki.
Suasana lalu hening sesaat. Seisi kelas melihat ke arah Kakak pembimbing, menunggu aba-aba untuk makan.
Beberapa menit kemudian, si Kakak pembimbing laki-laki bangun dari duduknya kemudian berteriak “Makaaan…”
Gua sigap membuka membuka kotak plastik tempat bekal makan gua. Lalu menatap isinya nanar; Mie instan rebus dicampur dengan bubur dalam satu wadah yang dibuat sejak pagi. Tentu terbayang dong seperti apa jadinya.
Dan, coba deh bayangkan buat siswa yang lupa membawa sendok, gimana cara mereka makan?
Beberapa anak mulai menyantap sajian ‘unik’ nan aneh tersebut. Sementara gua, hanya mampu menatap gumpalan mie instan yang sudah mengembang. Lengkap dengan bubur nasi yang hampir mencair; Kehilangan selera makan!
Tiba-tiba, seisi kelas dikagetkan oleh suara keras gebrakan meja.
“Gua kan belom bilang ‘Silahkan Makan’!” Teriak Si Kakak pembimbing laki-laki
Si Kakak pembimbing perempuan kemudian menunjuk para siswa yang sudah mulai makan; “Elu, elu, elu, elu, elu dan elu… Ikut gw…” ujarnya
Yang ditunjuk berdiri, terlihat sedikit takut kemudian mereka saling menatap.
“Buruaan!...” Teriak Desi.
8,9 orang atau mungkin 10 orang yang kemudian keluar mengikuti Desi. Entah bakal diapakan mereka.
Si Kakak pembimbing laki-laki kemudian berjalan menyusul menuju ke pintu keluar. Beberapa detik kemudian ia kembali, hanya menunjukkan kepalanya, kemudian berkata; “Silahkan Makan!” dan menghilang.
Ucapannya nggak membuat seisi kelas mulai makan. Mereka saling menatap, ragu. Ah, jangan-jangan ini jebakan lagi. Namun, setelah menunggu beberapa saat, satu anak, dua anak, tiga anak mulai makan. Disusul anak-anak lain yang kemudian memberanikan diri mulai makan. Sementara gua, masih memandang nanar makanan aneh dihadapan gua.
---
Ternyata ada untungnya juga mendapatkan posisi duduk di deretan terdepan kelas. Posisi ini memang bukan posisi paling ideal untuk nyontek ataupun tidur saat guru mengajar. Namun, posisi terdepan boleh dibilang posisi paling aman agar terhindar dari ‘bahaya’ (baca: sasaran pertanyaan guru).
Tepat seperti kata pepatah, “... and the most dangerous place is where you’re safe”.
Dalam situasi MOS, tentu saja di posisi saat ini gua terhindar dari sasaran ‘serangan’ Kakak pembimbing. Terbukti selama 3 hari masa MOS, gua nggak sekalipun terlibat konflik dengan Kakak pembimbing dan bahkan teman sekelas lainnya. So, for now i'm happy as fuck!
Dan hari ini, hari pertama gua berseragam putih dan abu-abu. Jumlah teman gua hingga hari ke-4 bersekolah: 0.
Gua berjalan menyusuri koridor, menuju ke ruang kelas. Suasana di dalam kelas sudah hiruk-pikuk. Beberapa anak terlihat bergerombol, ngobrol. Ada yang duduk bersandar sambil mendengarkan musik melalui headset, ada yang sibuk mempersiapkan buku, dan tentu saja nggak sedikit yang masih saling berkenalan. Gua duduk di kursi, meletakan tas berisi buku tulis kosong ke dalam laci meja. Sambil bertopang dagu, gua melamun, memandang keluar melalui pintu yang masih terbuka. Koridor di luar kelas mulai sepi, sepertinya para siswa sudah masuk ke dalam kelas masing-masing.
Nggak ada niat buat gua untuk berbaur. Sejak SMP, mungkin sejak akhir Sekolah Dasar, gua enggan bergaul. Gua merasa kehadiran gua nggak penting buat mereka, dan begitupun sebaliknya; Kehadiran mereka nggak banyak memberikan efek apa-apa buat gua.
Sejak kecil, gua dan orang tua hidup berpindah-pindah karena alasan pekerjaan Bokap. So, gua nggak pernah menemukan cara yang tepat untuk berteman dan berkomunikasi layaknya anak seusia gua. Sampai saat ini, sepanjang gua mampu mengingat, keluarga gua sudah berpindah tempat tinggal hingga 7 kali. Saat Sekolah Dasar, keluarga gua berpindah lebih dari 5 kali, dan 2 kali saat gua duduk di bangku SMP. Kalau hal ini mau dijadikan sebagai alasan gua enggan berteman, tentu saja masuk akal. Tapi, ada hal lain yang mengganjal. Hal lain yang membuat gua menutup diri dari dunia.
Sosok pria setengah baya lalu masuk kedalam kelas, menutup pintu, lalu berjalan cepat menuju ke meja guru. Ah… akhirnya, setelah hari ke-4, seorang guru masuk ke dalam kelas.
Ruang kelas yang sebelumnya hiruk-pikuk tiba-tiba hening. Sedikit menurunkan kacamatanya, guru itu melihat seisi kelas. Dari dalam tas-nya ia mengeluarkan sebuah map dengan sampul bermotif batik coklat.
“Nama saya Abdul Rozak, Saya mengajar Sejarah, dan sekaligus wali kelas kalian..” Pak Rozak memperkenalkan diri.
Sambil membetulkan posisi kacamata ia mulai menatap isi map yang sepertinya lembar absensi dari atas ke bawah. Ia lalu memanggil satu nama, entah siapa nama yang dipanggil, asal bukan nama gua yang disebut, gua nggak terlalu peduli.
Sosok laki-laki berkacamata mengangkat tangannya.
“Maju…” Ucap si Guru.
Laki-laki berkacamata itu dengan cekatan berdiri dan maju kedepan kelas.
Pak Rozak lalu memposisikan dirinya disebelah Laki-laki berkacamata tadi.
“Sekarang, tulis nama kalian di selembar kertas, lalu kumpulkan ke.. Ardi” Tambahnya, sambil menepuk pundak pria berkacamata yang ternyata bernama Ardi, memberikan kode kepadanya untuk mengumpulkan kertas berisi nama murid-murid sekelas.
Ardi, bergegas. Berkeliling mengumpulkan kertas berisi nama.
Beberapa menit kemudian, ia sudah kembali ke depan. Di Tangannya sudah terkumpul setumpuk kertas berisi nama para murid.
Pak Rozak lalu mulai menjelaskan; “Satu persatu anak ambil satu kertas di tangan Ardi, dimulai dari kamu…” Pak Rozak menunjuk ke arah gua.
Gua maju, mengambil potongan kertas dari tangan Ardi, kemudian kembali duduk. Gua membuka lipatan kertas, tertulis nama Siska disana. Lalu, satu persatu mulai mengambil kertas di tangan Ardi.
“Sekarang, kalian harus bertukar tempat duduk dengan teman yang namanya tertulis di kertas yang kalian pegang…” Pak Rozak menjelaskan.
Disusul suara riuh kursi dan meja kayu berdecit dan suara-suara bisikan antara para murid. Sementara gua tetap diam dan memandang kertas di tangan. “Siapa pula si Siska ini?” gua menggumam dalam hati, seraya tetap memperhatikan yang lain saling bertukar tempat duduk.
“Siskaa.. sisskaaa...siapa yang pegang nama akuu…” terdengar suara perempuan. wanita berkepang dua dengan kacamata cukup tebal berkeliling sambil menanyakan tentang kertasnya. Sampailah Siska ke meja gua, ia menunduk, melihat tulisan namanya tertera di atas kertas dimeja gua. “Yaaah, duduk didepan deh gua…” Ujarnya, kemudian meletakkan tasnya diatas meja. Gua merogoh tas dari laci meja, kemudian bergegas berdiri. Masih menenteng tas, gua diam di depan kelas. Menunggu, saat semua sudah dapat meja, meja yang tersisa berarti meja gua.
Beberapa menit setelahnya…
Tersisa dua meja kosong, satu berada di sudut belakang kanan, satu lagi berada di pojok belakang kiri; sudut terjauh dari pintu masuk kelas. Gua memutuskan untuk menuju ke posisi terjauh dari pintu kelas; “Paling jauh, paling aman” Pikir gua dalam hati.
Di Atas meja kosong tersebut tergeletak kertas yang bertuliskan nama gua. “Ah tepat!!” Gua duduk dan meletakkan tas ke dalam laci.
Fyuh, gua menghela nafas.
“Hei…” terdengar panggilan dari meja sebelah kiri. Gua bergeming, pasti panggilan itu bukan buat gua.
“Ssst.. hei…” panggilan kedua, kali ini sesuatu menyentuh lengan kiri gua.
Gua menoleh. Sosok Gadis berkaos kaki pendek tersenyum ke arah gua, sambil melambaikan tangannya yang masih menggenggam pulpen. Pulpen yang sepertinya digunakan untuk mencolek gua, pulpen yang ujungnya terdapat karakter Hello Kitty. Gua mengangguk kemudian kembali berpaling.
Pak Rozak lalu melakukan absen.
---
Jam istirahat pertama dihari ke-4.
“Bian, Nama lo Bian kan?” Tanya si Gadis berkaos kaki pendek sambil berdiri di sisi meja gua.
Gua menjawabnya dengan anggukan. Tebakan gua, dia sepertinya mengetahui nama gua dari panggilan Absen yang dilakukan pak Rozak tadi.
“Lo dari SMP mana?” Imbuhnya
Gua mengangkat jari, kembali menggunakan metode sama yang gua gunakan di hari pertama. Mengangkat jari dua kali. Memberikan kode nama SMP gua kepadanya. Belum sempat ia merespon, kemudian sebuah panggilan menginterupsi-nya.
“Saaaaa…. ayo ke kantin” teriak salah satu perempuan dari luar kelas
Si Gadis berkaos kaki pendek menoleh, mengangkat tangan, kemudian bergegas keluar menyusul temannya.
“Nanti kita ngobrol lagi yah…” bisiknya sebelum pergi.
Gua nggak merespon.
Kemudian mengambil buku tulis yang masih kosong, membalik halaman paling belakang dan mulai menggambar. Hal seperti inilah yang acap kali gua lakukan saat jam kosong di kelas; mencorat-coret bagian belakang buku tulis. Nggak ada hasil yang jelas dari coretan gua. Terkadang hanya menulis nama sendiri, menggambar puluhan atau bahkan ratusan lingkaran atau mungkin hanya mengisi garis buku dengan angka 1. Ya, gua lakukan hanya agar terlihat ada kegiatan, menghindari agar tak diajak bicara.
30 menit berlalu. Terdengar suara bel melalui pengeras suara. Waktu istirahat telah habis.
Dari koridor di depan kelas terdengar gemuruh langkah berlarian. Siswa-siswi berlomba-lomba kembali ke kelasnya masing-masing
---
“Lo nggak ke kantin?” tanya Si Gadis berkaos kaki pendek sekembalinya ia ke kelas.
Gua menggeleng.
“Mau nggak?” tanyanya sambil menyodorkan Bengbeng ke arah gua.
Gua kembali menggeleng.
“Iiih… nih..” Ia menggerutu, lalu meletakkan Bengbeng diatas meja gua.
“Nama gw Larissa by the way…” ujarnya sambil duduk di kursi.
“Hai..” untuk pertama kali, gua menyapanya.
“Wow, akhirnya Bian ngomong…” Ia bersorak, membuat beberapa anak lain menoleh ke arah kami. Sementara gua menundukkan kepala, enggan melakukan kontak mata dengan mereka. Hari itu, merupakan hari pertama gua berkenalan dengan Larissa. Dan hanya sebuah “Hai” terucap dari mulut gua.
Pencuri Hati - Tere
Bagai hujan siang hari
Ku tak bisa mengungkapkan
Kata-kata sedikit pun
Saat dia datang
Dia makhluk yang paling indah
Yang pernah aku temui, ah
Cuaca kini berubah
Hatiku panas dan dingin
Melihatnya menatapku
Walau sekejap
Matanya begitu tajam
Senyumnya begitu dalam, ah
Dia (dia) mencuri (mencuri) hatiku
Akankah dia mengenalku
Dia (dia) mencuri (mencuri) hatiku
Taukah oh dirinya, ah, a-ah, ah, a-ah
Sepertinya ku teringat
Bila dirinya ada
Pasti ada aku
Dan ku bahagia
Dia makhluk yang paling indah
Yang pernah aku temui, ah
Dia (dia) mencuri (mencuri) hatiku
Akankah dia mengenalku
Dia (dia) mencuri (mencuri) hatiku
Taukah oh dirinya
Dia (dia) mencuri (mencuri) hatiku
Akankah dia mengenalku