Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
Tenung (Based on true story)


Quote:



Quote:



Update santai tiap selasa, jumat dan minggu jam 5 sore..


___________________________________________



Prolog

 Bel panjang pulang sekolah telah membuyarkan lamunan Anggita, Jam pelajaran terakhir telah usai. Dia bergegas membereskan semua alat-alat tulisnya dan memasukkan ke dalam tas sebelum akhirnya keluar dari kelas itu, menyusul teman-temannya yang udah duluan keluar kelas.

 Anggita adalah gadis manis siswi salah satu SMA swasta di kota X. Wajah yang bulat telur, kulit putih bersih, bibir mungil dan mata bulat bening berbulu mata lentik, rambut lurus hitam panjang, dengan tubuh sempurna khas cewek remaja yang sedang mekar-mekarnya, menjadikan dia sebagai salah satu kembang sekolah yang dikagumi, baik di sekolahnya sendiri, ataupun di sekolah lain.

 Saat keluar kelas, Anggita disamperin sama satu cewek yang telah jadi sahabat karibnya sejak dari SMP. Mereka lalu jalan bareng menuju pintu gerbang untuk pulang. Yosi memang sahabat Anggita yang paling dekat, mereka selalu berbagi segala hal, saling menceritakan semua hal tanpa ada yang ditutupi, bahkan termasuk urusan asmara.

Quote:


 Sampai di pertigaan, mereka pun berpisah, Yosi jalan lurus, dan Anggita belok ke kiri. Rumah mereka emang nggak begitu jauh dari sekolah, jadi mereka cuma jalan kaki ke sekolah. Sepanjang perjalanan pulang itu Gita kembali memikirkan apa yang telah dia lamunkan di kelas tadi, biaya sekolahnya telah menunggak 3 bulan, dia tadi telah dipanggil oleh guru bp terkait dengan masalah itu, dan Gita kembali meminta kompensasi. Tapi sampai kapan?

 Gita merasa sungkan dan nggak enak kalo meminta ayahnya lagi, memang ayahnya, pak Harjanto, cuma berprofesi sebagai buruh dengan gaji pas-pasan. Sedangkan ibunya, bu Ningsih, adalah seorang ibu rumah tangga yang punya kerjaan sambilan menjahit baju di rumah untuk mendukung ekonomi keluarga, tapi sepertinya itu masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. 

 Anggita masih punya seorang kakak laki-laki yang duduk di bangku SMA kelas tiga bernama Anggara, dan sebentar lagi dia akan menghadapi ujian kelulusan. Gita juga masih punya satu adik laki-laki yang menginjak di kelas 2 SMP bernama Anggo. Dua saudaranya itu juga butuh banyak biaya sekolah, dan kakaknya tentu butuh biaya lebih besar untuk ujian.

 Sampailah Gita pada sebuah rumah sederhana yang selama ini dia tinggali bersama orang tua dan kedua saudaranya. Meskipun rumah itu sudah berdinding tembok, tapi banyak cat yang mengelupas, atapnya juga ada yang bolong, jadi kalo hujan, maka rumah itu jadi bocor di beberapa tempat. Dan begitu masuk rumah, Gita menekan keresahan hatinya agar tidak terpancar keluar, biar ibunya nggak tau, ibunya udah banyak menanggung beban, jadi dia nggak akan menambahinya lagi. 'Biarlah nanti aku langsung ngomong sama ayah aja', gitu pikirnya.

 Tepat jam 3 sore, Anggita telah siap berangkat, dia menunggu Yosi sambil duduk di lincak atau kursi panjang dari bambu di depan rumahnya, tepat di bawah jendela. Lima menit kemudian, Yosi pun datang mengendarai motor maticnya. Sore itu mereka akan pergi ke kolam renang umum dimana akan diadakan pengambilan nilai dari sekolah untuk pelajaran olah raga renang.

 Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kolam renang umum itu. Suasana sangat ramai karena ternyata sekolah SMA lain yang juga sedang mengadakan pengambilan nilai di situ. Teman-teman satu kelasnya Anggita juga udah pada datang. Anggita langsung merasa nggak nyaman dengan situasi yang ramai itu, dia udah nggak mood lagi untuk mengikuti tes renang itu. Tapi Yosi sahabatnya terus membujuknya hingga akhirnya Anggita luluh juga.

 Dan saat memasuki pintu loket, Anggita tertegun, dia melihat satu cowok yang sedang melihat dia juga. Anggita mengenalinya sebagai cowok yang sedang mengejar-ngejar dia selama beberapa minggu terakhir. Ternyata SMA lain yang sedang penilaian di kolam renang itu adalah sekolahnya cowok yang mengejarnya. Sudah beberapa kali Gita menopak cowok itu, tapi dia masih nekat mengejar. Bukannya Gita membenci, tapi belum kepikiran olehnya untuk menjalin suatu hubungan dengan cowok.

 Suasana kolam renang yang sangat ramai, dan masih ditambah oleh keberadaan cowok itu, membuat Gita merasa semakin nggak nyaman. Maka langsung aja dia balik badan dan melangkah menuju pintu keluar. Tapi langkahnya segera terhenti saat ada satu suara besar dan lembut yang menegurnya.

Quote:


 Yosi menggamit tangan Gita dan mengajaknya menuju ke deretan kursi di pinggir kolam renang. Pak Zaini juga duduk di situ sambil memberi penilaian pada siswa yang lain yang sedang berenang satu persatu. Gita benar-benar nggak jadi renang kali itu. Dan dia ngerasa makin nggak nyaman karena cowok itu terus memperhatikannya dari seberang kolam renang. 

 Anggita berencana untuk menunggu sampai Yosi mendapat nilainya aja, abis itu dia akan langsung pulang. Tapi setelah Yosi selesai, dia malah mengajak Anggita makan di kantin kolam renang dulu sebelum pulang, bahkan Yosi bilang kali dia yang akan membayar semua makanan. Dengan terpaksa akhirnya Anggita mau menurutinya.

 Selesai makan, Gita merogoh saku celananya untuk mengambil duit, dia berniat untuk membayar makanannya sendiri. Gita emang nggak pernah bawa dompet, jadi duit dan kartu pelajar dia bawa di saku celananya. Tapi ternyata Yosi sudah membayar semua makanan itu saat memesan tadi, hingga akhirnya Gita memasukkan lagi duitnya ke dalam saku, tanpa dia sadari kalo kartu pelajarnya juga ikut keluar dan terjatuh ke lantai saat dia tadi mengambil duit dari sakunya. 

 Saat mereka mau beranjak pergi dari kantin itu, seorang karyawan kantin cewek datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah kue besar berbentuk bulat, si karyawan meletakkan kue itu di atas meja, tepat didepan Anggita. Di atas kue itu ada dua buah lilin berbentuk angka 16 yang sudah menyala, dan di kue itu ada tulisan 'happy b'day Anggita', itu adalah kue ulang tahun! Gita bahkan sama sekali nggak ingat kalo hari ini adalah ulang tahunnya!

Quote:


 Dua cewek, terbengong keheranan menatap kue ultah itu, siapa yang udah repot-repot ngasih kue ultah kayak gitu? Tapi pertanyaan mereka pun segera terjawab saat ada seseorang berdiri di ambang pintu kantin sambil membawa seikat besar bunga mawar. Dia adalah cowok yang tadi, cowok yang telah mengejar-ngejar Anggita!

 Cowok itu tersenyum sambil melangkah perlahan memasuki kantin. Dan ternyata dibelakangnya ada banyak temen-temen satu SMA dengan cowok itu yang membawa kertas besar bertuliskan 'happy b'day Anggita, will you be my girl?'. Bahkan temen-temen yang satu SMA dengan Anggita pun ikut bergabung dengan mereka. Si cowok yang membawa bunga mendekati Anggita dan berdiri tepat di depannya.

Quote:


 Suasana kantin yang semula sepi itu jadi riuh oleh suara temen-temen si cowok yang meneriakkan kata-kata agar Gita menerima, tapi hal itu tetap nggak membuat Gita bergeming, dalam hatinya membatin, mungkin inilah saat bagiku untuk ngomong jujur, gitu pikirnya.

Quote:


 Anggita bangkit dari tempat duduknya dan langsung beranjak keluar kantin. Yosi pun langsung menyusulnya. Sementara si cowok cuma terdiam menatap nanar pada kue ultah diatas meja. Dadanya bergemuruh, menahan rasa malu yang teramat sangat.

 Apalagi kini teman-temannya pun beranjak pergi dari kantin satu persatu tanpa ngomong apa-apa. mereka bahkan nggak berusaha nyamperin si cowok. Sape akhirnya kantin itupun sepi kembali, cuma beberapa pengunjung yang ikut menyaksikan seluruh adegan drama itu. Drama tentang seorang anak remaja yang telah gagal nembak seorang cewek.

 Si cowok masih berdiri mematung, hatinya serasa hancur, sia-sia sudah semua perjuangannya selama beberapa bulan ini, semua usahanya menyiapkan pesta ultah hari ini ternyata nggak ada gunanya. Dan satu hal yang paling memukul egonya adalah, rasa malu yang teramat sangat, ditolak di depan semua temen-temennya, temen-temen Anggita, dan semua pengunjung kantin.

 Seluruh rasa cintanya pada Anggita telah sirna dengan seketika, berganti oleh suatu perasaan benci dan dendam yang meluap-luap. Lalu tanpa sengaja matanya tertumbuk pada suatu benda yang tergeletak di lantai kantin, tepat di bawah meja. Dia beranjak memungut benda itu yang ternyata adalah sebuah kartu pelajar. 

 Kartu itu adalah kartu pelajarnya Anggita yang tadi terjatuh tanpa sengaja. Dia memandangi foto wajah cantiknya Anggita di kartu pelajar itu. Setanpun menyelinap di hati dan otaknya, membuat semua rasa malu, sakit hati, amarah dan rasa sedih meluap-luap campur aduk menjadi satu. Mendadak suatu ide gila terlintas begitu saja, ide dari setan yang membisikinya.

Quote:


 Satu tekad bulat terpatri di hati dan pikirannya, dia harus membalas semua yang dia peroleh hari ini. Lalu dengan langkah-langkah lebar, cowok itu beranjak menuju ke pintu kantin, meninggalkan kue ulang tahun di atas meja yang lilinnya masih menyala..



-----<<<{O}>>>-----



 Langit sudah mulai menggelap karena matahari sudah terbenam, ditambah lagi mendung hitam tebal telah menggantung di langit sejak tadi sore, sesekali terlihat kilatan-kilatan petir menerangi alam dalam sekejap, disusul suara menggelegar yang teramat keras sampai mampu menusuk gendang-gendang telinga. 

 Tapi semua pertanda kalo akan terjadi badai itu tak membuat langkah kaki seorang cowok jadi terhenti, dengan mantap dia memasuki sebuah halaman rumah luas yang berpagar bambu. Dia adalah cowok berusia 17 tahun, masih kelas dua SMA, cowok yang telah ditolak cintanya oleh Anggita di depan banyak orang. Dengan nekat dia telah mendatangi rumah ini untuk melaksanakan tekadnya.

 Untuk sejenak cowok itu memandangi keseluruhan rumah itu. Rumah sederhana berdinding papan, dan dia merasa ragu, benarkah ini rumah yang dimaksud? Tapi menurut petunjuk yang dia dapat, memang inilah rumah yang dimaksud. Maka dia pun mulai mengetuk pintu rumah itu dan menunggu.

 Tiga kali mengetuk, dan akhirnya pintu itupun terbuka. Muncullah seorang aki-aki berusia sekitar 50 tahunan, rambut sebagian sudah memutih. Dia memakai hem batik dan sarung. Sekilas penampilannya nggak berbeda dengan penduduk biasa di desa ini, dan itu membuat si cowok kembali ragu.

Quote:


 Si cowok pun mengikuti si aki memasuki ruang tamu rumah itu. Si cowok memandang berkeliling, nggak ada yang aneh, perabotan meja kursi biasa, sangat jauh berbeda dengan yang dia bayangkan sebelumnya. Ruang tamu itu sama kayak ruang tamu di rumah-rumah lain, sama sekali nggak menandakan kalo itu adalah rumah seorang praktisi. Si cowok duduk di kursi berhadapan dengan si aki.

Quote:


 Si pemuda mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang ternyata adalah beberapa bundel uang, dia letakkan uang itu di atas meja di depannya. Dan mata si aki membesar melihat tumpukan uang itu, semua rasa ragunya hilang seketika, kepercayaannya timbul perlahan. Cowok itu memang sengaja keluarkan duit buat nunjukin kalo dia nggak main-main.

Quote:


 Hujan telah turun dengan sangat deras saat si cowok keluar dari rumah itu. Angin ribut bertiup sangat kencang disertai gelegar petir tanpa henti. Badai besar telah melanda kawasan desa itu. Tapi si cowok nekat berlari ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan depan rumah. 

 Suatu kepuasan terlintas, sebentar lagi dia akan melihat Anggita menderita hingga meminta ampun padanya. Sebuah rencana jahat dan keji telah tersusun dan mulai dijalankan, rencana yang berdasar pada bisikan setan. Mata hati dan pikirannya telah tertutupi oleh sakit hati dan dendam..



Bersambung..



Diubah oleh Mbahjoyo911 10-10-2021 10:11
sampeuk
xue.shan
jondero
jondero dan 257 lainnya memberi reputasi
256
141.4K
3.9K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Tampilkan semua post
Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
#233
Dukungan ruqyah
 Masih di malam yang sama, jam setengah sepuluh malam itu para sesepuh yang mau mengaji mulai datang ke rumah Gita, jumlahnya ada 7 orang. Sebenarnya usia mereka belum lah lanjut, rata-rata 45-50 tahun, tapi mereka sudah sering melakukan ngaji dan ruqyah bersama semacam ini, hingga mereka dianggap 'dituakan' di kampung ini.

 Saat mereka masuk ke rumah Anggita, mereka merasa hawanya sangat panas dan lembab, tapi sebagai orang-orang yang berpengalaman dalam meruqyah, mereka maklum dengan keadaan ini, karena mereka juga sering menemui hal semacam ini di rumah yang sedang diganggu makhluk halus.

 Entah siapa yang mengabari, tapi tetangga-tetangganya Anggita yang lain pun ikut berdatangan, dan mereka cuma mau menonton aja, melongok melalui pintu, juga dari jendela sambil berpijak pada lincak alias kursi panjang dari bambu di depan rumah Gita, tepat di bawah jendela. Wajah-wajah tegang dan ingin tau terpancar dari raut mereka.

 Anggita duduk bersila di tengah-tengah lantai ruang tamu yang digelari tikar itu. Entah kenapa, telinganya seperti mendengar suara orang bercakap-cakap ramai sekali, padahal saat itu nggak ada satu orang pun yang bersuara. Sementara perasaannya mengatakan kalau ada banyak pasang mata yang mengawasinya. Ruang tamu itu terasa penuh sesak bagi Gita. Tapi dia tidak merasa takut karena ada banyak orang disitu.

 Ketujuh sesepuh, ditambah pak Harjanto, Anggara, Anggono dan pak Pras, ikut duduk bersila membentuk lingkaran di sekeliling Gita. Di pangkuan mereka telah ada kitab AlQuran yang mereka bawa sendiri dari rumah. Sementara bu Ningsih, bulek Narsih dan beberapa tetangga perempuan duduk bersila di belakang lingkaran.

Quote:


 Maka minuman teh hangat dan makanan ringan pun mulai dihidangkan, mereka menikmatinya sambil ngobrol, tanpa ada yang bercanda. Mereka seakan mempersiapan diri masing-masing untuk menghadapi apa yang terjadi di depan, karena mereka nggak pernah tau apa yang akan terjadi, bisa saja sesuatu yang ringan, atau malah kejadian yang mengerikan.

 Saking asyiknya ngobrol, tak terasa waktu sudah menunjuk jam 10 lewat. Anggita yang dari tadi cuma duduk terdiam ditengah lingkaran itu mendadak menjerit keras, semuanya terkejut dan langsung hentikan obrolan. Posisi badan Gita yang lagi bersila itu tertekuk punggungnya ke belakang seperti mau jatuh.

 Dengan sigap pak Harjanto segera menahan kepala Gita agar tidak membentur lantai. Tapi kemudian dia terkejut lagi karena mata anak gadisnya itu telah membalik hingga cuma putihnya saja yang kelihatan. Kejadian itu seakan jadi aba-aba bagi para sesepuh untuk memulai bacaan ruqyah. Sebentar kemudian rumah itu telah dipenuhi lantunan surat-surat ruqyah.

 Dengan mata yang masih membalik putih itu, entah sadar atau tidak, tangan Anggita bergerak ke arah bibirnya, lalu menarik sebuah benda panjang dari dalam mulutnya. Benda itu ternyata adalah sebuah sekrup berkarat sebesar jari telunjuk dengan panjang 7 senti! Satu jeritan kesakitan terdengar keras dari mulut Gita saat sekrup itu dia tarik perlahan dari dalam mulutnya.

 Bacaan surat ruqyah itu terhenti selama dua detik, para sesepuh telah melihat keluarnya sekrup itu, mereka merasa bergidik ngeri sampai bacaan sempat terhenti, tapi untung semua langsung tersadar dan segera teruskan bacaan kembali dengan lebih keras, bacaan itu lebih penting daripada keterkejutan mereka. 

 Sementara dari luar rumah terdengar seruan-seruan tertahan dari para tetangga yang menonton, semua orang merasa merinding melihat sekrup sebesar itu keluar dari mulut. Para tetangga memang telah mendengar, tapi belum pernah melihat secara langsung seperti ini. Anggono segera mengambil sekrup besar itu dari tangan Anggita, sementara pak Harjanto membisiki bacaan ruqyah ke telinga Gita. 

 Tapi saat itu Anggita sudah berguling ke kiri hingga lepas dari tangan pak Harjanto. Tidak sampai di situ, Anggita terus saja bergulingan ke kiri dan ke kanan dengan gerakan tak terkendali. Sementara dari mulutnya mulai berhamburan paku-paku kecil berkarat sepanjang 3-5 senti secara berurutan. Setiap kali satu paku keluar, jeritan ikut keluar dari mulut Anggita, seperti sedang merasakan sakit yang luar biasa.

 Pak Har, Anggara, Anggono dan pak Pras memegangi tubuh Anggita agar tidak bergulingan kesana kemari. Mereka kuatir paku-paku yang keluar itu akan melukai wajah Gita kalo dia terus bergulingan. Tapi ternyata tenaga gabungan  dari empat orang itu tidak mampu menahan gerakan Gita, tubuhnya selalu terlepas dan terus bergulingan, bahkan Anggo pun sempat terjengkang terkena kibasan tangan Anggita.

 Suasana jadi penuh ketegangan, ditambah jeritan memilukan dari Anggita, maka semua jadi tambah mencekam. Bu Ningsih dan bulek Narsih yang duduk di luar lingkaran itu sudah menangis sesenggukan. Mereka berpelukan satu sama lain, bahkan mereka tidak mau melihat pada Gita karena merasa miris dan tidak tega. Lantunan surat-surat ruqyah terdengar semakin keras dan berulang-ulang, setiap satu rangkaian bacaan ruqyah itu selesai, maka diulang lagi dari awal.

 Pak Harjanto dan pak Pras terus berusaha menahan gerakan Anggita, meskipun mereka sangat kerepotan dan selalu gagal, tapi mereka terus saja berusaha. Tenaga Anggita seakan meningkat berpuluh kali lipat, tidak sesuai dengan badannya yang kecil itu. Sementara Anggono memunguti paku-paku yang bertebaran di lantai agar tidak melukai tubuh mbaknya. 

 Hampir satu jam mereka bergulat dan berusaha menenangkan Anggita, hingga perlahan gerakan Anggita pun mulai melemah, tidak segarang tadi. Tidak ada jeritan lagi, paku-paku itu sudah nggak keluar lagi. Gita rebah terlentang di tikar, matanya udah normal, nggak putih lagi, tapi matanya menatap nyalang ke arah genteng rumah. Semua merasa keheranan melihatnya, tapi lantunan ruqyah itu tetap tidak berhenti.

 Tiba-tiba Anggita bangkit dari rebahan, duduk bersila dengan mata menatap lurus kedepan. Dua tangan di letakkan di atas kedua lututnya seperti dalam posisi meditasi yoga. Mendadak satu geraman keras keluar dari mulutnya, geraman bersuara berat dan besar, yang jelas bukan suaranya Anggita, hingga mengejutkan semua orang.

 Dua tangan Gita mulai bergerak, terentang lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke depan. Lalu dua tangan itu ditarik sedikit ke belakang, dan dengan gerakan mendadak, dia hentakkan telapak tangan ke depan. Tapi kemudian dua tangan itu seakan terpukul mundur, seperti ada sesuatu yang tidak kelihatan dan melabraknya dari depan.

 Lalu dengan gerakan mendadak lagi, Gita hentakkan dua tangannya sampai lurus ke depan. Dengan dua telapak tangannya, Gita seperti sedang menahan suatu tekanan dahsyat dari depan, dia sampai meringis seperti keluarkan seluruh tenaganya untuk menahan tekanan yang nggak kelihatan itu. 

 Blaarrr..! Blaarr..! Blarrr..!

 Anggara terjengkang dari duduknya, dia sangat terkejut dengan suara ledakan beruntun yang sangat keras itu. Lalu dia celingukan le kiri kanan, tapi semua orang masih tampak khusyuk membaca surat ruqyah, bahkan bapaknya dan pak Pras malah sedang mengawasi semua yang dilakukan Gita, mereka semua seakan tidak terganggu dengan suara ledakan itu.

 Suatu keheranan besar melanda Anggara, apa tidak ada yang mendengar suara ledakan sekeras itu?! Ledakan itu sangat keras, tidak mungkin kalau cuma dia saja yang mendengarnya. Ledakan beruntun itu masih terdengar, meski nggak sekeras tadi, seperti suara seng yang dilempari batu-batu besar, asalnya dari halaman samping rumah, dan Gita sedang menghadap ke arah asal suara ledakan itu!

 Dengan penasaran dan keheranan besar, Anggara bangkit dari duduknya, dia keluar rumah dan menyibak kerumunan tetangga yang lagi pada nonton di depan pintu. Anggara pun menuju ke samping rumah, di situ memang masih ada halaman sempit yang cuma selebar 1,5 meter memanjang sampai belakang.

 Tapi saat Anggara sampai di halaman samping, suara ledakan itu sudah tidak terdengar lagi, cuma terdengar lantunan surat-surat ruqyah dari dalam rumahnya. Anggara berdiri celingukan mencari asal suara ledakan keras tadi, tapi dia tidak menemukan apa-apa, bahkan seng dan bekas batu pun tidak ada. Kejadian aneh ini membuatnya makin kebingungan.

 Mendadak saja bulu tengkuknya merinding dengan hebat, detak jantungnya seakan berdegup dua kali lebih cepat, dia merasa sangat takut, tapi entah apa yang ditakuti, dia sendiri nggak ngerti. Maka bergegas dia balik lagi ke rumah, menyibak kerumunan tetangga yang menatap heran padanya. Saat dia masuk ke ruang tamu, suara ledakan beruntun itu terdengar lagi, meskipun tidak sekeras tadi.

 Tapi rasa takutnya telah mengalahkan rasa penasaran dan keheranannya, Anggara pun kembali duduk bersila di antara lingkaran itu, bulu kuduknya masih meremang, diapun kembali membaca AlQuran di depannya, rasa merinding itu seketika menghilang, maka dengan khusyuk dia teruskan melantunkan surat-surat ruqyah itu. 

 Posisi Anggita masih sama seperti tadi, duduk bersila menatap tajam ke depan, ke arah samping rumah, dua tangan terentang lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke depan. Sesekali tubuhnya doyong ke belakang, seakan tidak kuat menahan sesuatu yang dari tadi coba dia tahan. Anggita seperti sedang beradu tenaga dorong dengan sesuatu yang tidak kelihatan.

 Meskipun pak Harjanto merasa heran dan takut, tapi dia terus berada di belakang Gita, sesekali dia ikut mendorong punggung Gita saat doyong ke belakang, seakan ikut membantu anaknya untuk mendorong sesuatu yang tidak kelihatan. Lantunan surat ruqyah terdengar makin keras dan tak berkeputusan.

 Adu tenaga itu berlangsung hampir satu jam, hingga akhirnya Anggita turunkan kedua tangannya. Satu helaan napas keras terdengar darinya, seperti ada suatu beban yang telah terlepas. Tangannya kembali diletakkan di atas kedua lututnya, kembali dalam posisi meditasi. Lalu mendadak tubuhnya terkulai rebah ke belakang. Pak Harjanto segera menahan tubuh anaknya. Mata Gita terpejam, dia tak sadarkan diri. Keringat membanjir di wajah dan lehernya.

 Apa yang dilakukan Gita telah membuat seluruh keluarga jadi heran, mereka bertanya-tanya dalam hati, dari mana Gita bisa tau gerakan yang dia lakukan tadi? Gita seakan sudah tau apa yang harus dilakukan untuk menangkal dan juga menahan serangan, dan apakah Gita melakukan semua itu dalam keadaan sadar? 

 Tapi pertanyaan tetaplah jadi pertanyaan yang tidak terjawab, karena saat itu Gita sudah terkulai tak sadarkan diri, jadi tidak ada yang bisa ditanyai, bahkan para sesepuh pun juga sama bingungnya dengan semua anggota keluarga, dan semua itu tetap jadi rahasianya Anggita.

 Suara lantunan surat ruqyah pun berhenti, semua mengucap syukur alhamdulillah, sepertinya serangan pada malam hari ini telah usai. Tampak wajah-wajah lelah dan keringatan dari para sesepuh, mereka semua merasa capek, hampir dua jam tanpa berhenti melantunkan surat-surat ruqyah. Semua orang terdiam, suasana jadi terasa sepi mencekam.

 Srek.. srek.. srek.. srek..

 Kesunyian itu dipecahkan oleh suara langkah kaki di samping rumah, tanah di halaman samping itu memang dilapisi batu kericak, jadi kalau ada orang yang lewat di situ, bunyi langkahnya akan terdengar keras, apa lagi di malam yang sunyi mencekam seperti ini.

 Sreek.. srek.. srek.. srek..

 Suara langkah itu terdengar lagi, semua orang saling berpandangan, semua orang mendengar langkah itu, seperti ada orang yang mondar mandir dan bolak-balik di halaman samping, padahal jelas-jelas tidak mungkin ada orang di situ. Semua orang menajamkan pendengaran, berharap kalau mereka salah dengar.

 Srek.. srek.. srek.. srek..

 Srek.. srek.. srek.. srek..

 Kini langkah kaki itu bertambah satu lagi, seakan ada dua orang yang mondar-mandir di samping rumah. Bulu kuduk semua orang jadi meremang, mereka semua merasa tengkuk masing-masing jadi sedingin es. Para tetangga yang menonton didepan rumah menyadari kalau mereka lah yang paling dekat dengan sumber suara langkah kaki itu, jadi mereka merasa lebih ketakutan, tanpa sadar mereka mendekat satu sama lain sampai berdempet-dempetan di depan pintu dan di jendela. 

 Seperempat jam berlalu, suara dua langkah kaki itu terdengar menjauh seakan meninggalkan halaman samping, hingga akhirnya menghilang sama sekali. Semua orang jadi menghela napas lega. Meskipun nggak ada yang tau siapa yang mondar mandir itu, tapi semua orang tau kalau suara langkah itu bukanlah langkah kaki manusia. Suasana masih terasa hening, seakan tidak ada yang berani bersuara. Lalu tiba-tiba..

 Kraakk..! gedubraakk..!

 Terdengar suara seperti benda patah yang keras, lalu kepala-kepala yang melongok dari jendela itu tau-tau menghilang begitu saja, disusul suara jatuh bergedebukan yang keras, terdengar suara-suara mengaduh kesakitan bersahutan. Mendadak saja terdengar tawa bekakan yang sangat riuh dari orang-orang yang menonton di pintu, suasana jadi ramai seketika.

 Semua yang berada di dalam rumah jadi keheranan, dan dengan penasaran, Anggara pun keluar rumah, dan mendapati delapan orang rebah di tanah. Mereka tadinya menonton dari jendela dengan berpijak pada kursi panjang dari bambu di bawah jendela, saking banyaknya orang yang berdiri disitu, kursi panjang itu jadi patah, nggak kuat menahan beban dan menghempaskan semua orang yang berada di atasnya.

 Kini Anggara tau kenapa kepala-kepala yang nongol di jendela tadi bisa menghilang begitu saja, karena pemilik kepala itu pada berjatuhan ke tanah. Tanpa sadar Anggara ikut tertawa ngakak melihat delapan orang yang jatuh bergedebukan itu. Suasana malam yang tadinya sunyi mencekam dan penuh ketakutan itu kini berubah jadi riuh oleh suara tawa, Pak Harjanto pun jadi ikut penasaran, maka diapun keluar rumah untuk mengetahui apa yang terjadi.

Quote:


 Mereka berdua balik masuk lagi ke rumah, Ketakutan mereka seakan langsung menghilang. Tapi ada yang disayangkan oleh pak Har, lincak atau kursi panjang dari bambu itu patah jadi dua dan tidak mungkin bisa digunakan lagi, padahal lincak itu adalah tempat kesayangannya untuk bersantai selepas kerja.

 Anggita terlihat seperti sedang tertidur dengan damai, napasnya naik turun dengan teratur, suatu pertanda kalo serangan telah berakhir sampai disitu, setidaknya untuk malam itu, entah besok malam. Ketujuh sesepuh pun beristirahat setelah dua jam melantunkan surat-surat ruqyah, sungguh waktu dua jam yang terasa sangat panjang. Mereka kini ngobrol santai sambil menikmati hidangan yang disediakan.

 Bu Ningsih mendampingi putrinya yang masih pingsan itu, dia mengelap keringat yang membanjir di wajah dan leher Anggita. Matanya yang masih sembab oleh air mata itu memandangi anaknya dengan trenyuh. Dalam hati dia berdoa, semoga musibah yang menimpa anaknya segera berakhir.

Quote:


 Setelah ngobrol beberapa saat, maka jam satu malam, para sesepuh pun berpamitan, para tetangga yang tadinya berkerumun menonton itupun bubar dan ikut pulang ke rumah masing-masing. Rumah pak Harjanto pun dilanda kesunyian. Seluruh keluarga masih merasa dicekam ketakutan karena mengingat kejadian tadi. 

 Beruntung ada hiburan insiden kursi bambu yang patah tadi, hingga bisa sedikit mengurangi ketegangan dan ketakutan. Seluruh keluarga membawa bantal dan selimut dari kamar masing-masing, mereka semua tidur di ruang tamu, menemani Anggita yang masih belum sadar juga.

 Tapi setidaknya ada harapan, ada yang membantu mereka pada saat seperti ini, dan pak Harjanto merasa perlu mengucap syukur, dibalik kesulitan ada beberapa bantuan yang datang tak terduga. Saking capek badan dan pikiran karena menghadapi semua kejadian tadi, tanpa disadari mereka pun tertidur berbarengan..

Bersambung..


6


ferist123
sampeuk
jondero
jondero dan 111 lainnya memberi reputasi
112
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.