- Beranda
- Stories from the Heart
Kumpulan-Kumpulan Cerita Horror dari Reddit
...
TS
pngntrtidr
Kumpulan-Kumpulan Cerita Horror dari Reddit
Halo agan-agan semua, pada thread pertama saya kali ini saya akan membagikan kepada agan-agan semua cerita-cerita seram dari sebuah forum international yaitu Reddit. Di Reddit sendiri terdapat banyak sekali cerita-cerita seram yang menarik, hanya saja semuanya ditulis dalam bahasa inggris. Jadi disini saya menerjemahkan cerita-cerita tersebut ke dalam bahasa Indonesia sehingga kita semua orang Indonesia dapat menikmati cerita-cerita dari luar tersebut.
Selamat membaca agan-agan semua
.
Selamat membaca agan-agan semua
.Quote:
Jika Kau Melihat Pria Ini di Tepi Jalan, Jangan Pulang ke Rumah
---
Aku Baru-baru Ini Menemukan Channel Youtube Milik Teman Sekelasku dan Kurasa Sesuatu Yang Buruk Telah Terjadi Padanya
---
Aku Telah Melakukan Pekerjaan yang Sama Selama 18 Tahun dan Aku Masih Tidak Tahu Apa Yang Sebenarnya Kukerjakan
---
Aku Membeli Sebuah Lukisan Mengerikan pada Pelelangan Online. Ada Sesuatu Yang Salah dengan Lukisan Itu…
---
Aku Membeli Sebuah Ipad Yang Telah Digunakan Sebelumnya. Catatannya Menceritakan Sebuah Kisah Yang Mengerikan
---New---
Sesuatu Sedang Mengintai Para Wisatawan pada Pegunungan Salju Kanada
-------
---
Aku Baru-baru Ini Menemukan Channel Youtube Milik Teman Sekelasku dan Kurasa Sesuatu Yang Buruk Telah Terjadi Padanya
---
Aku Telah Melakukan Pekerjaan yang Sama Selama 18 Tahun dan Aku Masih Tidak Tahu Apa Yang Sebenarnya Kukerjakan
---
Aku Membeli Sebuah Lukisan Mengerikan pada Pelelangan Online. Ada Sesuatu Yang Salah dengan Lukisan Itu…
---
Aku Membeli Sebuah Ipad Yang Telah Digunakan Sebelumnya. Catatannya Menceritakan Sebuah Kisah Yang Mengerikan
---New---
Sesuatu Sedang Mengintai Para Wisatawan pada Pegunungan Salju Kanada
-------
Quote:
Original Posted By pngntrtidr►ane sekarang lagi sibuk sama hal lain gan jadi ga tau kapan bakal update cerita berikutnya. maapkan ane yah gann
Diubah oleh pngntrtidr 06-10-2021 00:19
bukhorigan dan 4 lainnya memberi reputasi
5
6.9K
Kutip
39
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pngntrtidr
#21
Sesuatu Sedang Mengintai Para Wisatawan pada Pegunungan Salju Kanada
Quote:
Penulis: xXKikitoXx
Sumber Cerita
Sumber Cerita
Spoiler for Bagian 1:
Ratusan orang menghilang di alam liar Kanada setiap tahunnya. Banyak yang tak pernah terlihat atau terdengar lagi. Beberapa ditemukan dalam berbagai kurun waktu hari, minggu, bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah mereka menghilang. Beberapanya ditemukan masih hidup.. Pada Januari 1991 aku dan temanku menjadi bagian dari statistik tersebut.
Rencana perjalanan kami adalah pendakian, dan juga petualangan kemah di alam liar. Kami semua berada pada usia akhir remaja kami mencapai umur 20-an dan kebanyakan dari kami yang baru saja lulus dari sekolah menengah keatas ingin sekali mengambil kesempatan sekali seumur hidup ini sebelum kuliah. Januari terlihat seperti waktu yang ideal untuk kami karena bulan itu memungkinkan kami untuk menghemat uang setelah lulus dan juga bertepatan dengan musim libur. Musim dingin juga belum pada puncaknya di kanada.
Tidak ada dari kami yang sangat berpengalaman dalam mendaki ataupun berkemah, tapi anggota yang lebih tua dari rombongan kami sudah pernah berkemah sebelumnya, jadi kami sangat bergantung pada bimbingan dari mereka. Kami juga mendengar bahwa orang Kanada sangat baik terhadap wisatawan dan berharap untuk mencari teman yang dapat membantu kami apabila ada sesuatu yang terjadi. Ketika kami sampai, kami tidak kecewa, semua orang yang kami temui sangat membantu dan baik, disana ternyata lebih dingin dari yang kami bayangkan, tapi itu tidak mengurangi keseruannya.
Sekitar seminggu setelah itu, kami merasakan penutupan jalur untuk yang pertama kalinya. Jalurnya diharapkan berjarak tempuh sekitar tiga hari, kalau tidak empat hari dengan pacu santai. Namun cuaca buruk diperkirakan sedang terjadi sehingga jalurnya diberi tanda larangan masuk. Jujur kami merasa sangat kecewa. Kami berdiri di sana untuk beberapa waktu mengeluh karena sejauh yang kami tahu cuacanya sempurna, matahari cerah, langit tak berawan, tak ber angin. Kami jadi berpikir bahwa tanda penutupan jalan itu untuk hari-hari sebelumnya dan seseorang telah lupa menanggalkannya karena daerah itu sangat terpencil. Itulah kenapa kami membuat keputusan untuk mengabaikan peringatannya dan masuk kedalam tanpa menghiraukannya. Sangat mudah untuk tidak mematuhi peringatan yang kau yakini tidak diperlukan dan terlebih lagi ketika tidak ada orang di sekitar yang melihatmu tidak mematuhi peringatan itu. Aku masih sering berpikir mengenai tanda penutupan itu, aku melihatnya ketika tidur dan terkadang pada saat aku sedang melamun. Melewatinya adalah momen yang kusematkan dalam pikiranku sebagai kesalahan terburuk yang pernah kulakukan dan hal itu berulang kali menghantuiku.
Dalam imajinasiku kami berbalik dengan rasa kecewa, pada kenyataan kami berjalan masuk tanpa ragu. Kami mengobrol dengan santainya, temanku Tim yang bertinggi 188 cm tak henti-hentinya membuat candaan dan pacarku Katja memeluki lenganku saat kami berjalan berjalan melintasi salju yang dingin. Dia tertutupi dari kepala hingga ke ujung kaki dengan pakaian hangat, dia mengenakan beanie pink cerah, syal, dan mantel dingin yang membuatnya sedikit terlihat seperti penguin yang terhuyung-huyung. Kami tidak melihat adanya satwa liar pada saat itu, tetapi kami menemukan apa yang kami anggap sebagai jejak kelompok lain.

Kami mengikuti jejak mereka karena lebih mudah untuk berjalan pada jalur salju yang telah diinjak oleh orang lain dan karena kami berharap dapat menyusul mereka. Hal itu meyakinkan kami bahwa kami bukanlah satu-satunya di luar sana yang tidak mematuhi tanda peringatannya dan entah bagaimana ini rasanya membenarkan keputusan kami. Jejak mereka mengarah ke atas gunung dengan langkah yang terjal dan kami menyadari bahwa mereka tidak mematuhi penanda jalan manapun. Kami melakukan percakapan singkat tentang apakah itu benar-benar ide yang baik untuk terus mengikuti mereka. Sven, yang paling lama berada di grup yang lebih tua, menjadi pengintai di depan kami, mengumumkan bahwa jejak berakhir tepat di atas tanjakan berikutnya.
Awalnya aku tidak percaya padanya dan bersikeras ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Sejujurnya kupikir dia hanya kehilangan jejaknya saja dan aku akan menjadi orang yang menemukannya, namun bukan itu masalahnya. Sebaliknya itu persis seperti yang dia katakan, tepat di atas tanjakan berikutnya, jejaknya tidak pudar secara alami ataupun berubah arah, jejaknya hilang begitu saja. Seolah-olah kelompok di depan kami memutuskan secara spontan untuk berhenti berjalan tepat disana dan menghilang begitu saja.
Sven dan aku bertukar pandang dengan gugup dan saat itulah aku menyadari bahwa dia berharap aku dapat menemukan jejak itu, tapi melihat ke sekeliling, aku dapat melihat bahwa disana tidak ada tempat lain lagi yang dilalui mereka. Kami sudah berada cukup tinggi di atas gunung seakarang, saljunya tidak seberapa tebal tapi awan rendah telah menutupi sinar matahari memberikan suasana abu-abu pada area kami dan membatasi jarak pandang kami ke area sekitar. Ada hutan dengan pohon-pohon gelap tinggi yang berjarak dari satu dengan yang lainnya di satu sisi dan tebing gunung di sisi lainnya. Mereka seolah-olah hilang begitu saja.
Kami kembali pada rombongan dengan sedikit takut dan langkah kaki yang sedikit dipercepat tapi sepertinya tidak ada satupun yang memperhatikan. Selama kepergian kami, regu kami telah mendirikan kemah, tiga tenda berwarna terang didirkan menghadap api kecil, Tim dan pacarnya, Nina, sedang menggelindingkan batang kayu untuk tempat dan Katja menyiapkan sup. Rasanya sangat nyaman, ada satu hal terasa saat dirimu memiliki orang lain di sekitarmu bersama dengan api unggun yang membuatmu merasa aman. Ketika ditanya mengenai akhir jejak itu, aku dan Sven setuju untuk memberi tahu yang lain bahwa salju telah menutupi jejaknya. Bukan menghilang begitu saja.
Malam kami dilewati dengan makan dan minum-minum, salju turun rintik-rintik sehingga kami tidak dapat melihat apa pun yang tak diterangi oleh cahaya api kami. Kami bergiliran menceritakan kisah seram satu sama lain sampai pada Nina yang tiba-tiba meletakkan jari di bibirnya menunjukkan gaya ‘shhhh’, kami semua diam dan menunggunya dengan penuh semangat. Kami menunggunya menceritakan kisah seram, dia adalah orang yang pendiam diantara kami, jadi kami ber-ekspektasi bahwa dia pasti memiliki cerita yang bagus, tapi dia malah bergumam pelan, “Hörtst du das?” (Yang mana pada bahasa Jerman berarti “Kalian mendengarnya?”.)
Tim dan yang lainnya menertawainya sambil berkata bahwa dia perlu melakukan yang lebih baik dari itu, sedangkan aku sendiri merasa bulu kudukku merinding mendengarnya. Dia tidak terlihat seperti sedang mencoba untuk menakut-nakuti kami, “Diam dan dengarkan.” Aku memberi tahu mereka dan rombongan kami pun terdiam. Untuk waktu yang lama kami mendengarkan suara hujan salju dan angin sepoi-sepoi bertiup melewati cabang-cabang di hutan di dekat kami. Lalu kami mendengarnya. Suara langkah kaki pelan pada permukaan salju.
“Siapa disana?” Tim berdiri, dia adalah yang terbesar dari kami, dan kurasa dia merasa bersalah karena telah mengejek Nina tadi. Suaranya dalam dan aku telah diberitahukan sebelumnya bahwa aksen marah Jerman ketika berbicara Inggris itu cukup mengintimidasi. Dia tak mendapat balasan, tapi kami mendengar sesuatu berlari di dalam hutan. Kami tidak mendengar hal lain jadi aku berasumsi itu mungkin adalah anak beruang atau yang lainnya dan teriakan Tim yang tiba-tiba telah mengusirnya pergi. Kejadian ini mengeruhkan suasana, tapi setidaknya dapat membuat kami merasa tenang untuk beristirahat di dalam tenda.
Ketika aku terbangun keesokan paginya, diluar sangat terang dan itu membuat bagian dalam dari tenda milikku dan Katja menjadi biru. Aku bangkit sambil melindungi mataku dengan tangan dan pergi keluar tenda. Aku dapat mendengar yang lainnya sudah bangun dan berbicara dengan suara tenang dan menjadi senyap ketika aku mendekat. Ketegangan sangat terasa, melihat ke sekeliling, aku menyadari beberapa persediaan kami berserakan dan api unggun kami telah tertutup tanah dan salju. Hal ini menyadarkanku dari perasaan grogiku, “Ini kenapa?” aku bertanya sambil tercengang, “Kuharap kau tau.” Tim menggerutu. “Seseorang mencoba memasuki tendaku semalam, aku menakutinya dengan melemparkan ranselku pada mereka. Dan sekarang lihatlah kekacauan di pagi ini.” ujar Sven. Dia adalah satu-satunya dari kami yang berada di dalam tenda sendirian karena Tim dan Nina berada di satu tenda yang sama, Katja dan aku juga sama.
Jelas sekarang bahwa kami tidak sendirian di gunung ini dan apa pun yang berada diluar sana tidaklah ramah. Hal ini membuat kami memutuskan untuk mengakhiri perjalan kami. Kami memutuskan untuk berbalik dan menginap di hostel selama beberapa hari. Kami berkemas dengan cepat dan berjalan menuruni gunung dalam keheningan, kami berjalan beberapa jam sebelum menyadari bahwa kami telah tersesat. Mengingat hari sebelumnya kami malah mengikuti jejak yang kami anggap sebagai sesama pendaki daripada mengikuti penanda jalan dan kami menyesal atas kebodohan kami. Satu-satunya pemandu alam kami hanyalah hutan itu dan pegunungannya sendiri.
Pada tengah hari kami berhenti untuk makan siang, acara makan siang pada saat itu terasa kurang memuaskan karena suasana kami pada saat itu tidaklah bagus. Pada saat kami sedang makan, aku menatap hutan sambil melamun, Katja berada dekat denganku tapi dia memusatkan perhatiannya ke bawah. Aku berasumsi bahwa yang lain juga melakukan hal yang sama. Saat itulah aku melihat ada pergerakan di antara pepohonan, sesuatu, yang banyak, melesat cepat di antara batang-batang pohon. Sulit untuk melihat seperti apa bentuk mereka, cukup kecil menurutku, hampir seperti kera setidaknya dari cara mereka bergerak. Tanpa berkata apapun aku menunjukkannya kepada yang lain dan kami semua setuju untuk melanjutkan perjalan.
Sejak saat itu, kami tidak pernah benar-benar sendirian. Setiap kali kami berhenti untuk istirahat, mahkluk-mahkluk itu mendekat, ketika kami bergerak, mereka terlihat memperjauh jarak mereka. Bagaimanapun mereka tampak menakutkan, kami setuju untuk tidak berlari, khawatir itu dapat memicu naluri mengejar mereka atau hal lainnya, tapi itu saja sudah sangat sulit. Setiap kali aku melihat ada yang bergerak secara cepat di salju belakang kami, aku ingin berlari dan aku yakin kalau aku bukanlah satu-satunya.
Malam kedua tiba terlalu cepat. Kami benar-benar belum siap, kami bergegas mendirikan ketiga tenda ini meskipun kami semua tidur di tenda yang berada di tengah bersama-sama. Kami menyalakan dua api unggun dan mendesakkan diri kami pada serambi kecil tenda untuk menciptakan perasaan aman. Dengan kesemua dari kami berada di dalam satu tenda, tendanya terasa cukup sempit, tapi aku merasa lebih aman. Aku baru saja tidur tapi terbangun oleh suara gesekan ringan pada kain tenda. Aku bukanlah satu-satunya yang terbangun, kurasa kami semua, tapi kami tidak dapat melihat apa-apa dalam gelap. “Kenakan pakaian kalian.” Aku mendengar Sven berbisik dan kami semua mulai memakai pakaian pendakian kami sepelan mungkin.
Kami pada saat itu tidak tahu bahwa telah terjadi longsor, kami tidak tahu apa yang sedang terjadi, suara raungan mengerikan di sekitaran setau kami bisa saja karena ada naga yang sedang marah terbangun dari sarangnya. Kombinasi dari suara yang Cumiakkan telinga, kegelapan, dan dingin yang luar biasa sementara kami berlari ke segala arah berdoa berharap kami berlari ke arah yang benar. Sesuatu yang keras menghantam kakiku dan aku pun tersapu longsor, genggaman Katja terlepas dari tanganku dan kami terombang-ambing tak berdaya oleh gelombang longsoran salju. Aku samar-samar mengingat bahwa aku menabrak sesuatu yang keras, mungkin pohon, K=kemudian aku kehilangan kesadaran.
Ketika aku terbangun, mungkin menit, jam, hari telah terlewati, aku tidak tahu. Aku merasakan sakit pada salah satu lenganku, tapi dengan menjulurkan tangan yang satunya aku dapat merasakan hembusan udara segar, ketika aku memberanikan diri membuka mataku, sekitaran sudah tidak gelap, dapat dipastikan bahwa pada saat itu adalah pagi buta. Dengan panik aku menggali keluar, aku berteriak memanggil yang lain dan ketika aku berhenti, aku mendengar Sven juga memanggil. Aku sangat lega. Aku tidaklah sendirian.
Aku merangkak melewati salju menuju ke tempat dimana aku mendengar suara Sven, dia hanya beberapa meter jauhnya dan aku menyadari bahwa dia sedang terkubur. Aku dengan tergesa-gesa menggali salju untuk menolongnya, aku tidak pernah se-bersyukur ini dapat melihat manusia lainnya dalam hidupku pada saat itu. Dia tidak begitu terluka, hanya sedikit memar, dan kami menyimpulkan bahwa tanganku kemungkinan besar patah. Segera setelah itu kami pun mencari yang lainnya. Panggilan kami bergema melintasi puncak gunung tanpa ada jawaban selama berjam-jam. Kami menemukan satu ransel tetapi tak berhasil untuk mempertahankan persediaan kami. Pada saat kami berjalan melewati salju kami melihat ada sosok yang sedang berjongkok di kejauhan, Nina.
Kami menyautinya tapi dia tak menjawab, saat kami sampai ekspresi wajahnya datar dan tidak mengakui kedatangan kami. Salju di sekitarannya kotor dan berlumuran darah. Disampingnya ada tongkat penuh darah dan pada pangkuannya terdapat sisa bagian tubuh dari Tim. Tidak diragukan lagi dia telah meninggal. Hanya tubuh bagian atas dan lengan kirinya yang tersisa, sisanya telah dilucuti dari daging sampai ke tulang. Itu adalah pemandangan yang mengerikan. “Sie haben ihn gefressen..” ujarnya dengan pelan, (ini kurang lebih berarti, “Mereka telah memakannya”.)
Kami terdiam.
Akhirnya kami berhasil meyakinkan Nina untuk meninggalkan tubuhnya, kami menandainya dengan dua cabang pohon besar yang diikatkan selendang pada salah satunya. Pada saat ini aku sudah tidak dapat merasakan kakiku lagi dan kami masih belum menemukan Katja, dan yang memperburuk keadaan, angin semakin kencang. Kami tahu bahwa kami perlu mencari tempat berlindung dengan cepat. Mengingat pilihan kami, kami memutuskan bahwa tempat berlindung terbaik adalah di antara singkapan batu yang telah kami lewati tidak lama sebelumnya. Saat kami berjalan kembali kesana, aku melihat sesuatu yang kami lewatkan sebelumnya, benda itu adalah beanie pink yang terkubur di atas salju.
“Katja!” Dengan sangat khawatir aku bergegas menuju ke sana, tak ada jawaban. Ketika aku sampai, aku memungutnya dari atas salju dan merasa kecewa saat menyadari bahwa Katja tidak berada di sana. Aku kemudian menyadari bahwa salju di sekitaran terlihat lecet dan gejolak harapan dalam diriku meyakini bahwa dia pasti merangkak menuju hutan untuk mencari tempat perlindungan. Aku berjuang mengikuti jejaknya sampai hampir melupakan Nina dan Sven yang berada di belakangku. Jejak Katja menuju tepat pada sebuah pohon besar, dari jauh aku dapat melihat sepotong kain kecil di dekat batang pohon berada di sela-sela ranting pohon, aku meyakinkan diriku bahwa aku melihat ada sebuah sosok yang sedang meringkuk. Dia tak pernah menjawab panggilanku kepadanya dan ketika aku sampai, hatiku seperti jatuh. Aku tidak sedang melihat pada pangkal pohon, melainkan mungkin pada bagian tengah pohonnya dan ternyata tidak ada orang yang berada di sana.
Rencana perjalanan kami adalah pendakian, dan juga petualangan kemah di alam liar. Kami semua berada pada usia akhir remaja kami mencapai umur 20-an dan kebanyakan dari kami yang baru saja lulus dari sekolah menengah keatas ingin sekali mengambil kesempatan sekali seumur hidup ini sebelum kuliah. Januari terlihat seperti waktu yang ideal untuk kami karena bulan itu memungkinkan kami untuk menghemat uang setelah lulus dan juga bertepatan dengan musim libur. Musim dingin juga belum pada puncaknya di kanada.
Tidak ada dari kami yang sangat berpengalaman dalam mendaki ataupun berkemah, tapi anggota yang lebih tua dari rombongan kami sudah pernah berkemah sebelumnya, jadi kami sangat bergantung pada bimbingan dari mereka. Kami juga mendengar bahwa orang Kanada sangat baik terhadap wisatawan dan berharap untuk mencari teman yang dapat membantu kami apabila ada sesuatu yang terjadi. Ketika kami sampai, kami tidak kecewa, semua orang yang kami temui sangat membantu dan baik, disana ternyata lebih dingin dari yang kami bayangkan, tapi itu tidak mengurangi keseruannya.
Sekitar seminggu setelah itu, kami merasakan penutupan jalur untuk yang pertama kalinya. Jalurnya diharapkan berjarak tempuh sekitar tiga hari, kalau tidak empat hari dengan pacu santai. Namun cuaca buruk diperkirakan sedang terjadi sehingga jalurnya diberi tanda larangan masuk. Jujur kami merasa sangat kecewa. Kami berdiri di sana untuk beberapa waktu mengeluh karena sejauh yang kami tahu cuacanya sempurna, matahari cerah, langit tak berawan, tak ber angin. Kami jadi berpikir bahwa tanda penutupan jalan itu untuk hari-hari sebelumnya dan seseorang telah lupa menanggalkannya karena daerah itu sangat terpencil. Itulah kenapa kami membuat keputusan untuk mengabaikan peringatannya dan masuk kedalam tanpa menghiraukannya. Sangat mudah untuk tidak mematuhi peringatan yang kau yakini tidak diperlukan dan terlebih lagi ketika tidak ada orang di sekitar yang melihatmu tidak mematuhi peringatan itu. Aku masih sering berpikir mengenai tanda penutupan itu, aku melihatnya ketika tidur dan terkadang pada saat aku sedang melamun. Melewatinya adalah momen yang kusematkan dalam pikiranku sebagai kesalahan terburuk yang pernah kulakukan dan hal itu berulang kali menghantuiku.
Dalam imajinasiku kami berbalik dengan rasa kecewa, pada kenyataan kami berjalan masuk tanpa ragu. Kami mengobrol dengan santainya, temanku Tim yang bertinggi 188 cm tak henti-hentinya membuat candaan dan pacarku Katja memeluki lenganku saat kami berjalan berjalan melintasi salju yang dingin. Dia tertutupi dari kepala hingga ke ujung kaki dengan pakaian hangat, dia mengenakan beanie pink cerah, syal, dan mantel dingin yang membuatnya sedikit terlihat seperti penguin yang terhuyung-huyung. Kami tidak melihat adanya satwa liar pada saat itu, tetapi kami menemukan apa yang kami anggap sebagai jejak kelompok lain.

topi beanie pink
Kami mengikuti jejak mereka karena lebih mudah untuk berjalan pada jalur salju yang telah diinjak oleh orang lain dan karena kami berharap dapat menyusul mereka. Hal itu meyakinkan kami bahwa kami bukanlah satu-satunya di luar sana yang tidak mematuhi tanda peringatannya dan entah bagaimana ini rasanya membenarkan keputusan kami. Jejak mereka mengarah ke atas gunung dengan langkah yang terjal dan kami menyadari bahwa mereka tidak mematuhi penanda jalan manapun. Kami melakukan percakapan singkat tentang apakah itu benar-benar ide yang baik untuk terus mengikuti mereka. Sven, yang paling lama berada di grup yang lebih tua, menjadi pengintai di depan kami, mengumumkan bahwa jejak berakhir tepat di atas tanjakan berikutnya.
Awalnya aku tidak percaya padanya dan bersikeras ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Sejujurnya kupikir dia hanya kehilangan jejaknya saja dan aku akan menjadi orang yang menemukannya, namun bukan itu masalahnya. Sebaliknya itu persis seperti yang dia katakan, tepat di atas tanjakan berikutnya, jejaknya tidak pudar secara alami ataupun berubah arah, jejaknya hilang begitu saja. Seolah-olah kelompok di depan kami memutuskan secara spontan untuk berhenti berjalan tepat disana dan menghilang begitu saja.
Sven dan aku bertukar pandang dengan gugup dan saat itulah aku menyadari bahwa dia berharap aku dapat menemukan jejak itu, tapi melihat ke sekeliling, aku dapat melihat bahwa disana tidak ada tempat lain lagi yang dilalui mereka. Kami sudah berada cukup tinggi di atas gunung seakarang, saljunya tidak seberapa tebal tapi awan rendah telah menutupi sinar matahari memberikan suasana abu-abu pada area kami dan membatasi jarak pandang kami ke area sekitar. Ada hutan dengan pohon-pohon gelap tinggi yang berjarak dari satu dengan yang lainnya di satu sisi dan tebing gunung di sisi lainnya. Mereka seolah-olah hilang begitu saja.
Kami kembali pada rombongan dengan sedikit takut dan langkah kaki yang sedikit dipercepat tapi sepertinya tidak ada satupun yang memperhatikan. Selama kepergian kami, regu kami telah mendirikan kemah, tiga tenda berwarna terang didirkan menghadap api kecil, Tim dan pacarnya, Nina, sedang menggelindingkan batang kayu untuk tempat dan Katja menyiapkan sup. Rasanya sangat nyaman, ada satu hal terasa saat dirimu memiliki orang lain di sekitarmu bersama dengan api unggun yang membuatmu merasa aman. Ketika ditanya mengenai akhir jejak itu, aku dan Sven setuju untuk memberi tahu yang lain bahwa salju telah menutupi jejaknya. Bukan menghilang begitu saja.
Malam kami dilewati dengan makan dan minum-minum, salju turun rintik-rintik sehingga kami tidak dapat melihat apa pun yang tak diterangi oleh cahaya api kami. Kami bergiliran menceritakan kisah seram satu sama lain sampai pada Nina yang tiba-tiba meletakkan jari di bibirnya menunjukkan gaya ‘shhhh’, kami semua diam dan menunggunya dengan penuh semangat. Kami menunggunya menceritakan kisah seram, dia adalah orang yang pendiam diantara kami, jadi kami ber-ekspektasi bahwa dia pasti memiliki cerita yang bagus, tapi dia malah bergumam pelan, “Hörtst du das?” (Yang mana pada bahasa Jerman berarti “Kalian mendengarnya?”.)
Tim dan yang lainnya menertawainya sambil berkata bahwa dia perlu melakukan yang lebih baik dari itu, sedangkan aku sendiri merasa bulu kudukku merinding mendengarnya. Dia tidak terlihat seperti sedang mencoba untuk menakut-nakuti kami, “Diam dan dengarkan.” Aku memberi tahu mereka dan rombongan kami pun terdiam. Untuk waktu yang lama kami mendengarkan suara hujan salju dan angin sepoi-sepoi bertiup melewati cabang-cabang di hutan di dekat kami. Lalu kami mendengarnya. Suara langkah kaki pelan pada permukaan salju.
“Siapa disana?” Tim berdiri, dia adalah yang terbesar dari kami, dan kurasa dia merasa bersalah karena telah mengejek Nina tadi. Suaranya dalam dan aku telah diberitahukan sebelumnya bahwa aksen marah Jerman ketika berbicara Inggris itu cukup mengintimidasi. Dia tak mendapat balasan, tapi kami mendengar sesuatu berlari di dalam hutan. Kami tidak mendengar hal lain jadi aku berasumsi itu mungkin adalah anak beruang atau yang lainnya dan teriakan Tim yang tiba-tiba telah mengusirnya pergi. Kejadian ini mengeruhkan suasana, tapi setidaknya dapat membuat kami merasa tenang untuk beristirahat di dalam tenda.
Ketika aku terbangun keesokan paginya, diluar sangat terang dan itu membuat bagian dalam dari tenda milikku dan Katja menjadi biru. Aku bangkit sambil melindungi mataku dengan tangan dan pergi keluar tenda. Aku dapat mendengar yang lainnya sudah bangun dan berbicara dengan suara tenang dan menjadi senyap ketika aku mendekat. Ketegangan sangat terasa, melihat ke sekeliling, aku menyadari beberapa persediaan kami berserakan dan api unggun kami telah tertutup tanah dan salju. Hal ini menyadarkanku dari perasaan grogiku, “Ini kenapa?” aku bertanya sambil tercengang, “Kuharap kau tau.” Tim menggerutu. “Seseorang mencoba memasuki tendaku semalam, aku menakutinya dengan melemparkan ranselku pada mereka. Dan sekarang lihatlah kekacauan di pagi ini.” ujar Sven. Dia adalah satu-satunya dari kami yang berada di dalam tenda sendirian karena Tim dan Nina berada di satu tenda yang sama, Katja dan aku juga sama.
Jelas sekarang bahwa kami tidak sendirian di gunung ini dan apa pun yang berada diluar sana tidaklah ramah. Hal ini membuat kami memutuskan untuk mengakhiri perjalan kami. Kami memutuskan untuk berbalik dan menginap di hostel selama beberapa hari. Kami berkemas dengan cepat dan berjalan menuruni gunung dalam keheningan, kami berjalan beberapa jam sebelum menyadari bahwa kami telah tersesat. Mengingat hari sebelumnya kami malah mengikuti jejak yang kami anggap sebagai sesama pendaki daripada mengikuti penanda jalan dan kami menyesal atas kebodohan kami. Satu-satunya pemandu alam kami hanyalah hutan itu dan pegunungannya sendiri.
Pada tengah hari kami berhenti untuk makan siang, acara makan siang pada saat itu terasa kurang memuaskan karena suasana kami pada saat itu tidaklah bagus. Pada saat kami sedang makan, aku menatap hutan sambil melamun, Katja berada dekat denganku tapi dia memusatkan perhatiannya ke bawah. Aku berasumsi bahwa yang lain juga melakukan hal yang sama. Saat itulah aku melihat ada pergerakan di antara pepohonan, sesuatu, yang banyak, melesat cepat di antara batang-batang pohon. Sulit untuk melihat seperti apa bentuk mereka, cukup kecil menurutku, hampir seperti kera setidaknya dari cara mereka bergerak. Tanpa berkata apapun aku menunjukkannya kepada yang lain dan kami semua setuju untuk melanjutkan perjalan.
Sejak saat itu, kami tidak pernah benar-benar sendirian. Setiap kali kami berhenti untuk istirahat, mahkluk-mahkluk itu mendekat, ketika kami bergerak, mereka terlihat memperjauh jarak mereka. Bagaimanapun mereka tampak menakutkan, kami setuju untuk tidak berlari, khawatir itu dapat memicu naluri mengejar mereka atau hal lainnya, tapi itu saja sudah sangat sulit. Setiap kali aku melihat ada yang bergerak secara cepat di salju belakang kami, aku ingin berlari dan aku yakin kalau aku bukanlah satu-satunya.
Malam kedua tiba terlalu cepat. Kami benar-benar belum siap, kami bergegas mendirikan ketiga tenda ini meskipun kami semua tidur di tenda yang berada di tengah bersama-sama. Kami menyalakan dua api unggun dan mendesakkan diri kami pada serambi kecil tenda untuk menciptakan perasaan aman. Dengan kesemua dari kami berada di dalam satu tenda, tendanya terasa cukup sempit, tapi aku merasa lebih aman. Aku baru saja tidur tapi terbangun oleh suara gesekan ringan pada kain tenda. Aku bukanlah satu-satunya yang terbangun, kurasa kami semua, tapi kami tidak dapat melihat apa-apa dalam gelap. “Kenakan pakaian kalian.” Aku mendengar Sven berbisik dan kami semua mulai memakai pakaian pendakian kami sepelan mungkin.
Kami pada saat itu tidak tahu bahwa telah terjadi longsor, kami tidak tahu apa yang sedang terjadi, suara raungan mengerikan di sekitaran setau kami bisa saja karena ada naga yang sedang marah terbangun dari sarangnya. Kombinasi dari suara yang Cumiakkan telinga, kegelapan, dan dingin yang luar biasa sementara kami berlari ke segala arah berdoa berharap kami berlari ke arah yang benar. Sesuatu yang keras menghantam kakiku dan aku pun tersapu longsor, genggaman Katja terlepas dari tanganku dan kami terombang-ambing tak berdaya oleh gelombang longsoran salju. Aku samar-samar mengingat bahwa aku menabrak sesuatu yang keras, mungkin pohon, K=kemudian aku kehilangan kesadaran.
Ketika aku terbangun, mungkin menit, jam, hari telah terlewati, aku tidak tahu. Aku merasakan sakit pada salah satu lenganku, tapi dengan menjulurkan tangan yang satunya aku dapat merasakan hembusan udara segar, ketika aku memberanikan diri membuka mataku, sekitaran sudah tidak gelap, dapat dipastikan bahwa pada saat itu adalah pagi buta. Dengan panik aku menggali keluar, aku berteriak memanggil yang lain dan ketika aku berhenti, aku mendengar Sven juga memanggil. Aku sangat lega. Aku tidaklah sendirian.
Aku merangkak melewati salju menuju ke tempat dimana aku mendengar suara Sven, dia hanya beberapa meter jauhnya dan aku menyadari bahwa dia sedang terkubur. Aku dengan tergesa-gesa menggali salju untuk menolongnya, aku tidak pernah se-bersyukur ini dapat melihat manusia lainnya dalam hidupku pada saat itu. Dia tidak begitu terluka, hanya sedikit memar, dan kami menyimpulkan bahwa tanganku kemungkinan besar patah. Segera setelah itu kami pun mencari yang lainnya. Panggilan kami bergema melintasi puncak gunung tanpa ada jawaban selama berjam-jam. Kami menemukan satu ransel tetapi tak berhasil untuk mempertahankan persediaan kami. Pada saat kami berjalan melewati salju kami melihat ada sosok yang sedang berjongkok di kejauhan, Nina.
Kami menyautinya tapi dia tak menjawab, saat kami sampai ekspresi wajahnya datar dan tidak mengakui kedatangan kami. Salju di sekitarannya kotor dan berlumuran darah. Disampingnya ada tongkat penuh darah dan pada pangkuannya terdapat sisa bagian tubuh dari Tim. Tidak diragukan lagi dia telah meninggal. Hanya tubuh bagian atas dan lengan kirinya yang tersisa, sisanya telah dilucuti dari daging sampai ke tulang. Itu adalah pemandangan yang mengerikan. “Sie haben ihn gefressen..” ujarnya dengan pelan, (ini kurang lebih berarti, “Mereka telah memakannya”.)
Kami terdiam.
Akhirnya kami berhasil meyakinkan Nina untuk meninggalkan tubuhnya, kami menandainya dengan dua cabang pohon besar yang diikatkan selendang pada salah satunya. Pada saat ini aku sudah tidak dapat merasakan kakiku lagi dan kami masih belum menemukan Katja, dan yang memperburuk keadaan, angin semakin kencang. Kami tahu bahwa kami perlu mencari tempat berlindung dengan cepat. Mengingat pilihan kami, kami memutuskan bahwa tempat berlindung terbaik adalah di antara singkapan batu yang telah kami lewati tidak lama sebelumnya. Saat kami berjalan kembali kesana, aku melihat sesuatu yang kami lewatkan sebelumnya, benda itu adalah beanie pink yang terkubur di atas salju.
“Katja!” Dengan sangat khawatir aku bergegas menuju ke sana, tak ada jawaban. Ketika aku sampai, aku memungutnya dari atas salju dan merasa kecewa saat menyadari bahwa Katja tidak berada di sana. Aku kemudian menyadari bahwa salju di sekitaran terlihat lecet dan gejolak harapan dalam diriku meyakini bahwa dia pasti merangkak menuju hutan untuk mencari tempat perlindungan. Aku berjuang mengikuti jejaknya sampai hampir melupakan Nina dan Sven yang berada di belakangku. Jejak Katja menuju tepat pada sebuah pohon besar, dari jauh aku dapat melihat sepotong kain kecil di dekat batang pohon berada di sela-sela ranting pohon, aku meyakinkan diriku bahwa aku melihat ada sebuah sosok yang sedang meringkuk. Dia tak pernah menjawab panggilanku kepadanya dan ketika aku sampai, hatiku seperti jatuh. Aku tidak sedang melihat pada pangkal pohon, melainkan mungkin pada bagian tengah pohonnya dan ternyata tidak ada orang yang berada di sana.
Quote:
Diubah oleh pngntrtidr 06-10-2021 00:15
0
Kutip
Balas