- Beranda
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah
...
TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25
bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
90.8K
Kutip
2.7K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32KThread•45KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#230
Quote:
Original Posted By benbela►
Suara sungai di hadapan kami masih terus bergemuruh. Air yang surut karena kemarau, membuat batu-batu besar dan kecil tampak menonjol di antara arus yang deras.
Di sekeliling kami adalah hutan lebat yang diiringi ribuan suara binatang yang terus berbunyi tanpa henti. Pohon-pohon besar tinggi menjulang, dengan rimbun dedaunan yang menghalangi sinar matahari ke dasar hutan.
Di sini, kami berempat terdampar dengan kondisi yang memprihatinkan. Tubuh kami penuh luka, memar dan lebam. Tanpa senjata dan penerangan, keadaan kami sungguh rapuh. Mandau, pistol dan senter sudah hilang terbawa arus.
Di antara kami, hanyalah mang Soleh yang tetap bisa berpikir tenang. Ia berhasil menangkap dua ekor ikan Sapan yang lalu dibakar dan kami makan bersama.
Dua ekor ikan untuk orang berempat tidaklah mengenyangkan. Rasanya juga aneh karena tidak ada bumbu. Tapi ikan bakar tadi sudah cukup untuk memulihkan tenaga, walau tidak seratus persen.
Berempat, kami menata batu-batu kali untuk tempat menginap malam ini. Sekarang musim kemarau, jadi tidak perlu khawatir apabila air sungai datang tiba-tiba. Bermalam di semak belukar bukanlah pilihan. Bisa saja ada ular, lintah, serangga atau hewan ganas lain yang menyergap saat kami tidur.
Andai ada pisau dan parang, tidaklah terlalu sulit untuk membuat pondok sederhana. Tapi kami tidak memiliki senjata apapun di tangan. Tubuh kami juga belum benar-benar pulih. Kami harus bertahan dengan keadaan kami sekarang.
Senja berganti malam. Suara binatang malam semakin berisik, bercampur dengan deras sungai yang bergemuruh.
"Biar aku dan Dayat yang jaga pertama. Nanti gantian kalau sudah terasa mengantuk." ujar mang Soleh sembari menambahkan ranting dan daun kering ke api unggun yang terus menyala.
Malam semakin larut dan udara terasa dingin. Tanpa selimut, tubuhku menggigil. Aku merapatkan badan ke dekat api supaya udara hangat membaluri tubuhku.
Dengan tangan dijadikan bantal, aku berusaha menutup mata. Namun sia-sia, aku tetap tidak bisa tidur. Tubuhku sebenarnya sudah sangat lelah dan lemas, tapi trauma membuatku tetap terjaga.
Di samping, kapten juga rupanya belum bisa tidur. Berkali-kali ia membolak-balikan badan, pertanda ia juga tidak tenang.
Mang Soleh dan Dayat juga terlihat gelisah. Sudah beberapa kali kulihat mang Soleh tiba-tiba berdiri dengan kayu di tangan, melempar batu ke semak belukar, lalu duduk lagi. Semakin malam, kulihat wajahnya semakin tegang.
Sedangkan Dayat dari tadi melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya putus-putus karena diiringi isak tangis tertahan. Dalam keadaan seperti ini, siapapun akan kehilangan nyali.
Lantunan ayat suci yang keluar dari mulut Dayat bukannya membuatku tenang, malah bulu kudukku tiba-tiba merinding. Seolah ada sesuatu yang sedang mengawasi kami dari balik kegelapan.
Tiba-tiba saja air mataku mengalir, teringat anak, istri dan ibu di rumah. Tak bisa kubayangkan bila aku mati saat ini tanpa sempat berjumpa dengan mereka. Entah kesedihan seperti apa yang mereka alami, bila aku mati di tengah belantara tanpa ada seorang pun tahu. Keluargaku yang malang pasti akan terus meratap tanpa henti.
Lalu bagaimana dengan mas Sugang ? Apakah ia selamat atau sudah tewas terseret arus ?
Pikiranku semakin lama semakin tidak karuan. Jangan-jangan mas Sugang sudah dibawa ke kampung hantuen. Konon, hutan-hutan lebat banyak sekali kampung hantuen, yaitu kampung arwah penasaran dan manusia jadi-jadian.
Kudengar, mereka suka sekali menjebak manusia untuk tersesat ke alam mereka, lalu dijadikan makanan. Membayangkan semuanya membuatku semakin merinding ketakutan. Ditambah lagi cuaca dingin dan suara binatang malam membuat bulu kudukku semakin berdiri.
Entah berapa lama aku tertidur, hingga seketika terbangun karena Dayat mengguncang-guncang tubuhku.
"Mid...Hamid, bangun !" seloroh Dayat panik.
Kurasakan tiap sendi tubuhku masih sakit, namun Dayat tidak perduli. Dia terus mengguncang-guncang tubuhku dan sesekali memukul pundakku.
"Hamid, ayo bangun !"
"Ada apa ? " Jawabku lemah. Aku berusaha duduk, namun kurasa seluruh badanku masih terasa ngilu.
"Mang Soleh, Mid. Mang Soleh..." ujar Dayat terbata.
"Kenapa mang Soleh ?"
"Mang Soleh hilang."
"Hah !?," kataku tidak percaya, "bangunkan kapten !"
Dalam keadaan panik, aku dan Dayat berusaha membangunkan kapten. Perlu beberapa saat hingga ia benar-benar terbangun.
"Hilang bagaimana ?" tanya kapten sambil mengucek mata.
Kantuknya tiba-tiba hilang begitu mengetahui mang Soleh menghilang. Tertatih ia berusaha duduk kemudian menatap wajah kami satu-persatu.
Dayat menarik nafas panjang, jelas sekali bahwa ia sangat gugup. Setelah nafasnya teratur, Dayat mulai bercerita.
"Tadi, mang Soleh bilang bahwa ia melihat ada sesuatu di belukar. Ia kemudian memeriksa belukar itu dan menyuruhku berjaga di sini. Namun, sudah lebih dari 1 jam ia tak juga kembali. Aku sudah berusaha mencari ke sekitar belukar tempat ia menghilang, namun nihil. Kupanggil-panggil, juga tak ada sahutan."
Aku dan kapten Anang tertegun mendengar penuturan Dayat. Kesulitan kami akan semakin bertambah apabila mang Soleh benar-benar menghilang.
"Hilang dimana dia ?" tanya kapten lagi.
"Di sana !"
Dayat menunjuk ke arah belukar. Namun tidak ada yang bisa kami lihat karena sangat gelap. Kami bagaikan orang buta. Jarak pandang hanya beberapa meter di sekitar api unggun yang semakin redup.
"Bagaimana mungkin dia bisa berjalan kesana tanpa senter dan senjata ?" tanya kapten tidak percaya.
"Tadi mang Soleh membuat obor dengan sobekan kain bajunya. Lalu melangkah kesana."
"Seharusnya kau melihat bila obornya menjauh atau padam."
"Ma-maaf kapten. Tadi aku tertidur. Saat terbangun, ternyata mang Soleh tidak juga kembali. Cukup lama aku menunggu lalu mencarinya. Setelah sadar ia menghilang, barulah kubangunkan kalian."
Dayat tertunduk meski tidak ada yang menyalahkan.
"Sudah lah, sebaiknya kita cari si Soleh sekarang."
Kami bertiga lalu berdiri sambil menahan ngilu yang belum juga hilang. Kami tambahkan beberapa batang kayu kering agar api unggun tidak padam selama kami melakukan pencarian.
Kain baju kami robek untuk dililitkan pada batang kayu dan dibakar untuk jadi obor. Sambil berteriak memanggil mang Soleh, kami melangkah menuju semak belukar tempat dia menghilang.
Kami harus melangkah hati-hati agar obor di tangan kami tidak padam. Belum lagi hembusan angin yang cukup kencang, obor di tangan yang tanpa minyak bisa padam tiba-tiba. Selain itu, kami juga takut bila menginjak ular atau serangga beracun.
Begitu sampai di dekat belukar, kami tidak berani melangkah ke dalam hutan. Kami hanya mengecek di sekitar belukar tempat mang Soleh menghilang untuk mencari jejaknya.
Sepuluh menit berlalu, pencarian kami sia-sia. Tidak ada jejak mang Soleh kami temukan. Kapten Anang terlihat cemas, bingung menentukan keputusan.
"Bagaimana kapten ? Apakah kita kembali atau mencarinya ke dalam hutan ?" tanyaku pada Kapten.
Hening. Sepertinya perlu waktu bagi kapten untuk berfikir.
"Baiklah, kita cari ke dalam hutan. Tapi jangan terlalu jauh. Sudah cukup kita kehilangan orang, jangan sampai kita juga menghilang."
Beberapa saat setelah kapten menyelesaikan kalimat, kami hanya tertegun di depan semak belukar yang membatasi hutan dan sungai. Tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk melangkah.
Memang, masuk ke dalam hutan tanpa senjata dan penerangan memadai, sama saja cari perkara. Pohon-pohon besar dengan akar menggantung terlihat seperti sosok hitam yang menakutkan.
Detik-detik berlalu, kami masih saja terdiam.
"Bagaimana kapten ?" tanyaku memastikan. Seumur hidup, baru kali ini kulihat kapten ragu. Yang membuatku kaget, ternyata sedari tadi kapten sedang membaca doa. Mulutnya komat-kamit dengan mata tertutup.
"Bismillah..."
Tanpa memberi aba-aba, kapten melangkahkan kaki setapak demi setapak masuk ke dalam hutan. Aku dan Dayat mengiringi di belakang dengan penuh rasa cemas.
Suara burung hantu dan serangga malam terdengar semakin lantang, seolah menyambut kedatangan kami.
Kami yang tadi niatnya hanya beberapa meter saja, ternyata melangkah semakin jauh ke dalam hutan. Yang kutakutkan, adalah jika kami tersesat ke kampung hantuen,-kampung arwah penasaran dan manusia jadi-jadian.
Atau, jangan-jangan kami memang sudah masuk ke alam mereka.
...bersambung...
Bab 12 : Hilangnya Mang Soleh
Suara sungai di hadapan kami masih terus bergemuruh. Air yang surut karena kemarau, membuat batu-batu besar dan kecil tampak menonjol di antara arus yang deras.
Di sekeliling kami adalah hutan lebat yang diiringi ribuan suara binatang yang terus berbunyi tanpa henti. Pohon-pohon besar tinggi menjulang, dengan rimbun dedaunan yang menghalangi sinar matahari ke dasar hutan.
Di sini, kami berempat terdampar dengan kondisi yang memprihatinkan. Tubuh kami penuh luka, memar dan lebam. Tanpa senjata dan penerangan, keadaan kami sungguh rapuh. Mandau, pistol dan senter sudah hilang terbawa arus.
Di antara kami, hanyalah mang Soleh yang tetap bisa berpikir tenang. Ia berhasil menangkap dua ekor ikan Sapan yang lalu dibakar dan kami makan bersama.
Dua ekor ikan untuk orang berempat tidaklah mengenyangkan. Rasanya juga aneh karena tidak ada bumbu. Tapi ikan bakar tadi sudah cukup untuk memulihkan tenaga, walau tidak seratus persen.
Berempat, kami menata batu-batu kali untuk tempat menginap malam ini. Sekarang musim kemarau, jadi tidak perlu khawatir apabila air sungai datang tiba-tiba. Bermalam di semak belukar bukanlah pilihan. Bisa saja ada ular, lintah, serangga atau hewan ganas lain yang menyergap saat kami tidur.
Andai ada pisau dan parang, tidaklah terlalu sulit untuk membuat pondok sederhana. Tapi kami tidak memiliki senjata apapun di tangan. Tubuh kami juga belum benar-benar pulih. Kami harus bertahan dengan keadaan kami sekarang.
Senja berganti malam. Suara binatang malam semakin berisik, bercampur dengan deras sungai yang bergemuruh.
"Biar aku dan Dayat yang jaga pertama. Nanti gantian kalau sudah terasa mengantuk." ujar mang Soleh sembari menambahkan ranting dan daun kering ke api unggun yang terus menyala.
Malam semakin larut dan udara terasa dingin. Tanpa selimut, tubuhku menggigil. Aku merapatkan badan ke dekat api supaya udara hangat membaluri tubuhku.
Dengan tangan dijadikan bantal, aku berusaha menutup mata. Namun sia-sia, aku tetap tidak bisa tidur. Tubuhku sebenarnya sudah sangat lelah dan lemas, tapi trauma membuatku tetap terjaga.
Di samping, kapten juga rupanya belum bisa tidur. Berkali-kali ia membolak-balikan badan, pertanda ia juga tidak tenang.
Mang Soleh dan Dayat juga terlihat gelisah. Sudah beberapa kali kulihat mang Soleh tiba-tiba berdiri dengan kayu di tangan, melempar batu ke semak belukar, lalu duduk lagi. Semakin malam, kulihat wajahnya semakin tegang.
Sedangkan Dayat dari tadi melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya putus-putus karena diiringi isak tangis tertahan. Dalam keadaan seperti ini, siapapun akan kehilangan nyali.
Lantunan ayat suci yang keluar dari mulut Dayat bukannya membuatku tenang, malah bulu kudukku tiba-tiba merinding. Seolah ada sesuatu yang sedang mengawasi kami dari balik kegelapan.
Tiba-tiba saja air mataku mengalir, teringat anak, istri dan ibu di rumah. Tak bisa kubayangkan bila aku mati saat ini tanpa sempat berjumpa dengan mereka. Entah kesedihan seperti apa yang mereka alami, bila aku mati di tengah belantara tanpa ada seorang pun tahu. Keluargaku yang malang pasti akan terus meratap tanpa henti.
Lalu bagaimana dengan mas Sugang ? Apakah ia selamat atau sudah tewas terseret arus ?
Pikiranku semakin lama semakin tidak karuan. Jangan-jangan mas Sugang sudah dibawa ke kampung hantuen. Konon, hutan-hutan lebat banyak sekali kampung hantuen, yaitu kampung arwah penasaran dan manusia jadi-jadian.
Kudengar, mereka suka sekali menjebak manusia untuk tersesat ke alam mereka, lalu dijadikan makanan. Membayangkan semuanya membuatku semakin merinding ketakutan. Ditambah lagi cuaca dingin dan suara binatang malam membuat bulu kudukku semakin berdiri.
*****
Entah berapa lama aku tertidur, hingga seketika terbangun karena Dayat mengguncang-guncang tubuhku.
"Mid...Hamid, bangun !" seloroh Dayat panik.
Kurasakan tiap sendi tubuhku masih sakit, namun Dayat tidak perduli. Dia terus mengguncang-guncang tubuhku dan sesekali memukul pundakku.
"Hamid, ayo bangun !"
"Ada apa ? " Jawabku lemah. Aku berusaha duduk, namun kurasa seluruh badanku masih terasa ngilu.
"Mang Soleh, Mid. Mang Soleh..." ujar Dayat terbata.
"Kenapa mang Soleh ?"
"Mang Soleh hilang."
"Hah !?," kataku tidak percaya, "bangunkan kapten !"
Dalam keadaan panik, aku dan Dayat berusaha membangunkan kapten. Perlu beberapa saat hingga ia benar-benar terbangun.
"Hilang bagaimana ?" tanya kapten sambil mengucek mata.
Kantuknya tiba-tiba hilang begitu mengetahui mang Soleh menghilang. Tertatih ia berusaha duduk kemudian menatap wajah kami satu-persatu.
Dayat menarik nafas panjang, jelas sekali bahwa ia sangat gugup. Setelah nafasnya teratur, Dayat mulai bercerita.
"Tadi, mang Soleh bilang bahwa ia melihat ada sesuatu di belukar. Ia kemudian memeriksa belukar itu dan menyuruhku berjaga di sini. Namun, sudah lebih dari 1 jam ia tak juga kembali. Aku sudah berusaha mencari ke sekitar belukar tempat ia menghilang, namun nihil. Kupanggil-panggil, juga tak ada sahutan."
Aku dan kapten Anang tertegun mendengar penuturan Dayat. Kesulitan kami akan semakin bertambah apabila mang Soleh benar-benar menghilang.
"Hilang dimana dia ?" tanya kapten lagi.
"Di sana !"
Dayat menunjuk ke arah belukar. Namun tidak ada yang bisa kami lihat karena sangat gelap. Kami bagaikan orang buta. Jarak pandang hanya beberapa meter di sekitar api unggun yang semakin redup.
"Bagaimana mungkin dia bisa berjalan kesana tanpa senter dan senjata ?" tanya kapten tidak percaya.
"Tadi mang Soleh membuat obor dengan sobekan kain bajunya. Lalu melangkah kesana."
"Seharusnya kau melihat bila obornya menjauh atau padam."
"Ma-maaf kapten. Tadi aku tertidur. Saat terbangun, ternyata mang Soleh tidak juga kembali. Cukup lama aku menunggu lalu mencarinya. Setelah sadar ia menghilang, barulah kubangunkan kalian."
Dayat tertunduk meski tidak ada yang menyalahkan.
"Sudah lah, sebaiknya kita cari si Soleh sekarang."
Kami bertiga lalu berdiri sambil menahan ngilu yang belum juga hilang. Kami tambahkan beberapa batang kayu kering agar api unggun tidak padam selama kami melakukan pencarian.
Kain baju kami robek untuk dililitkan pada batang kayu dan dibakar untuk jadi obor. Sambil berteriak memanggil mang Soleh, kami melangkah menuju semak belukar tempat dia menghilang.
Kami harus melangkah hati-hati agar obor di tangan kami tidak padam. Belum lagi hembusan angin yang cukup kencang, obor di tangan yang tanpa minyak bisa padam tiba-tiba. Selain itu, kami juga takut bila menginjak ular atau serangga beracun.
Begitu sampai di dekat belukar, kami tidak berani melangkah ke dalam hutan. Kami hanya mengecek di sekitar belukar tempat mang Soleh menghilang untuk mencari jejaknya.
Sepuluh menit berlalu, pencarian kami sia-sia. Tidak ada jejak mang Soleh kami temukan. Kapten Anang terlihat cemas, bingung menentukan keputusan.
"Bagaimana kapten ? Apakah kita kembali atau mencarinya ke dalam hutan ?" tanyaku pada Kapten.
Hening. Sepertinya perlu waktu bagi kapten untuk berfikir.
"Baiklah, kita cari ke dalam hutan. Tapi jangan terlalu jauh. Sudah cukup kita kehilangan orang, jangan sampai kita juga menghilang."
Beberapa saat setelah kapten menyelesaikan kalimat, kami hanya tertegun di depan semak belukar yang membatasi hutan dan sungai. Tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk melangkah.
Memang, masuk ke dalam hutan tanpa senjata dan penerangan memadai, sama saja cari perkara. Pohon-pohon besar dengan akar menggantung terlihat seperti sosok hitam yang menakutkan.
Detik-detik berlalu, kami masih saja terdiam.
"Bagaimana kapten ?" tanyaku memastikan. Seumur hidup, baru kali ini kulihat kapten ragu. Yang membuatku kaget, ternyata sedari tadi kapten sedang membaca doa. Mulutnya komat-kamit dengan mata tertutup.
"Bismillah..."
Tanpa memberi aba-aba, kapten melangkahkan kaki setapak demi setapak masuk ke dalam hutan. Aku dan Dayat mengiringi di belakang dengan penuh rasa cemas.
Suara burung hantu dan serangga malam terdengar semakin lantang, seolah menyambut kedatangan kami.
Kami yang tadi niatnya hanya beberapa meter saja, ternyata melangkah semakin jauh ke dalam hutan. Yang kutakutkan, adalah jika kami tersesat ke kampung hantuen,-kampung arwah penasaran dan manusia jadi-jadian.
Atau, jangan-jangan kami memang sudah masuk ke alam mereka.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Senen ye gansist. Moga gak bosen en terhibur. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁
Diubah oleh benbela 01-10-2021 13:18
bruno95 dan 65 lainnya memberi reputasi
66
Kutip
Balas
Tutup