Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

jongos.widodoAvatar border
TS
jongos.widodo
Peristiwa G30S, Mengapa Soeharto Tidak Diculik dan Dibunuh PKI?
KOMPAS.com - Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) masih menyimpan banyak misteri yang belum terungkap.

Salah satunya latar belakang dan dalang sebenarnya di balik peristiwa tersebut.

Ada yang meyakini bahwa Presiden ke-2 RI, Soeharto, punya peran dalam insiden 56 tahun lalu itu.

Bahkan dia diyakini sebagai orang yang berada di balik peristiwa G30S dan pembantaian ratusan ribu orang yang menyusulnya.

Sebab, meskipun Soeharto salah satu jenderal TNI saat itu, namun dia tidak diculik dan dibunuh oleh PKI seperti jenderal-jenderal lainnya.

Lalu, mengapa Soeharto tidak diculik dan dibunuh PKI?

Kesaksian Kolonel Latief

Soeharto disebut-sebut mengetahui akan rencana penculikan sejumlah jenderal yang diyakini sebagai Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta pada Presiden Sukarno.

Hal itu berdasarkan kesaksian salah satu pelaku yaitu Kolonel Abdul Latief dalam persidangan.

Dikutip dari buku John Roosa berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Latief bersaksi bahwa ia memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal.

"Sehari sebelum kejadian itu saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen Suharto, sewaktu beliau berada di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sedang menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau," kata Latief.

Tak hanya sekali, Latief bahkan sebelumnya pernah membahas soal isu adanya "Dewan Jenderal" di rumah Soeharto.

Latief bercerita lebih lanjut, la menyatakan bahwa ia juga sudah membicarakan masalah Dewan Jenderal dengan Suharto satu hari sebelumnya di kediaman Suharto di Jalan Haji Agus Salim.

Saat itu Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Kostrad.

Pada pertemuan di rumah Soeharto itu Latief melaporkan adanya isu soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.

Menurut Latief, Soeharto telah mengetahui hal itu dari mantan anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo.

"Tanggapan beliau akan dilakukan penyelidikan," kata Latief.


Soeharto dianggap loyalis Bung Karno

Sementara itu dalam kesaksiannya kepada Mahkamah Militer, Latief membeberkan alasannya tidak memasukkan nama Soeharto dalam target penculikan.

"...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).

Tak cuma itu, Latief bahkan melapor ke Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.

Langkah ini dilakukan Latief setelah laporannya tak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.

Latief mengaku sudah beberapa kali mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal.

Menurut Latief, Soeharto hanya bergeming mendengar informasi itu. Bahkan di malam 30 September 1965, Soeharto mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.

Soeharto sendiri mengakui dia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S. Namun dia memberikan kesaksian yang berganti-ganti.

Jawaban Soeharto

Dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965.

Soeharto tengah menjaga anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy yang dirawat karena luka bakar akibat ketumpahan sop panas.

Namun katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, malah akan membunuhnya saat itu juga.

"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto.

Namun dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.

Soeharto menjadi pahlawan setelah ramainya peristiwa G30S. PKI dianggap sebagai dalang. Sementara itu Soekarno tidak melakukan apa-apa.

Masyarakat sipil, mahasiswa, dibantu tentara, menggelar berbagai demonstrasi besar-besaran menuntut PKI dibubarkan dan ekonomi diperbaiki.

Buntut dari peristiwa G30S yaitu pada 11 Maret 1966. Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat meminta Soekarno memberi kuasa untuk mengatasi keadaan.

Permintaan itu kemudian disebut sebagai Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Peristiwa itu menjadi jalan Soeharto menjadi presiden selanjutnya menggantikan Soekarno.

Selanjutnya Soeharto menumpas PKI. Setidaknya 500.000 orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dihabisi di berbagai penjuru Indonesia.

Ada juga yang dipenjara selama puluhan tahun seperti Latief, yang merasa dikhianati oleh Soeharto.

"Jadi siapa yang sebenarnya telah mengakibatkan terbunuhnya para jenderal tersebut? Saya yang telah memberi laporan lebih dulu kepada Jenderal Soeharto? Atau justru Jenderal Soeharto, yang sudah menerima laporan tetapi tidak berbuat apa-apa?" kata Latief dalam kesaksiannya.

Dia juga mengatakan sama sekali tidak ada langkah-langkah untuk menambah penjagaan.

"Sebaliknya, setelah Peristiwa G30S meletus, selain menghantam G30S dan juga membantai ribuan rakyat yang sama sekali tidak tahu apa-apa, mereka bertiga (Soeharto, Umar Wirahadikusumah, dan Basuki Rachmat) kemudian malahan bersama-sama menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno," ujar Latief.

Seputar peristiwa G30S

Peristiwa G30S sendiri awalnya dipicu dari kabar adanya sekelompok jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengudeta Presiden Soekarno.

Peter Kasenda dalam buku "Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI" (2016) menulis, PKI mendapat informasi ini dari rekan mereka di militer yang merupakan simpatisan PKI.

Militer saat itu terbelah menjadi beberapa faksi yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Ada sebagian kecil yang simpati terhadap PKI.

PKI adalah salah satu partai yang cukup diperhitungkan saat itu. Kader-kadernya menduduki kursi dewan dan kursi pejabat.

Selain faksi militer yang simpati ke PKI, namun ada juga faksi-faksi yang justru anti terhadap PKI.

Ada militer yang setia kepada Sukarno, dan ada yang tidak. Dalam faksi yang tidak loyal inilah diyakini Dewan Jenderal bersarang.

Ideologi di dunia berkembang setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945. Negara-negara pemenang saling bersaing memperebutkan pengaruh.

Persaingan yang dikenal dengan Perang Dingin ini membelah dunia menjadi dua. Ada Uni Soviet dengan paham komunisnya. Lalu ada Amerika Serikat dengan paham kapitalisnya.

Pada 1960-an, Sukarno dan PKI condong ke Uni Soviet dan antibarat. Dewan Jenderal diyakini sejalan dengan Amerika Serikat yang ingin menyingkirkan Soekarno.

Atas dasar keyakinan ini, para perwira militer yang loyal kepada Soekarno bergerak secara diam-diam untuk mencegah kudeta.

Para perwira militer itu antara lain Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).

Mereka didukung oleh Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus (BC) PKI yang merupakan badan intelijen PKI. Daftar jenderal yang jadi sasaran disusun oleh Sjam bersama para perwira militer.

Para perwira militer itu berencana "menculik" para jenderal dan membawanya ke hadapan Presiden Sukarno.

Akan tetapi, rencana itu gagal total, karena tidak dilakukan dengan matang. Para jenderal malah dibunuh.

https://www.kompas.com/tren/read/202...MktrTg..#page2

Apa benar amerika terlibat dalam peristiwa G30sPKI? Bagaimana caranya amerika bisa terlibat ya?
garpupatah
maroonia
koi7
koi7 dan 37 lainnya memberi reputasi
34
19.5K
334
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.1KThread41KAnggota
Tampilkan semua post
markjankulovskiAvatar border
markjankulovski
#47
Saat G 30 S / PKI kenapa soeharto tidak diculik dan dibunuh. Apakah dia terlibat atau dalang PKI. Analisis ane. Gak. Soeharto saat itu bukan dianggap orang yang pinter atau maestro politik kok. Tapi ada falsafah Jawa, wong pinter kalah karo wong Bejo (orang pintar kalah sama orang yang beruntung). Soeharto saat itu lebih sebagai orang yang Bejo (beruntung).

Kenapa dia gak diculik dan dibunuh. Analisis ane ada beberapa alasan.

1. Nama Soeharto jelas tidak ada dalam dokumen Gilchrist, yakni para Jenderal yang dianggap akan melakukan kudeta pada Presiden Soekarno. Yang diculik dan dibunuh adalah nama2 para Jenderal yang ada dalam dokumen Gilchrist.

2. Soeharto adalah Jenderal yang tidak dikenal saat itu, dibanding Nasution, Ahmad Yani atau Omar Dhani, yang namanya sangat terkenal, Soeharto kurang dikenal pada saat itu, Bahkan setelah G 30 S / PKI saat Soeharto mulai tampil ke depan mengganyang G 30 S / PKI, banyak orang yang baru tahu seorang Jenderal yang bernama Soeharto. Seperti kesaksian Salim Said, banyak aktivis anti komunis yang baru pertama kali tahu ada Jenderal namanya Soeharto (padahal dia pernah jadi Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat 3 tahun sebelumnya, tetapi namanya low profile saat itu).

3. Soeharto di tahun 1960-an adalah Jenderal miskin, beda di tahun-tahun kemudian. Jika kita lihat para pelaku G 30 S / PKI dari unsur militer, kebanyakan adalah perwira-perwira menengah dan orang Jawa, dalam kultur Jawa ada pola hidup "prihatin" atau tidak berlaku hidup mewah. Jika kita baca bukunya Salim Said, para Jenderal yang diculik ada beberapa diantaranya dianggap sebagai "Jenderal Kaya" yang dianggap hidup mewah dan bergelimang harta. Demikian juga dalam pengumuman G 30 S / PKI, ada kata-kata, " Jenderal-Jenderal, yang bergaya hidup mewah, menghambur-hamburkan uang negara, menghina kaum wanita, harus ditendang keluar dari Angkatan Darat", Soeharto di tahun 1960-an masuk kategori Jenderal miskin, saat dia didatangi Kolonel Latif, rumahnya sangat sempit bahkan lebih besar rumahnya Latif yang pangkatnya lebih rendah, makanya Latif sempat punya rencana tukar rumah untuk bekas komandannya ini, biar Soeharto tinggal di rumah Latif yang lebih besar sedangkan Latif tinggal di rumah Soeharto yang kecil. Demikian juga di tahun 1960-an, Soeharto bahkan punya rencana mau keluar dari tentara meskipun pangkatnya sudah tinggi saat itu, karena dianggap gajinya kecil dan tidak mencukupi kebutuhan hidup dan ingin jadi sopir taksi yang bayarannya lebih tinggi dan menjanjikan pada saat itu, tapi kan dicegah Bu Tien.

4. Soeharto tidak pernah mendapat pendidikan di luar negeri atau bertingkah laku ke-Barat-Baratan, seperti Jenderal Ahmad Yani misalnya yang pernah mendapat pendidikan di Amerika, atau Panjaitan yang lama di Jerman Barat sebagai atase militer, Soeharto tidak pernah mendapat pendidikan Luar Negeri bahkan tidak bisa bahasa Belanda atau Inggris, karena itu dia dianggap bukan tipe perwira macam Ahmad Yani atau Nasution yang menurut para komplotan G 30 S / PKI adalah antek Barat atau alat CIA.

5. Soeharto bukan Jenderal politik saat itu, beda dengan Nasution misalnya yang sejak lama dianggap rivalnya Bung Karno atau Ahmad Yani yang dianggap loyalis Bung Karno atau Omar Dhani yang kekiri-kirian, Soeharto saat itu tidak berpolitik dan lebih dikenal sebagai perwira teknis atau militer murni, yang namanya melambung sebagai Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat.

6. Beberapa pelaku seperti Letkol Untung dan Kolonel Latief, telah mengenal secara pribadi seorang Soeharto. Latief adalah anak buah Soeharto sejak Perang Kemerdekaan di Jogja, sementara Untung adalah bekas anak buah Soeharto di Kodam Diponegoro Jawa Tengah tahun 1950-an, tentu ada ikatan pribadi dengan mereka.

7. Soeharto tidak diperhitungkan, sosok Soeharto bukan dianggap sosok yang pintar, cerdas atau lihai dalam berpolitik seperti Nasution atau Yani saat itu, Soeharto justru lebih dikenal sebagai sosok yang lugu dan Koppig (Keras Kepala) menurut Bung Karno. Jadi tidak terbayangkan bahwa Soeharto adalah pemain politik handal

8. Posisi Soeharto tidak jelas, dia tidak hitam atau putih, tetapi abu-abu. Tidak jelas berada di kubu mana, saat ada perpecahan antara kubu Nasution dan Yani di Angkatan Darat bahkan hampir terjadi bentrok, Soeharto berada di kubu netral bahkan menjadi juru damai. Pihak kawan maupun lawan tidak tahu dia masuk kubu mana. Ane menyebutnya oportunis, tetap menunggu dan menunggu, saat ada kesempatan sekecil apa pun, maka dia akan ambil kesempatan dan menang. Sementara para pelaku G 30 S menganggap dia adalah loyalis Bung Karno dan meskipun mungkin bukan seorang kiri, tapi Soeharto juga dianggap bukan kanan.

ss78
jiresh
rob.pedro
rob.pedro dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.