Kaskus

Story

Rebek22Avatar border
TS
Rebek22
Aku Dan Bajingan Yang Berlagak Seperti Ayah
Aku Dan Bajingan Yang Berlagak Seperti Ayah


Quote:


Quote:


Quote:



1. A story about a farewell sentence



Prolog: Terima kasih jauh lebih menenangkanku dari pada maaf

Kanaria.

Namaku Kanaria, sebuah nama yang di ambil dari bahasa jepang dan memiliki arti kenari. Sampai sekarang aku tidak pernah tau mengapa ibu menamaiku demikian, bagaimanapun kenari terdengar seperti sesuatu yang kurang layak di jadikan nama karena hanya sedikit makna yang dapat muncul dari jenis kacang kesukaan tupai itu.

Ini lah kisahku, dalam mencoba memberikan kesempatan kedua untuk seseorang.

Pagi masih lah berada di permulaan, mentari belum menampakan raganya di ufuk timur, sehingga gelap masih menjadi nuansa dasar dari warna sang langit, bulan pun masih bertenggger di angkasa memamerkan kemilaunya yang perlahan terlihat semakin sayu.

Suara alarm HP yang sangat bising berhasil membangunkanku dari tidur. Walaupun terasa agak berat, aku tetap berusaha membuka kedua mata ini, setelah itu meraih HP yang semalam memang sengaja aku letakan di dekat telinga, lalu mematikan alarm.

Mataku tertuju pada jam yang ada di layar HP. Sekarang masih pukul tiga pagi, waktu yang sangat tidak lumrah bagi seorang gadis SMA untuk bagun. Bayangkan saja, ayam belum berkokok, bulan pun masih terlihat samar di langit, sementara aku sudah bangun dan memulai aktifitas, mendahuli sang penguasa siang yang mungkin baru bersiap-siap untuk memamerkan wujudnya nanti.

Aku bangkit dari kasur menguncir rambut panjang yang masih berantakan ini, dan segera menuju kamar mandi untuk membasuh muka, berharap rasa kantuk ini bisa sedikit berkurang. Setelah itu aku pun beranjak ke dapur, menyalakan kompor dan mulai memasak sarapan. Air yang tadi membasuh wajah ini sepertinya belum cukup untuk mengusir kantuk yang masih setia menggelantungi mataku, sekuat tenaga aku menahan hasrat untuk kembali berbaring dan memejam mata, karena masih ada tanggung jawab yang harus diri ini tuntaskan terlebih dahulu.

Tanganku mulai Sibuk bekerja memasukan bahan demi bahan ke dalam penggorengan. Menu yang aku masak sangat sederhana, hanya telur dadar, sedikit tumis toge sisa kemarin yang kembali aku hangatkan, lalu tahu. Aku menyajikan semua hidangan tadi di meja kemudian beranjak ke kamar ibu untuk membangunkannya.

Dia harus berangkat kerja sebentar lagi, mengemudikan busway dari halte ke halte demi menafkahiku. Rutinitas di luar kelaziman gadis SMA ini lah yang aku jadikan sebagai balasan dari kerja kerasnya. Memang apa yang aku lakukan tidak akan pernah sebanding dengan yang di berikannya selama ini. Aku hanya bisa mengurangi sedikit beban yang harus di pikul nya seorang diri, dengan menambah satu jam waktu tidurnya, serta jamuan pagi yang mungkin dapat menambah semangatnya saat bekerja nanti.

" Bu, bangun sudah jam setengah empat " Ujarku setelah memasuki kamarnya.

Wanita itu nampak tertidur dengan sangat pulas, sejujurnya aku tidak tega untuk membangunkannya sekarang. Tapi ada hal yang harus dirinya lakukan, jadi mau tidak mau aku harus tetap melakukannya.

" Bu, bangun " Ujarku sekali lagi sambil menggoyang-goyangkan badannya. Usahaku membuahkan hasil, ibu bangun dari tidurnya dan segera duduk.

" Pagi " Ujarnya sambil mengecup dahiku.

" Sarapan sudah siap, mandi lah setelah itu silahkan santap masakanku di dapur "

" Kana, maafkan ibu ya, Kau jadi harus bangun pagi-pagi sekali " Ujarnya sambil mengelus kepalaku.

" Bukan kah sudah berkali-kali aku katakan, hati ini akan jauh lebih senang jika kau mengucapkan Terima kasih dari pada meminta maaf. Aku melakukan semua ini bukan karena paksaan, melainkan balas budi terhadap orang yang begitu aku sayangi "

" Terima kasih Kana "

" Sama-sama " Ujarku sambil mengecup keningnya. Aku melakukan semua ini atas dasar sayang, bukan karena paksaan, Jadi tidak perlu sungkan " Nah, sekarang mandi lah. Aku akan menunggumu di dapur "

" Baik "

" Bu, berhenti lah menyalahkan dirimu sendiri. Kau tidak salah, sebab yang membuatmu harus menanggung beban seberat ini adalah pria tolol itu "

" Kana, jangan begitu. Bagaimana pun dia adalah ayahmu "

" Jika dia ayahku, maka pria itu seharusnya ada di sini mencarikan nafkah untuk kita dan tidak menghilang entah kemana "

" Kana "

" Cukup bu, segera lah mandi. Aku akan membuat kopi di dapur agar rasa kantukmu hilang " Ujarku sambil melangkah keluar kamarnya.

Berapa banyak kenangan indah yang kau miliki bersama ayah? Jika pertanyaan tersebut di ajukan padaku, maka lisan ini akan menjawabnya dengan ucapan " Tidak ada ". Karena Pria brengsek itu hilang begitu saja tujuh tahun yang lalu setelah menoleh kan luka besar ke dalam alur kehidupan kami berdua.

Dalam benakku, tidak ada satupun kenangan indah mengenai dirinya. Dia hanyalah sesosok pria kasar yang bisa dengan begitu ringannya menghantamkan tinju ke wajah ibu, sering mengamuk tidak karuan, dan tega membuat istrinya banting tulang demi menafkahi keluarga padahal hal itu merupakan tugasnya. Oleh karena itu aku sangat membencinya.

Walaupun sering di perlakukan dengan kejam, entah mengapa ibu tetap memilih untuk tetap bersabar. Dia selalu berusaha menenangkan ayah yang sedang mengamuk dengan cara lembut, lisannya pun selalu mengucapkan maaf saat tangan pria brengsek itu menghantam wajahnya tanpa sebab.

Aku tidak paham, mengapa ibu bisa bersikap seperti itu? Kenapa lisannya lah yang harus mengucapkan maaf saat ayah memukulinya. Padahal aku sangat yakin jika tidak ada satu kesalahan pun yang dirinya buat. Mengapa dia bisa begitu lembut ketika menangkan pria itu. Padahal, tindakan ayah sudah sangat layak di anggap sebagai pelanggaran HAM, dan dari semua itu, yang paling tidak aku pahami adalah kenapa ibu bisa tetap mencintai ayah dan mau bertahan dengannya.

Bukan kah yang mencari nafkah adalah ibu? Jika mereka bercerai, aku sangat yakin hidup ibu akan menjadi jauh lebih baik. Bagaimanapun, masalah ekonomi tidak akan pernah menghampirinya, karena sekarangpun dia lah yang mencari uang, bukan ayah.

Aku tidak pernah bisa memahami jalan pikiran ibu, selepas tubuhnya di hajar habis-habisan, dia selalu menghampiriku kemudian memeluk tubuh ini dengan begitu erat sambil berkata " Jangan pernah membenci ayahmu ya, dia sebenarnya adalah orang baik yang tengah berada dalam kebingungan ". Jika sudah seperti itu, aku hanya bisa mengangguk, dan berpura-pura mempercayai ucapannya. walaupun hati ini sebaliknya. Apanya yang baik? Tindakannya bahkan jauh melampaui kekejaman iblis.

Entah ibuku yang terlalu berfikir positif terhadap sikap ayah, atau memang ucapannya merupakan kebenaran. Namun bagiku, kemungkinan pertama lah yang paling rasional untuk di percayai. Sikap ibu terus di manfaatkan oleh ayah agar dirinya bisa berbuat demikian, dan anggapanku tentang hal itu membuat diri ini kian membencinya.

Jika di sangkut pautkan dengan akutansi, pria itu hanyalah akun di bagian beban yang kian membengkak, sehingga kas yang di miliki ibu terus berkurang. Jika di hubungkan dengan Biologi, maka simbiosis yang terjadi antara ibu dan ayah adalah simbiosis parasitisme, salah satu pihak di untungkan sementara yang satunya lagi di rugikan. Jika ini matematika, maka ayah adalah bilangan minus, yang jumlah semakin banyak angkanya bukan bernilai semakin besar, melainkan semakin kecil.

Pria breksek itu hanya lah beban, tidak bekerja, tidak mengurusi rumah, dan tidak melakukan apapun, hanya duduk sambil sambil menghisap rokok sepanjang hari. Sampah masyarakat itu hanyalah parasit, yang terus menyerap kebahagiaan ibu dan menukarnya dengan penderitaan. Ayahku hanya lah bilangan minus yang kian hari semakin membuat ibu rugi.

kenapa orang seperti itu masih harus ibu beri makan dan tempat tinggal? Kenapa ibu tidak mengajukan cerai kepadanya? lalu menguris sampah masyarakat itu keluar dari rumah dan hidup bahagia bersamaku. Benakku terus bertanya-tanya akan hal itu, tanpa pernah berani mengutarakannya pada ibu, karena takut tanda tanya tersebut malah akan melukai hatinya.

Lima tahun yang lalu pria itu tiba-tiba menghilang, entah kemana dia pergi, tapi aku tidak peduli karena hal tersebut justru membuatku sangat senang. Akhirnya manusia tidak berguna itu pergi, andai aku memiliki nomor telepon sang maut, maka aku akan segera menghubunginya agar sosok tak kasat mata itu bisa segera menjemput ayah dan membawanya ke neraka yang paling dalam.

Ibu terlihat biasa-biasa saja saat suaminya itu pergi, dan baguku sikap yang di terapkannya sangat lah wajar, mengingat betapa kejamnya perlakuan si bedebah itu selama ini.

Aku tumbuh dewasa tanpa hadirnya sosok ayah, ibu memainkan peran ganda dalam membesarkanku. Peran ibu sebagai pemberi kasih sayang dan peran ayah sebagai pencari nafkah serta tempat berlindung bagi putrinya. Kehidupanku mulai terasa indah karena mata ini tidak perlu lagi menyaksikan ibu yang menahan rasa sakit saat di pukuli ayah.


Tidak ada lagi amukannya yang merusak rasa makan malam, tidak ada lagi bau asap yang memenuhi rumah saat dirinya sibuk menganggur, dan tidak ada lagi sosok pria yang membuatku selalu ingin menendang kepalanya.

Tujuh tahun berlalu, sekarang aku sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang tidak kekurangan apapun. Meski kami terbilang miskin, aku Tetap bisa bersekolah tanpa tunggakan SPP, tetap menjadi anak yang ceria walaupun secara tidak langsung aku termasuk anak yang mengalami broken home, dan tetap menjadi sosok yang tidak kurang kasih sayang, karena ibu selalu menuangkan kasih sayangnya padaku di sela-sela kesibukannya.

Bulan lalu, entah bagaimana mulanya tiba-tiba ibu mengajukan sebuah pertanyaan padaku, pertanyaan yang membuat lisan ini mengungkapkan tentang betapa bencinya aku pada ayah

" Kana, apa kau merindukan ayahmu? " Ujarnya. Pertanyaan tersebut nyaris membuatku tersedak lauk makan malam yang tengah aku kunyah kalau itu.

" Kenapa tiba-tiba ibu menanyakan hal itu? "

" Haha, ya bagaimana ya.. "

" Aku tidak tau apa kau sudah bercerai dengan pria brengsek itu atau belum. Tapi ada satu hal yang perlu ibu tau, aku tidak akan pernah sudi lagi memanggilnya ayah, dan jika ibu ingin kembali menerimanya di rumah ini, maka aku akan langsung menendang kepalanya, kemudian minggat dari rumah ini " Ujarku yang secara reflek mengutarakan betapa bencinya diri ini kepada ayah.

" Tapi Kana dia ayahmu "

" Apa dia mencarikanku nafkah? Apa dia menjadi tempat bernaung bagi putrinya? Apa dia menulis kan kisah bahagia dalam alur hidupku ini? Aku rasa tidak. Ya, dia memang ayahku, tapi pria itu tidak menjalankan kewajibannya maka dia tidak layak menerima haknya dariku "

" Kana, sebenarnya ayahmu itu.. "

" Cukup " Aku menggebrak meja dengan sangat keras, emosiku begitu meluap karena ibu membahas pria tolol yang begitu aku benci itu " Begini saja, kau adalah kepala keluarga rumah ini, aku tidak punya hak untuk melarangmu membawa laki-laki itu kemari, silahkan ajak ayah tinggal di sini lagi, silahkan rujuk dengannya jika memang kalian bercerai. Tapi, jika kau membawanya ke sini, maka aku lah yang akan pergi. Pilih lah, aku atau dia "

Aku pun bangkit dari duduk dan segera melangkah meninggalkan dapur. Aku tidak percaya jika lisan ini benar-benar membentaknya, sial apa sekarang aku sudah menjadi anak durhaka? Semoga ibu tidak sakit hati dan mengutuk ku jadi batu. Maafkan aku bu, sungguh aku hanya tidak ingin kau kembali menderita.

Setelah itu ibu tidak pernah membahas ayah lagi, aku sempat meminta maaf padanya tapi seperti biasa justru ibu lah yang malah mengaku salah dan meminta maaf jauh kepadaku. Sejak saat itupun Aku memutuskan untuk tidak pernah lagi mengungkit segala sesuatu mengenai pria itu.

Aku merasa sangat bodoh sekarang. Karena ternyata malah diri ini lah yang pertama kali membahasnya kembali. Kakiku melangkah dengan begitu beratnya ke dapur, hatiku tengah berada di dalam kondisi yang sangat tidak karuan, sekali lagi lisan ini membentak wanita baik hati itu.

Aku menunggu ibu di meja makan, setelah sepuluh menit berlalu ibupun muncul dan langsung ikut duduk. Tangannya mulai menyendok nasi dan lauk yang aku hidangkan, kemudian menyantapnya dengan begitu lahap.

" Bu, maafkan aku karena telah membentakmu tadi " Ujarku yang langsung mengutarakan rasa bersalah yang semula begitu nyaman bersarang di dalam hati.

" Terima kasih karena kau mau minta maaf, Kana " Ujarnya sambil tersenyum.

" Bagaimanapun aku tidak bisa memaafkan ayah, karena dulu dia selalu saja menyakiti orang yang begitu aku cintai ini "

" Ya, dia memang kerap kali menyarangkan tinjunya itu kepadaku. Tapi percayalah nak, aku tidak pernah bisa membencinya "

" Kenapa? "

" Akan panjang jika aku menjelaskannya sekarang. Ibu berjanji akan menjelaskannya padamu nanti. Intinya dia adalah pria yang baik baginsudut pandang ibu "

Aku tidak perlu penjelasan apapun, bagiku ibu lah yang terlalu memandang positif sifat ayah sehingga seburuk apapun perbuatannya ibu akan tetap menganggapnya baik. Tapi aku tidak mau mengutarakan pemikiran ini kepadanya. Sekarang aku hanya harus mengangguk tanda jika diri ini mengerti akan ucapannya dan menunggu malam nanti untuk mendengarkan ocehannya tentang ayah.

" Nah, sekarang saatnya bekerja " Ujarnya setelah melahap habis hidangan yang aku buat. " Masakanmu enak sepeti biasanya "

" Terima kasih "

" Oh iya, hari ini sepertinya ibu akan mendapat bonus. Jadi aku akan memberikanmu laptop " Ujarnya.

" Ayo lah bu. Dari pada untuk membeli laptop, lebih baik uang bonus itu ibu gunakan untuk membeli beras. Lagi pula aku tidak membutuhkan benda itu " Ujarku.

" Kana, aku tau kau kesusahan tiap kali mendapat tugas untuk mencari artikel di internet. Apa kau pikir ibu tega membiarkan putri ke sayangannya kesulitan? sementara dirimu terus melayaniku dengan baik? Kita memang tidak kaya, tapi untuk memenuhi kebutuhanmu, aku akan berusaha sebaik mungkin"

" Tapi "

" Mungkin aku hanya bisa memberikanmu laptop bekas. Tapi pergunakanlah benda itu sebaik mungkin, aku berjanji akan membelikannya untukmu sepulang kerja nanti "

" Terima kasih bu "

Sejujurnya hatiku merasa sangat senang, karena pada akhirnya aku tidak perlu lagi menyewa biling di warnet ketika ingin mengerjakan tugas sekolah yang mengharuskanku mencari artikel di internet. Semoga laptop itu tidak membebani nya karena sudah begitu banyak beban yang harus wanita ini tanggung.

" Kalau begitu ibu berangkat dulu " Ujar ibu sambil mulai beranjak dari dapur.

Aku menemaninya keluar rumah, membuka gerbang saat Ibu mulai mengeluarkan motornya dari ruang tamu. Ibu menyalakan motor, memakai helm dan bersiap untuk meluncur ke tempat kerjanya.

" Sampai jumpa lagi "

" Sampai jumpa lagi " Ujarnya sambil menancap gas motor. Wanita itupun pergi meninggalkan rumah.

" Hati-hati di jalan bu "

Di sinilah semua bermula....

Menurutmu, seberapa bermakna kah ucapan " Sampai Jumpa lagi " ? Mungkin bagi sebagian orang kalimat tersebut hanyalah rangkaian kata yang nilainya tidak lebih dari sekedar formalitas. Ucapan yang secara reflek terlontar saat kita mengakhiri kebersamaan, atau sebuah ujaran rutin yang selalu mengiringi perpisahan kita dengan seseorang. Kalimat yang begitu ringan untuk di ucapkan sehingga banyak orang yang tidak menyadari betapa beratnya makna yang terkandung dalam kalimat tersebut, termasuk diriku

Langit begitu indah sore ini, lembayun merah yang biasa mengiringi terlelapnya Sang mentari sedang terlukis dengan begitu sempurna, sehingga sangat layak untuk di nikmati oleh para manusia yang mulai mengakhiri hari. Namun, apa yang aku alami di sore ini tidak lah sesempurna karya Tuhan yang berjudul kan " Rona sore hari " Itu.

Sialnya keindahan itu berbanding terbalik dengan alur takdirku. Salah satu rahasia langit yang bernama maut baru saja mengunjungi ibuku, sosok tak kasat mata itu menjemput ruh miliknya untuk kembali bersama ke langit dan menemui Sang Pencipta.

Ibuku telah tiada..
Pergi begitu jauh hingga upaya apapun yang diri ini lakukan tidak akan mampu lagi meraihnya.
Diubah oleh Rebek22 27-08-2021 18:58
pangerankodo353Avatar border
irwanh44Avatar border
sisininAvatar border
sisinin dan 26 lainnya memberi reputasi
23
14.6K
147
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread1Anggota
Tampilkan semua post
Rebek22Avatar border
TS
Rebek22
#11
2.Pertengkaran Abadi
Quote:


Hestia

Takdir merupakan salah satu mahluk langit yang paling sulit untuk di pahami oleh para manusia. Terkadang sosok itu memisahkan dua hati yang saling mencintai, namun tidak jarang juga dirinya mempertemukan mereka yang menurut nalar manusia tidak akan mungkin lagi bersama.

Kita tidak bisa menganggapnya sebagai salah satu penghuni langit yang terbilang kejam, karena memang pada dasarnya dia memiliki sifat untuk yang sering memperkeruh sebuah akur agar manusia mampu memetik suatu pembelajaran tentang kehidupan..

Meskipun begitu banyak manusia yang membencinya, terlebih lagi mereka yang dengan sengaja di buat kehilangan oleh sosok tak kasat mata itu. Butuh waktu yang cukup panjang untuk membuat nalar manusia mampubmemahami keunikannya. Bagi mereka yang sabar, maka kata Terima kasih lah yang akan terlontar dari lisannya, lain halnya dengan mereka yang enggan untuk bersabar. Mereka cenderung mengumpat lantaran tertekan setelah alur hidupnya di buat penuh oleh sebuah polemik.

Hari ini sepertinya sang takdir telah menuntunku menjumpai alur yang memilukan. Di saat lisan ini belum sempat mengucapkan kata maaf kepada seorang sahabat yang baru saja diri ini sakiti, dia justru meminta bumi untuk menggetarkan raganya sehingga kata maafku kemungkinan tidak akan pernah mencapai sang srikandi.

" Pikirkan keselamatan dirimu dulu " Ujar Aka yang terus menarik di tengah guncangan yang kian membesar.

" Tapi bagaimana dengan Zahra? "
Retakan yang ada di tanah semakin menyebar, bukti bahwa gempa bumi yang saat ini terjadi sangat lah dasyat. Aku kembali melirik ke arah gedung sekolah, bagunan kokoh lima lantai itu terlihat mulai runtuh, gempa ini berhasil merusak pondasi yang selama ini menopang tempat tersebut.

Banyak orang yang mulai berlarian keluar gedung sekolah dengan panik, beberapa orang nampak jatuh dan terinjak-injak oleh masa yang sudah tidak peduli pada keadaan sekitar karena hati mereka memang sudah di tawan rasa takut.

Aku sempat melihat dewi, salah satu temanku yang berada di kelas sebelah, Dia baru saja berhasil hendak keluar dari gedung sekolah, Tiba-tiba saja lantai dua gedung sekolahku amblas sehingga material yang menjadi komponen bagunan tersebut terjun bebas kebawah dan menimpa dewi sekaligus menutup pintu keluar bagi mereka yang masih ada di dalam.

" Dewi, dewi " Lisanku menjerit dan terus memanggil nama salah satu teman kelasku yang mungkin sekarang telah tiada. Puing-puing yang beratnya mencapai ratusan kilogram itu pasti langsung menghancurkan tubuh gadis itu.

" Jangan menoleh ke belakang " Aka memberiku perintah sambil terus menarik tangan ini.

Aku sempat membayangkan tentang betapa mecekamnya suasana di dalam sana, puing-puing bagunan terjun bebas dan menimpa orang-orang yang sedang berlarian karena panik. Lantai yang orang-orang itu pijak tiba-tiba saja ancur dan langsung mengantarkan mereka ke akhirat setelah bagian kepala pecah karena menghantam lantai bawah.

" Aka, pintu itu sudah tertutup oleh puing-puing, sementara masih ada banyak teman kita yang ada di dalam, termasuk Zahra. Kita harus menolong mereka "

" Aku tau kau khawatir, tapi dua bocah seperti kita ini memangnya bisa apa selain menambah angka korban yang tewas? "

Tewas? Bayangan mengenai Zahra yang tertimpa oleh puing-puing bangunan pun langsung membanjiri benakku. Sahabatku ada dalam bahaya, aku tidak bisa lari menjauh begitu saja, bagaimanapun caranya diri ini harus bisa memastikan srikandi itu selamat juga.

Aku menepis tangan Aka, dan saat genggamanya terlepas diri ini pun langsung berlari ke arah gedung sekolah. Aku belum minta maaf kepada Zahra, membayangkan jika sang maut malah menjemputnya sebelum diri ini mampu mengutatakkan kata maaf adalah satu hal yang jauh lebih aku takutkan ketimbang gempa dasyat ini.


" Bodoh, apa yang mau kau lakukan? " Jerit Aka ketika tau aku malah mendekati bagunan sekolah yang sudah semakin hancur.

Aku mengabaikan jeritan Aka dan tetap berlari menuju gedung sekolah. Apa yang ada di pikiranku saat ini hanyalah tentang bagaimana caranya menyelamatkan Zahra sehingga aku tidak memperhatikan keadaan sekitar.

Tanpa di sadari sebuah tiang listrik tiba-tiba ambruk dan tumbang tepat ke arah raga ini. Aku yang merasa syok sehingga tidak padat menggerakan tubuh ini barang sejengkal pun, untungnya Aka muncul dan mendorongku sehingga tiang tersebut tidak jadi menimpa diri ini.

" Aka, kau baik-baik saja? " Jertiku.

" Bagaimana caranya aku bilang baik-baik saja setelah diri ini nyaris mati tertiban tiang? "

" Ma.. Maafkan aku "

" Hoi, bukan kah sudah aku katakan jika sebaiknya kau memikirkan dirimu dulu " Ujar Aka sambil kembali bangkit.

" Tapi Zahra? "

" Memangnya sekarang kau bisa apa? Tadi saja kau tidak bisa menjaga nyawa sendiri, sekarang kau mau berlagak menolong orang? " Aka membentaku.

" Tapi aku tidak bisa membiarkan Zahra begitu saja "

" Ah dasar gadis bodoh " Dia memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebagan. Tanpa bicara sepatah katapun, Akashia kembali menarik diri ini agar dapat segera menemukan tempat aman.

Sebenarnya, apa yang di ucapkan Aka ada benarnya juga, memangnya apa yang bisa aku lakukan sekarang? Hati ini telah di tawan oleh kepanikan, sehingga sangat sulit rasanya untuk berfikir secara rasional.

Akashia mengenggam tangan ini dengan sangat erat, alih-alih menuntunku sekarang dia lebih terlihat seperti sedang menyeret diri ini. Dia tidak mau kecolongan lagi, maka dari itu dia menggenggam tangan ini jauh lebih erat dari sebelumnya. Aku hanya bisa pasrah saat ini, dan terus berharap Zahra baik-baik saja.

Gempa bumi mulai mereda, namun sebagaimana yang aku pelajari dalam pelajaran geografis, gempa itu sering kali tidak hanya terjadi sekali, ada yang di namakan gempa susulan, maka dari itu hal yang pertama kali harus di lakukan setelah selama dari bencana tersebut adalah tetap beridiam di luar dan menghindari bangunan.

Aka terus menarikku hingga akhrinya kami tiba di lapangan sepak bola sekolah. Ada cukup banyak orang yang berkumpul di sana, Wajah mereka semua sama, terlihat panik dan ketakutan. Para guru yang berhasil menyelamatkan diri segera memberi instruksi kepada para siswa untuk berkumpul di bagian tengah lapangan.

Baru saja aku dan Aka hendak melangkah ke arah yang di maksud oleh para guru, Tiba-tiba suara dentuman keras terdengar dari arah gedung sekolah. Aku menoleh dan alangkah kagetnya diri ini ketika mendapati sebagian besar gedung itu sudah roboh.

Banyak dari korban selamat yang terlihat mulai menangis, mungkin di gedung itu masih ada teman, keluarga, kaka, adik, kekasih, sahabat mereka yang tertinggal. Aku yakin saat berlari ke sini, masing-masing dari mereka memiliki hasrat dan keinginan kuat untuk kembali kemudian menyelamatkan orang-orang yang masih tertinggal di dalam sana, Sama seperti diriku.

Namun apa yang sekarang bisa kami lakukan? Manusia tidak ada apa-apa nya di bandingkan dengan alam. Ketika Tuhan memerintahkan bumi untuk berguncang, maka hanya berlarian dengan perasaan panik lah yang dapat manusia lakukan, sehingga hasrat untuk kembali itu perlahan terkikis dan kami terpaksa memasrahkan semuanya kepada takdir.

" Baik, bapak tau kalian masih ketakutan. Namun saya mohon, agar teman-teman siswa sekolah ini bersedia untuk duduk berdasarkan kelas masing-masing " Ujar seorang guru laki-laki yang kalau tidak salah merupakan salah satu guru senior di sekolah ini.

Aku paham maksud dari guru itu, dia ingin menghitung berapa banyak kah siswa yang berhasil lari ke tempat iin, dan berapa jumlah yang kemungkinan masih terjebak di dalam atau berlari ke arah lainnya. Aku segera menebar pandangan, mencari sosok teman kelasku di antara para murid yang berkerumun di lapangan ini.

Saat kelas lain mulai membentuk kelompok, diri ini masih belum juga berhasil menemukan anggota kelas dua C selain Aka. Padahal kelas lain, sekurang-kurangnya sudah terdiri dari lima orang, semetara kelasku hanya ada kami berdua.

" Aka, apa kau menemukan teman kelas kita? " Tanyaku.

" Nona pelukis, aku rasa yang tersisa dari kelas dua C hanya lah kita " Akashia melontarkan jawaban yang terdengar sangat mengerikan.

" Apa maksudmu? " Tanyaku bingung.

" Hari ini, kelas kita seharusnya ada gladiresik yang di adakan di auditorium "

Aka benar, hari ini kelas kami memang mengadakan gladiresik di auditorium. Awal mula aku bertengkar dengan Zahra pun adalah saat gadis itu memintaku untuk menghadiri gladiresik dan diri ini menolaknya. Lantas apa hubungannya gladiresik dengan jawaban menyeramkan yang tadi?

" Kau tau auditorium ada di lantai berapa? " Tanya Aka lagi.

" Tentu saja berada di lantai lima..." Saat mengucapkan hal tersebut nalarku langsung memahami maksud dari kata-kata yang tadi terlontar dari lisan Akashia " Yang tersisa dari kelas dua C hanyalah kita "

Ketika gempa terjadi, seluruh teman kelasku sedang gladiresik di auditorium yang letaknya berada pada lantai paling atas gedung sekolah. Dengan kata lain, potensi mereka selamat sangat lah kecil karena bagaimanapun gempa yang baru saja terjadi sangat lah dasyat sehingga dalam hitungan detik, guncangannya sudah mampu meluluh lantahkan gedung sekolah.

Kemungkinan besar mereka terlambat melarikan diri dan tertimbun oleh puing-puing dari bagunan sekolah yang runtuh. Aku ingat betul, orang terakhir yang mencapai pintu keluar adalah dewi, itupun dia tidak dapat selamat karena gadis malang itu harus tertimpa reruntuhan bangunan di saat sedikit lagi dirinya akan selamat.

" Srikandi dan yang lainnya masih ada di sana " Ujar Aka sambil menunjuk reruntuhan yang dulunya merupakan sekolah itu.

" Hoi, yang benar saja " Ujarku yang mengalami syok berat.

Zahra dan yang lainnya kemungkinan sudah tiada? Sial, lawakan macam apa ini. Wahai takdir bukan kah kau terlalu kejam karena telah menuntunku ke alur yang seperti ini? Mentalku nyaris ambruk, bagaiamana tidak? Seluruh teman kelasku kemungkinan sudah mati, dan parahnya lagi lisan ini belum sempat mengucap kata maaf kepada salah satu dari mereka.

Ah sial, sekarang aku paham mengapa langit membuat aturan yang begitu ketat mengenai pengucapan kata maaf. Umur, jodoh dan rezeki merupakan rahasia langit yang begitu di jaga ketat oleh para penghuninya. Sehingga sesakit apapun manusia, dia tidak akan pernah tau kapan ajal akan menjemputnya, kapan rezeki muncul dan menghampiri nya hingga siapa jodoh yang akan Tuhan hadiahkan kepadanya.

Maka dari itu, manusia di larang saling mengacuhkan lebih dari tiga hari. Sebab bisa saja saat dua manusia itu saling mengacuhkan karena bertengkar, salah satu dari mereka justru malah di hampiri oleh sang maut. Pertengkaran mereka mau tidak mau menjadi sesuatu yang abadi karena tidak mungkin lagi keduanya saling memaafkan.

Sama halnya dengan aku dan Zahra sekarang, jika memang gadis itu telah tiada, maka kata maafku tidak akan pernah dapat sampai kepadanya, Sehingga pertengkaran kami menjadi abadi. Zahra semoga kau baik-baik saja, semoga dirimu akan muncul di hadapanku nanti sambil cekikikan kemudian berkata " Aku selamat "

" Nona pelukis, kau baik-baik saja? " Tanya Aka yang mungkin menyadari tingkah gusarku.

" Ya, aku baik-baik saja "

" Kalian berdua dari kelas berapa? " Tanya seorang guru.

" Kami dari kelas dua C pak " Jawab Aka.

" Baik lah " Ujar guru tersebut sambil kembali melangkah untuk mendata kelas selanjutnya.

" Aka, katakan padaku. Apa yang harus diri ini lakukan jika memang Zahra tidak selamat dari bencana ini? " Tanyaku pada Aka.
Diubah oleh Rebek22 22-07-2021 05:07
oceu
jiyanq
piripiripuru
piripiripuru dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.