Kaskus

Story

Rebek22Avatar border
TS
Rebek22
Aku Dan Bajingan Yang Berlagak Seperti Ayah
Aku Dan Bajingan Yang Berlagak Seperti Ayah


Quote:


Quote:


Quote:



1. A story about a farewell sentence



Prolog: Terima kasih jauh lebih menenangkanku dari pada maaf

Kanaria.

Namaku Kanaria, sebuah nama yang di ambil dari bahasa jepang dan memiliki arti kenari. Sampai sekarang aku tidak pernah tau mengapa ibu menamaiku demikian, bagaimanapun kenari terdengar seperti sesuatu yang kurang layak di jadikan nama karena hanya sedikit makna yang dapat muncul dari jenis kacang kesukaan tupai itu.

Ini lah kisahku, dalam mencoba memberikan kesempatan kedua untuk seseorang.

Pagi masih lah berada di permulaan, mentari belum menampakan raganya di ufuk timur, sehingga gelap masih menjadi nuansa dasar dari warna sang langit, bulan pun masih bertenggger di angkasa memamerkan kemilaunya yang perlahan terlihat semakin sayu.

Suara alarm HP yang sangat bising berhasil membangunkanku dari tidur. Walaupun terasa agak berat, aku tetap berusaha membuka kedua mata ini, setelah itu meraih HP yang semalam memang sengaja aku letakan di dekat telinga, lalu mematikan alarm.

Mataku tertuju pada jam yang ada di layar HP. Sekarang masih pukul tiga pagi, waktu yang sangat tidak lumrah bagi seorang gadis SMA untuk bagun. Bayangkan saja, ayam belum berkokok, bulan pun masih terlihat samar di langit, sementara aku sudah bangun dan memulai aktifitas, mendahuli sang penguasa siang yang mungkin baru bersiap-siap untuk memamerkan wujudnya nanti.

Aku bangkit dari kasur menguncir rambut panjang yang masih berantakan ini, dan segera menuju kamar mandi untuk membasuh muka, berharap rasa kantuk ini bisa sedikit berkurang. Setelah itu aku pun beranjak ke dapur, menyalakan kompor dan mulai memasak sarapan. Air yang tadi membasuh wajah ini sepertinya belum cukup untuk mengusir kantuk yang masih setia menggelantungi mataku, sekuat tenaga aku menahan hasrat untuk kembali berbaring dan memejam mata, karena masih ada tanggung jawab yang harus diri ini tuntaskan terlebih dahulu.

Tanganku mulai Sibuk bekerja memasukan bahan demi bahan ke dalam penggorengan. Menu yang aku masak sangat sederhana, hanya telur dadar, sedikit tumis toge sisa kemarin yang kembali aku hangatkan, lalu tahu. Aku menyajikan semua hidangan tadi di meja kemudian beranjak ke kamar ibu untuk membangunkannya.

Dia harus berangkat kerja sebentar lagi, mengemudikan busway dari halte ke halte demi menafkahiku. Rutinitas di luar kelaziman gadis SMA ini lah yang aku jadikan sebagai balasan dari kerja kerasnya. Memang apa yang aku lakukan tidak akan pernah sebanding dengan yang di berikannya selama ini. Aku hanya bisa mengurangi sedikit beban yang harus di pikul nya seorang diri, dengan menambah satu jam waktu tidurnya, serta jamuan pagi yang mungkin dapat menambah semangatnya saat bekerja nanti.

" Bu, bangun sudah jam setengah empat " Ujarku setelah memasuki kamarnya.

Wanita itu nampak tertidur dengan sangat pulas, sejujurnya aku tidak tega untuk membangunkannya sekarang. Tapi ada hal yang harus dirinya lakukan, jadi mau tidak mau aku harus tetap melakukannya.

" Bu, bangun " Ujarku sekali lagi sambil menggoyang-goyangkan badannya. Usahaku membuahkan hasil, ibu bangun dari tidurnya dan segera duduk.

" Pagi " Ujarnya sambil mengecup dahiku.

" Sarapan sudah siap, mandi lah setelah itu silahkan santap masakanku di dapur "

" Kana, maafkan ibu ya, Kau jadi harus bangun pagi-pagi sekali " Ujarnya sambil mengelus kepalaku.

" Bukan kah sudah berkali-kali aku katakan, hati ini akan jauh lebih senang jika kau mengucapkan Terima kasih dari pada meminta maaf. Aku melakukan semua ini bukan karena paksaan, melainkan balas budi terhadap orang yang begitu aku sayangi "

" Terima kasih Kana "

" Sama-sama " Ujarku sambil mengecup keningnya. Aku melakukan semua ini atas dasar sayang, bukan karena paksaan, Jadi tidak perlu sungkan " Nah, sekarang mandi lah. Aku akan menunggumu di dapur "

" Baik "

" Bu, berhenti lah menyalahkan dirimu sendiri. Kau tidak salah, sebab yang membuatmu harus menanggung beban seberat ini adalah pria tolol itu "

" Kana, jangan begitu. Bagaimana pun dia adalah ayahmu "

" Jika dia ayahku, maka pria itu seharusnya ada di sini mencarikan nafkah untuk kita dan tidak menghilang entah kemana "

" Kana "

" Cukup bu, segera lah mandi. Aku akan membuat kopi di dapur agar rasa kantukmu hilang " Ujarku sambil melangkah keluar kamarnya.

Berapa banyak kenangan indah yang kau miliki bersama ayah? Jika pertanyaan tersebut di ajukan padaku, maka lisan ini akan menjawabnya dengan ucapan " Tidak ada ". Karena Pria brengsek itu hilang begitu saja tujuh tahun yang lalu setelah menoleh kan luka besar ke dalam alur kehidupan kami berdua.

Dalam benakku, tidak ada satupun kenangan indah mengenai dirinya. Dia hanyalah sesosok pria kasar yang bisa dengan begitu ringannya menghantamkan tinju ke wajah ibu, sering mengamuk tidak karuan, dan tega membuat istrinya banting tulang demi menafkahi keluarga padahal hal itu merupakan tugasnya. Oleh karena itu aku sangat membencinya.

Walaupun sering di perlakukan dengan kejam, entah mengapa ibu tetap memilih untuk tetap bersabar. Dia selalu berusaha menenangkan ayah yang sedang mengamuk dengan cara lembut, lisannya pun selalu mengucapkan maaf saat tangan pria brengsek itu menghantam wajahnya tanpa sebab.

Aku tidak paham, mengapa ibu bisa bersikap seperti itu? Kenapa lisannya lah yang harus mengucapkan maaf saat ayah memukulinya. Padahal aku sangat yakin jika tidak ada satu kesalahan pun yang dirinya buat. Mengapa dia bisa begitu lembut ketika menangkan pria itu. Padahal, tindakan ayah sudah sangat layak di anggap sebagai pelanggaran HAM, dan dari semua itu, yang paling tidak aku pahami adalah kenapa ibu bisa tetap mencintai ayah dan mau bertahan dengannya.

Bukan kah yang mencari nafkah adalah ibu? Jika mereka bercerai, aku sangat yakin hidup ibu akan menjadi jauh lebih baik. Bagaimanapun, masalah ekonomi tidak akan pernah menghampirinya, karena sekarangpun dia lah yang mencari uang, bukan ayah.

Aku tidak pernah bisa memahami jalan pikiran ibu, selepas tubuhnya di hajar habis-habisan, dia selalu menghampiriku kemudian memeluk tubuh ini dengan begitu erat sambil berkata " Jangan pernah membenci ayahmu ya, dia sebenarnya adalah orang baik yang tengah berada dalam kebingungan ". Jika sudah seperti itu, aku hanya bisa mengangguk, dan berpura-pura mempercayai ucapannya. walaupun hati ini sebaliknya. Apanya yang baik? Tindakannya bahkan jauh melampaui kekejaman iblis.

Entah ibuku yang terlalu berfikir positif terhadap sikap ayah, atau memang ucapannya merupakan kebenaran. Namun bagiku, kemungkinan pertama lah yang paling rasional untuk di percayai. Sikap ibu terus di manfaatkan oleh ayah agar dirinya bisa berbuat demikian, dan anggapanku tentang hal itu membuat diri ini kian membencinya.

Jika di sangkut pautkan dengan akutansi, pria itu hanyalah akun di bagian beban yang kian membengkak, sehingga kas yang di miliki ibu terus berkurang. Jika di hubungkan dengan Biologi, maka simbiosis yang terjadi antara ibu dan ayah adalah simbiosis parasitisme, salah satu pihak di untungkan sementara yang satunya lagi di rugikan. Jika ini matematika, maka ayah adalah bilangan minus, yang jumlah semakin banyak angkanya bukan bernilai semakin besar, melainkan semakin kecil.

Pria breksek itu hanya lah beban, tidak bekerja, tidak mengurusi rumah, dan tidak melakukan apapun, hanya duduk sambil sambil menghisap rokok sepanjang hari. Sampah masyarakat itu hanyalah parasit, yang terus menyerap kebahagiaan ibu dan menukarnya dengan penderitaan. Ayahku hanya lah bilangan minus yang kian hari semakin membuat ibu rugi.

kenapa orang seperti itu masih harus ibu beri makan dan tempat tinggal? Kenapa ibu tidak mengajukan cerai kepadanya? lalu menguris sampah masyarakat itu keluar dari rumah dan hidup bahagia bersamaku. Benakku terus bertanya-tanya akan hal itu, tanpa pernah berani mengutarakannya pada ibu, karena takut tanda tanya tersebut malah akan melukai hatinya.

Lima tahun yang lalu pria itu tiba-tiba menghilang, entah kemana dia pergi, tapi aku tidak peduli karena hal tersebut justru membuatku sangat senang. Akhirnya manusia tidak berguna itu pergi, andai aku memiliki nomor telepon sang maut, maka aku akan segera menghubunginya agar sosok tak kasat mata itu bisa segera menjemput ayah dan membawanya ke neraka yang paling dalam.

Ibu terlihat biasa-biasa saja saat suaminya itu pergi, dan baguku sikap yang di terapkannya sangat lah wajar, mengingat betapa kejamnya perlakuan si bedebah itu selama ini.

Aku tumbuh dewasa tanpa hadirnya sosok ayah, ibu memainkan peran ganda dalam membesarkanku. Peran ibu sebagai pemberi kasih sayang dan peran ayah sebagai pencari nafkah serta tempat berlindung bagi putrinya. Kehidupanku mulai terasa indah karena mata ini tidak perlu lagi menyaksikan ibu yang menahan rasa sakit saat di pukuli ayah.


Tidak ada lagi amukannya yang merusak rasa makan malam, tidak ada lagi bau asap yang memenuhi rumah saat dirinya sibuk menganggur, dan tidak ada lagi sosok pria yang membuatku selalu ingin menendang kepalanya.

Tujuh tahun berlalu, sekarang aku sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang tidak kekurangan apapun. Meski kami terbilang miskin, aku Tetap bisa bersekolah tanpa tunggakan SPP, tetap menjadi anak yang ceria walaupun secara tidak langsung aku termasuk anak yang mengalami broken home, dan tetap menjadi sosok yang tidak kurang kasih sayang, karena ibu selalu menuangkan kasih sayangnya padaku di sela-sela kesibukannya.

Bulan lalu, entah bagaimana mulanya tiba-tiba ibu mengajukan sebuah pertanyaan padaku, pertanyaan yang membuat lisan ini mengungkapkan tentang betapa bencinya aku pada ayah

" Kana, apa kau merindukan ayahmu? " Ujarnya. Pertanyaan tersebut nyaris membuatku tersedak lauk makan malam yang tengah aku kunyah kalau itu.

" Kenapa tiba-tiba ibu menanyakan hal itu? "

" Haha, ya bagaimana ya.. "

" Aku tidak tau apa kau sudah bercerai dengan pria brengsek itu atau belum. Tapi ada satu hal yang perlu ibu tau, aku tidak akan pernah sudi lagi memanggilnya ayah, dan jika ibu ingin kembali menerimanya di rumah ini, maka aku akan langsung menendang kepalanya, kemudian minggat dari rumah ini " Ujarku yang secara reflek mengutarakan betapa bencinya diri ini kepada ayah.

" Tapi Kana dia ayahmu "

" Apa dia mencarikanku nafkah? Apa dia menjadi tempat bernaung bagi putrinya? Apa dia menulis kan kisah bahagia dalam alur hidupku ini? Aku rasa tidak. Ya, dia memang ayahku, tapi pria itu tidak menjalankan kewajibannya maka dia tidak layak menerima haknya dariku "

" Kana, sebenarnya ayahmu itu.. "

" Cukup " Aku menggebrak meja dengan sangat keras, emosiku begitu meluap karena ibu membahas pria tolol yang begitu aku benci itu " Begini saja, kau adalah kepala keluarga rumah ini, aku tidak punya hak untuk melarangmu membawa laki-laki itu kemari, silahkan ajak ayah tinggal di sini lagi, silahkan rujuk dengannya jika memang kalian bercerai. Tapi, jika kau membawanya ke sini, maka aku lah yang akan pergi. Pilih lah, aku atau dia "

Aku pun bangkit dari duduk dan segera melangkah meninggalkan dapur. Aku tidak percaya jika lisan ini benar-benar membentaknya, sial apa sekarang aku sudah menjadi anak durhaka? Semoga ibu tidak sakit hati dan mengutuk ku jadi batu. Maafkan aku bu, sungguh aku hanya tidak ingin kau kembali menderita.

Setelah itu ibu tidak pernah membahas ayah lagi, aku sempat meminta maaf padanya tapi seperti biasa justru ibu lah yang malah mengaku salah dan meminta maaf jauh kepadaku. Sejak saat itupun Aku memutuskan untuk tidak pernah lagi mengungkit segala sesuatu mengenai pria itu.

Aku merasa sangat bodoh sekarang. Karena ternyata malah diri ini lah yang pertama kali membahasnya kembali. Kakiku melangkah dengan begitu beratnya ke dapur, hatiku tengah berada di dalam kondisi yang sangat tidak karuan, sekali lagi lisan ini membentak wanita baik hati itu.

Aku menunggu ibu di meja makan, setelah sepuluh menit berlalu ibupun muncul dan langsung ikut duduk. Tangannya mulai menyendok nasi dan lauk yang aku hidangkan, kemudian menyantapnya dengan begitu lahap.

" Bu, maafkan aku karena telah membentakmu tadi " Ujarku yang langsung mengutarakan rasa bersalah yang semula begitu nyaman bersarang di dalam hati.

" Terima kasih karena kau mau minta maaf, Kana " Ujarnya sambil tersenyum.

" Bagaimanapun aku tidak bisa memaafkan ayah, karena dulu dia selalu saja menyakiti orang yang begitu aku cintai ini "

" Ya, dia memang kerap kali menyarangkan tinjunya itu kepadaku. Tapi percayalah nak, aku tidak pernah bisa membencinya "

" Kenapa? "

" Akan panjang jika aku menjelaskannya sekarang. Ibu berjanji akan menjelaskannya padamu nanti. Intinya dia adalah pria yang baik baginsudut pandang ibu "

Aku tidak perlu penjelasan apapun, bagiku ibu lah yang terlalu memandang positif sifat ayah sehingga seburuk apapun perbuatannya ibu akan tetap menganggapnya baik. Tapi aku tidak mau mengutarakan pemikiran ini kepadanya. Sekarang aku hanya harus mengangguk tanda jika diri ini mengerti akan ucapannya dan menunggu malam nanti untuk mendengarkan ocehannya tentang ayah.

" Nah, sekarang saatnya bekerja " Ujarnya setelah melahap habis hidangan yang aku buat. " Masakanmu enak sepeti biasanya "

" Terima kasih "

" Oh iya, hari ini sepertinya ibu akan mendapat bonus. Jadi aku akan memberikanmu laptop " Ujarnya.

" Ayo lah bu. Dari pada untuk membeli laptop, lebih baik uang bonus itu ibu gunakan untuk membeli beras. Lagi pula aku tidak membutuhkan benda itu " Ujarku.

" Kana, aku tau kau kesusahan tiap kali mendapat tugas untuk mencari artikel di internet. Apa kau pikir ibu tega membiarkan putri ke sayangannya kesulitan? sementara dirimu terus melayaniku dengan baik? Kita memang tidak kaya, tapi untuk memenuhi kebutuhanmu, aku akan berusaha sebaik mungkin"

" Tapi "

" Mungkin aku hanya bisa memberikanmu laptop bekas. Tapi pergunakanlah benda itu sebaik mungkin, aku berjanji akan membelikannya untukmu sepulang kerja nanti "

" Terima kasih bu "

Sejujurnya hatiku merasa sangat senang, karena pada akhirnya aku tidak perlu lagi menyewa biling di warnet ketika ingin mengerjakan tugas sekolah yang mengharuskanku mencari artikel di internet. Semoga laptop itu tidak membebani nya karena sudah begitu banyak beban yang harus wanita ini tanggung.

" Kalau begitu ibu berangkat dulu " Ujar ibu sambil mulai beranjak dari dapur.

Aku menemaninya keluar rumah, membuka gerbang saat Ibu mulai mengeluarkan motornya dari ruang tamu. Ibu menyalakan motor, memakai helm dan bersiap untuk meluncur ke tempat kerjanya.

" Sampai jumpa lagi "

" Sampai jumpa lagi " Ujarnya sambil menancap gas motor. Wanita itupun pergi meninggalkan rumah.

" Hati-hati di jalan bu "

Di sinilah semua bermula....

Menurutmu, seberapa bermakna kah ucapan " Sampai Jumpa lagi " ? Mungkin bagi sebagian orang kalimat tersebut hanyalah rangkaian kata yang nilainya tidak lebih dari sekedar formalitas. Ucapan yang secara reflek terlontar saat kita mengakhiri kebersamaan, atau sebuah ujaran rutin yang selalu mengiringi perpisahan kita dengan seseorang. Kalimat yang begitu ringan untuk di ucapkan sehingga banyak orang yang tidak menyadari betapa beratnya makna yang terkandung dalam kalimat tersebut, termasuk diriku

Langit begitu indah sore ini, lembayun merah yang biasa mengiringi terlelapnya Sang mentari sedang terlukis dengan begitu sempurna, sehingga sangat layak untuk di nikmati oleh para manusia yang mulai mengakhiri hari. Namun, apa yang aku alami di sore ini tidak lah sesempurna karya Tuhan yang berjudul kan " Rona sore hari " Itu.

Sialnya keindahan itu berbanding terbalik dengan alur takdirku. Salah satu rahasia langit yang bernama maut baru saja mengunjungi ibuku, sosok tak kasat mata itu menjemput ruh miliknya untuk kembali bersama ke langit dan menemui Sang Pencipta.

Ibuku telah tiada..
Pergi begitu jauh hingga upaya apapun yang diri ini lakukan tidak akan mampu lagi meraihnya.
Diubah oleh Rebek22 27-08-2021 18:58
pangerankodo353Avatar border
irwanh44Avatar border
sisininAvatar border
sisinin dan 26 lainnya memberi reputasi
23
14.6K
147
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
Rebek22Avatar border
TS
Rebek22
#9
Hestia
Quote:


Quote:



2. A painting, friendship and catastrophe that separates



Prolog : Si kucel dan Srikandi

Apa kalian tau? Jika ada dua orang yang bertengkar hingga saling mengacuhkan sampai lebih dari tiga hari, maka langit akan senantiasa melaknat kedua orang tersebut sampai salah satu di antara mereka mengucapkan kata maaf.

Aku lupa mendengar ucapan tersebut dari siapa namun yang jelas diri ini belum mempercayai hal tersebut. Sebab bukan kah tidak rasional jika hanya karena perkara ucapan maaf, langit harus sampai membuat aturan yang sebegitu menyeramkannya. Namun pada akhirnya takdir menuntunku untuk menjumpa sebuahi alur yang nantinya akan membuatku memahami seberapa bermakna kata " Maaf " Dalam kehidupan ini.

Tempat salah dan lupa, mungkin begitulah para penghuni langit menyebut manusia, Salah satu maha karya Tuhan yang di gadang-gadang memiliki wujud paling sempurna. Setiap jam, menit bahkan detik manusia senantiasa melakukan kesalahan, baik itu yang di sengaja mau pun tidak, baik itu yang di sadari maupun tidak. Maka wajar jika meminta maaf itu merupakan hal penting yang harus selalu di lakukan oleh kita selaku manusia, karena bisa saja tanpa di sadari kita telah berbuat kesalahan dan menyakit hati orang lain.

Percayalah, sikap paling sombong dari seorang manusia adalah enggan meminta maaf dan menolak untuk memaafkan. Mengapa? Karena pada dasarnya kita bisa ada di dunia ini karena Tuhan berbaik hati untuk memaafkan manusia.

Adam dan hawa tanpa sengaja memakan buah khuldi, sehingga membuat Tuhan murka, karena bagaimanapun satu-satunya aturan surga kala itu adalah menjauhi buah tersebut. Keudanya pun memohon ampun kepada sang Pencipta dan menyesali kebodohan mereka yang termakan tipu muslihat iblis.

Sebagai bentuk kasih sayangnya, Tuhan pun menerima maaf pasangan tersebut. Kemudian memberikan hukuman kepada Adam dan Hawa yaitu turun ke bumi. Maka dari itu, kehadiran manusia di bumi ini merupakan bentuk dari di terimanya maaf seorang Adam.

Lantas masih layak kah seorang manusia menolak memaafkan dan enggan meminta maaf? Aku rasa tidak, dan Mungkin hal tersebut lah yang membuat langit membuat aturan ketat mengenai kata maaf tersebut.

Namaku Hestia, sebuah nama yang di ambil dari mitologi Yunai yang artinya dewi perapian. Perapian merupakan lambang dari kehangatan karena di hadapannya sebuah keluarga biasa berkumpul dan saling bencengkrama. Ibuku pernah mengatakan jika dia memberikanku nama tersebut karena berharapa kehadiran diri ini dapat selalu membuat suasana menjadi hangat.

Siang itu aku sedang melangkah riang menelusuri koridor lantai dua sekolah yang saat itu dalam keadaan ramai, bell penanda jam istirahat makan siang baru saja berbunyi, maka wajar jika koridor di penuhi oleh para siswa yang mulai asik bersenda gurau.

Beberapa dari mereka memperhatikanku, percayalah mata mereka bukan tertuju pada wajahku, karena memang aku tidak cantik, apa lagi tubuhku, serius, bagian tubuhku yang satu itu sangat jauh dari kata seksi, pandangan mereka tertuju pada benda yang aku bawa.

Saat ini tanganku tengah membawa sebuah benda yang di anggap sakti bagi seluruh siswa di sekolah ini. Apa yang saat ini aku pegang bukan lah sesuatu yang bernilai tinggi seperti emas atau berlian, melainkan selembar kertas atau lebih tepatnya sertifikat berukuran kertas A3.

Sertifikat ini di anggap sakti, karena hanya siswa terpilih lah yang bisa memeganggnya. Seperti yang aku bilang sebelumnya, ini adalah benda sakti karena ketika sertifikat ini ada dalam genggaman seorang siswa artinya dia merupakan seseorang yang berprestasi di suatu bidang.

Hadiah dari siswa berprestasi di sekolahku bisa di bilang merupakan sesuatu yang sangat berharga, karena untuk satu kedepan seluruh biaya sekolah akan di gratisnkan atau dengan kata lain di beasiswa kan.

Pekan lalu aku baru saja memenangkan sebuah lomba melukis tingkat nasional, dan tadi aku baru saja beranjak dari ruang kepala sekolah setelah menerima sertifikat dan hadiah beasiswa langsung dari pemimpin sekolah ini. Rasa senang jelas membanjiri hariku, maka dari itu sedikit memamerkan pencapaian kepada beberapa orang yang ada di sekolah merupakan hal yang diri ini lakukan selanjutnya.

Aku sengaja mengambil jalan memutar ketika melangkah menuju kelas, dengan harapan banyak mata yang terpukau dengan bukti prestasi yang sengaja aku pamerkan ini. Melukis memang merupakan keahlianku, maka dari itu banyak prestasi yang aku dapatkan dari bidang tersebut. Namun baru kali ini lah aku menjuarai tingkat nasional, dan menerima hadiah sebesar ini.

" Tia " Seseorang memanggilku dari arah belakang, akupun langsung menghentikan langkah kaki ini, lalu menoleh ke arah sumber suara.

Seorang perempuan terlihat tengah berjalan cepat menghampiriku, perempuan itu memiliki rambut pendek sebahu, wajahnya begitu cantik, dan tubuhnyapun sangat seksi, ah sungguh bertolak belakang dengan rupaku, dimanapun dia melangkah maka semua perhatian laki-laki akan segera tertuju padanya, serius respond orang-orang terhadapnya itu selalu membuatku merasa sangat iri, padahal aku sudah mengenalnya sejak lama.

Dia adalah sahabatku namanya adalah Zahra, gadis manis asal Bandung yang juga merupakan teman sekelasku. Aku mengenalnya sejak SMP, kami sangat akrab dan selalu bersama. Zahra pindah dari bandung ke Yogyakarta empat tahun silam, karena ayahnya ada urusan pekerjaan di kota kecilku ini.

Ayahnya membeli sebuah rumah yang letaknya berasa repat di samping rumahku, maka dari itu aku merupakan teman pertamanya. Percayalah Dulunya dia adalah gadis yang pendiam, hanya aku satu-satunya teman yang dirinya miliki. Namun siapa sangka, akan pendiam itu sekarang sudah berubah menjadi srikandi sekolah?

Aku memandangi wajah cantiknya yang entah mengapa mengukiran raut kesal. Akhirnya Zahra tiba di hadapanku, dia tidak langsung bicara karena nafasnya masih tengah-engah, setelah berusaha mengejarku tadi. Hah, dia memang payah dalam urusan fisik.

" Ada apa Ra? " Tanyaku bingung

" Hoi, kamu kemana saja? Jam istirahat ini, kita ada gladi resik tau " Ujarnya setelah berhasil mengatur nafas.

" Ah, aku malas ikut "

Pekan depan sekolah ini akan mengadakan pentas seni, siswa kelasku memutuskan untuk menampilkan paduan suara. Zahra lah yang di beri amanah untuk mengetuai penampilan itu, dia langsung di tunjuk oleh wali kelas karena memang pada dasarnya dia juga merupakan siswa berprestasi di bidang akademik.

" Tia, jangan begitu. Pentasnya akan di adakan minggu depan, maka dari itu kau harus hadir untuk latihan "

" Ayolah, akukan hanya figuran. Penampilan kelas kita juga tidak akan terhambat hanya karena tidak ada diriku "

" Apa maksudmu? Tentu saja ke tidak hadiranmu akan ada dampaknya "

" Berisik, apa dampak dari tidak adanya diriku? Bidang ku melukis bukan menyanyi, aku tidak mau jadi batu pijakanmu untuk menjadi lebih bersinar ketika memainkan peran solo "

Selain pintar, gadis ini memang memiliki suara yang sangat merdu. Bakatnya dalam menyanyi sudah terlihat sejak kami masih duduk di bangku SMP, banyak orang yang menikmati suaranya indahnya begitu juga aku. j

Sejujurnya aku bersikap seperti ini karena lelah terus di banding-bandinhkan dengannya oleh orang-orang sekitar. Bagaimanapun dia sudah di anggap sebagai seorang primadona yang serba bisa, bahkan dalam tatan kelas Zahra merupakan sosok yang menduduki tahta teratas sementara aku hanya gadis biasa yang sering berangkat ke sekolah dengan noda cat wajah.

Walau begitu aku masih sangat menyayangi gadis itu. Karena bagaimanapun dia sahabatku dan kehadirannya dalam hidup ini merupakan sesuatu yang terlampau berarti.

Para penduduk tahta teratas kelas sering mengolok-olok diriku, mereka menganggap diri ini sok dekat dengan Zahra, padahal pada dasarnya kami memanglah dekat. Mereka sering berkata anak kucel sepertiku merusak keindahan yang terpancar dari wujud seorang Zahra.

Yah aku tidak keberatan di anggap kucel, karena memang seragam yang aku kenakan kebanyakan memiliki noda bekas cat. Wajar bukan karena aku memang selalu berlatih melukis di manapun, lagi pula tidak salahkan jika seorang gadis berjuang keras demi meraih impiannya?

Zahra sering membelaku, namun tanggapan terhadap pembelaan sahabatku itu justru malah membuat hati ini tambah sakit, maka dari itu secara perlahan aku mulai menjauhinya. Tak apa, dia yang sekarang mungkin lebih cocok bergaul dengan para elit kelas ketimbang diriku.

" Mengapa kau bicara seperti itu? " Tanya Zahra dengan nada bicara yang agak tinggi.

" Ya karena memang itulah kenyataanya " Jawabku ala kadarnya.

" Bagaimana pun aku ingin berada satu panggung denganmu Tia, kau sahabatku "

" Aku akan ada satu panggung denganmu Zahra, tapi mungkin di bagian belakangnya karena saat pentas nanti diri ini lah yang bertanggung jawab terhadap backgroud penampilan kelas kita " Ujarku sambil mulai melangkah menjauhinya.

" Tia... Kenapa hubungan persahabatan kita jadi seperti ini? "

Aku kembali menghentikan langkah kaki ini, pertanyaan yang tadi dia ajukan jelas membuatku bingung. " Kenapa hubungan persahabatan kita jadi seperti ini? " Sungguh pertanyaan yang amat berat karena jangan kan dia, akupun juga ertanya-tanya mengapa hal itu terjadi?

Aku sangat menyayanginya, namun jika kami tetap dekat maka dia juga akan ikut di olok-olok oleh para elit kelas. Mungkin ini yang terbaik, biar lah retakan dalam hubungan kami kian merenggang hingga pada akhirnya sempurna terpisah.

" Zahra, percayalah selama ini aku tidak pernah menganggapmu sahabat. Sejujurnya aku muak selalu menemanimu, maka dari itu sebaiknya kita tidak saling berhubungan lagi " Ujarku yang mulai merangkai kebohongan agar kami bisa mengakhiri hubungan persahabatan yang kian tidak jelas ini.

" Ke.. Kenapa kau mengatakan hal tersebut? "

" Kau tau, karena kita dekat diri ini malah selalu di olok-olok dan tak henti-hentinya di banding-bandingkan. Banyak lisannyang berkata, mengapa primadona sepertimu mau berteman dengan gadis aneh yang setiap berangkat ke sekolah wajahnya selalu di penuhi cara. Apa kau pikir itu enak? "

Entah mengapa aku mulai benar-benar membencinya, segala perlakuan tidak menyenangkan yang para elit kelas berlakukan kepadaku membuat lisan ini benar-benar menuangkan kebencian pada tiap kata yang terlontar kepasa Zahra.

Niat awalku hanya membuatnya menjaga jarak denganku, namun entah mengapa lisan ini malah semakin tak terkendali ketika mengungkapkan rasa benci yang tumbuh karena dirinya.

" Ti.. Tia "

" Jadi mulai sekarang, menjauh lah dariku " Aku meneriakinya dengan cukup keras hingga banyak mata yang langsung tertuju pada kami.

Sial, mengapa aku malah mengatakan hal tersebut, mengapa aku malah jadi benar-benar membenci Zahra. Apakah karena aku iri dengan prilaku spesial orang-orang yang di terapkan kepadanya? Sial lisanku tidak bisa berhenti mengutarakan kebencian padanya.

" Te.. Teganya dirimu "

" Menjauh lah dariku " Ujarku sambil benar-benar meenginggalkan zahra.

Sial, perasaanku campur aduk. Aku menyesal karena telah mengatakan hal tersebut, namun di sela-sela penyesalan itu diri ini justru malah merasa senang.

Semoga dia benar-benar menjauh, karena jika demikian aku akan terbebas dari olok-olok dan para elit kelaspun tidak akan memiliki alasan untuk menggangguku lagi. Mungkin hal ini lah yang membuatku senang.

Aku lelah di anggap sebagai debu yang menempel pada sebuah berlian, aku kesal karena pencapaianku selalu tertutup oleh kemilau yang terlampau terang dari kesempurnaan zahra.

Bagaimanapun aku juga memiliki prestasi. Namun semua itu tidak pernah terpandang oleh teman-teman, dan penyebab utama dari hal itu adalah zahra. Ya aku tidak menyesal telah membentaknya.

" Zahra, kita sudahi saja permainan persahabatan ini "
Diubah oleh Rebek22 25-08-2021 22:37
pulaukapok
piripiripuru
topaqwerty
topaqwerty dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.