Kaskus

Story

Rebek22Avatar border
TS
Rebek22
Aku Dan Bajingan Yang Berlagak Seperti Ayah
Aku Dan Bajingan Yang Berlagak Seperti Ayah


Quote:


Quote:


Quote:



1. A story about a farewell sentence



Prolog: Terima kasih jauh lebih menenangkanku dari pada maaf

Kanaria.

Namaku Kanaria, sebuah nama yang di ambil dari bahasa jepang dan memiliki arti kenari. Sampai sekarang aku tidak pernah tau mengapa ibu menamaiku demikian, bagaimanapun kenari terdengar seperti sesuatu yang kurang layak di jadikan nama karena hanya sedikit makna yang dapat muncul dari jenis kacang kesukaan tupai itu.

Ini lah kisahku, dalam mencoba memberikan kesempatan kedua untuk seseorang.

Pagi masih lah berada di permulaan, mentari belum menampakan raganya di ufuk timur, sehingga gelap masih menjadi nuansa dasar dari warna sang langit, bulan pun masih bertenggger di angkasa memamerkan kemilaunya yang perlahan terlihat semakin sayu.

Suara alarm HP yang sangat bising berhasil membangunkanku dari tidur. Walaupun terasa agak berat, aku tetap berusaha membuka kedua mata ini, setelah itu meraih HP yang semalam memang sengaja aku letakan di dekat telinga, lalu mematikan alarm.

Mataku tertuju pada jam yang ada di layar HP. Sekarang masih pukul tiga pagi, waktu yang sangat tidak lumrah bagi seorang gadis SMA untuk bagun. Bayangkan saja, ayam belum berkokok, bulan pun masih terlihat samar di langit, sementara aku sudah bangun dan memulai aktifitas, mendahuli sang penguasa siang yang mungkin baru bersiap-siap untuk memamerkan wujudnya nanti.

Aku bangkit dari kasur menguncir rambut panjang yang masih berantakan ini, dan segera menuju kamar mandi untuk membasuh muka, berharap rasa kantuk ini bisa sedikit berkurang. Setelah itu aku pun beranjak ke dapur, menyalakan kompor dan mulai memasak sarapan. Air yang tadi membasuh wajah ini sepertinya belum cukup untuk mengusir kantuk yang masih setia menggelantungi mataku, sekuat tenaga aku menahan hasrat untuk kembali berbaring dan memejam mata, karena masih ada tanggung jawab yang harus diri ini tuntaskan terlebih dahulu.

Tanganku mulai Sibuk bekerja memasukan bahan demi bahan ke dalam penggorengan. Menu yang aku masak sangat sederhana, hanya telur dadar, sedikit tumis toge sisa kemarin yang kembali aku hangatkan, lalu tahu. Aku menyajikan semua hidangan tadi di meja kemudian beranjak ke kamar ibu untuk membangunkannya.

Dia harus berangkat kerja sebentar lagi, mengemudikan busway dari halte ke halte demi menafkahiku. Rutinitas di luar kelaziman gadis SMA ini lah yang aku jadikan sebagai balasan dari kerja kerasnya. Memang apa yang aku lakukan tidak akan pernah sebanding dengan yang di berikannya selama ini. Aku hanya bisa mengurangi sedikit beban yang harus di pikul nya seorang diri, dengan menambah satu jam waktu tidurnya, serta jamuan pagi yang mungkin dapat menambah semangatnya saat bekerja nanti.

" Bu, bangun sudah jam setengah empat " Ujarku setelah memasuki kamarnya.

Wanita itu nampak tertidur dengan sangat pulas, sejujurnya aku tidak tega untuk membangunkannya sekarang. Tapi ada hal yang harus dirinya lakukan, jadi mau tidak mau aku harus tetap melakukannya.

" Bu, bangun " Ujarku sekali lagi sambil menggoyang-goyangkan badannya. Usahaku membuahkan hasil, ibu bangun dari tidurnya dan segera duduk.

" Pagi " Ujarnya sambil mengecup dahiku.

" Sarapan sudah siap, mandi lah setelah itu silahkan santap masakanku di dapur "

" Kana, maafkan ibu ya, Kau jadi harus bangun pagi-pagi sekali " Ujarnya sambil mengelus kepalaku.

" Bukan kah sudah berkali-kali aku katakan, hati ini akan jauh lebih senang jika kau mengucapkan Terima kasih dari pada meminta maaf. Aku melakukan semua ini bukan karena paksaan, melainkan balas budi terhadap orang yang begitu aku sayangi "

" Terima kasih Kana "

" Sama-sama " Ujarku sambil mengecup keningnya. Aku melakukan semua ini atas dasar sayang, bukan karena paksaan, Jadi tidak perlu sungkan " Nah, sekarang mandi lah. Aku akan menunggumu di dapur "

" Baik "

" Bu, berhenti lah menyalahkan dirimu sendiri. Kau tidak salah, sebab yang membuatmu harus menanggung beban seberat ini adalah pria tolol itu "

" Kana, jangan begitu. Bagaimana pun dia adalah ayahmu "

" Jika dia ayahku, maka pria itu seharusnya ada di sini mencarikan nafkah untuk kita dan tidak menghilang entah kemana "

" Kana "

" Cukup bu, segera lah mandi. Aku akan membuat kopi di dapur agar rasa kantukmu hilang " Ujarku sambil melangkah keluar kamarnya.

Berapa banyak kenangan indah yang kau miliki bersama ayah? Jika pertanyaan tersebut di ajukan padaku, maka lisan ini akan menjawabnya dengan ucapan " Tidak ada ". Karena Pria brengsek itu hilang begitu saja tujuh tahun yang lalu setelah menoleh kan luka besar ke dalam alur kehidupan kami berdua.

Dalam benakku, tidak ada satupun kenangan indah mengenai dirinya. Dia hanyalah sesosok pria kasar yang bisa dengan begitu ringannya menghantamkan tinju ke wajah ibu, sering mengamuk tidak karuan, dan tega membuat istrinya banting tulang demi menafkahi keluarga padahal hal itu merupakan tugasnya. Oleh karena itu aku sangat membencinya.

Walaupun sering di perlakukan dengan kejam, entah mengapa ibu tetap memilih untuk tetap bersabar. Dia selalu berusaha menenangkan ayah yang sedang mengamuk dengan cara lembut, lisannya pun selalu mengucapkan maaf saat tangan pria brengsek itu menghantam wajahnya tanpa sebab.

Aku tidak paham, mengapa ibu bisa bersikap seperti itu? Kenapa lisannya lah yang harus mengucapkan maaf saat ayah memukulinya. Padahal aku sangat yakin jika tidak ada satu kesalahan pun yang dirinya buat. Mengapa dia bisa begitu lembut ketika menangkan pria itu. Padahal, tindakan ayah sudah sangat layak di anggap sebagai pelanggaran HAM, dan dari semua itu, yang paling tidak aku pahami adalah kenapa ibu bisa tetap mencintai ayah dan mau bertahan dengannya.

Bukan kah yang mencari nafkah adalah ibu? Jika mereka bercerai, aku sangat yakin hidup ibu akan menjadi jauh lebih baik. Bagaimanapun, masalah ekonomi tidak akan pernah menghampirinya, karena sekarangpun dia lah yang mencari uang, bukan ayah.

Aku tidak pernah bisa memahami jalan pikiran ibu, selepas tubuhnya di hajar habis-habisan, dia selalu menghampiriku kemudian memeluk tubuh ini dengan begitu erat sambil berkata " Jangan pernah membenci ayahmu ya, dia sebenarnya adalah orang baik yang tengah berada dalam kebingungan ". Jika sudah seperti itu, aku hanya bisa mengangguk, dan berpura-pura mempercayai ucapannya. walaupun hati ini sebaliknya. Apanya yang baik? Tindakannya bahkan jauh melampaui kekejaman iblis.

Entah ibuku yang terlalu berfikir positif terhadap sikap ayah, atau memang ucapannya merupakan kebenaran. Namun bagiku, kemungkinan pertama lah yang paling rasional untuk di percayai. Sikap ibu terus di manfaatkan oleh ayah agar dirinya bisa berbuat demikian, dan anggapanku tentang hal itu membuat diri ini kian membencinya.

Jika di sangkut pautkan dengan akutansi, pria itu hanyalah akun di bagian beban yang kian membengkak, sehingga kas yang di miliki ibu terus berkurang. Jika di hubungkan dengan Biologi, maka simbiosis yang terjadi antara ibu dan ayah adalah simbiosis parasitisme, salah satu pihak di untungkan sementara yang satunya lagi di rugikan. Jika ini matematika, maka ayah adalah bilangan minus, yang jumlah semakin banyak angkanya bukan bernilai semakin besar, melainkan semakin kecil.

Pria breksek itu hanya lah beban, tidak bekerja, tidak mengurusi rumah, dan tidak melakukan apapun, hanya duduk sambil sambil menghisap rokok sepanjang hari. Sampah masyarakat itu hanyalah parasit, yang terus menyerap kebahagiaan ibu dan menukarnya dengan penderitaan. Ayahku hanya lah bilangan minus yang kian hari semakin membuat ibu rugi.

kenapa orang seperti itu masih harus ibu beri makan dan tempat tinggal? Kenapa ibu tidak mengajukan cerai kepadanya? lalu menguris sampah masyarakat itu keluar dari rumah dan hidup bahagia bersamaku. Benakku terus bertanya-tanya akan hal itu, tanpa pernah berani mengutarakannya pada ibu, karena takut tanda tanya tersebut malah akan melukai hatinya.

Lima tahun yang lalu pria itu tiba-tiba menghilang, entah kemana dia pergi, tapi aku tidak peduli karena hal tersebut justru membuatku sangat senang. Akhirnya manusia tidak berguna itu pergi, andai aku memiliki nomor telepon sang maut, maka aku akan segera menghubunginya agar sosok tak kasat mata itu bisa segera menjemput ayah dan membawanya ke neraka yang paling dalam.

Ibu terlihat biasa-biasa saja saat suaminya itu pergi, dan baguku sikap yang di terapkannya sangat lah wajar, mengingat betapa kejamnya perlakuan si bedebah itu selama ini.

Aku tumbuh dewasa tanpa hadirnya sosok ayah, ibu memainkan peran ganda dalam membesarkanku. Peran ibu sebagai pemberi kasih sayang dan peran ayah sebagai pencari nafkah serta tempat berlindung bagi putrinya. Kehidupanku mulai terasa indah karena mata ini tidak perlu lagi menyaksikan ibu yang menahan rasa sakit saat di pukuli ayah.


Tidak ada lagi amukannya yang merusak rasa makan malam, tidak ada lagi bau asap yang memenuhi rumah saat dirinya sibuk menganggur, dan tidak ada lagi sosok pria yang membuatku selalu ingin menendang kepalanya.

Tujuh tahun berlalu, sekarang aku sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang tidak kekurangan apapun. Meski kami terbilang miskin, aku Tetap bisa bersekolah tanpa tunggakan SPP, tetap menjadi anak yang ceria walaupun secara tidak langsung aku termasuk anak yang mengalami broken home, dan tetap menjadi sosok yang tidak kurang kasih sayang, karena ibu selalu menuangkan kasih sayangnya padaku di sela-sela kesibukannya.

Bulan lalu, entah bagaimana mulanya tiba-tiba ibu mengajukan sebuah pertanyaan padaku, pertanyaan yang membuat lisan ini mengungkapkan tentang betapa bencinya aku pada ayah

" Kana, apa kau merindukan ayahmu? " Ujarnya. Pertanyaan tersebut nyaris membuatku tersedak lauk makan malam yang tengah aku kunyah kalau itu.

" Kenapa tiba-tiba ibu menanyakan hal itu? "

" Haha, ya bagaimana ya.. "

" Aku tidak tau apa kau sudah bercerai dengan pria brengsek itu atau belum. Tapi ada satu hal yang perlu ibu tau, aku tidak akan pernah sudi lagi memanggilnya ayah, dan jika ibu ingin kembali menerimanya di rumah ini, maka aku akan langsung menendang kepalanya, kemudian minggat dari rumah ini " Ujarku yang secara reflek mengutarakan betapa bencinya diri ini kepada ayah.

" Tapi Kana dia ayahmu "

" Apa dia mencarikanku nafkah? Apa dia menjadi tempat bernaung bagi putrinya? Apa dia menulis kan kisah bahagia dalam alur hidupku ini? Aku rasa tidak. Ya, dia memang ayahku, tapi pria itu tidak menjalankan kewajibannya maka dia tidak layak menerima haknya dariku "

" Kana, sebenarnya ayahmu itu.. "

" Cukup " Aku menggebrak meja dengan sangat keras, emosiku begitu meluap karena ibu membahas pria tolol yang begitu aku benci itu " Begini saja, kau adalah kepala keluarga rumah ini, aku tidak punya hak untuk melarangmu membawa laki-laki itu kemari, silahkan ajak ayah tinggal di sini lagi, silahkan rujuk dengannya jika memang kalian bercerai. Tapi, jika kau membawanya ke sini, maka aku lah yang akan pergi. Pilih lah, aku atau dia "

Aku pun bangkit dari duduk dan segera melangkah meninggalkan dapur. Aku tidak percaya jika lisan ini benar-benar membentaknya, sial apa sekarang aku sudah menjadi anak durhaka? Semoga ibu tidak sakit hati dan mengutuk ku jadi batu. Maafkan aku bu, sungguh aku hanya tidak ingin kau kembali menderita.

Setelah itu ibu tidak pernah membahas ayah lagi, aku sempat meminta maaf padanya tapi seperti biasa justru ibu lah yang malah mengaku salah dan meminta maaf jauh kepadaku. Sejak saat itupun Aku memutuskan untuk tidak pernah lagi mengungkit segala sesuatu mengenai pria itu.

Aku merasa sangat bodoh sekarang. Karena ternyata malah diri ini lah yang pertama kali membahasnya kembali. Kakiku melangkah dengan begitu beratnya ke dapur, hatiku tengah berada di dalam kondisi yang sangat tidak karuan, sekali lagi lisan ini membentak wanita baik hati itu.

Aku menunggu ibu di meja makan, setelah sepuluh menit berlalu ibupun muncul dan langsung ikut duduk. Tangannya mulai menyendok nasi dan lauk yang aku hidangkan, kemudian menyantapnya dengan begitu lahap.

" Bu, maafkan aku karena telah membentakmu tadi " Ujarku yang langsung mengutarakan rasa bersalah yang semula begitu nyaman bersarang di dalam hati.

" Terima kasih karena kau mau minta maaf, Kana " Ujarnya sambil tersenyum.

" Bagaimanapun aku tidak bisa memaafkan ayah, karena dulu dia selalu saja menyakiti orang yang begitu aku cintai ini "

" Ya, dia memang kerap kali menyarangkan tinjunya itu kepadaku. Tapi percayalah nak, aku tidak pernah bisa membencinya "

" Kenapa? "

" Akan panjang jika aku menjelaskannya sekarang. Ibu berjanji akan menjelaskannya padamu nanti. Intinya dia adalah pria yang baik baginsudut pandang ibu "

Aku tidak perlu penjelasan apapun, bagiku ibu lah yang terlalu memandang positif sifat ayah sehingga seburuk apapun perbuatannya ibu akan tetap menganggapnya baik. Tapi aku tidak mau mengutarakan pemikiran ini kepadanya. Sekarang aku hanya harus mengangguk tanda jika diri ini mengerti akan ucapannya dan menunggu malam nanti untuk mendengarkan ocehannya tentang ayah.

" Nah, sekarang saatnya bekerja " Ujarnya setelah melahap habis hidangan yang aku buat. " Masakanmu enak sepeti biasanya "

" Terima kasih "

" Oh iya, hari ini sepertinya ibu akan mendapat bonus. Jadi aku akan memberikanmu laptop " Ujarnya.

" Ayo lah bu. Dari pada untuk membeli laptop, lebih baik uang bonus itu ibu gunakan untuk membeli beras. Lagi pula aku tidak membutuhkan benda itu " Ujarku.

" Kana, aku tau kau kesusahan tiap kali mendapat tugas untuk mencari artikel di internet. Apa kau pikir ibu tega membiarkan putri ke sayangannya kesulitan? sementara dirimu terus melayaniku dengan baik? Kita memang tidak kaya, tapi untuk memenuhi kebutuhanmu, aku akan berusaha sebaik mungkin"

" Tapi "

" Mungkin aku hanya bisa memberikanmu laptop bekas. Tapi pergunakanlah benda itu sebaik mungkin, aku berjanji akan membelikannya untukmu sepulang kerja nanti "

" Terima kasih bu "

Sejujurnya hatiku merasa sangat senang, karena pada akhirnya aku tidak perlu lagi menyewa biling di warnet ketika ingin mengerjakan tugas sekolah yang mengharuskanku mencari artikel di internet. Semoga laptop itu tidak membebani nya karena sudah begitu banyak beban yang harus wanita ini tanggung.

" Kalau begitu ibu berangkat dulu " Ujar ibu sambil mulai beranjak dari dapur.

Aku menemaninya keluar rumah, membuka gerbang saat Ibu mulai mengeluarkan motornya dari ruang tamu. Ibu menyalakan motor, memakai helm dan bersiap untuk meluncur ke tempat kerjanya.

" Sampai jumpa lagi "

" Sampai jumpa lagi " Ujarnya sambil menancap gas motor. Wanita itupun pergi meninggalkan rumah.

" Hati-hati di jalan bu "

Di sinilah semua bermula....

Menurutmu, seberapa bermakna kah ucapan " Sampai Jumpa lagi " ? Mungkin bagi sebagian orang kalimat tersebut hanyalah rangkaian kata yang nilainya tidak lebih dari sekedar formalitas. Ucapan yang secara reflek terlontar saat kita mengakhiri kebersamaan, atau sebuah ujaran rutin yang selalu mengiringi perpisahan kita dengan seseorang. Kalimat yang begitu ringan untuk di ucapkan sehingga banyak orang yang tidak menyadari betapa beratnya makna yang terkandung dalam kalimat tersebut, termasuk diriku

Langit begitu indah sore ini, lembayun merah yang biasa mengiringi terlelapnya Sang mentari sedang terlukis dengan begitu sempurna, sehingga sangat layak untuk di nikmati oleh para manusia yang mulai mengakhiri hari. Namun, apa yang aku alami di sore ini tidak lah sesempurna karya Tuhan yang berjudul kan " Rona sore hari " Itu.

Sialnya keindahan itu berbanding terbalik dengan alur takdirku. Salah satu rahasia langit yang bernama maut baru saja mengunjungi ibuku, sosok tak kasat mata itu menjemput ruh miliknya untuk kembali bersama ke langit dan menemui Sang Pencipta.

Ibuku telah tiada..
Pergi begitu jauh hingga upaya apapun yang diri ini lakukan tidak akan mampu lagi meraihnya.
Diubah oleh Rebek22 27-08-2021 18:58
pangerankodo353Avatar border
irwanh44Avatar border
sisininAvatar border
sisinin dan 26 lainnya memberi reputasi
23
14.6K
147
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
Rebek22Avatar border
TS
Rebek22
#6
4. Sarapan Yang Terlalu Pagi...
Kanaria

Pagi masih lah berada di permulaan, mentari belum menampakan raganya di ufuk timur, sehingga gelap masih menjadi nuansa dasar dari warna sang langit. Suara alarm HP yang sangat Cumianan telinga membangunkanku dari tidur. Walaupun terasa agak berat, aku tetap berusaha membuka kedua mata ini, setelah itu meraih HP untuk mematikan alarm yang memang sengaja di atur dengan volume suara tinggi itu.

Mataku tertuju pada jam yang ada di layar HP. Sekarang masih pukul tiga pagi, waktu yang sangat tidak lazim bagi seorang gadis SMA untuk bagun. Bayangkan saja, ayam belum berkokok, bulan pun masih terlihat samar di langit, sementara aku sudah bangun dan memulai aktifitas, mendahuli sang penguasa siang yang mungkin baru bersiap-siap untuk memamerkan wujudnya nanti.

Aku bangkit dari kasur menguncir rambut panjang inj dan segera menuju kamar mandi untuk membasuh muka, berharap rasa kantuk yang masih menggelayuti mata ini bisa sedikit berkurang. Setelah itu aku segera beranjak ke dapur, menyalakan kompor dan mulai memasak sarapan. Tanganku mulai Sibuk bekerja, memasukan bahan demi bahan ke dalam penggoren. Entah mengapa ada sesuatu yang terasa janggal di tengah rutinitas pagiku ini.

Benakku terus memikirkan apa yang sebenarnya membuatku merasa aneh pagi ini sambil terus memasak, hingga sebuah pertanyaan akhirnya muncul dan membuat tanganku seketika berhenti bekerja. " Untuk apa aku memasak sepagi ini? "

Sial, karena telah menjadi rutinitas tubuh ini pun bergerak sendiri sampai-sampai aku melupakan satu hal penting. Orang yang seharusnya menyantap makanan ini, sekarang telah tiada, aku lupa jika kemarin lah kala terakhir aku bisa menghidangkan masakan kepada ibu di pagi hari.

Tiba-tiba air mataku mengalir " Siapa yang akan memakan hidangan ini? Bu, teganya kau membuatku bagun mendahului sang mentari, sementara dirimu tidak akan mungkin lagi menyantap hidanganku lagi "

Padahal aku membuat menu yang agak berbeda pagi ini, semur daging dan kentang yang mungkin bisa menambah semangatmu saat bekerja. kemarin sebelum aku berangkat sekolah, pak RT datang ke rumah dan memberikan kita sekantung daging kambing, dia berkata jika cucunya baru saja aqiqah, daging tersebut telah beliau presto sehingga aku tidak perlu repot lagi mengukus nya.

Aku ingin menjamu dirimu, sebagai ucapan Terima kasih atas hadiah berupa laptop yang kau berikan kepadaku. Hadiah itu telah sampai di tanganku, namun sosok yang seharusnya diri ini jamu justru tidak akan pernah hadir dan duduk lagi di ruangan ini.

" Kana, kau sudah bangun " Suara ayah tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Aku segera menghapus air mata yang semula menggenangi pelupuk mata ini, bagaimanapun aku tidak ingin pria itu tau jika putrinya tengah menangis. Aku tidak boleh menunjukan sisi lemahku kepadanya.

" Aku terbiasa bangun jam segini " Ujarku yang pada akhirnya memutuskan untuk lanjut memasak.

" Kau hebat nak "

" Aku peduli pada ibu, dia selalu berjuang demi diri ini. Maka dari itu entah bagaimanapun caranya aku harus bisa mengurangi bebannya walaupun sedikit. Hanya hal ini yang bisa aku lakukan, Bagun pagi hari menyiapkan segala hal yang dirinya butuhkan saat bekerja agar waktu tidurnya bisa bertambah walaupun hanya satu jam kemudian menjamunya dengan sarapan yang mungkin bisa menambah semangatnya saat bekerja "

" Ibumu pasti sangat bahagia karena memiliki seorang putri yang begitu perhatian kepada dirinya "

" Semua yang aku lakukan tidak akan pernah sebanding dengan apa yang dirinya berikan, namun aku tetap berusaha untuk tidak menjadi beban tambahan baginya. Tidak seperti dirimu yang malah pergi entah kemana setelah mengukir kan luka "

Aku merasa sangat bodoh karena malah kembali mengungkit hal yang seharusnya tidak diri ini bahas. Bagaimanapun Keputusanku untuk memberinya kesempatan kedua sudah bulat, maka dari itu akan sangat tidak etis jika lisan ini malah terus mempermasalahkan kesalahan yang pernah pria itu buat.

Nilai kebaikan seseorang tidak akan pernah bisa di temukan jika melihat menggunakan sudut pandang orang yang membencinya. Oleh karena itu, kebencian ku terhadapnya harus bisa mulai di redam, agar segala hal yang ada hubungannya dengan ayah tidak selalu menjadi kesalahan di mata ini.
" Kau benar Kana " Ujarnya sambil melangkah mendekati lemari es.

Aku yang merasa tidak enak hati pun sedikit melirik ke arahnya, dan mendapati raut wajah pria itu masih saja datar sama seperti kemarin. Dia nampak sama sekali tidak merasa terganggu dengan ucapanku yang pada dasarnya menghinanya habis-habisan, mungkin kah sebenarnya dia marah namun tidak mau menunjukannya kepadaku?

" Kau mau apa? " Tanyaku.

" Apa kau punya kopi? " Jawabnya sambil membuka kulkas.

" Duduk lah, biar aku yang buatkan "

" Aku tidak mau merepotkanmu kana " Ujarnya sambil terus mencari bungkus kopi di dalam kulkas.

" Aku malah akan semakin repot jika kau mengobrak-abrik kulkas seperti itu "

" Ah, maaf " Diapun menghentikan pencariannya.

" Duduk lah " Perintah ku sekali lagi.

Ayah pun menurut dan mulai melangkah menuju meja makanmakan. Sebenarnya aku tidak keberatan jika dirinya membuat kulkas berantakan, karena ibu pun sering melakukannya jika dia mencoba memasak. Aku ingin sedikit melayani ayah karena mulai sekarang dirinya lah yang akan menanggung hidupku, sebagai permulaan aku ingin membuatkannya kopi sambil menjamunya dengan hidangan spesial yang mungkin seharusnya di santap oleh ibu, yaitu semur daging ini.

" Kopi hitam? " Aku menanyakan jenis kopi apa yang ingin dia nikmati.

" Ya, tolong.... "

" Tambahkan banyak gula " Entah mengapa Aku langsung reflek meneruskan ucapannya.

" Iya, tolong " Ujar ayah dengan raut wajah yang terlihat agak terkejut.

Kopi kesukaannya ternyata sama seperti ibu, maka dari itu aku bisa langsung menebak berapa sendok gula yang dia ingin masukan ke dalam kopi hitamnya. Mungkin kah cara minum kopi ibu mengikuti ayah? Sepertinya persepsi tersebut ada benarnya juga, karena bagaimanapun mereka memang pernah bersama dalam kurun waktu yang cukup lama.

" Baik lah " Ujarku sambil mengambil kopi di laci bahan minuman, meraih gelas kecil yang biasa aku gunakan untuk menyuguhi ibu, menuangkan kopi ke dalam gelas kemudian merebus air di atas panci. " Apa kau mau sarapan? "

" Bukan kah masih terlalu pagi untuk sarapan? " Tanya ayah.

" Baik lah kalau begitu, katakan padaku jika kau mau sarapan agar diri ini bisa menghangatkan lauk " Ujarku sambil menuangkan air panas ke dalam gelas yang sudah berisi kopi kemudian membawanya ke pada ayah.

" Terima kasih "

" Boleh aku duduk? " Tanyaku.

" Mengapa kau bertanya? Tentu saja boleh "

" Terima kasih " Aku segera duduk di seberangnya. Sejujurnya aku merasa sangat canggung saat berbicara dengannya, bagaimanapun tujuh tahun bukan lah waktu yang sebentar.

" Kana, bisa kah kau tidak begitu canggung terhadapku " Ayah bisa langsung menyadari apa yang aku rasakan, mungkin gelagatku benar-benar menunjukan hal tersebut. Wajahnya yang selalu terlihat datar benar-benar membuatku semakin canggung.


" Maaf, tujuh tahun sudah kau menghilang entah kemana. Maka wajar aku merasa canggung " Aku mengutarakan apa yang menyebabkan sikapku menjadi seperti ini.

" Jadi begitu " Ujarnya.

" Boleh aku menanyakan sesuatu? "

" Tentu saja "

" Kau tau, aku memang tidak suka berbasa-basi. Maka dari itu, jawab lah pertanyaanku dengan jawaban yang tidak bertele-tele " Ujarku yang malah seperti mengancam dirinya.

" Baik lah. Tapi hal tadi berlaku juga untukmu, ajukan pertanyaan yang tidak di bumbui basa-basi " Aku tidak pernah menyangkan jika ayah juga mengajukan syarat yang sama denganku. Sial, sifatku yang tidak suka basa-basi sepertinya berasal dari nya.

" Katakan kepadaku, kemana saja kau selama ini? " Aku mengikuti aturannya, tidak membumbui basa-basi pada pertanyaan yang di ajukan.

" Aku mencari uang untuk ibumu " Jawabnya pendek.

" Jangan bercanda, bukan kah sudah aku katakan untuk tidak bertele-tele dalam menjawab pertanyaan " Aku sangat kesal ketika mendengar jawabnya, sehingga tangan ini reflek menggebrak meja.

" Aku bicara apa adanya Kana "

" Jika kau memang mencari uang untuk menafkahi ibu, mengapa dia masih harus bekerja keras sebagai supir busway untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Jangan bercanda, jawab lah pertanyaanku dengan benar, kemana saja kau selama ini? "

Sekali lagi aku menggebrak meja dengan sangat keras agar pria bresek itu tau jika diri ini tidak sedang main-main. Namun ayah masih saja terlihat santai, dia malah menyerutup kopinya dengan perlahan.

" Jadi Rika belum menceritakan apapun kepadamu? " Ayah malah balik bertanya kepadaku.

" Menceritakan apa? "

" Kana, apa kau tau dimana ibu meletakan buku tabungan yang dirinya miliki? " Tanya ayah yang malah memabahas hal lain.

" Kau mau apa? Menarik semua uangnya lalu pergi meninggalkanku? "
Aku merasa sangat marah hingga tangan ini merasa sangat gatal dan ingin buru-buru memukulnya, kenapa dia malah menanyakan buku tabungan ibu? Apa memberinya kesempatan kedua merupakan pilihan yang salah? Apa selama ini yang dia incar adalah uang tabungan ibu?

" Kana, aku tau kau sangat membenciku. Ketika kau membenci seseorang maka dari sudut pandang manapun kau akan melihatku sebagai penjahat, maka dari itu aku memohon kepadamu untuk sebentar saja memadamkan api kebencianmu itu, dan mendengarkan penjelasan ku " Ujar ayah yang masih mempertahankan gaya santainya.

Dia benar, aku melupakan pertaruan pertama dalam memberikan kesempatan kedua bagi orang lain, yaitu meredam kebencian agar sudut pandang yang bisa di gunakan memiliki nilai ke rasionalan. Akupun menarik nafas panjang, agar dapat menenangkan hati yang semula bergejolak dengan begitu hebatnya.

" Maaf, sekarang katakan kepadaku mengapa kau ingin melihat buku tabungan ibu? " Tanyaku.

" Aku hanya ingin melihat nominal yang tertera di dalamnya "

" Baik lah, namun ada satu hal yang perlu kau ingat " Ujarku sambil bangkit dari posisi duduk.


Aku melangkah menajuhi meja makan dan mengarahkan langkah kaki ini ke arah rak peralatan dapur, kemudian meraih sebuah pisau dan menunjukannya kepada ayah. Bagaimanapun langsung percaya kepada sosok yang dulu tega memukuli seorang perempuan bukan lah pilihan yang tepat, maka dari itu aku meraih pisau ini untuk berjaga-jaga jika dia macam-macam.

" Baik, aku paham maksudmu " Ayah langsung mengerti maksud dari perbuatan ku. Dia pun ikut bangkit dari duduknya.

" Ikuti aku "

Aku menuntun ayah menuju kamar ibu, matanya terlihat memandangi foto-foto yang tertempel di dinding lorong ketika berjalan. Banyak foto tentang dirinya dan ibu di sana, saat mereka menikah, saat mereka berbulan madu, bahkan saat pertama kali dirinya menggendong ku ketika baru lahir.

Foto-foto itu seolah-olah menggambarkan kami merupakan keluarga yang bahagia, namun pada kenyataanya tidak sama sekali. Siapa yang akan menyangka jika laki-laki yang ada di foto-foto tersebut ternyata merupakan seorang bajingan?

Kami berdua pun tiba di depan kamar ibu, ada getaran tak biasa yang muncul di dalam hatiku. Rasanya baru kemarin aku membuka pintu kamar ini dan membangunkan ibu, tapi sekarang pemiliki ruangan ini justru telah tiada. Salahkah jika aku berharap jika ketika tangan ini membuka pintu kamar, sosok ibu akan nampak dan mengukirkan sebuah senyuman ke arahku?
" Maafkan aku Kana. Aku malah membuatmu langsung menuju kamar ini setelah kematiannya " Ujar ayah yang seolah-olah menyadari isi hatiku ini.

" Tidak apa-apa "

Akupun langsung membuka pintu kamar ibu, dan segera melangkah masuk ke dalamnya. Ruangan ini sudah aku rapihkan kemarin, maka dari itu keadaanya masih tidak jauh berbeda dengan biasanya, hanya saja ruangan ini sekarang menjadi tidak memiliki tuan.

" Masih sama seperti dulu " Gumam ayah. Wajar jika dia berkata demikian, karena bagaimanapun dulunya dia merupakan penghuni kamar ini.

Aku segera membuka lemari pakaian yang ada di sisi kanan ruangan, kemudian mengeluarkan berangkas besi yang biasa ibu gunakan untuk menyimpan barang-barang penting. Aku tau mengenai brangkas ini, sebab ibu selalu berpesan, jika terjadi sesuatu padanya maka aku akan tau di mana barang-barang penting ibu simpan.

Siapa yang menyangka jika hari yang di maksud ibu itu adalah kemarin? Aku segera memasukan rangkaian angka yang menjadi pasword berangkas itu. Ibu merupakan orang yang sangat hati-hati, maka wajar jika sampai buku tabungan dan kartu ATM dirinya masukan kedalam brangkas.


Aku pun meraih buku tabungan ibu, kemudian menyerahkannya kepada ayah. Aku tau nominal yang ada di dalamnya tidak begitu banyak karena pekerjaan ibu tidak menghasilkan uang yang berlimpah. Jika bajingan ini masih mau merampasnya, maka dia sudah tidak layak lagi di sebut manusia.

" Jumlahnya tidak banyak, dia bahkan sering minta maaf kepadaku karena khawatir tidak sanggup menguliahkan dirku " Ujarku sambil memandangi ayah yang sedang membuka buku tabungan ibu.

" Kau sangat memaksakan diri, Ika " Ujarnya sambil mengembalikan buku tersebut kepadaku. " Kana, di dalam brangkas itu masih ada buku tabungan lain. Bisa kah kau mencarikannya untukku? "

" Apa maksudmu? Ibu hanya supir bus way. Gajinya tidak banyak, untuk apa dia memiliki dua tabungan? "

" Percayalah padaku, pasti ada buku tabungan lain di dalam sana "

Aku tidak mau berdebat dengannya, maka dari itu diri ini pun menurutinya dan mulai mencari buku tabungan lain yang ayah maksud. Aku memang tidak pernah membuka brangkas ini sehingga diri ini tidak tau apa saja yang ada di dalamnya, walaupun demikian aku sangat yakin jika di sini hanya ada satu buku tabungan.

" Apakah ada? "
Baru saja aku ingin menjawab pertanyaannya, Tiba-tiba mataku terbelalak karena ternyata memang ada satu buku tabungan lagi di brangkas itu. Akupun meraihnya kemudian segera menyerahkannya kepada ayah. Mengapa ibu punya dua buku tabungan?

" Ika, kau sungguh sangat memaksakan diri " Gumam ayah saat dirinya melihat isi buku tersebut. Dia pun mengembalikan buku tabungan itu kepadaku, karena penasaran diri ini pun langsung membukanya dan mata ini nyaris terbelalak ketika mengetahui nominal yang tertera di dalamnya.

" Enam puluh juta? " Ujarku menyebut jumlah tabungan yang tertera di buku itu.

" Kana, apa kah kau tau jika ibumu itu mengidap sebuah penyakit berbahaya? "

" A.. Apa maksudmu? " Ujarku bingung.

" Dia memiliki penyakit mematikan yang sudah lama menggerogoti tubuhnya "

" Kau bercandakan? "

" Tentu tidak aku sedang bicara seirus. Bukan kah kau yang memintaku untuk tidak bertele-tele dalam menjawab pertanyaanmu?, sepertinya dia tidak pernah menceritakannya kepadamu "

Apakah ucapannya bisa di percaya? Ibu memiliki sebuah penyakit ? Dia bohongkan, mana mungkin ibu sakit, dia selalu terlihat sehat dan bugar. Bagaimana mungkin wanita itu sakit.

" Bercandamu sangat tidak lucu sialan " Ujarku sambil menodongkan pisau ke arahnya.

" Kau tadi bertanyakan kemana saja aku selama ini? Maka ini lah jawabanku, mencari uang untuk bisa menyembuhkanya. Apa buku ini tidak cukup untuk di jadikan bukti "

" Bohong, jangan pikir aku akan percaya padamu. Jika memang ibu sakit, mengapa kau meninggalkannya? Mengapa kau membiarkanya membanting tulang demi menafkahi diriku? "
Diubah oleh Rebek22 17-07-2021 11:40
piripiripuru
pangerankodo353
scorpiolama
scorpiolama dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.