Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

fitrahilhami4Avatar border
TS
fitrahilhami4
UNTUK KAKAKKU, MBAK IPIT!
Aku mengetik tulisan ini dengan rasa pilu yang belum juga mereda. Rasanya seperti mimpi engkau meninggalkan kami dalam usia muda. Tapi kini aku semakin tersadar bahwa ajal tak mengenal usia. Ia datang kepada siapa saja yang sudah ditetapkan waktunya, tak peduli berapapun umurnya.

Mbak, bila ada satu hal yang membuatku sedih dengan kenyataan ini, itu karena aku tidak sempat bertemu denganmu saat dibawa ke rumah sakit. Ahad pagi itu, engkau menelepon di nomor istriku setelah merasakan panas dan sesak nafas selama tiga hari, lantas meminta aku mengantar periksa ke dokter. Tapi saat itu kami sedang perjalanan ke Jogja untuk menjemput Bagus –adik iparku—yang juga sedang sakit dan terkonfirmasi positif Covid-19.

Aku mendapat kabar, setelah itu engkau diantar ke rumah sakit Bhayangkara. Di sana engkau diperiksa dan ditest swab. Hasilnya positif. Kondisi tubuh yang lemah, batuk, panas, sesak nafas, ditambah sedang hamil 8 bulan, membuat engkau harus mendapatkan perawatan intensif khusus covid. Tapi saat itu seluruh kamar inap penuh. Tidak ada satu kamar perawatan pun yang kosong. Petugas medis mencoba menghubungi semua rumah sakit di Indramayu, apakah masih ada kamar kosong? Ternyata tidak ada. Pasien covid membeludak. Sampai RSUD Indramayu harus menyulap ruang lain menjadi kamar isolasi, tapi itu juga tidak bisa menampung banyaknya pasien yang berdatangan.

Petugas rumah sakit menyampaikan, “Sembari kami terus bantu mencari ruang inap yang masih kosong di rumah sakit lain, Ibu Sri Puspita dirawat di rumah dulu, ya. Semoga sesaknya hilang.”

Lalu engkau dibawa kembali pulang.

Tapi semalam itu engkau merasakan demam. A War, suamimu, khawatir. Semalaman itu ia mengipasi dan memijat kakimu agar engkau merasa nyaman. Pagi harinya, A War bergerilya, menelepon kenalannya, apakah ada kamar kosong di rumah sakit untuk satu pasien? A War bahkan harus keliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain untuk memastikan sendiri. Tapi nihil. Semua rumah sakit penuh.

Menjelang sore, engkau terlihat semakin lemah, sesak nafasmu semakin parah. A War memutuskan untuk membawamu ke IGD Puskesmas Desa. Sembari menunggu info kamar kosong di rumah sakit besar, engkau dirawat di Puskesmas. Setidaknya di puskesmas tersedia alat bantu pernafasan. Hari itu kalian menginap di Puskesmas. Dan alhamdulillah, keesokan siangnya A War mendapat kabar ada kamar kosong untuk satu pasien covid di RSUD Indramayu. Bergegas engkau diantar ke sana dan langsung dirawat.

Aku sudah pulang dari Jogja ketika mendengar kabar engkau telah dirawat di ruang isolasi. Keyakinan engkau akan sembuh begitu besar, sebab engkau masih muda dan insyaAllah kuat imunnya.

Namun, dua hari kemudian engkau WA ke istri, “Dek, Mbak Ipit minta doanya, ya. Ini Mbak Ipit masih terasa sesak nafas. Mbak pingin pulang. Tidak betah di sini. Pingin pulang banget.”

“Mbak Ipit yang sabar, ya. Dibetah-betahin di sana sampai sembuh total. Kalau Mbak Ipit pulang sebelum sembuh, khawatir di sini sesaknya kambuh nanti bingung karena gak punya alat bantu.”

Pesan itu tak terbalas lagi.

Istri menjadi murung sejak mendapat WA dari Mbak Ipit. Sedih, pikiran buruk berkecamuk. Karena setiap hari, selama hampir seminggu ini, di TOA masjid selalu ada pengumuman orang meninggal. Bahkan kemarin tetangga sebelah juga meninggal dunia setelah tidak kebagian kamar inap di rumah sakit. Gejalanya sama: sesak nafas.

“Bang, sedekah lagi, yuk. Minta doa khusus buat Mbak Ipit,” ucap istri padaku dengan suara lemah. Aku mengangguk setuju. Kami selalu menggunakan cara seperti ini bila sedang punya permintaan pada Allah.

Esoknya, engkau kembali WA ke istri, “Dek, Mbak pingin pulang. Sesaknya gak selesai-selesai.”

Kami mendapat kabar dari A War yang berada di sana, bahwa kadar oksigen dalam darah Mbak Ipit masih rendah, itu yang membuat rasa sesak masih terasa. Dan petugas medis sedang berusaha untuk menstabilkan kadar oksigen dalam darah Mbak Ipit.

Sabtu, hari ke empat semenjak dibawa ke RSUD Indramayu, engkau kirim pesan lewat WA, bilang pingin minum wedhang jahe. Mimi segera membuatkan wedhang jahe satu tremos ukuran kecil. Lalu aku dan istri mengantarkan wedhang jahe itu ke RSUD Indramayu, menitipkannya pada suster jaga. Di sana, kami bertemu dengan A War dan Bapaknya Mbak Ipit.

Setelah mengobrol sebentar, A War izin ikut pulang bersama aku dan istri naik mobil, karena ia harus membuat soal ujian semester di kampus, hari senin lusa. Bapak memilih tetap tinggal di rumah sakit. Sepanjang perjalanan pulang A War bercerita tentang pengalamannya saat menjaga Mbak Ipit di rumah sakit.

Meski tidak diperbolehkan bertemu dengan pasien, tapi A War dan Bapak memilih ikut tinggal di rumah sakit. Jaga-jaga bila ada sesuatu yang Mbak inginkan, biar bisa segera dibelikan lalu dititipkan ke suster. Sudah empat hari ini mereka di sana. Pagi sampai siang duduk di parkiran, karena selain pasien, tidak boleh berada di area sekitar ruang isolasi covid. Kalau bosan, mereka pindah ke seberang rumah sakit, beli sarapan dan makan siang, di sana banyak orang jualan makanan. Bila malam tiba mereka tidur di luar dengan beralaskan tikar dan berbantal tas. Tak terbayang betapa banyak nyamuk yang berkerubung mengisap kulit mereka dan tak terbayang betapa dingin udara di luar sana saat malam hari, apalagi sudah dua hari ini Indramayu digujur hujan deras. Semua itu dilakukan agar Mbak tidak merasa berjuang sendiri. Semua sedang berjuang untuk kesembuhan Mbak dengan caranya masing-masing.

“Mas Fitrah, saya boleh minta tolong besok sore antarkan saya lagi ke rumah sakit?” tanya A War setelah kami sampai di depan gang rumah. “Sekalian nanti Bapak diminta ikut pulang saja, kasihan khawatir drop staminanya tidur di luar terus. Biar saya sendiri saja yang jaga Mbak Ipit-nya.”

“Siap, A,” jawabku.

Besoknya, Ahad sore, aku mengantar A War ke rumah sakit naik mobil. Karena niatnya hanya mengantar, aku tidak membawa perlengkapan apapun, bahkan hape aku sengaja tinggal di rumah. Toh, sebentar ini, pikirku.

Tapi, siapa yang menduga, ternyata hari itu merupakan hari yang terasa sangat panjang dan begitu menyesakkan bagi kami…

Aku dan A War sampai di RSUD Indramayu, menjelang maghrib. Di perjalanan tadi kami sempat berhenti di apotek untuk membeli madu, susu, air oxygen, untuk Mbak Ipit. Kami bertemu Bapak yang sedang duduk sendiri di parkiran. Setelah sholat maghrib di masjid, lantas menghabiskan bekal yang sudah disiapkan Mimi dari rumah, aku dan Bapak bersiap pulang. Saat itulah, terdengar suara dari suster jaga,

“Keluarga Ibu Sri Puspita …”

A War, aku serta Bapak berdiri hampir bersamaan, lalu berjalan menuju suster jaga.

“Iya, Bu. Saya suaminya Ibu Sri Puspita,” A War mendekat.

“Bapak, ini keadaan Ibu drop lagi. Sesak nafasnya makin berat,” suara suster jaga terdengar bergetar. Aku lihat matanya memerah, seperti orang yang baru saja menangis. “Kita coba untuk transfusi plasma darah, Pak. Jadi sekarang minta tolong segera cari pendonor plasma darah konvalesen. Kami butuh dua orang bergolongan darah B.”

“Golongan darah saya B, Suster.” Aku mengacungkan tangan.

“Saya juga B,” timpal Bapak.

“Sayangnya,” jawab suster. “Tidak sekedar pemilik golongan darah yang sama dengan pasien yang bisa jadi pendonor plasma darah konvalesen, Pak. Tapi ada syarat lain.”

“Apa saja syaratnya, Sus?”

“Pertama, jelas pendonor harus punya golongan darah yang sama dengan pasien, ya. Kedua, pendonor pernah terkonfirmasi positif Covid-19 dan sembuh alias negatif setelah di-PCR. Ketiga, si pendonor memiliki bukti tes semacam sertifikat PCR tersebut. Keempat, saat pendonor sembuh dari sakit, minimal itu terjadi tiga bulan yang lalu, kalau dia sembuh baru dua minggu, dianggap tidak memenuhi syarat. Setelah mendapat pendonornya, segera ke PMI Plered Cirebon untuk discreening, apakah cocok untuk ditransfusi ke Ibu Sri Puspita. Harus cepat ya, Pak. Semoga ini membantu kondisi Ibu.”

Ya Allah. Persyaratan yang rumit. Harus cari di mana orang dengan persyaratan seperti itu? Kami seperti berkejaran dengan waktu. A War menghubungi keluarga dan teman-temannya. Aku meminjam hape Bapak untuk menulis pengumuman di medsos. Sekitar setengah jam itu kami kalut. Entah, tiba-tiba aku merasa suara bergetar dan mata merah suster tadi, merupakan tanda Mbak Ipit sedang tidak baik-baik saja.

Di tengah kekalutan itu, kulihat Bapak terduduk di kursi sambil menunduk. Saat kudekati, beliau berucap lirih, “Sudah dua hari ini bapak melihat empat jenazah dikeluarkan dari ruang isolasi. Saat saya tanya ke keluarganya masing-masing, apa gejala awal pasien? Semuanya bilang sesak nafas.”

Tampak air mata Bapak mulai menetes, “Ipit punya gejala yang sama. Sesak nafas juga. Bapak takut. Ipit anak bapak satu-satunya.”

Aku memegang pundak Bapak setengah memijitnya lembut, “InsyaAllah Mbak Ipit bakal sembuh. Mbak Ipit kuat, masih muda. Bapak jangan khawatir.”

Bapak mengangguk, sembari mengusap air mata dengan punggung tangan. Pada satu titik, laki-laki pun bisa menangis untuk orang yang ia cintai.

Berita baik muncul beberapa waktu kemudian. Amel –adik iparku—mendapat info bahwa temannya bergolongan darah B, pernah terkena covid dan sembuh. Dia mau jadi pendonor. Pukul setengah sembilan malam lelaki muda tersebut datang ke rumah sakit. Setelah berkenalan sebentar, kami menyampaikan hal-hal terkait donor plasma darah. Ia punya bukti PCR saat positif dan negative covid. Namun, tatkala kami bilang proses donor darahnya harus di Cirebon, ia melihat jam tangan lalu berfikir sejenak.

“Mohon maaf, A. Seumpama saya ke Cirebonnya besok gimana? Karena ini sudah malam. Perjalanan pulang pergi kira-kira 3 jam, belum proses donornya, paling tidak total 4 jam. Sedangkan istri saya di rumah sendirian, dia sedang hamil tua. Khawatir kalau malam-malam dia sendirian. Kalau besok pagi atau siang, saya siap. Gimana, A? mohon maaf sekali lagi, ya A.”

Kami tidak bisa bisa memaksa. Karena pendonor darah sifatnya relawan. Ada orang yang sampai mau datang ke rumah sakit itu saja sudah syukur alhamdulillah, artinya dia orang baik dan serius mau menolong. Tapi bila kondisinya seperti ini, maka kitalah yang harus menyesuaikan keadaan pendonor.

Kemudian kami disarankan oleh seorang bapak yang juga sedang menunggui istrinya yang terkena covid, untuk tetap ke PMI Plered, Cirebon. Memastikan apakah ada stok plasma darah yang cocok di sana, atau minimal kita bisa daftar antrian terlebih dahulu. Jadi kalau ada stok plasma darah, A War bisa dihubungi.

A War mengangguk. Segera meminta surat rekomendasi dari pihak rumah sakit serta sample darah dari Mbak Ipit. Setelah semuanya clear, aku dan A War langsung berangkat ke Cirebon.

Di tengah perjalanan, sekitar pukul setengah sepuluh malam, ponsel A War berbunyi. Telepon dari Mbak Ipit.

“Ayah, badan ibu sakit semua. Pingin pulang.” Suara Mbak Ipit terdengar lemah lewat handphone A War yang di-loud speaker.

A War menjawab, “Iya, sabar ya Ibu.”

“Pingin dipijit. Badan sakit semua.”

“Iya, sabar ya.”

“Ayah, ayo sini masuk ke ruangan Ibu.”

“Susternya tidak bolehin, Bu. Kalau Ibu butuh apa-apa bisa minta tolong suster.”

“Ayah saja yang ke sini. Ibu sesak nafas.”

“Ayah tidak boleh masuk, Ibu. Ayah telponkan suster jaga, ya.”

Telepon terputus, A War kemudian telepon suster jaga, menyampaikan kalau istrinya butuh pertolongan.

“Ayah,” berapa menit kemudian Mbak Ipit kembali telepon. “Ibu sesak nafas. Ayah ke sini.”

“Ayah tidak boleh masuk, Bu.” Suara A War mulai bergetar. “Ayah sudah telepon suster jaga. Ibu yang sabar, ya.”

“Ayah mah gak percaya kalau Ibu sakit.”

“Percaya, Ibu. Masa’ Ayah tidak percaya.”

“Ya sudah ayo ke sini. Sebentar saja, Ayah. Abis itu Ayah boleh keluar ruangan lagi.”

“Iya, nanti coba izin suster dulu, ya.” A War mencoba menenangkan Mbak Ipit. “Sekarang Ibu coba sebut Allah Allah Allah, istighfar, Astaghfirullah …”

“Allah, Allah, Allah,” ucap Mbak Ipit lirih.

“Nah, iya, seperti itu Ibu. Terus dzikir Ibu.”

Setelah itu telepon terputus.

Kami sampai di PMI Plered Cirebon satu setengah jam kemudian. Setelah dicek ternyata persediaan plasma darah sedang kosong. Permintaan plasma darah untuk pasien covid-19 memang membeludak akhir-akhir ini.

“Begini saja, Pak,” kata petugas PMI, “kami minta data Bapak. Nanti kalau ada stok plasma darah sesuai darah ibu Sri Puspita, kami akan hubungi Bapak. Tapi mohon maaf, kami tidak bisa menjanjikan kapan ada stok-nya. Karena selain belum ada yang donor, yang antri sebagai penerima juga sangat banyak. Kalau ingin cepat, bapak bisa bawa pendonornya sendiri ke sini. Nanti kita akan screening apakah layak darah si pendonor diambil.”

Kami berdua mengangguk. Lantas balik kanan menuju rumah sakit.

Di perjalanan pulang, kalau tak salah ingat di daerah Arjawinangun, ponsel A War berbunyi, ada telepon. Aku melihat jam yang ada di dashboard mobil, pukul 23.16 WIB. Mbak Ipit belum tidurkah? Pikirku.

A War mengangkat telepon. Kemudian ia terdiam cukup lama mendengarkan lawan bicaranya. Kali ini handphone A War tidak diloudspeaker, jadi aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh si penelepon.

Hingga tiba-tiba A War berucap, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun… Istri saya meninggal, Ibu?”

Jantungku bagai melorot ke perut saat mendengar ucapan A War. Tanganku bergetar memegang setir. Ya Allah, Mbak Ipit.

“A, serius?” nafasku tiba-tiba menderu. A War mengabaikanku, masih fokus dengan teleponnya.



“Ya Allah. Kapan, Ibu?” ucap A War dengan suara parau.



“Jam sebelas? Ya Allah.”



“Ibu, siapa yang dampingi istri saya talqin?”

….

“Ibu sendiri yang talqinkan istri saya?”



“Ya Allah, Ipit. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun… baik, terimakasih Ibu sudah bantu talqinkan istri saya. Terimakasih banyak. Ya Allah,” bahu A war berguncang, ia menangis.



“Iya, Ibu. Ini sedang perjalanan ke rumah sakit. Minta tolong jangan diberi tahu Bapak saya di sana. Bapak sendirian, khawatir syok nanti. Biar saya saja yang ngasih tau bapak.”

….

Mataku seketika panas, pandanganku kabur, aku sengaja mengurangi kecepatan karena jarak pandang semakin pendek, air mataku jatuh tak terbendung. Aku sesenggukan sembari menyetir, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun, Mbak Ipiiit.”

“Mas Fitrah tenang,” A War mengusap-usap punggungku. “Astaghfirullah. Mohon paringi ampunan kangge istri kawula.”

Mbak Ipit, orang baik itu telah tiada di usia muda. Sulit dipercaya, tapi inilah kenyataannya. Ternyata benar, ajal tak pernah memandang usia.

Mbak Ipit, engkau meninggal setelah wabah Covid-19 ini menyerangmu, meninggal bersama sang bayi berusia delapan bulan di dalam rahimmu.

Sedih, kami sedih sekali kehilangan Mbak Ipit. Dan izinkan kami peluk kesedihan ini sebentar lagi sebagai bukti bahwa kami semua menyayangi Mbak Ipit.

Lalu biarlah waktu yang akan menyembuhkan perih hati ini serta menyempurnakan pemahaman kita, bahwa setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian dan setiap pertemuan pasti ada perpisahan.

Mbak, sakitmu ini semoga menjadi penggugur dosa. InsyaAllah engkau tergolong sebagai orang yang mati syahid.

****

Indramayu, 22 Juni 2021

Fitrah Ilhami

-

Fitrah sudah menulis 13 lebih  buku keluarga yang dikemas dengan bahasa ringan, humor namun insya Allah penuh pelajaran berharga.

Buat teman yang mau membaca bisa cari ke Play Store

Caranya:

- Masuk play store

- Klik menu buku/book

- Ketik kata FITRAH ILHAMI di kolom pencarian, nanti akan muncul semua judul buku karya Fitrah Ilhami yang tersedia di sana.

Bila tak menemukan, bisa langsung minta linknya ke WA Admin: 088218909378




saidaldiansyah
anton2019827
mr..dr
mr..dr dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.1K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Tampilkan semua post
delia.adelAvatar border
delia.adel
#4
Jadi keingetan nyonyaaaa emoticon-Mewek
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.