- Beranda
- Stories from the Heart
PEMBANTU RASA ISTRI
...
TS
aniedatannisha
PEMBANTU RASA ISTRI
JANDA SUKSES DARI BOJONG KENCES
Suasana kampung Bojong Kences mendadak ramai dan heboh, hal itu dipicu dengan tersiarnya kabar bahwa salah satu warganya yang telah sukses bekerja di kota akan datang. Tampak Somad dan sang istri sudah duduk manis di teras, menanti putrinya yang akan datang sebentar lagi.
Sudah lima tahun anak sulung dari pasangan suami istri paruh baya itu mengadu nasibnya di kota sebagai seorang pembantu rumah tangga. Dia adalah Rohaeti, janda Bojong Kences yang sukses. Perceraian yang terjadi enam tahun lalu membuatnya nekat untuk berangkat ke kota metropolitan. Dan hari ini, Rohaeti kembali untuk menengok kedua orang tua dan juga untuk melepaskan rasa rindu kepada adik-adik serta sanak saudaranya di tanah kelahirannya.
Tidak heran, semua orang rela meninggalkan segala aktifitas serta pekerjaannya untuk sementara waktu, demi dapat bertemu dengan sosok yang digadang-gadang telah meraih kesuksesan tersebut. Mereka tahu sejarah perjuangan Rohaeti seperti apa, rumahnya saja yang semula hanya sebuah gubuk, kini telah berubah menjadi rumah permanen yang kokoh, walaupun tidak mewah, tapi sangat layak dan bersih.
Diantara kerumunan warga kampung yang berdesak-desakan, tampak seorang gadis berpakaian lusuh dan dekil, dengan susah payah ia menggerakan kakinya menuju barisan paling depan. Setelah berjuang selama setengah jam lamanya, akhirnya gadis berusia tiga belas tahun tersebut berhasil menjadi yang terdepan.
Tak peduli peluh membanjiri tubuh, wajah anak gadis berusia tanggung itu berseri karena ia sebentar lagi bisa melihat dari dekat sosok orang sukses yang sedang dinanti oleh seluruh masyarakat kampung Bojong Kences.
"Minggir ... Minggir! Mobil yang ditumpangi Neng Roroh mau lewat," teriak seorang pria gemuk berseragam hansip.
"Tin ... Tin!" suara klakson mobil Avanza hitam memecah kerumunan warga yang saling berebut ingin melihat sang idola kampungnya lewat.
Kaca mobil perlahan dibuka oleh wanita yang berdandan heboh, ia menebarkan pesona kepada seluruh warga yang berkumpul di depan tempat tinggalnya.
Tangan kanannya melambai-lambai keluar, memamerkan sederetan gelang keroncong yang berbunyi saat digerakkan.
"Neng Roroh, eduuuuunnn keren pisan!"
"Gustiiii, itu si Roroh kenapa jadi kaya artis gitu ya? Cantik, bening dan hebat euy!"
Suasana menjadi riuh. Tepuk tangan pun terdengar meriah membuat keadaan menjadi semakin panas. Begitu pula dengan anak kumel tadi. Ia tak henti berteriak memanngil Rohaeti. Namun apa daya, tubuhnya yang mungil dan kurus itu semakin lama semakin tersingkir. Orang-orang dewasa di sekelilingnya berdesakan ingin maju ke depan.
Rohaeti yang berbalut dress sepaha motif macan tutul bak artis dangdut itu, turun dari mobil yang ditumpanginya. Senyum mengembang memamerkan deretan gigi yang berselimut kawat pembatas warna-warni bertegangan tinggi. Bibirnya yang tebal dipoles gincu berwarna merah cabe-cabean, terlihat seperti vampire yang habis minum darah.
Sambil terus tersenyum menggoda, janda montok itu membuka kaca mata hitam berbentuk segi lima. Kelopak matanya menyilaukan karena dibubuhi blao, eh ... Eyeshadow biru maksudnya, hehe, dengan tambahan bulu mata anti tsunami yang melambai manjah membuat tampilan matanya semakin wah dan glamour.
Tidak sampai disitu, kedua pipinya yang disapu blush on merah keunguan nampak seperti pencuri ayam yang babak belur habis dihajar warga. Bukan Rohaeti namanya jika tidak PD. Kepercayaan diri yang tinggi, membuat wanita itu masih betah menjadi janda. Ia tak segan menyapa dengan gayanya yang genit, bak artis ibu kota.
Setelah puas beramah tamah, ia pun berjalan melenggak-lenggok bak pragawati menghampiri kedua orang tuanya. Dengan sopan, ia mencium tangan pria dan wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya.
"Emak, Abah, bagaimana kabarnya?" tanya Rohaeti menatap kearah ayah dan ibunya.
"Alhamdulillah Roroh, Emak jeung Abah sehat, kamu sendiri bagaimana?" jawab sang ibu sambil memeluk putri sulungnya.
"Alhamdulillah, Mak, Bah, seperti yang kalian lihat. Roroh sehat wal'afiat."
"Syukurlah, Roh. Abah bahagia melihat kamu sekarang."
"Semua berkat doa Emak dan Abah."
Ketiganya mengulas senyum bahagia, lalu sang ayah pun berpamitan untuk masuk kepada seluruh warga kampung yang masih berkumpul di halaman rumahnya.
"Bentar, Bah! Roroh mau bicara sebentar sama warga."
Rohaeti pun kembali menyapa para warga yang masih dengan setia stay tuned berdiri demi dapat melihatnya lebih lama, walau terik matahari menyengat tidak mereka pedulikan. Dengan sengaja ia menggeliat nakal, tiga kalung emas yang dipakainya mengayun ke kiri dan kanan mengikuti liukan tubuhnya.
"Assalamualaikum para warga tercintah, Roroh ucapin banyak terimaksih atas penyambutannya yang sangat meriah ini. Roroh sangat terharu dan bangga atas apa yang telah kalian lakukan ini, tapi beribu maaf Roroh ucapin ya para warga semuah, sekarang Roroh mau pamit istirahat karena habis perjalanan jauh."
"Huuuuu ...." Warga kecewa.
"Tenang, para warga semuah. Roroh dua minggu berada di kampung ini, ingsa Alloh nanti Roroh akan adain OPEN HOUSE alias jumpa penggemar dengan kalian semua, nanti akan ada orgen tunggal dan makan-makan, pokoknya mah keren pisan."
Wajah warga Bojong Kences seketika berubah bahagia. Mereka bersorak kegirangan, tepuk tangan pun kembali memeriahkan suasana.
"Ya udah atuh yah, Rorohnya mau istirahat dulu. Sok kalian pulang aja yah, yang mau ke sawah sok ke sawah, yang mau lanjut ke kebun sok dilanjut deui, dan emak-emak yang mau ke pasar dan mau masak sok mangga."
Tanpa dikomando, para warga pun bubar, mereka kembali melanjutkan rutinitasnya. Kebanyakan diantara mereka membicarakan sejarah masa lalu Rohaeti saat diselingkuhi oleh suaminya, Ajat.
Ajat berselingkuh dengan seorang janda beranak satu bernama Tinah, yang ditinggal mati oleh suaminya akibat penyakit panu menahun yang dideritanya. Pria yang sehari-hari berjualan sayur di pasar itu nekat bunuh diri dengan menenggak kopi yang telah dicampur dengan racun tikus.
Hal itu dilakukannya lantaran putus asa karena penyakit panunya tersebut tidak kunjung sembuh, sang istri pun menjadi acuh tak acuh terhadapnya, melalaikan segala kewajibannya.
Namun menurut desas-desus yang beredar, Ujang, suami Tinah itu meninggal bukan karena bunuh diri. Melainkan diracun oleh istrinya sendiri, lantaran wanita bertubuh montok itu sudah ingin terbebas dari kekangan sang suami yang dianggapnya sudah tidak beguna lagi.
Cerita mana yang benar, entahlah! Hanya Allah dan Tinah yang tahu.
"Meni keren pisan ya sekarang si Roroh," puji Parman, teman masa kecil Rohaeti.
"Bukan keren lagi, Man! Tapi eduuuunn, udah kaya artis ya penampilannya. Emasnya aja banyak, kamu lihat nggak tadi kalungnya meni ada tiga, dari yang terpendek sampai yang terpanjang," timpal agus, tidak mau kalah memuji.
"Iya Gus, Man, badannya saja sekarang ngisi, montok eplok cendol," tambah Oded sembari meliuk-liukan kedua tangannya, menggambarkan body Rohaeti yang aduhai.
"Si Ajat kalau tadi ada dan lihat mantan istrinya sukses begitu, pasti nyesel da dulu pernah selingkuh sama si Tinah yang bawelnya minta ampun, galak dan mata duitan, ih amit-amit aing mah da punya istri kaya gitu, haha!" seloroh Maman, diikuti oleh suara gelak tawa dari ketiga temannya.
Keempat pria berusia tiga puluhan itu merupakan tetangga sekaligus masa kecil Rohaeti, mereka adalah para PEJABAT (pengangguran Jawa Barat) yang pintar dalam hal memproduksi anak, tanpa memikirkan biaya hidup serta biaya pendidikannya. Untuk biaya hidup dan makan sehari-hari, mereka masih bergantung kepada orang tua juga mertuanya masing-masing.
Maka tidak heran, saat melihat kawannya sukses mengadu nasib di kota, mereka pun berkeinginan agar para istrinya mau mengambil jalan seperti Rohaeti, mereka tidak keberatan jika nantinya harus menjadi seorang "Bapak Rumah Tangga".
Tidak hanya mereka berempat yang berkeinginan bernasib sama dengan Rohaeti, seorang anak gadis berusia tanggung yang tadi ikut berdesak-desakan bersama para warga lainnya pun memiliki keinginan yang kuat untuk mengadu nasibnya di kota.
Perdebatan terdengar di sebuah gubuk reot yang terletak di ujung kampung, dimana anak tadi merengek-rengek agar diizinkan pergi ke kota.
"Mae, umur kamu itu masih tiga belas tahun. Kamu mau kerja apa nanti di kota?" tanya sang Ibu.
"Mae sudah mau empat belas tahu, lagi pula Mae udah bisa jadi pembantu kaya Teh Roroh, Mak. Mae kan sudah pintar masak, beberesih rumah dan urus adik-adik," kilah Mae meyakinkan kedua orang tuanya.
Ya, semenjak dirinya menjadi "pengangguran" akibat sudah tidak bersekolah lagi, ia lah yang mengerjakan segala pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengurus keempat adiknya. Sementara sang ibu, bekerja sebagai buruh cuci-setrika keliling.
"Tapi Mae, Apa berat izinkan kamu ke kota. Apa suka dengar cerita dari orang-orang di sawah yang punya tipi, katanya banyak tindak kejahatan terhadap anak kecil. Apa ngeri pisan, Mae."
"Apa, masalah musibah mah itu rahasia Allah, takdir Allah. Insya Allah, Mae nanti bisa jaga diri, kan Mae juga mau kerja kalau Teh Roroh yang carikan. Siapa tahu majikannya butuh pembantu lagi, atau mungkin saudara majikannya, atau mungkin tetangga dari majikannya itu yang lagi butuh pembantu."
"Tapi, Mae...."
"Mak, Pa, sok pikir ya sama Emak dan Apa! Mau sampai kapan kita kaya begini? Hidup miskin, dipandang remeh orang lain, kadang keberadaan kita mah nggak pernah dianggap atuh da. Capek Mae hidup kaya gini terus, Mae kasihan sama Ratih, Ridwan, Rahman dan Rahim yang selalu menangis akibat lapar dan pengen jajan kaya teman-temannya."
Dahlan menunduk lesu, ucapan putrinya barusan manjadi sebuah tamparan yang sangat telak baginya. Hatinya teriris, sebagai seorang kepala rumah tangga ia tidak dapat memberikan kebahagiaan serta kecukupan kepada anak dan istrinya.
"Maafin Apa ya, Mae! Harusnya mah Apa yang kerja, tapi Apa bingung mau kerja apa, SD aja nggak tamat da Apa dulu harus ngangon kambing punya tetangga kalau mau makan, Nenek kamu sudah sakit-sakitan, anaknya yang masih hidup Cuma Apa. Kakak Apa ada lima tapi meninggal semua karena kena gizi buruk, akhirmya Apa hanya bisa menggarap sawah orang. Itu pun hasilnya nggak menentu."
"Apa jangan ngomong kaya gitu, Mae bahagia dan bangga menjadi anak Apa. Karena Apa adalah ayah yang terbaik, selalu mengajarkan kami agar tetap bersyukur walaupun dalam keadaan yang tersulit sekalipun. Untuk itu, Apa tolong izinkan Mae ke kota ya! Teh Roroh pasti akan mencarikan majikan yang baik untuk Mae."
Dahlan diam, pikirannya bercabang kemana-mana. Melihat hal itu, Mae tidak tinggal diam. Dengan suara agak lantang ia pun kembali bertanya.
"Gimana Apa? Kok ngelamun, boleh kan Mae ke kota?"
Ayah lima orang anak itu menarik napas panjang, batinnya berkecamuk hebat. Sejenak, ia menatap nanar wajah putrinya.
"Nanti malam Apa mau ke rumah Roroh ya, Mae. Kalau dia bisa mencarikanmu pekerjaan yang baik, ingsa Alloh Apa ngizinin Mae berangkat."
"Ide yang bagus itu, Pa. Emak oge setuju pisan, mudah-mudahan aja Gusti Alloh meridhoi langkah anak kita untuk kerja di Jakarta."
"Amiin," ucap ketiganya bersamaan.
Suasana kampung Bojong Kences mendadak ramai dan heboh, hal itu dipicu dengan tersiarnya kabar bahwa salah satu warganya yang telah sukses bekerja di kota akan datang. Tampak Somad dan sang istri sudah duduk manis di teras, menanti putrinya yang akan datang sebentar lagi.
Sudah lima tahun anak sulung dari pasangan suami istri paruh baya itu mengadu nasibnya di kota sebagai seorang pembantu rumah tangga. Dia adalah Rohaeti, janda Bojong Kences yang sukses. Perceraian yang terjadi enam tahun lalu membuatnya nekat untuk berangkat ke kota metropolitan. Dan hari ini, Rohaeti kembali untuk menengok kedua orang tua dan juga untuk melepaskan rasa rindu kepada adik-adik serta sanak saudaranya di tanah kelahirannya.
Tidak heran, semua orang rela meninggalkan segala aktifitas serta pekerjaannya untuk sementara waktu, demi dapat bertemu dengan sosok yang digadang-gadang telah meraih kesuksesan tersebut. Mereka tahu sejarah perjuangan Rohaeti seperti apa, rumahnya saja yang semula hanya sebuah gubuk, kini telah berubah menjadi rumah permanen yang kokoh, walaupun tidak mewah, tapi sangat layak dan bersih.
Diantara kerumunan warga kampung yang berdesak-desakan, tampak seorang gadis berpakaian lusuh dan dekil, dengan susah payah ia menggerakan kakinya menuju barisan paling depan. Setelah berjuang selama setengah jam lamanya, akhirnya gadis berusia tiga belas tahun tersebut berhasil menjadi yang terdepan.
Tak peduli peluh membanjiri tubuh, wajah anak gadis berusia tanggung itu berseri karena ia sebentar lagi bisa melihat dari dekat sosok orang sukses yang sedang dinanti oleh seluruh masyarakat kampung Bojong Kences.
"Minggir ... Minggir! Mobil yang ditumpangi Neng Roroh mau lewat," teriak seorang pria gemuk berseragam hansip.
"Tin ... Tin!" suara klakson mobil Avanza hitam memecah kerumunan warga yang saling berebut ingin melihat sang idola kampungnya lewat.
Kaca mobil perlahan dibuka oleh wanita yang berdandan heboh, ia menebarkan pesona kepada seluruh warga yang berkumpul di depan tempat tinggalnya.
Tangan kanannya melambai-lambai keluar, memamerkan sederetan gelang keroncong yang berbunyi saat digerakkan.
"Neng Roroh, eduuuuunnn keren pisan!"
"Gustiiii, itu si Roroh kenapa jadi kaya artis gitu ya? Cantik, bening dan hebat euy!"
Suasana menjadi riuh. Tepuk tangan pun terdengar meriah membuat keadaan menjadi semakin panas. Begitu pula dengan anak kumel tadi. Ia tak henti berteriak memanngil Rohaeti. Namun apa daya, tubuhnya yang mungil dan kurus itu semakin lama semakin tersingkir. Orang-orang dewasa di sekelilingnya berdesakan ingin maju ke depan.
Rohaeti yang berbalut dress sepaha motif macan tutul bak artis dangdut itu, turun dari mobil yang ditumpanginya. Senyum mengembang memamerkan deretan gigi yang berselimut kawat pembatas warna-warni bertegangan tinggi. Bibirnya yang tebal dipoles gincu berwarna merah cabe-cabean, terlihat seperti vampire yang habis minum darah.
Sambil terus tersenyum menggoda, janda montok itu membuka kaca mata hitam berbentuk segi lima. Kelopak matanya menyilaukan karena dibubuhi blao, eh ... Eyeshadow biru maksudnya, hehe, dengan tambahan bulu mata anti tsunami yang melambai manjah membuat tampilan matanya semakin wah dan glamour.
Tidak sampai disitu, kedua pipinya yang disapu blush on merah keunguan nampak seperti pencuri ayam yang babak belur habis dihajar warga. Bukan Rohaeti namanya jika tidak PD. Kepercayaan diri yang tinggi, membuat wanita itu masih betah menjadi janda. Ia tak segan menyapa dengan gayanya yang genit, bak artis ibu kota.
Setelah puas beramah tamah, ia pun berjalan melenggak-lenggok bak pragawati menghampiri kedua orang tuanya. Dengan sopan, ia mencium tangan pria dan wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya.
"Emak, Abah, bagaimana kabarnya?" tanya Rohaeti menatap kearah ayah dan ibunya.
"Alhamdulillah Roroh, Emak jeung Abah sehat, kamu sendiri bagaimana?" jawab sang ibu sambil memeluk putri sulungnya.
"Alhamdulillah, Mak, Bah, seperti yang kalian lihat. Roroh sehat wal'afiat."
"Syukurlah, Roh. Abah bahagia melihat kamu sekarang."
"Semua berkat doa Emak dan Abah."
Ketiganya mengulas senyum bahagia, lalu sang ayah pun berpamitan untuk masuk kepada seluruh warga kampung yang masih berkumpul di halaman rumahnya.
"Bentar, Bah! Roroh mau bicara sebentar sama warga."
Rohaeti pun kembali menyapa para warga yang masih dengan setia stay tuned berdiri demi dapat melihatnya lebih lama, walau terik matahari menyengat tidak mereka pedulikan. Dengan sengaja ia menggeliat nakal, tiga kalung emas yang dipakainya mengayun ke kiri dan kanan mengikuti liukan tubuhnya.
"Assalamualaikum para warga tercintah, Roroh ucapin banyak terimaksih atas penyambutannya yang sangat meriah ini. Roroh sangat terharu dan bangga atas apa yang telah kalian lakukan ini, tapi beribu maaf Roroh ucapin ya para warga semuah, sekarang Roroh mau pamit istirahat karena habis perjalanan jauh."
"Huuuuu ...." Warga kecewa.
"Tenang, para warga semuah. Roroh dua minggu berada di kampung ini, ingsa Alloh nanti Roroh akan adain OPEN HOUSE alias jumpa penggemar dengan kalian semua, nanti akan ada orgen tunggal dan makan-makan, pokoknya mah keren pisan."
Wajah warga Bojong Kences seketika berubah bahagia. Mereka bersorak kegirangan, tepuk tangan pun kembali memeriahkan suasana.
"Ya udah atuh yah, Rorohnya mau istirahat dulu. Sok kalian pulang aja yah, yang mau ke sawah sok ke sawah, yang mau lanjut ke kebun sok dilanjut deui, dan emak-emak yang mau ke pasar dan mau masak sok mangga."
Tanpa dikomando, para warga pun bubar, mereka kembali melanjutkan rutinitasnya. Kebanyakan diantara mereka membicarakan sejarah masa lalu Rohaeti saat diselingkuhi oleh suaminya, Ajat.
Ajat berselingkuh dengan seorang janda beranak satu bernama Tinah, yang ditinggal mati oleh suaminya akibat penyakit panu menahun yang dideritanya. Pria yang sehari-hari berjualan sayur di pasar itu nekat bunuh diri dengan menenggak kopi yang telah dicampur dengan racun tikus.
Hal itu dilakukannya lantaran putus asa karena penyakit panunya tersebut tidak kunjung sembuh, sang istri pun menjadi acuh tak acuh terhadapnya, melalaikan segala kewajibannya.
Namun menurut desas-desus yang beredar, Ujang, suami Tinah itu meninggal bukan karena bunuh diri. Melainkan diracun oleh istrinya sendiri, lantaran wanita bertubuh montok itu sudah ingin terbebas dari kekangan sang suami yang dianggapnya sudah tidak beguna lagi.
Cerita mana yang benar, entahlah! Hanya Allah dan Tinah yang tahu.
"Meni keren pisan ya sekarang si Roroh," puji Parman, teman masa kecil Rohaeti.
"Bukan keren lagi, Man! Tapi eduuuunn, udah kaya artis ya penampilannya. Emasnya aja banyak, kamu lihat nggak tadi kalungnya meni ada tiga, dari yang terpendek sampai yang terpanjang," timpal agus, tidak mau kalah memuji.
"Iya Gus, Man, badannya saja sekarang ngisi, montok eplok cendol," tambah Oded sembari meliuk-liukan kedua tangannya, menggambarkan body Rohaeti yang aduhai.
"Si Ajat kalau tadi ada dan lihat mantan istrinya sukses begitu, pasti nyesel da dulu pernah selingkuh sama si Tinah yang bawelnya minta ampun, galak dan mata duitan, ih amit-amit aing mah da punya istri kaya gitu, haha!" seloroh Maman, diikuti oleh suara gelak tawa dari ketiga temannya.
Keempat pria berusia tiga puluhan itu merupakan tetangga sekaligus masa kecil Rohaeti, mereka adalah para PEJABAT (pengangguran Jawa Barat) yang pintar dalam hal memproduksi anak, tanpa memikirkan biaya hidup serta biaya pendidikannya. Untuk biaya hidup dan makan sehari-hari, mereka masih bergantung kepada orang tua juga mertuanya masing-masing.
Maka tidak heran, saat melihat kawannya sukses mengadu nasib di kota, mereka pun berkeinginan agar para istrinya mau mengambil jalan seperti Rohaeti, mereka tidak keberatan jika nantinya harus menjadi seorang "Bapak Rumah Tangga".
Tidak hanya mereka berempat yang berkeinginan bernasib sama dengan Rohaeti, seorang anak gadis berusia tanggung yang tadi ikut berdesak-desakan bersama para warga lainnya pun memiliki keinginan yang kuat untuk mengadu nasibnya di kota.
Perdebatan terdengar di sebuah gubuk reot yang terletak di ujung kampung, dimana anak tadi merengek-rengek agar diizinkan pergi ke kota.
"Mae, umur kamu itu masih tiga belas tahun. Kamu mau kerja apa nanti di kota?" tanya sang Ibu.
"Mae sudah mau empat belas tahu, lagi pula Mae udah bisa jadi pembantu kaya Teh Roroh, Mak. Mae kan sudah pintar masak, beberesih rumah dan urus adik-adik," kilah Mae meyakinkan kedua orang tuanya.
Ya, semenjak dirinya menjadi "pengangguran" akibat sudah tidak bersekolah lagi, ia lah yang mengerjakan segala pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengurus keempat adiknya. Sementara sang ibu, bekerja sebagai buruh cuci-setrika keliling.
"Tapi Mae, Apa berat izinkan kamu ke kota. Apa suka dengar cerita dari orang-orang di sawah yang punya tipi, katanya banyak tindak kejahatan terhadap anak kecil. Apa ngeri pisan, Mae."
"Apa, masalah musibah mah itu rahasia Allah, takdir Allah. Insya Allah, Mae nanti bisa jaga diri, kan Mae juga mau kerja kalau Teh Roroh yang carikan. Siapa tahu majikannya butuh pembantu lagi, atau mungkin saudara majikannya, atau mungkin tetangga dari majikannya itu yang lagi butuh pembantu."
"Tapi, Mae...."
"Mak, Pa, sok pikir ya sama Emak dan Apa! Mau sampai kapan kita kaya begini? Hidup miskin, dipandang remeh orang lain, kadang keberadaan kita mah nggak pernah dianggap atuh da. Capek Mae hidup kaya gini terus, Mae kasihan sama Ratih, Ridwan, Rahman dan Rahim yang selalu menangis akibat lapar dan pengen jajan kaya teman-temannya."
Dahlan menunduk lesu, ucapan putrinya barusan manjadi sebuah tamparan yang sangat telak baginya. Hatinya teriris, sebagai seorang kepala rumah tangga ia tidak dapat memberikan kebahagiaan serta kecukupan kepada anak dan istrinya.
"Maafin Apa ya, Mae! Harusnya mah Apa yang kerja, tapi Apa bingung mau kerja apa, SD aja nggak tamat da Apa dulu harus ngangon kambing punya tetangga kalau mau makan, Nenek kamu sudah sakit-sakitan, anaknya yang masih hidup Cuma Apa. Kakak Apa ada lima tapi meninggal semua karena kena gizi buruk, akhirmya Apa hanya bisa menggarap sawah orang. Itu pun hasilnya nggak menentu."
"Apa jangan ngomong kaya gitu, Mae bahagia dan bangga menjadi anak Apa. Karena Apa adalah ayah yang terbaik, selalu mengajarkan kami agar tetap bersyukur walaupun dalam keadaan yang tersulit sekalipun. Untuk itu, Apa tolong izinkan Mae ke kota ya! Teh Roroh pasti akan mencarikan majikan yang baik untuk Mae."
Dahlan diam, pikirannya bercabang kemana-mana. Melihat hal itu, Mae tidak tinggal diam. Dengan suara agak lantang ia pun kembali bertanya.
"Gimana Apa? Kok ngelamun, boleh kan Mae ke kota?"
Ayah lima orang anak itu menarik napas panjang, batinnya berkecamuk hebat. Sejenak, ia menatap nanar wajah putrinya.
"Nanti malam Apa mau ke rumah Roroh ya, Mae. Kalau dia bisa mencarikanmu pekerjaan yang baik, ingsa Alloh Apa ngizinin Mae berangkat."
"Ide yang bagus itu, Pa. Emak oge setuju pisan, mudah-mudahan aja Gusti Alloh meridhoi langkah anak kita untuk kerja di Jakarta."
"Amiin," ucap ketiganya bersamaan.
Araka dan 62 lainnya memberi reputasi
59
39.4K
162
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
aniedatannisha
#13
BAB 14
Keberadaan Mae, membuat Al menjadi ‘gerah’. Bagaimana tidak, ia merasa enek dan jengkel setiap kali ibunya memanjakan gadis yang notabene hanyalah seorang assisten pribadi itu.
Ditambah saat Mae sudah mulai bersekolah, Al semakin kebakaran jenggot. Setiap kali ia ada mata kuliah pagi di kampusnya, dengan sengaja sang ibu selalu memaksanya untuk mengantar Mae, karena arah yang dilewati oleh mereka berdua sama.
Setiap hari selalu saja ada perselisihan diantara keduanya, sikap Al yang selalu kasar tidak pernah diambil pusing oleh Mae.
Gadis yang kini duduk di bangku kelas 1 SMP itu, selalu santai dalam menghadapi anak majikannya yang galak dan super judes itu.
Hal itu yang membuat Al menjadi tidak betah di rumah, kini ia lebih sering menginap secara bergantian di rumah kedua kakaknya, yaitu Robert dan Daniel. Keadaan tersebut, menjadikan posisi Al tersudut. Kedua kakaknya selalu saja menasihati dan menceramahi adik bungsu mereka.
“Kasihan mommy, Al. siapa yang temani Mommy kalau kamu selalu menginap di sini?” ujar Daniel, suatu malam saat Al datang dengan membawa tas ransel berisi pakaian dan buku-buku.
“Mommy lebih bahagia ditemani anak kampung itu, dibandingkan aku yang anak kandungnya. Aku jadi malas dan jengah tinggal di rumah.”
“Jangan sebut si Mae itu anak kampung, dia itu banyak berjasa dalam menjaga Mommy.”
“Jelaslah dia berjasa, kan dia digaji, disekolahkan, diperlakukan sudah seperti anak bungsunya. Anak bungsu itu aku, Kak. Bukan si anak kampung sialan itu.”
“Ckck! Al-Al, sudah kuliah tapi mengapa pola pikir dan sikapmu seperti anak kecil.”
“Kakak juga sudah terpengaruh sihirnya si anak kampung itu.”
“Jaga bicaramu, Al! Si Mae anak yang taat beribadah, dia muslim yang baik. Kak Robert saja yang muallaf bilang sama aku, kalau ilmu mengajinya dia lebih hebat dari Kak Robert.”
“Halah, begitulah kalau orang terkena permainan magic, tersihir! Ditutup mata hatinya.”
“Ah sudahlah, capek aku bicara sama kamu. Terserah kamu sajalah mau bagaimana. Aku tidak mau ambil pusing lagi.”
Mendengar sang Kakak berbicara tidak baik seperti itu, Al mendengus kesal dan berlalu ke dalam kamar tamu yang kini menjadi kamarnya setiap kali ia menginap di rumah itu. Daniel menggeleng kepala, heran melihat tingkah adiknya yang pemarah.
Perdebatan Al dengan kedua kakaknya, ditambah dengan suasana rumah yang dirasa tidak nyaman, hal itu membuat pemuda berperawakan jangkung itu memutuskan untuk pindah kuliah ke luar kota, tepatnya di kota Yogyakarta.
Karena apabila ia tidak pindah kuliah, maka sang ibu tidak mengizinkannya untuk tinggal di rumah kost. Madam Lisa, tidak dapat mencegah kemauan putranya. Ia tidak ingin penyakit vertigonya kambuh, hanya gara-gara kelakuan putra bungsunya yang selalu seenaknya.
Pagi itu, Al berpamitan kepada sang ibu untuk berangkat ke Yogya. Tidak ada tangis mengiringi kepergian putra bungsunya, hal itu terjadi karena dirinya sudah terbiasa. Al selalu pergi ke luar kota selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan lamanya.
Madam Lisa mengantar kepergian Al, sampai di halaman rumahnya. Ketika mobil yang dikendarai oleh Al menghilang dari pandangan, ia mengajak Mae untuk masuk ke dalam.
Mae yang merasa bersalah atas kepergian Al, segera meminta maaf kepada sang majikannya yang terlihat murung.
“Untuk apa kamu minta maaf?”
“Gara-gara saya, Tuan Al pergi.”
“Aku tidak masalah kalau dia pergi, karena ada atau tidak ada dia, aku selalu kesepian dan sendirian.”
“….”
“Aku justru akan sedih, kalau kamu yang pergi. Karena kalau tidak ada kamu, pastinya hari-hari yang aku lewati akan berubah kembali menjadi kelabu.”
“Jangan bicara seperti itu, Madam. Saya jadi sedih.”
“Aku serius, Mae. Kamu tahu? Jika dulu, sebelum kamu ada, aku selalu meminta kepada Tuhan agar Tuhan segera mencabut nyawaku, aku ingin berkumpul di surga bersama Papinya anak-anak. Aku tidak suka dengan masa tuaku yang sepi. Anak-anak tidak lagi peduli, apalagi saat mereka telah memiliki istri.”
“Sekarang, apa Madam masih suka berdoa seperti itu?”
“Tidak lagi, sekarang aku selalu berdoa pada Tuhan Yesus, agar aku dipanjangkan umur, diberi kesehatan dan diberi kelancaran dalam bisnis yang dikelola oleh kedua putraku. Kamu tahu kenapa?”
Mae menggeleng.
“Aku meminta seperti itu kepada Tuhan, karena kamu.”
“Saya?”
“Iya, kamu. Aku ingin menyekolahkanmu dan membiayaimu kuliah sampai kamu berhasil menjadi Dokter, seperti cita-citamu. Jadi aku, bisa terus kamu rawat dan kamu perhatikan. Bahkan kalau perlu, aku yang akan mencarikanmu jodoh yang berasal dari kerabat atau temanku yang beragama muslim sepertimu, hal itu aku lakukan agar kamu tidak pernah jauh dariku.”
“Oh, Madam. Saya sangat terharu mendengarnya.”
“Kamu membuat aku merasa dibutuhkan, ceritamu setiap pulang sekolah, membuat aku kembali menjadi seorang ibu yang selalu dicari oleh anak-anaknya yang ingin mencurahkan segala keluh kesahnya. Perhatianmu, membuat aku merasa menjadi Ibu yang beruntung karena selalu diperhatikan oleh anak-anaknya. Memang statusmu itu bekerja untukku, tapi jujur … Sikapmu, tutur katamu, perhatianmu dan baktimu sangat tulus padaku. Terima kasih banyak ya, Nak.”
Mata berwarna biru pekat dan bening itu tiba-tiba mengembun, wanita lanjut usia yang kini terlihat lebih segar itu merangkul gadis kecil yang sedang duduk di sampingnya.
“Kamu anak gadisku, aku sayang kamu, Mae.”
“Madam, saya juga sangat menyayangi Madam.”
Suasana pun berubah mengharu biru, cinta dan kasih sayang yang tulus dari Mae ternyata dapat meluluhkan hati Madam Lisa yang kerasnya bagaikan batu karang di lautan. Kedekatan yang terjalin antara Mae dan Madam Lisa semakin hari, semakin erat.
***
Waktu begitu cepat berlalu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Tidak terasa kurang lebih sudah tujuh puluh dua kali bulan purnama, Mae melewatkan kebersamaan bersama majikan sekaligus ibu angkatnya itu.
Mae yang dulu sewaktu dibawa oleh Rohaeti hanyalah seorang anak kecil yang kurus, kumel dan dekil, kini tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang modern, cantik dan bersahaja.
Segala fasilitas dan kemewahan yang didapatkan dari majikanya tidak merubah kebaikan dan kerendahan hatinya. Prestasi di sekolahnya pun dapat dibanggakan, sikap Madam Lisa yang selalu memanjakan dirinya, tidak serta merta membuatnya terbuai.
Madam Lisa sangat bangga terhadap anak asuhnya itu, sehingga saat Mae lulus sekolah SMA, ia memutuskan untuk mengizinkan sang assisten pribadinya itu untuk pulang ke kampung.
“Betul saya boleh menjenguk kedua orang tua dan adik-adik di kampung, Madam?’
“Iya, boleh. Tapi janji jangan terlalu lama ya! Karena tidak lama lagi, kamu sudah mulai kuliah.”
“Iya, Madam. Saya janji.”
“Baiklah kalau begitu, segera packing dan jangan lupa beli oleh-oleh untuk orang tua dan keempat adikmu! Mereka pasti akan sangat bahagia sekali.”
“Baiklah, Madam. Bagusnya saya belikan mereka apa?”
“Terserah kamu saja, atau kamu mau cari? Kita jalan-jalan ke mall?”
“Cari di pasar saja, uang saya tidak cukup, hehe.”
“Kamu punya uang darimana? Kan gajimu dikirim ke kampung semua.”
“Uang jajan dari Madam, saya sisihkan terus. Saya tabungin.”
“Gadis pintar, aku semakin menyayangimu.”
Madam Lisa mengacak rambut Mae, yang tertawa sambil merangkulnya.
“Bersiaplah! Kita berangkat satu jam lagi. Kita ke mall saja, aku tidak suka ke pasar, panas.”
“Tapi, Madam?”
“Takut uangmu kurang?”
“Ya, itu.”
“Jangan kaya orang susah. Aku yang akan belikan.”
“Jangan begitu, saya jadi nggak enak.”
“Kasih bumbu penyedap supaya enak.”
“Hihi, Madaaam.”
“Sudah! Cepat ganti pakaianmu! Jangan banyak bicara!”
“Hehe, siap Madam.”
Mae membantu majikannya bangun dari sofa, dan kemudian keduanya pun bersiap di kamarnya masing-masing.
Madam Lisa mengajak Mae ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membelikan buah tangan. Buah tangan yang akan diberikan kepada kedua orang tua dan keempat adik sang assisten pribadinya itu.
Dua jam kemudian, kedua tangan Agus yang berjalan mengekor di belakang Mae dan majikannya sudah penuh dengan paper bag dari berbagai macam store terkenal dan branded pastinya.
“Kita makan dulu ya, Mae!” ajak Madam Lisa, menunjuk sebuah restoran.
“Baik, Madam.”
“Gus, makan dulu!”
“Baik, Madam.”
Ketiganya pun memasuki restoran tersebut.
“Madam, saya izin ke toilet sebentar,” ucap Mae.
“Ya,” jawab Madam Lisa, dengan mata fokus ke buku menu.
Mae berjalan menuju toilet yang terletak di ujung ruangan, ia harus antri karena banyaknya orang yang berkepentingan tidak sebanding dengan jumlah toiletnya.
Saat sedang berdiri, tiba-tiba saja datang seorang pria bersama gadis kecil berusia sekitar lima tahun berjalan mendekat ke arah toilet.
Pria jangkung berjas hitam tanpa dasi itu tampak sedang kebingungan, gadis kecil yang berdiri di sampingnya terus merengek sambil memegangi celananya.
“Ayah, aku mau pipis Ayah.”
“Iya, Nak. Sabar ya, antri dulu.”
“Iya Ayah, tapi nanti Ayah antar aku ke dalam ya, karena aku takut kalau sendirian.”
“Tapi, Nak … itu toilet wanita.”
“Pokoknya Ayah harus antar aku pipis, kalau Ayah nggak mau antar aku, aku nekat ngompol di sini.”
“Jangan dong Sayang,” jawab si pria menggaruk-garuk kepalanya.
Mae yang secara tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan anak tersebut, langsung ikut berbicara.
“Maaf, Pak. Kalau dibolehkan, biar saya yang mengantar putrinya untuk buang air kecil. Kebetulan saya juga mau ke toilet.”
Pria itu menatap Mae, lalu menatap sang anak yang tersenyum sambil mengangguk.
“Tidak merepotkan, Dek?”
“Tidak sama sekali, Pak.”
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak sebelumnya, Dek.”
“Sama-sama, Pak.”
Pria berkaca mata itu mendorong pelan tubuh putrinya mendekat kepada Mae.
“Sama Tante dulu ya, Nak. Ayah tunggu kamu di meja.”
“Iya, Ayah.”
Sang ayah pun berlalu meninggalkan putrinya dengan Mae.
“Hai, cantik. Nama kamu siapa?”
“Hai juga Tante yang cantik, nama aku Alena. Tante cantik namanya siapa?”
“Kamu lucu sekali, cerewet, hehe. Nama Tante Mae.”
“Mae aja?”
“Ya, kamu panggil aku Tante Mae saja.”
“Kok nama Tante pendek sih? Nama aku panjang loh, Tante … Alena Priscilla Gunardi, tapi aku nggak suka nama Gunardi.”
“Loh kenapa bisa nggak suka?”
“Namanya kolot, nggak keren.”
“Ya ampun kamu kecil-kecil pintar sekali bicara, hihi. Siapa yang bilang nama Gunardi itu nggak keren?”
“Temen-temen aku di sekolah TK.”
“Hihi, ya ampuun. Jangan dengerin mereka! Gunardi pasti nama belakang Ayahmu, iya kan?”
“Iya, kok Tante tahu? Tante kenal ya sama Ayah Ale?”
“Hehe, hanya menebak-nebak. Eh, kok kamu Cuma sama Ayah, Bunda kamu mana?”
“Bunda aku nggak ada, kata Ayah … Bunda aku ada di surga tidak lama setelah melahirkan aku.”
Mata Mae berkaca-kaca, saat Alena menjawab dimana keberadaan ibunya. Gadis kecil itu dengan polosnya menjawab, tanpa tahu apa yang terjadi yang sebenarnya.
“Tante kenapa, kok ngeliatin aku kaya gitu?”
“Ah, nggak apa-apa Sayang. Eh sudah waktunya kita masuk, yuk!”
Alena tersenyum, dan mengangguk. Anak yang sudah bersekolah di TK A itu membiarkan tangannya digandeng oleh Mae, orang yang baru saja dikenalnya itu.
Keluar dari toilet, tampak Mae merapikan kemeja yang dikenakan Alena. Dalam sekejap, gadis berambut ikal itu langsung lengket kepadanya.
“Ale, Tante antar ke mejamu ya, sebelah mana mejamu, Nak?”
“Asyiikk, Tante mau makan sama-sama dengan aku dan Ayah kah?”
“Hmm, tidak Sayang. Lain kali saja ya kita makan barengnya, soalnya Tante datangnya sama majikan Tante.”
“Apa itu majikan, Tante?”
“Majikan itu … Semacam bos gitu.”
“Berarti majikan Tante itu temannya Ayah.”
“Temannya Ayah, kok bisa?”
“Itu tadi, Ayah kan ketemu sama temannya sewaktu lagi turun dari mobil di parkiran. Ayah sapa teman ayah kaya begini, ‘halo bos, apa kabarnya?’, gitu Tante. Berarti kan Majikannya Tante itu temannya Ayah Ale.”
“Haha, kamu itu ya, pintar sekali.”
Mae mencubit pipi Alena yang terlihat sangat menggemaskan itu, beberapa saat kemudian mereka pun sampai di meja tempat Ayah Alena telah menunggunya.
Pria berkumis tipis itu berdiri, ia mengulurkan tangannya kepada Mae.
“Nama saya Hanggianto, panggil saja saya Hanggi.”
“Nama Saya Mae, Pak Hanggi.”
“Terima kasih banyak Dek Mae, karena sudah mengantar putri saya Ale ke toilet dan mengantarnya kemari.”
“Iya, sama-sama, Pak Hanggi. Kalau begitu saya permisi, karena majikan saya pasti sudah menunggu saya.”
“Oh iya, Dek Mae silahkan. Sekali lagi saya haturkan terima kasih.”
“Sama-sama, Pak Hanggi,” tukas Mae, selanjutnya ia mendekati Alena yang masih berdiri di sampingnya.
Mae berjongkok, mengelus rambut gadis kecil berbulu mata lentik yang indah dan terlihat sangat cantik, “Sayang, Tante pamit ya.”
“Tante, kita bisa ketemu lagi kan?”
“Insya Allah, bisa Sayang.”
“Ayah … Ayah, kok Ayah nggak minta no hape Tante Mae? Aku mau ketemu lagi sama Tante Mae besok-besok.”
Hanggi tersenyum dan memandang Mae sebagai isyarat atas apa yang diminta putrinya barusan.
Mae mengerti, ia pun menyebutkan dua belas digit no handphonenya kepada Hanggi.
“Terima kasih banyak, Dek Mae.”
“Sama-sama, Pak Hanggi. Saya permisi.”
“Mari, Dek.”
“Ale, Tante pergi dulu ya. Bye!”
“Bye-bye Tante cantik.”
Tangan mungil Alena melambai kepada Mae yang melangkah pergi meninggalkannya. Kebaikan dan ketulusan hati Mae, mampu membuat gadis kecil itu nyaman berada di dekatnya.
Mae tersenyum, ia sangat suka kepada Alena. Karena ia anak yang sangat pintar dan lucu. Wanita berusia dua puluh tahun itu balik melambai ke arah Alena.
Saat Mae sampai di meja tempat dimana majikan dan Agus duduk, tampak wajah Madam Lisa yang muram.
“Lama sekali,” sungutnya kepada Mae.
“Maaf, Madam. Antriannya panjang sekali, sedangkan toilet di dalam yang berfungsi hanya satu ruangan, yang satunya lagi sedang diperbaiki.”
“Aku kira kamu kenalan sama pria yang bersama anak kecil tadi.”
“Oh, itu anak kecil yang minta ditemani ke toilet. Karena Ayahnya nggak mungkin masuk ke dalam toilet perempuan.”
“Aku nggak suka kamu dekat dengan laki-laki! Pikirkan kuliahmu, jangan kecewakan aku!”
“Iya, Madam. Jangan marah ya, saya minta maaf.”
Melihat sang majikan marah, Mae segera mendekatinya. Lalu mengelus punggung majikannya itu sembari kembali meminta maaf.
“Sudah ya, Madam jangan marah lagi. Mari kita makan!”
Kelembutan Mae, akhirnya meluluhkan kemarahannya. Ia pun tersenyum, menarik piring dan menyendokkan makanan ke mulutnya. Mae pun segera duduk di samping sang majikan yang sudah lahap menyantap makanannya.
Keesokan harinya, usai Mae mempersiapkan semua keperluan majikannya. Ia segera masuk ke dalam kamar, untuk mempersiapkan dirinya pulang kampung.
Setengah jam kemudian, ia pun keluar dari dalam kamarnya. Menggeret sebuah koper berisi oleh-oleh dan sebuah tas bagpack kulit berwarna hitam yang berisi pakainnya.
Sesaat kemudian, ia berhenti di depan kamar Madam Lisa. Lalu ia pun segera masuk ke dalam ruangan pribadi majikannya itu untuk berpamitan.
“Jangan lama-lama ya di kampungnya, aku bisa mati kesepian kalau nggak ada kamu, Mae. Hehe.”
“Satu minggu boleh ya?”
“Bolehlah, pastinya kamu sangat rindu kepada keluargamu.”
“Alhamdulillah, terima kasih Madam.”
“Mae, ini ada sedikit uang untuk peganganmu selama di kampung.”
Wanita yang sudah seperti ibu kedua bagi Mae itu menyodorkan sebuah amplop cokelat panjang.
“Jangan Madam, saya ada kok.”
“Uang darimana?”
“Kan saya sudah pernah bilang sama Madam kemarin, kalau sisa uang jajan sekolah saya kumpulkan.”
“Oh iya, aku lupa. Aku sempat terkejut, karena kamu kan selama ini selalu mentransferkan semua gajimu ke kampung.”
“Hehe iya, Madam.”
“Biarlah tabunganmu disimpan saja, jangan tolak pemberianku ini.”
“Tapi, kemarin Madam sudah banyak keluarkan uang untuk membelikan oleh-oleh dan juga kue-kue.”
“Jangan dipikirkan, ini ambillah! Untuk jaga-jaga, siapa tahu di kampung nanti ada keperluan yang sangat mendadak. Kalau kamu menolak, aku akan marah.”
Mae tersenyum, lalu ia pun menerima amplop pemberian majikannya tersebut dengan penuh rasa haru yang sudah tidak tiada terkira. Wanita yang selama ini telah memperkerjakannya itu laksana dewi penolong dan mata air di tengah gurun pasir yang gersang.
Tanpa henti ia terus memberikan apa yang bisa diberikan, tanpa harus diminta. Madam Lisa sangat menyayangi Mae, gadis kampung yang kini telah menjelma menjadi seorang gadis kota yang cantik dan pintar.
“Agus akan mengantarmu pulang kampung, mari kuantar kamu sampai di garasi.”
Mae mengangguk, ia berjalan sambil merangkul tubuh nyonya tersayanganya. Sesampainya di garasi, Mae mencium punggung tangan Madam Lisa dengan takzim. Lalu memeluknya erat dan dalam waktu yang cukup lama.
Madam Lisa terisak, meminta Mae agar segera kembali.
“Jangan ingkari janjimu untuk kembali kemari!”
“Insya Allah, Madam. Tidak ada alasan saya untuk tidak kembali ke sini, Madam adalah ibu kedua bagi saya.”
“Syukurlah, terima kasih anak gadisku tersayang. Aku akan merindukanmu.”
“Saya juga sangat menyayangi, Madam. Selama saya di kampung jangan lupa diminum suplemen tulang dan sendinya ya Madam, jangan mandi mendekati petang, jangan makan makanan bersantan dan perbanyak makan buah dan sayuran ya Madam.
“Cerewet!”
Mae terkekeh, Madam Lisa mencium pipi dan kening assisten pribadinya itu.
Selanjutnya, Mae menaiki mobil sedan putih milik majikannya. Madam Lisa melambaikan tangan kearah Mae. Ia terus berdiri sampai mobil yang dikemudikan oleh Agus hilang dari pandangannya.
Tak terasa, air mata pun berlinang membasahi pipinya yang masih terlihat kencang akibat rajinnya perawatan. Entah mengapa, hatinya sangat sakit dan merana saat ditinggal Mae pergi.
“Tuhan, mengapa aku sangat sedih dan takut kehilangan anak itu? Sedangkan saat anak-anakku pergi meninggalkanku, hatiku tidak pernah seperih ini?”
Madam Lisa menghapus bulir bening yang terus berucuran tak terbendung. Mendungnya pagi itu seolah mewakili perasaannya yang sedang murung dan bersedih karena ditinggal pergi oleh orang yang sangat ia sayangi.
Ia pun masuk ke dalam rumahnya, mengurung diri di kamar. Bak gadis ABG yang sedang patah hati, Madam Lisa pun menangis sendirian di atas tempat tidurnya. Cukup lama ia menangisi kepergian Mae, hingga tidak terasa Madam Lisa pun terlelap tidur dalam keadaan yang bersedih.
Keberadaan Mae, membuat Al menjadi ‘gerah’. Bagaimana tidak, ia merasa enek dan jengkel setiap kali ibunya memanjakan gadis yang notabene hanyalah seorang assisten pribadi itu.
Ditambah saat Mae sudah mulai bersekolah, Al semakin kebakaran jenggot. Setiap kali ia ada mata kuliah pagi di kampusnya, dengan sengaja sang ibu selalu memaksanya untuk mengantar Mae, karena arah yang dilewati oleh mereka berdua sama.
Setiap hari selalu saja ada perselisihan diantara keduanya, sikap Al yang selalu kasar tidak pernah diambil pusing oleh Mae.
Gadis yang kini duduk di bangku kelas 1 SMP itu, selalu santai dalam menghadapi anak majikannya yang galak dan super judes itu.
Hal itu yang membuat Al menjadi tidak betah di rumah, kini ia lebih sering menginap secara bergantian di rumah kedua kakaknya, yaitu Robert dan Daniel. Keadaan tersebut, menjadikan posisi Al tersudut. Kedua kakaknya selalu saja menasihati dan menceramahi adik bungsu mereka.
“Kasihan mommy, Al. siapa yang temani Mommy kalau kamu selalu menginap di sini?” ujar Daniel, suatu malam saat Al datang dengan membawa tas ransel berisi pakaian dan buku-buku.
“Mommy lebih bahagia ditemani anak kampung itu, dibandingkan aku yang anak kandungnya. Aku jadi malas dan jengah tinggal di rumah.”
“Jangan sebut si Mae itu anak kampung, dia itu banyak berjasa dalam menjaga Mommy.”
“Jelaslah dia berjasa, kan dia digaji, disekolahkan, diperlakukan sudah seperti anak bungsunya. Anak bungsu itu aku, Kak. Bukan si anak kampung sialan itu.”
“Ckck! Al-Al, sudah kuliah tapi mengapa pola pikir dan sikapmu seperti anak kecil.”
“Kakak juga sudah terpengaruh sihirnya si anak kampung itu.”
“Jaga bicaramu, Al! Si Mae anak yang taat beribadah, dia muslim yang baik. Kak Robert saja yang muallaf bilang sama aku, kalau ilmu mengajinya dia lebih hebat dari Kak Robert.”
“Halah, begitulah kalau orang terkena permainan magic, tersihir! Ditutup mata hatinya.”
“Ah sudahlah, capek aku bicara sama kamu. Terserah kamu sajalah mau bagaimana. Aku tidak mau ambil pusing lagi.”
Mendengar sang Kakak berbicara tidak baik seperti itu, Al mendengus kesal dan berlalu ke dalam kamar tamu yang kini menjadi kamarnya setiap kali ia menginap di rumah itu. Daniel menggeleng kepala, heran melihat tingkah adiknya yang pemarah.
Perdebatan Al dengan kedua kakaknya, ditambah dengan suasana rumah yang dirasa tidak nyaman, hal itu membuat pemuda berperawakan jangkung itu memutuskan untuk pindah kuliah ke luar kota, tepatnya di kota Yogyakarta.
Karena apabila ia tidak pindah kuliah, maka sang ibu tidak mengizinkannya untuk tinggal di rumah kost. Madam Lisa, tidak dapat mencegah kemauan putranya. Ia tidak ingin penyakit vertigonya kambuh, hanya gara-gara kelakuan putra bungsunya yang selalu seenaknya.
Pagi itu, Al berpamitan kepada sang ibu untuk berangkat ke Yogya. Tidak ada tangis mengiringi kepergian putra bungsunya, hal itu terjadi karena dirinya sudah terbiasa. Al selalu pergi ke luar kota selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan lamanya.
Madam Lisa mengantar kepergian Al, sampai di halaman rumahnya. Ketika mobil yang dikendarai oleh Al menghilang dari pandangan, ia mengajak Mae untuk masuk ke dalam.
Mae yang merasa bersalah atas kepergian Al, segera meminta maaf kepada sang majikannya yang terlihat murung.
“Untuk apa kamu minta maaf?”
“Gara-gara saya, Tuan Al pergi.”
“Aku tidak masalah kalau dia pergi, karena ada atau tidak ada dia, aku selalu kesepian dan sendirian.”
“….”
“Aku justru akan sedih, kalau kamu yang pergi. Karena kalau tidak ada kamu, pastinya hari-hari yang aku lewati akan berubah kembali menjadi kelabu.”
“Jangan bicara seperti itu, Madam. Saya jadi sedih.”
“Aku serius, Mae. Kamu tahu? Jika dulu, sebelum kamu ada, aku selalu meminta kepada Tuhan agar Tuhan segera mencabut nyawaku, aku ingin berkumpul di surga bersama Papinya anak-anak. Aku tidak suka dengan masa tuaku yang sepi. Anak-anak tidak lagi peduli, apalagi saat mereka telah memiliki istri.”
“Sekarang, apa Madam masih suka berdoa seperti itu?”
“Tidak lagi, sekarang aku selalu berdoa pada Tuhan Yesus, agar aku dipanjangkan umur, diberi kesehatan dan diberi kelancaran dalam bisnis yang dikelola oleh kedua putraku. Kamu tahu kenapa?”
Mae menggeleng.
“Aku meminta seperti itu kepada Tuhan, karena kamu.”
“Saya?”
“Iya, kamu. Aku ingin menyekolahkanmu dan membiayaimu kuliah sampai kamu berhasil menjadi Dokter, seperti cita-citamu. Jadi aku, bisa terus kamu rawat dan kamu perhatikan. Bahkan kalau perlu, aku yang akan mencarikanmu jodoh yang berasal dari kerabat atau temanku yang beragama muslim sepertimu, hal itu aku lakukan agar kamu tidak pernah jauh dariku.”
“Oh, Madam. Saya sangat terharu mendengarnya.”
“Kamu membuat aku merasa dibutuhkan, ceritamu setiap pulang sekolah, membuat aku kembali menjadi seorang ibu yang selalu dicari oleh anak-anaknya yang ingin mencurahkan segala keluh kesahnya. Perhatianmu, membuat aku merasa menjadi Ibu yang beruntung karena selalu diperhatikan oleh anak-anaknya. Memang statusmu itu bekerja untukku, tapi jujur … Sikapmu, tutur katamu, perhatianmu dan baktimu sangat tulus padaku. Terima kasih banyak ya, Nak.”
Mata berwarna biru pekat dan bening itu tiba-tiba mengembun, wanita lanjut usia yang kini terlihat lebih segar itu merangkul gadis kecil yang sedang duduk di sampingnya.
“Kamu anak gadisku, aku sayang kamu, Mae.”
“Madam, saya juga sangat menyayangi Madam.”
Suasana pun berubah mengharu biru, cinta dan kasih sayang yang tulus dari Mae ternyata dapat meluluhkan hati Madam Lisa yang kerasnya bagaikan batu karang di lautan. Kedekatan yang terjalin antara Mae dan Madam Lisa semakin hari, semakin erat.
***
Waktu begitu cepat berlalu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Tidak terasa kurang lebih sudah tujuh puluh dua kali bulan purnama, Mae melewatkan kebersamaan bersama majikan sekaligus ibu angkatnya itu.
Mae yang dulu sewaktu dibawa oleh Rohaeti hanyalah seorang anak kecil yang kurus, kumel dan dekil, kini tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang modern, cantik dan bersahaja.
Segala fasilitas dan kemewahan yang didapatkan dari majikanya tidak merubah kebaikan dan kerendahan hatinya. Prestasi di sekolahnya pun dapat dibanggakan, sikap Madam Lisa yang selalu memanjakan dirinya, tidak serta merta membuatnya terbuai.
Madam Lisa sangat bangga terhadap anak asuhnya itu, sehingga saat Mae lulus sekolah SMA, ia memutuskan untuk mengizinkan sang assisten pribadinya itu untuk pulang ke kampung.
“Betul saya boleh menjenguk kedua orang tua dan adik-adik di kampung, Madam?’
“Iya, boleh. Tapi janji jangan terlalu lama ya! Karena tidak lama lagi, kamu sudah mulai kuliah.”
“Iya, Madam. Saya janji.”
“Baiklah kalau begitu, segera packing dan jangan lupa beli oleh-oleh untuk orang tua dan keempat adikmu! Mereka pasti akan sangat bahagia sekali.”
“Baiklah, Madam. Bagusnya saya belikan mereka apa?”
“Terserah kamu saja, atau kamu mau cari? Kita jalan-jalan ke mall?”
“Cari di pasar saja, uang saya tidak cukup, hehe.”
“Kamu punya uang darimana? Kan gajimu dikirim ke kampung semua.”
“Uang jajan dari Madam, saya sisihkan terus. Saya tabungin.”
“Gadis pintar, aku semakin menyayangimu.”
Madam Lisa mengacak rambut Mae, yang tertawa sambil merangkulnya.
“Bersiaplah! Kita berangkat satu jam lagi. Kita ke mall saja, aku tidak suka ke pasar, panas.”
“Tapi, Madam?”
“Takut uangmu kurang?”
“Ya, itu.”
“Jangan kaya orang susah. Aku yang akan belikan.”
“Jangan begitu, saya jadi nggak enak.”
“Kasih bumbu penyedap supaya enak.”
“Hihi, Madaaam.”
“Sudah! Cepat ganti pakaianmu! Jangan banyak bicara!”
“Hehe, siap Madam.”
Mae membantu majikannya bangun dari sofa, dan kemudian keduanya pun bersiap di kamarnya masing-masing.
Madam Lisa mengajak Mae ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membelikan buah tangan. Buah tangan yang akan diberikan kepada kedua orang tua dan keempat adik sang assisten pribadinya itu.
Dua jam kemudian, kedua tangan Agus yang berjalan mengekor di belakang Mae dan majikannya sudah penuh dengan paper bag dari berbagai macam store terkenal dan branded pastinya.
“Kita makan dulu ya, Mae!” ajak Madam Lisa, menunjuk sebuah restoran.
“Baik, Madam.”
“Gus, makan dulu!”
“Baik, Madam.”
Ketiganya pun memasuki restoran tersebut.
“Madam, saya izin ke toilet sebentar,” ucap Mae.
“Ya,” jawab Madam Lisa, dengan mata fokus ke buku menu.
Mae berjalan menuju toilet yang terletak di ujung ruangan, ia harus antri karena banyaknya orang yang berkepentingan tidak sebanding dengan jumlah toiletnya.
Saat sedang berdiri, tiba-tiba saja datang seorang pria bersama gadis kecil berusia sekitar lima tahun berjalan mendekat ke arah toilet.
Pria jangkung berjas hitam tanpa dasi itu tampak sedang kebingungan, gadis kecil yang berdiri di sampingnya terus merengek sambil memegangi celananya.
“Ayah, aku mau pipis Ayah.”
“Iya, Nak. Sabar ya, antri dulu.”
“Iya Ayah, tapi nanti Ayah antar aku ke dalam ya, karena aku takut kalau sendirian.”
“Tapi, Nak … itu toilet wanita.”
“Pokoknya Ayah harus antar aku pipis, kalau Ayah nggak mau antar aku, aku nekat ngompol di sini.”
“Jangan dong Sayang,” jawab si pria menggaruk-garuk kepalanya.
Mae yang secara tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan anak tersebut, langsung ikut berbicara.
“Maaf, Pak. Kalau dibolehkan, biar saya yang mengantar putrinya untuk buang air kecil. Kebetulan saya juga mau ke toilet.”
Pria itu menatap Mae, lalu menatap sang anak yang tersenyum sambil mengangguk.
“Tidak merepotkan, Dek?”
“Tidak sama sekali, Pak.”
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak sebelumnya, Dek.”
“Sama-sama, Pak.”
Pria berkaca mata itu mendorong pelan tubuh putrinya mendekat kepada Mae.
“Sama Tante dulu ya, Nak. Ayah tunggu kamu di meja.”
“Iya, Ayah.”
Sang ayah pun berlalu meninggalkan putrinya dengan Mae.
“Hai, cantik. Nama kamu siapa?”
“Hai juga Tante yang cantik, nama aku Alena. Tante cantik namanya siapa?”
“Kamu lucu sekali, cerewet, hehe. Nama Tante Mae.”
“Mae aja?”
“Ya, kamu panggil aku Tante Mae saja.”
“Kok nama Tante pendek sih? Nama aku panjang loh, Tante … Alena Priscilla Gunardi, tapi aku nggak suka nama Gunardi.”
“Loh kenapa bisa nggak suka?”
“Namanya kolot, nggak keren.”
“Ya ampun kamu kecil-kecil pintar sekali bicara, hihi. Siapa yang bilang nama Gunardi itu nggak keren?”
“Temen-temen aku di sekolah TK.”
“Hihi, ya ampuun. Jangan dengerin mereka! Gunardi pasti nama belakang Ayahmu, iya kan?”
“Iya, kok Tante tahu? Tante kenal ya sama Ayah Ale?”
“Hehe, hanya menebak-nebak. Eh, kok kamu Cuma sama Ayah, Bunda kamu mana?”
“Bunda aku nggak ada, kata Ayah … Bunda aku ada di surga tidak lama setelah melahirkan aku.”
Mata Mae berkaca-kaca, saat Alena menjawab dimana keberadaan ibunya. Gadis kecil itu dengan polosnya menjawab, tanpa tahu apa yang terjadi yang sebenarnya.
“Tante kenapa, kok ngeliatin aku kaya gitu?”
“Ah, nggak apa-apa Sayang. Eh sudah waktunya kita masuk, yuk!”
Alena tersenyum, dan mengangguk. Anak yang sudah bersekolah di TK A itu membiarkan tangannya digandeng oleh Mae, orang yang baru saja dikenalnya itu.
Keluar dari toilet, tampak Mae merapikan kemeja yang dikenakan Alena. Dalam sekejap, gadis berambut ikal itu langsung lengket kepadanya.
“Ale, Tante antar ke mejamu ya, sebelah mana mejamu, Nak?”
“Asyiikk, Tante mau makan sama-sama dengan aku dan Ayah kah?”
“Hmm, tidak Sayang. Lain kali saja ya kita makan barengnya, soalnya Tante datangnya sama majikan Tante.”
“Apa itu majikan, Tante?”
“Majikan itu … Semacam bos gitu.”
“Berarti majikan Tante itu temannya Ayah.”
“Temannya Ayah, kok bisa?”
“Itu tadi, Ayah kan ketemu sama temannya sewaktu lagi turun dari mobil di parkiran. Ayah sapa teman ayah kaya begini, ‘halo bos, apa kabarnya?’, gitu Tante. Berarti kan Majikannya Tante itu temannya Ayah Ale.”
“Haha, kamu itu ya, pintar sekali.”
Mae mencubit pipi Alena yang terlihat sangat menggemaskan itu, beberapa saat kemudian mereka pun sampai di meja tempat Ayah Alena telah menunggunya.
Pria berkumis tipis itu berdiri, ia mengulurkan tangannya kepada Mae.
“Nama saya Hanggianto, panggil saja saya Hanggi.”
“Nama Saya Mae, Pak Hanggi.”
“Terima kasih banyak Dek Mae, karena sudah mengantar putri saya Ale ke toilet dan mengantarnya kemari.”
“Iya, sama-sama, Pak Hanggi. Kalau begitu saya permisi, karena majikan saya pasti sudah menunggu saya.”
“Oh iya, Dek Mae silahkan. Sekali lagi saya haturkan terima kasih.”
“Sama-sama, Pak Hanggi,” tukas Mae, selanjutnya ia mendekati Alena yang masih berdiri di sampingnya.
Mae berjongkok, mengelus rambut gadis kecil berbulu mata lentik yang indah dan terlihat sangat cantik, “Sayang, Tante pamit ya.”
“Tante, kita bisa ketemu lagi kan?”
“Insya Allah, bisa Sayang.”
“Ayah … Ayah, kok Ayah nggak minta no hape Tante Mae? Aku mau ketemu lagi sama Tante Mae besok-besok.”
Hanggi tersenyum dan memandang Mae sebagai isyarat atas apa yang diminta putrinya barusan.
Mae mengerti, ia pun menyebutkan dua belas digit no handphonenya kepada Hanggi.
“Terima kasih banyak, Dek Mae.”
“Sama-sama, Pak Hanggi. Saya permisi.”
“Mari, Dek.”
“Ale, Tante pergi dulu ya. Bye!”
“Bye-bye Tante cantik.”
Tangan mungil Alena melambai kepada Mae yang melangkah pergi meninggalkannya. Kebaikan dan ketulusan hati Mae, mampu membuat gadis kecil itu nyaman berada di dekatnya.
Mae tersenyum, ia sangat suka kepada Alena. Karena ia anak yang sangat pintar dan lucu. Wanita berusia dua puluh tahun itu balik melambai ke arah Alena.
Saat Mae sampai di meja tempat dimana majikan dan Agus duduk, tampak wajah Madam Lisa yang muram.
“Lama sekali,” sungutnya kepada Mae.
“Maaf, Madam. Antriannya panjang sekali, sedangkan toilet di dalam yang berfungsi hanya satu ruangan, yang satunya lagi sedang diperbaiki.”
“Aku kira kamu kenalan sama pria yang bersama anak kecil tadi.”
“Oh, itu anak kecil yang minta ditemani ke toilet. Karena Ayahnya nggak mungkin masuk ke dalam toilet perempuan.”
“Aku nggak suka kamu dekat dengan laki-laki! Pikirkan kuliahmu, jangan kecewakan aku!”
“Iya, Madam. Jangan marah ya, saya minta maaf.”
Melihat sang majikan marah, Mae segera mendekatinya. Lalu mengelus punggung majikannya itu sembari kembali meminta maaf.
“Sudah ya, Madam jangan marah lagi. Mari kita makan!”
Kelembutan Mae, akhirnya meluluhkan kemarahannya. Ia pun tersenyum, menarik piring dan menyendokkan makanan ke mulutnya. Mae pun segera duduk di samping sang majikan yang sudah lahap menyantap makanannya.
Keesokan harinya, usai Mae mempersiapkan semua keperluan majikannya. Ia segera masuk ke dalam kamar, untuk mempersiapkan dirinya pulang kampung.
Setengah jam kemudian, ia pun keluar dari dalam kamarnya. Menggeret sebuah koper berisi oleh-oleh dan sebuah tas bagpack kulit berwarna hitam yang berisi pakainnya.
Sesaat kemudian, ia berhenti di depan kamar Madam Lisa. Lalu ia pun segera masuk ke dalam ruangan pribadi majikannya itu untuk berpamitan.
“Jangan lama-lama ya di kampungnya, aku bisa mati kesepian kalau nggak ada kamu, Mae. Hehe.”
“Satu minggu boleh ya?”
“Bolehlah, pastinya kamu sangat rindu kepada keluargamu.”
“Alhamdulillah, terima kasih Madam.”
“Mae, ini ada sedikit uang untuk peganganmu selama di kampung.”
Wanita yang sudah seperti ibu kedua bagi Mae itu menyodorkan sebuah amplop cokelat panjang.
“Jangan Madam, saya ada kok.”
“Uang darimana?”
“Kan saya sudah pernah bilang sama Madam kemarin, kalau sisa uang jajan sekolah saya kumpulkan.”
“Oh iya, aku lupa. Aku sempat terkejut, karena kamu kan selama ini selalu mentransferkan semua gajimu ke kampung.”
“Hehe iya, Madam.”
“Biarlah tabunganmu disimpan saja, jangan tolak pemberianku ini.”
“Tapi, kemarin Madam sudah banyak keluarkan uang untuk membelikan oleh-oleh dan juga kue-kue.”
“Jangan dipikirkan, ini ambillah! Untuk jaga-jaga, siapa tahu di kampung nanti ada keperluan yang sangat mendadak. Kalau kamu menolak, aku akan marah.”
Mae tersenyum, lalu ia pun menerima amplop pemberian majikannya tersebut dengan penuh rasa haru yang sudah tidak tiada terkira. Wanita yang selama ini telah memperkerjakannya itu laksana dewi penolong dan mata air di tengah gurun pasir yang gersang.
Tanpa henti ia terus memberikan apa yang bisa diberikan, tanpa harus diminta. Madam Lisa sangat menyayangi Mae, gadis kampung yang kini telah menjelma menjadi seorang gadis kota yang cantik dan pintar.
“Agus akan mengantarmu pulang kampung, mari kuantar kamu sampai di garasi.”
Mae mengangguk, ia berjalan sambil merangkul tubuh nyonya tersayanganya. Sesampainya di garasi, Mae mencium punggung tangan Madam Lisa dengan takzim. Lalu memeluknya erat dan dalam waktu yang cukup lama.
Madam Lisa terisak, meminta Mae agar segera kembali.
“Jangan ingkari janjimu untuk kembali kemari!”
“Insya Allah, Madam. Tidak ada alasan saya untuk tidak kembali ke sini, Madam adalah ibu kedua bagi saya.”
“Syukurlah, terima kasih anak gadisku tersayang. Aku akan merindukanmu.”
“Saya juga sangat menyayangi, Madam. Selama saya di kampung jangan lupa diminum suplemen tulang dan sendinya ya Madam, jangan mandi mendekati petang, jangan makan makanan bersantan dan perbanyak makan buah dan sayuran ya Madam.
“Cerewet!”
Mae terkekeh, Madam Lisa mencium pipi dan kening assisten pribadinya itu.
Selanjutnya, Mae menaiki mobil sedan putih milik majikannya. Madam Lisa melambaikan tangan kearah Mae. Ia terus berdiri sampai mobil yang dikemudikan oleh Agus hilang dari pandangannya.
Tak terasa, air mata pun berlinang membasahi pipinya yang masih terlihat kencang akibat rajinnya perawatan. Entah mengapa, hatinya sangat sakit dan merana saat ditinggal Mae pergi.
“Tuhan, mengapa aku sangat sedih dan takut kehilangan anak itu? Sedangkan saat anak-anakku pergi meninggalkanku, hatiku tidak pernah seperih ini?”
Madam Lisa menghapus bulir bening yang terus berucuran tak terbendung. Mendungnya pagi itu seolah mewakili perasaannya yang sedang murung dan bersedih karena ditinggal pergi oleh orang yang sangat ia sayangi.
Ia pun masuk ke dalam rumahnya, mengurung diri di kamar. Bak gadis ABG yang sedang patah hati, Madam Lisa pun menangis sendirian di atas tempat tidurnya. Cukup lama ia menangisi kepergian Mae, hingga tidak terasa Madam Lisa pun terlelap tidur dalam keadaan yang bersedih.
metnap dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Tutup