Kaskus

Story

aniedatannishaAvatar border
TS
aniedatannisha
PEMBANTU RASA ISTRI
JANDA SUKSES DARI BOJONG KENCES


Suasana kampung Bojong Kences mendadak ramai dan heboh, hal itu dipicu dengan tersiarnya kabar bahwa salah satu warganya yang telah sukses bekerja di kota akan datang. Tampak Somad dan sang istri sudah duduk manis di teras, menanti putrinya yang akan datang sebentar lagi.

Sudah lima tahun anak sulung dari pasangan suami istri paruh baya itu mengadu nasibnya di kota sebagai seorang pembantu rumah tangga. Dia adalah Rohaeti, janda Bojong Kences yang sukses. Perceraian yang terjadi enam tahun lalu membuatnya nekat untuk berangkat ke kota metropolitan. Dan hari ini, Rohaeti kembali untuk menengok kedua orang tua dan juga untuk melepaskan rasa rindu kepada adik-adik serta sanak saudaranya di tanah kelahirannya.

Tidak heran, semua orang rela meninggalkan segala aktifitas serta pekerjaannya untuk sementara waktu, demi dapat bertemu dengan sosok yang digadang-gadang telah meraih kesuksesan tersebut. Mereka tahu sejarah perjuangan Rohaeti seperti apa, rumahnya saja yang semula hanya sebuah gubuk, kini telah berubah menjadi rumah permanen yang kokoh, walaupun tidak mewah, tapi sangat layak dan bersih.

Diantara kerumunan warga kampung yang berdesak-desakan, tampak seorang gadis berpakaian lusuh dan dekil, dengan susah payah ia menggerakan kakinya menuju barisan paling depan. Setelah berjuang selama setengah jam lamanya, akhirnya gadis berusia tiga belas tahun tersebut berhasil menjadi yang terdepan.

Tak peduli peluh membanjiri tubuh, wajah anak gadis berusia tanggung itu berseri karena ia sebentar lagi bisa melihat dari dekat sosok orang sukses yang sedang dinanti oleh seluruh masyarakat kampung Bojong Kences.

"Minggir ... Minggir! Mobil yang ditumpangi Neng Roroh mau lewat," teriak seorang pria gemuk berseragam hansip.

"Tin ... Tin!" suara klakson mobil Avanza hitam memecah kerumunan warga yang saling berebut ingin melihat sang idola kampungnya lewat.

Kaca mobil perlahan dibuka oleh wanita yang berdandan heboh, ia menebarkan pesona kepada seluruh warga yang berkumpul di depan tempat tinggalnya.

Tangan kanannya melambai-lambai keluar, memamerkan sederetan gelang keroncong yang berbunyi saat digerakkan.

"Neng Roroh, eduuuuunnn keren pisan!"

"Gustiiii, itu si Roroh kenapa jadi kaya artis gitu ya? Cantik, bening dan hebat euy!"

Suasana menjadi riuh. Tepuk tangan pun terdengar meriah membuat keadaan menjadi semakin panas. Begitu pula dengan anak kumel tadi. Ia tak henti berteriak memanngil Rohaeti. Namun apa daya, tubuhnya yang mungil dan kurus itu semakin lama semakin tersingkir. Orang-orang dewasa di sekelilingnya berdesakan ingin maju ke depan.

Rohaeti yang berbalut dress sepaha motif macan tutul bak artis dangdut itu, turun dari mobil yang ditumpanginya. Senyum mengembang memamerkan deretan gigi yang berselimut kawat pembatas warna-warni bertegangan tinggi. Bibirnya yang tebal dipoles gincu berwarna merah cabe-cabean, terlihat seperti vampire yang habis minum darah.

Sambil terus tersenyum menggoda, janda montok itu membuka kaca mata hitam berbentuk segi lima. Kelopak matanya menyilaukan karena dibubuhi blao, eh ... Eyeshadow biru maksudnya, hehe, dengan tambahan bulu mata anti tsunami yang melambai manjah membuat tampilan matanya semakin wah dan glamour.

Tidak sampai disitu, kedua pipinya yang disapu blush on merah keunguan nampak seperti pencuri ayam yang babak belur habis dihajar warga. Bukan Rohaeti namanya jika tidak PD. Kepercayaan diri yang tinggi, membuat wanita itu masih betah menjadi janda. Ia tak segan menyapa dengan gayanya yang genit, bak artis ibu kota.

Setelah puas beramah tamah, ia pun berjalan melenggak-lenggok bak pragawati menghampiri kedua orang tuanya. Dengan sopan, ia mencium tangan pria dan wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya.

"Emak, Abah, bagaimana kabarnya?" tanya Rohaeti menatap kearah ayah dan ibunya.

"Alhamdulillah Roroh, Emak jeung Abah sehat, kamu sendiri bagaimana?" jawab sang ibu sambil memeluk putri sulungnya.

"Alhamdulillah, Mak, Bah, seperti yang kalian lihat. Roroh sehat wal'afiat."

"Syukurlah, Roh. Abah bahagia melihat kamu sekarang."

"Semua berkat doa Emak dan Abah."

Ketiganya mengulas senyum bahagia, lalu sang ayah pun berpamitan untuk masuk kepada seluruh warga kampung yang masih berkumpul di halaman rumahnya.

"Bentar, Bah! Roroh mau bicara sebentar sama warga."

Rohaeti pun kembali menyapa para warga yang masih dengan setia stay tuned berdiri demi dapat melihatnya lebih lama, walau terik matahari menyengat tidak mereka pedulikan. Dengan sengaja ia menggeliat nakal, tiga kalung emas yang dipakainya mengayun ke kiri dan kanan mengikuti liukan tubuhnya.

"Assalamualaikum para warga tercintah, Roroh ucapin banyak terimaksih atas penyambutannya yang sangat meriah ini. Roroh sangat terharu dan bangga atas apa yang telah kalian lakukan ini, tapi beribu maaf Roroh ucapin ya para warga semuah, sekarang Roroh mau pamit istirahat karena habis perjalanan jauh."

"Huuuuu ...." Warga kecewa.

"Tenang, para warga semuah. Roroh dua minggu berada di kampung ini, ingsa Alloh nanti Roroh akan adain OPEN HOUSE alias jumpa penggemar dengan kalian semua, nanti akan ada orgen tunggal dan makan-makan, pokoknya mah keren pisan."

Wajah warga Bojong Kences seketika berubah bahagia. Mereka bersorak kegirangan, tepuk tangan pun kembali memeriahkan suasana.

"Ya udah atuh yah, Rorohnya mau istirahat dulu. Sok kalian pulang aja yah, yang mau ke sawah sok ke sawah, yang mau lanjut ke kebun sok dilanjut deui, dan emak-emak yang mau ke pasar dan mau masak sok mangga."

Tanpa dikomando, para warga pun bubar, mereka kembali melanjutkan rutinitasnya. Kebanyakan diantara mereka membicarakan sejarah masa lalu Rohaeti saat diselingkuhi oleh suaminya, Ajat.

Ajat berselingkuh dengan seorang janda beranak satu bernama Tinah, yang ditinggal mati oleh suaminya akibat penyakit panu menahun yang dideritanya. Pria yang sehari-hari berjualan sayur di pasar itu nekat bunuh diri dengan menenggak kopi yang telah dicampur dengan racun tikus.

Hal itu dilakukannya lantaran putus asa karena penyakit panunya tersebut tidak kunjung sembuh, sang istri pun menjadi acuh tak acuh terhadapnya, melalaikan segala kewajibannya.

Namun menurut desas-desus yang beredar, Ujang, suami Tinah itu meninggal bukan karena bunuh diri. Melainkan diracun oleh istrinya sendiri, lantaran wanita bertubuh montok itu sudah ingin terbebas dari kekangan sang suami yang dianggapnya sudah tidak beguna lagi.

Cerita mana yang benar, entahlah! Hanya Allah dan Tinah yang tahu.

"Meni keren pisan ya sekarang si Roroh," puji Parman, teman masa kecil Rohaeti.

"Bukan keren lagi, Man! Tapi eduuuunn, udah kaya artis ya penampilannya. Emasnya aja banyak, kamu lihat nggak tadi kalungnya meni ada tiga, dari yang terpendek sampai yang terpanjang," timpal agus, tidak mau kalah memuji.

"Iya Gus, Man, badannya saja sekarang ngisi, montok eplok cendol," tambah Oded sembari meliuk-liukan kedua tangannya, menggambarkan body Rohaeti yang aduhai.

"Si Ajat kalau tadi ada dan lihat mantan istrinya sukses begitu, pasti nyesel da dulu pernah selingkuh sama si Tinah yang bawelnya minta ampun, galak dan mata duitan, ih amit-amit aing mah da punya istri kaya gitu, haha!" seloroh Maman, diikuti oleh suara gelak tawa dari ketiga temannya.

Keempat pria berusia tiga puluhan itu merupakan tetangga sekaligus masa kecil Rohaeti, mereka adalah para PEJABAT (pengangguran Jawa Barat) yang pintar dalam hal memproduksi anak, tanpa memikirkan biaya hidup serta biaya pendidikannya. Untuk biaya hidup dan makan sehari-hari, mereka masih bergantung kepada orang tua juga mertuanya masing-masing.

Maka tidak heran, saat melihat kawannya sukses mengadu nasib di kota, mereka pun berkeinginan agar para istrinya mau mengambil jalan seperti Rohaeti, mereka tidak keberatan jika nantinya harus menjadi seorang "Bapak Rumah Tangga".

Tidak hanya mereka berempat yang berkeinginan bernasib sama dengan Rohaeti, seorang anak gadis berusia tanggung yang tadi ikut berdesak-desakan bersama para warga lainnya pun memiliki keinginan yang kuat untuk mengadu nasibnya di kota.

Perdebatan terdengar di sebuah gubuk reot yang terletak di ujung kampung, dimana anak tadi merengek-rengek agar diizinkan pergi ke kota.

"Mae, umur kamu itu masih tiga belas tahun. Kamu mau kerja apa nanti di kota?" tanya sang Ibu.

"Mae sudah mau empat belas tahu, lagi pula Mae udah bisa jadi pembantu kaya Teh Roroh, Mak. Mae kan sudah pintar masak, beberesih rumah dan urus adik-adik," kilah Mae meyakinkan kedua orang tuanya.

Ya, semenjak dirinya menjadi "pengangguran" akibat sudah tidak bersekolah lagi, ia lah yang mengerjakan segala pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengurus keempat adiknya. Sementara sang ibu, bekerja sebagai buruh cuci-setrika keliling.

"Tapi Mae, Apa berat izinkan kamu ke kota. Apa suka dengar cerita dari orang-orang di sawah yang punya tipi, katanya banyak tindak kejahatan terhadap anak kecil. Apa ngeri pisan, Mae."

"Apa, masalah musibah mah itu rahasia Allah, takdir Allah. Insya Allah, Mae nanti bisa jaga diri, kan Mae juga mau kerja kalau Teh Roroh yang carikan. Siapa tahu majikannya butuh pembantu lagi, atau mungkin saudara majikannya, atau mungkin tetangga dari majikannya itu yang lagi butuh pembantu."

"Tapi, Mae...."

"Mak, Pa, sok pikir ya sama Emak dan Apa! Mau sampai kapan kita kaya begini? Hidup miskin, dipandang remeh orang lain, kadang keberadaan kita mah nggak pernah dianggap atuh da. Capek Mae hidup kaya gini terus, Mae kasihan sama Ratih, Ridwan, Rahman dan Rahim yang selalu menangis akibat lapar dan pengen jajan kaya teman-temannya."

Dahlan menunduk lesu, ucapan putrinya barusan manjadi sebuah tamparan yang sangat telak baginya. Hatinya teriris, sebagai seorang kepala rumah tangga ia tidak dapat memberikan kebahagiaan serta kecukupan kepada anak dan istrinya.

"Maafin Apa ya, Mae! Harusnya mah Apa yang kerja, tapi Apa bingung mau kerja apa, SD aja nggak tamat da Apa dulu harus ngangon kambing punya tetangga kalau mau makan, Nenek kamu sudah sakit-sakitan, anaknya yang masih hidup Cuma Apa. Kakak Apa ada lima tapi meninggal semua karena kena gizi buruk, akhirmya Apa hanya bisa menggarap sawah orang. Itu pun hasilnya nggak menentu."

"Apa jangan ngomong kaya gitu, Mae bahagia dan bangga menjadi anak Apa. Karena Apa adalah ayah yang terbaik, selalu mengajarkan kami agar tetap bersyukur walaupun dalam keadaan yang tersulit sekalipun. Untuk itu, Apa tolong izinkan Mae ke kota ya! Teh Roroh pasti akan mencarikan majikan yang baik untuk Mae."

Dahlan diam, pikirannya bercabang kemana-mana. Melihat hal itu, Mae tidak tinggal diam. Dengan suara agak lantang ia pun kembali bertanya.

"Gimana Apa? Kok ngelamun, boleh kan Mae ke kota?"

Ayah lima orang anak itu menarik napas panjang, batinnya berkecamuk hebat. Sejenak, ia menatap nanar wajah putrinya.

"Nanti malam Apa mau ke rumah Roroh ya, Mae. Kalau dia bisa mencarikanmu pekerjaan yang baik, ingsa Alloh Apa ngizinin Mae berangkat."

"Ide yang bagus itu, Pa. Emak oge setuju pisan, mudah-mudahan aja Gusti Alloh meridhoi langkah anak kita untuk kerja di Jakarta."

"Amiin," ucap ketiganya bersamaan.










bonita71Avatar border
enjihalala25Avatar border
ArakaAvatar border
Araka dan 62 lainnya memberi reputasi
59
39.3K
162
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
aniedatannishaAvatar border
TS
aniedatannisha
#6
BAB 7

Siang berganti malam, sang surya telah kembali ke peraduannya, berganti dengan cahaya bulan yang ditemani oleh bintang-bintang yang menyiratkan sejuta keindahan.

Di rumah mewah dan megah itu, tampak Mae tengah bersiap menghadap kedua majikan Rohaeti yang merupakan anak menantu dari Madam Lisa.

Usai menyisir rambutnya, gadis berpiyama merah jambu itu berjalan mengikuti Rohaeti menuju ruang keluarga.

Desain interior beserta perabotan mewah yang tertata rapi di ruangan tersebut, lagi-lagi mengundang decak kagum Mae. Matanya terbalalak berkeliling ke setiap sudut ruangan berukuran luas itu.

Bagaimana tidak, semua yang ada di rumah tersebut sangat indah, mewah, mahal dan berkelas.

“Mae, ini kenalkan majikan Teteh, Tuan Robert dan Nyonya Lestari,” ucap Rohaeti sambil mencolek bahu Mae yang masih celingukan melihat-lihat keindahan ruangan.

“Eeh, maaf Teh. Apa tadi Teh?”

“Hmm, dasar kamu Neng. Ini kenalin majikan Teteh, Tuan dan Nyonya Lestari.”

“Maafkan sikap saya, Tuan dan Nyonya. Saya sangat kagum dan takjub karena rumah ini sangat menwan dan indah sekali,” seru Mae. Kemudian ia mencium tangan kedua pasangan suami istri yang sedang duduk santai di sofa. “Perkenalkan nama saya Maesaroh Ferlani, Tuan dan Nyonya panggil saja saya Mae.”

Lestari yang dengan ramah, tersenyum kearah Mae. Kemudian ia pun berkata, “kamu masih sangat kecil untuk bekerja, Nak.”

“Tidak ada pilihan lain, Nyonya. Jika saya tidak nekat, maka kehidupan keluarga saya tidak akan berubah. Pasti kemiskinan akan betah tinggal bersama kami, hehe.”

“Ya Allah kasihan sekali kamu, semoga kamu nanti betah ya mengurus Ibu mertuaku.”

“Insya Allah, Nyonya.”

“Ehm,” dehem Robert menyela pembicaraan keduanya. “Mae, kamu besok akan saya antar ke rumah Ibu saya. Setelah sarapan, kamu bersiap ya!”

“Baik, Tuan.”

“Oh iya, kemasi semua pakaianmu! Karena ada kemungkinan besok kamu akan langsung bekerja di rumah Ibu saya, itu artinya kamu akan tinggal di sana.”

“Baik, Tuan. Maaf Tuan, boleh nggak Teh Roroh ikut menemani? Jujur, saya agak grogi.”

“Haha, grogi kenapa? Kaya mau manggung aja kamu itu pakai grogi segala.” Tawa pria berhidung bangir itu memecah keheningan, begitu pula dengan sang istri dan Rohaeti.

“Hehe, kalau ada Teh Roroh sayanya ngerasa aman, Tuan.”

“Kalau kamu mau lebih aman, kamu minta Pak Harun yang temani kamu, pasti akan jauh lebih aman, karena dia adalah satpam di rumah ini, haha.”

Wajah Mae memerah diledek Robert, ia pun ikut tertawa dibalik tangan yang menutup mulutnya.

“Ya sudah, kamu istirahat sana! Persiapkan diri untuk besok!”

“Teh Roroh jadi ikut kan Tuan?”

“Ya, asal jangan kamu suruh dia untuk tinggal bersamamu di sana!”

“Hehe, ya enggak dong Tuan,” jawab Mae mesem-mesem.

Setelah itu Mae dan Rohaeti kembali ke dapur, keduanya makan malam bersama.

Mae makan sangat lahap sekali, wajar saja karena seumur hidupnya baru kali itu ia bisa makan dengan menu yang enak dan pastinya dengan puas, tanpa harus berbagi dengan keempat adiknya seperti di kampung dulu.

“Sok habiskan nasi dan sayurnya, Neng!”

“Teh Roroh masih mau makan nggak?”

“Enggak, Neng. Teteh nggak bisa makan malam banyak-banyak, takut gendut.”

“Oh, Teteh lagi diit ya?”

“Haha, diet Neng, bukan diit.”

“Haha, tah eta maksudnya. Lupa sayah.”

“Ah dasar kamu mah, ada-ada aja. Sok cepat habiskan!”

“Siap Teh, hehe.”

Dengan semangat berkobar, Mae menuangkan nasi dan sayur capcay yang tersisa ke dalam piring saji, lalu melahapnya sampai habis.

“Teh, Mae saja yang cuci piring. Teteh beresin aja mejanya.”

“Ok, Neng.”

Mae mengangkat seluruh piring kotor di meja makan, lalu membawanya ke wastafel untuk dicuci. Ia tampak kebingungan, celingukan seperti sedang mencari-cari sesuatu.

“Caria apa, Neng?”

“Sabun colek sama abu gosoknya mana, Teh?”

“Haha, teu jaman Neng cuci piring pakai kedua benda pusaka itu. Pakai sabun cuci yang ada di botol itu.”

“Ini? Papa Lemon?”

“Iya itu.”

“Har, kirain ini sirop. Da ada gambar jeruknya.”

“Haha, minum weh kalau kamu mau mah.”

“Ish, jor weh, haha. Ke Mae mati atuh Teh.”

“Haha, kamu mah aya-aya wae atuh da.”

“Hehe, terus ini nyucinya pakai busa warna kuning dan hijau ini?”

“Iya, kan waktu praktek dulu di rumah teteh kamu pakai juga yang kaya gitu, neng.”

“Ey, nggak ah. Kan waktu training di rumah Teteh, Mae nggak disuruh cuci piring.”

“Oh iya? Haha, lupa Tetehnya Neng.”

Mereka pun tertawa, Rohaeti tergugu dengan kepolosan Mae. Setelah pekerjaan selesai, keduanya pun beranjak ke kamar untuk beristirahat.

Keesokan harinya, usai sarapan. Mae dan Rohaeti sudah berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Robert. Tampak Lestari duduk di samping suaminya yang terlihat gagah dan tampan dengan balutan kemeja berwarna hijau toska.

Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, mereka pun tiba di tempat tujuan. Robert mengajak Mae untuk masuk dan menyuruhnya duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

Sementara Rohaeti mengikuti nyonyanya masuk ke dalam.

Mae duduk dengan lutut gemetar, kedua telapak tangannya mendadak dingin, keringatnya mendadak keluar tanpa bisa dikendalikan. Berkali-kali ia menyeka keringat yang membasahi keningnya.

Mulutnya komat-kamit, membaca surat-surat pendek yang ia hapal. Hal itu dilakukannya demi mengusir rasa takut dan grogi yang menyerangnya.

Dua puluh kemudian, muncul Robert dengan menuntun seorang wanita paruh baya bermata biru, sama sepertinya.

Rambutnya ikal memutih, kulitnya putih kemerahan, wajahnya terlihat sangat galak, tidak ada senyuman ketika Mae berdiri untuk menghormati kedatangannya.

Mata Madam Lisa menatap tajam kepada gadis tinggi kurus yang berdiri di hadapannya, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Rohaeti yang diam-diam berdiri di belakang Robert, memberi isyarat agar Mae segera mencium tangan calon majikannya.

Anak dari pasangan Dahlan dan Marni tersebut menurut, ia maju beberapa langkah ke depan Madam Lisa, lalu meraih tangan yang mulai keriput itu, dan kemudian mencium punggung tangannya dengan takzim.

“Selamat pagi, Madam. Perkenalkan nama saya Maesaroh Ferlani, Madam bisa panggil saya dengan nama kecil saya yaitu Mae,” sapa Mae ramah.

“Aku tidak mau diurus oleh anak sekecil itu, Bert. Yang dewasa saja tidak becus, apalagi dia,” bisik Madam Lisa kepada putranya.

“Tapi, Mom ….”

“Tidak ada tapi, kita sudah bicara tadi di dalam, bahwa aku berhak menolak seandainya aku tidak suka kepadanya.”

“Ayolah, Mom! Beri si Mae ini kesempatan untuk bekerja, kalau dalam waktu satu bulan ia tidak bisa bekerja dengan baik, baru Mommy boleh memecatnya. Kasihan dia sudah datang jauh-jauh dari kampung.”

“Aku tidak peduli, kamu beri saja dia uang untuk beli tiket ke kampung, masalah selesai kan!”

Mendengar percakapan yang tidak mengenakan itu, hati Mae hancur. Semangat yang menggebu-gebu di dalam hatinya, kini berubah menjadi duka nestapa yang tidak dapat terbendung.

Tangisnya pecah, dengan suara lirih ia pun berkata kepada Madam Lisa, “Madam, berilah saya kesempatan! Jangan kubur mimpi saya untuk bekerja, adik-adik saya butuh biaya. Walaupun gajinya kecil, saya nggak masalah Madam, asalkan uang tersebut bisa membantu perekonomian keluarga saya. Hiks.”

“Kamu tidak usah merengek seperti itu! Rumahku bukan panti sosial, aku butuh pengurus, bukan anak kecil yang belum bisa apa-apa.”

“Di kampung, saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah, Madam. Keempat adik saya pun, saya yang urus karena Ibu harus ikut bekerja membanting tulang sebagai buruh cuci setrika keliling.”

Air mata mae terus berlinang, membasahi pipinya. Suaranya parau terdengar, namun hal itu tidak serta merta membuat wanita yang telah lima tahun ditinggalkan oleh suaminya itu menjadi luluh dan iba kepadanya.

“Apa kamu sanggup kalau nantinya aku suruh-suruh kamu terus, tanpa kenal waktu istirahat?” tanya Madam Lisa dengan suara lantang.

“Sanggup, Madam.”

“Apakah kamu sanggup jika saat tengah malam aku bangunkan hanya untuk mengambilkan segelas air putih dingin di lemari es?”

“Sanggup, Madam.”

“Apakah kamu sanggup jika kamu harus memasak tiga menu yang berbeda di setiap waktu makanku tiba, di setiap harinya karena aku tidak mau makan dengan makanan yang sama, apalagi dipanaskan?”

“Sanggup, Madam.”

“Apakah kamu sanggup jika sedang enak tidur, aku bangunkan hanya untuk mengantarkan aku ke toilet untuk buang air kecil atau buang air besar?”

“Sanggup, Madam. Apapun yang Madam perintahkan, akan saya lakukan dengan sebaik-baiknya. Saya sangat butuh pekerjaan ini, Madam.”

Madam Lisa melirik putra sulungnya, “tetap saja aku ragu, Bert. Walaupun dia sudah katakan sanggup, tetap saja aku nggak suka sama dia.”

“Moom, please!”

“No, Bert! Tidak ada kompromi lagi. Kalau kamu mau, pekerjakan saja dia di rumahmu. Sudahlah, aku tidak mau berdebat lagi, aku mau melanjutkan tidurku.”

“Madam, jangan begitu Madam. Kalau Madam menolak saya, saya harus kemana?”

“Pulanglah ke kampungmu! Nanti anakku yang akan memberikan ongkos pulang kepadamu.”

Madam Lisa berdiri, melangkahkan kakinya dengan perlahan.

Melihat hal itu membuat Robert serba salah, ia pun kemudian segera berdiri dan menuntun sang Ibu berjalan kembali ke dalam kamarnya.

“Madaaaaam, tolong jangan perlakukan saya seperti ini! Beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya layak untuk menjadi pengurusnya Madam. Huuuu,” raung Mae duduk bersimpuh.

Melihat hal itu, membuat hati Rohaeti bersedih. Ia segera menghampiri Mae dan kemudian memeluknya dengan erat.

Sambil terisak ia pun berusaha menenangkan hati anak yang terlihat sangat hancur perasaannya.

“Sabar, Neng. Sabar!”

Lestari menghampiri keduanya, “Mae, yang kuat ya! Memang begitu Madam. Saat ini Tuan Robert sedang membujuk Ibunya, semoga ada kabar baik ya.”

Tangis Mae mereda, ia menatap kearah Lestari yang berjongkok di depannya. “Tolong saya ya, Nyonya! Saya sangat butuh pekerjaan ini.”

“Insya Allah, Nak. Kami sudah dengar kisah hidupmu dari Rohaeti.”

Lestari mengajak Mae untuk duduk di sofa, ia pun menyuruh asisten rumah tangganya untuk mengambilkan segelas air putih.

Beberapa saat kemudian, Rohaeti muncul dengan nampan berisi segelas air putih untuk Mae.

“Minumlah, Mae!” ucap Lestari memberikan gelas kepada Mae.

Mae meraihnya, lalu meneguknya setengah. “Terima kasih, Nyonya.”

“Sudah jangan menangis lagi, kamu harus tenang dan percaya sama Allah, bahwa rezeki sudah diatur oleh-Nya.”

“Nyonya sangat baik, semoga Nyonya selalu diberikan perlindungan oleh Allah.”

“Amiin, kamu juga anak baik, Mae. Seandainya saja kami punya anak, mungkin aku sangat bahagia, hiks.”

“Kenapa Nyonya nggak punya anak?”

“Allah belum mempercayakan kami untuk memliki momongan, Mae. Doain ya semoga saya segera bisa hamil.”

“Amiin ya Allah, semoga semua doa dan harapan Nyonya tersebut segera diijabah oleh Allah.”

“Amiin ya Allah, saya tinggal dulu ke belakang ya Mae.”

“Iya, baik Nyonya.”

Sepeninggal Lestari, Roheti duduk di samping Mae yang kini sudah terlihat lebih tenang dari sebelumnya.

Tak lama, terdengar suara derap langkah seseorang dari dalam rumah. Ia adalah Robert. Saat pria jangkung itu datang, keduanya langsung berdiri.

“Mae, ada kabar baik untukmu.”

“Saya diterima, Tuan?”

“Iya, Madam akhirnya mau menerimamu. Duduklah!”

“Alhamdulillah ya Allah, Engkau mengabulkan semua doa-doaku.” Dengan sumringah, ia menyapu wajah dengan kedua tangannya sebagai bentuk tanda syukur kepada yang Maha kuasa atas rezeki yang baru saja diberikan kepadanya.

“Kamu harus tahan mental ya bekerja di sini! Madam orang yang mudah marah, tapi percayalah hatinya itu sangat baik sekali. Pintar-pintarlah mengambil hatinya! Yang terpenting kamu harus jujur saat bekerja, karena dengan kejujuran, kamu akan disayang oleh majikanmu. Kamu mengerti?!”

“Insya Allah, saya akan menuruti semua nasihat yang Tuan ucapkan barusan.”

“Oh iya, untuk masalah gaji, nanti saya yang akan berikan. Untuk tiga bulan pertama saya akan berikan gaji sebesar satu juta rupiah, setelah kamu lulus masa percobaan, maka gaji akan dinaikkan dua kali lipat. Untuk semua keperluan kamu, mulai dari perlengkapan mandi, pakaian jika ada yang sudah rusak mau ganti, keperluan pribadimu seperti bedak, pembalut dan yang lainnya nanti kamu bilang saja kepada Bik Sumi. Dia nanti yang akan belikan.”

“Alhamdulillah, terima kasih Tuan,”

“Tugasmu di rumah ini adalah hanya mengurus dan melayani segala keperluan Madam. Kamarmu berada di sebelah kamar Madam, kamar tersebut adalah kamar tamu sebenarnya, tapi berhubung kamu tidak boleh berjauhan dengan Madam, maka kamu harus menempati kamar tersebut. Ini adalah buku catatan jadwal Madam setiap harinya, di dalamnya juga ada menu makanan yang harus kamu masak. Nanti Bik sumi yang akan membantu kamu. Kamu mengerti Mae?”

“Sangat mengerti, Tuan.”

“Ya sudah kalau begitu, saya mau berangkat ke kantor dulu.”

“Silahkan Tuan, eh tapi maaf saya ingin meminta sesuatu sama Tuan.”

“Apa itu? Katakanlah!”

“Mengenai uang gaji saya, sebaiknya Tuan titipkan saja kepada Teh Roroh, biar nanti Teh Roroh yang kirim uang gaji saya tersebut kepada Abahnya, karena orang tua saya tidak punya rekening di bank.”

“Ok, selamat bekerja ya Mae. Semoga kamu betah. Saya titip Ibu saya, jaga dan rawat beliau dengan sebaik-bainya.”

“Baik, Tuan.”

Mae memeluk tubuh Rohaeti yang duduk di sampingnya, rasa bahagia yang dirasakannya sungguh tidak terkira.

Satu langkah menuju masa depannya yang lebih baik sudah ia lewati, terbayang wajah keempat adiknya yang menyunggingkan senyuman kebahagiaan karena bisa hidup dengan layak.

Terbersit juga rasa haru karena ia kini bisa meringankan beban berat yang dipikul oleh kedua orang tuanya selama ini.

“Selamat ya, Neng. Teteh ikut bahagia.”

“Makasih banyak Teh, Teteh udah banyak berjasa dan menolong hidup Mae.”

“Sama-sama, Neng. teteh udah anggap kamu kaya adik Teteh sendiri, oh iya jangan sungkan ya, kalau ada apa-apa telpon Teteh! No telpon rumah Tuan Robert ada kok di buku telpon samping pesawat telpon yang ada di meja dekat guci besar itu.”

“Iya, Teh.”

“Yuk, Teteh anterin kamu ke kamar. Kamu pasti kaget dan kagum lihat kamar kamu nanti.”

“Masa sih, Teh?”

“Hooh, Neng. Kan kamu nempatin kamar tamu, biasanya kamar tamu itu bagus, lain dengan kamar asisten rumah tangga kaya Teteh atau Bik Sumi.”

Rohaeti menarik tangan Mae, lalu mengajaknya ke sebuah ruangan yang pada bagian depan pintunya dihias sepasang gorden cantik.

Benar saja, gadis yang sebentar lagi akan menginjak usia ke-14 itu dibuat takjub akan keindahan dan kemewahan kamar yang akan ditempatinya itu.

“Masya Allah, ini kamar bagus sekali. Ada tivinya juga ya Teh, lebih gede dari tivi di kamar Teteh, hehe. Itu ruangan apa Teh?” mae menunjuk sebuah pintu kaca motif bunga-bunga pada permukaannya.

“Itu kamar mandi, Neng.”

“Gusti Nu Agung, meni bagus pisan.” Mae membuka pintu kaca tersebut.

Namu saat masuk, ia terlihat agak kebingungan. Rohaeti yang menyadari hal itu segera menghampirinya.

“Kamu kenapa? Kaya orang kebingungan.”

“Justru bingung sekali, Teh.”

“Bingung kenapa?”

“Ini beneran kamar mandi?”

“Iya, emangnya kenapa?”

“Aneh Teh, nggak ada bak mandi, nggak ada gayung. Gimana nanti mandinya? Belum lagi kalau BAB, ceboknya gimana?”

“Haha, dasar si Mae udik. Horang kayah, apalagi bule kaya Madam nggak kenal bak mandi dan gayung Neng. Nanti kamu mandi pakai shower. Kalau untuk cebok, itu ada selang putih di samping closet duduk. Itu tuh!”

“Yang kaya mic itu?”

“Iya.”

“Yang berlubang-lubang itu?”

“Iyaaaa, Neng.”

“Gimana cara pakainya Teh?”

“Haha, sini Teteh unjukin cara pakainya. Ini cara pakai shower.”

Mae tertawa sendiri, ia terheran-heran dengan alat yang dipegang Rohaeti itu seketika mengeluarkan air dari lubang-lubang yang ada di sekeliling permukaannya sesaat setelah krannya dibuka.

“Jadi kaya hujan-hujanan ya Teh?”

“Iya, terus kalau kamu mau cebok dan bilas waktu kamu BAB, ini alatnya. Tinggal ditekan nanti air akan keluar untuk membilas kotoran yang ada, nih kaya gini nih. Lalu untuk cebok, tekan tuas ini, nanti selangnya akan mengeluarkan air sesuai dengan tekanan yang kamu lakukan, kaya gini nih.”

“Masya Allah, ajaib pisan ya Teh.”

“Hehe, lucu kamu mah Neng. Alat mandi kamu bilang ajaib.”

“Memang ajaib banget Teh, nggak kaya di kampung. Hehe.”

“Yuk, kita kembali ke kamar kamu.”

Mae menurut, dengan wajah berseri-seri ia pun berjalan sambil tiada henti mengumbar senyuman di bibirnya yang mungil.

Setelah puas melihat kamarnya, kini Mae diajak Rohaeti ke dapur untuk berkenalan dengan Sumi, asisten rumah tangga Madam Lisa. Dengan sopan, Mae memperkenalkan dirinya sembari mencium punggung tangan wanita berusia empat puluhan itu.

“Tolong ajarkan Mae semua tugasnya ya, Bik.”

“Insya Allah, Roroh. Kamu tenang saja, saya akan bantu Mae.”

“Makasih banyak ya, Bik. Nah, Mae Teteh sudah waktunya kembali pulang. Karena banyak tugas yang harus Teteh selesaikan di sana. Kamu harus bertahan di sini, kamu harus belajar tuli, jangan dengarkan caci maki Madam saat ia tidak suka dengan pekerjaanmu. Jadikan caci maki itu sebagai perbaikan pada diri, jangan patah semangat, harus tetap berjuang. Ingat adik-adikmu di kampung!”

“Iya, Teteh. Sekali lagi terima kasih banyak atas bantuan dan dukungannya selama ini. Semoga Allah memberikan keberkahan dan kebaikan dalam setiap langkah di dalam hidup Teteh.”

“Amiin ya Robbal Alamin, Teteh pamit ya. Yuk Bik Sum, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab Mae dan Sumi berbarengan.

Sepeninggal Rohaeti, Mae diajak Sumi untuk mulai memasak menu makan siang majikannya, ia menunjukkan isi lemari es yang isinya khusus menyimpan segala bahan masakan, daging, ikan serta buah-buahan untuk majikannya itu.

“Kalau kulkas yang itu untuk apa, Bik?”

“Itu kulkas rame-rame, kan Bik Sumi juga masak sehari-harinya untuk suami Bibik dan Tuan Aldrich.”

“Tuan Aldrich itu anak bungsunya Madam ya, Bik?”

“Iya, kok kamu tahu?”

“Teh Roroh yang cerita.”

“Iya, Cuma dia jarang di rumah. Sekarang saja lagi berlibur dan katanya habis liburan dia mau langsung naik gunung, seminggu yang lalu dia berangkat bersama teman-temannya.”

“Loh, memangnya Tuan Aldrich itu nggak kuliah?”

“Sedang libur semester.”

“Oh gitu, enak ya jadi orang kaya Bik. Banyak uang bisa pergi kemana aja yang dimaunya, hehe.”

“Ya begitulah, Mae. Oh iya, hari ini menu makan siang Madam sayur sup tanpa ayam ataupun daging, hanya ditambah macaroni dan kembang tahu. Yuk sini Bibik ajarkan cara-caranya.”

“Baik, Bik.”

Mae pun beranjak menuju meja dekat kompor, kemudian ia menaruh wadah berisi sayuran yang diambil oleh Sumi dari dalam kulkas tadi.

Lalu dengan jelas dan terperinci wanita yang sudah sepuluh tahun bekerja di rumah tersebut pun mulai mengajarkan asisten pribadi majikannya itu memasak masakan yang sehat serta higienis.
mmuji1575
ciptoroso
tantinial26
tantinial26 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.