- Beranda
- Stories from the Heart
DUSTA [Chapter 1]
...
TS
nanitriani
DUSTA [Chapter 1]
“Aku menyayangimu," satu kalimat meluncur tanpa aba-aba. Desah angin menelisik senja yang kian menjingga, menerpa sepasang mata yang sedang beradu tatap. Bangku taman dengan cat berwarna putih, terpaku di bawah pohon yang daunnya kian mengering dan gugur tersapu angin. Dan kami, aku dan Joe, memilih untuk tidak mendudukinya, berdiri dengan ribuan sumpah serapah yang tertahan di dalam kepala dan perih yang menguliti permukaan hati.
Aku hanya bisa menatapnya, mendesah tertahan. Lantas, apa yang harus aku lakukan, selain membalas perasaanya? Mulutku yang kaku perlahan terbuka, "Tapi, kau sudah bersama dia, kau ingat?"
"Kau salah paham, Rein, sungguh," napas Joe tertahan sepersekian detik. "Aku dan dia tidak seperti apa yang kau bayangkan. Aku serius," ucapnya seolah meyakinkan.
Sekali lagi, apa yang harus aku lakukan selain membalas perasaannya? Aku tidak bisa menyangkal bahwa hatiku juga merasakan perasaan yang sama. Ah, benar, apakah sebentuk rasa yang dikatakannya benar adanya? Entahlah.
“Reina? Kenapa kau diam?” Tatap Joe menyelidik.
Kegelapan seolah tak sabar menggelitik langit yang hampir kehilangan sinar jingga sang mentari, hari pun merangkak menuju malam. “Sepertinya hari mulai gelap, Joe, kita bertemu lagi besok, ya?”
“Tapi bukan ini tujuan kita bertemu. Ada yang harus kita tuntaskan. Kau bahkan diam. Ya, diam. Bahkan menatap mataku pun sepertinya kau enggan.” Untaian kalimat keluar dari mulut Joe dengan wajah yang tampak merah padam.
“Tuntaskan? Apa yang harus kita tuntaskan, Joe?” Aku terdiam sejenak, menahan butiran air mata yang sepertinya tak tahan untuk segera mengalir di pipi. “Kita ... Ah ... Ya, kau ingat?”
“Apa maksudmu, Rein? Katakan dengan jelas.”
“Tidak ada yang perlu dituntaskan di antara kita. Apa maksudmu? Tuntaskan?” Seulas tawa berhasil kupaksakan menggurat di wajahku.
“Kau kenapa, Rein?” Tanya Joe yang kian tampak pasrah dengan keadaan yang disuguhkan.
“Tuntaskan? Kita ... sudah selesai. Tidak ada yang belum tuntas di antara kita.”
Joe tertunduk menatap rumput yang hijaunya kian tertelan gelapnya hari yang beranjak malam. Dengan ragu, perlahan Joe menatap wajahku, “Kau sudah tidak mencintaiku. Perasaanmu sudah hilang, benar?”
Aku tertegun. Mana mungkin perasaanku sudah hilang. Aku bahkan terlanjur menikmati sakit yang dia hempaskan tanpa ampun. “Joe, hari sudah gelap, masih ada hari esok. Mari kita lanjutkan pembicaraan ini esok siang.” Tanpa meminta persetujuan darinya, aku mebalikkan punggungku dan perlahan pergi, meninggalkan sosok Joe yang tampaknya diam mematung dengan alunan kata yang terpaksa ia bungkam.
Aku menelusuri jalanan yang mulai menyuguhkan deretan cahaya lampu. Kota ini, kota kecil dengan keindahan yang sederhana, menjadi saksi manis tentang ribuan kata penuh amarah yang kumuntahkan dalam bisik. Aku mendongak ke atas, langit sempurna menggelap. Perasaanku kian berkecamuk tak menentu. Angin malam mulai menyapu setiap jengkal kulitku, dingin. Jarak dari rumahku ke taman kota memang terbilang dekat, dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 menit. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumah dengan air mata yang mendingin menyelimuti pipi.
Tentang sebuah perasaan yang baru saja diungkapkan Joe, apa benar dia selalu menyayangiku? Dan perempuan itu, di antara mereka tidak terjadi apa-apa? Sebatas teman? Sungguh? Ah, entahlah. Aku ... ya, aku ... hanya bisa menerimanya, lagi dan lagi.
*Bersambung*
Sumber Gambar (Cover)
DUSTA [Chapter 2]
DUSTA [Chapter 3]
DUSTA [Chapter 4]
DUSTA [Chapter 5]
DUSTA [Chapter 6/TAMAT]
Diubah oleh nanitriani 07-07-2021 17:18
Rohmatullah212 dan 9 lainnya memberi reputasi
8
2.5K
71
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nanitriani
#3
DUSTA [Chapter 2]

Aku menatap langit-langit kamar dengan lampu yang cahaya putihnya menusuk mata. Seolah tak sempat untuk merasa silau, pikiranku kian gelap dan kalut. Riri, sebuah nama yang bukan tanpa alasan selalu kubenci, bahkan hanya dengan deretan huruf tak bernyawa. Sosoknya yang cantik dengan balutan senyum yang manis dan kulitnya yang laksana salju terjamah sinar mentari. Wajahnya seolah sebuah karya seni yang dilukis sempurna. Matanya bulat dengan tatapan teduh, hidungnya yang mungil nan mancung, bibirnya yang berwarna merah muda, bahkan dia mempunyai gingsul yang memperindah caranya tertawa dan bergurau dengan lelakiku, Joe. Ya, betul, satu-satunya alasan mengapa aku selalu membencinya karena dia jauh lebih cantik dariku. Meski Joe selalu meyakinkanku bahwa parasku mempunyai definisi cantik yang berbeda dengan Riri, tetap saja, aku tahu dia hanya berdusta.
Aku dan Joe sudah dekat semenjak SMA. Dia sudah berkali-kali dekat dengan perempuan lain dan pada akhirnya selalu menjadikanku tempat pulang. Tak peduli sudah berapa perempuan yang telah tersenyum bahkan menangis dibuatnya, ketika dia sudah lelah bermain, dia akan kembali kepadaku. Dan aku, tentu saja, aku selalu menyambut kepulangannya. Namun, berbeda dengan Riri. Menurutku, dia yang paling cantik di antara yang lainnya, termasuk aku. Aku merasa ... Riri mempunyai posisi yang sama denganku. Aku merasa ... ketika Joe bersamanya, dia enggan pulang. Satu kebenaran yang sebenarnya selalu kupungkiri adalah tentang mereka yang saling mencintai di belakangku. Kebenaran lainnya yang tak kalah menyakitkan, Joe tak bisa memilih antara aku dan Riri. Dia ... hanya bisa mengukir dusta.
Aku dan Joe baru memasuki dunia perkuliahan di tahun pertama. Kami memang memutuskan untuk memilih kampus dan jurusan yang sama dan sisanya hanya takdir semesta. Ya, aku dan Joe berada di kelas yang sama. Kelas B Psikologi, yang juga merupakan tempat dimana kisah cinta Joe dan Riri dimulai.
***
Setengah semester sudah aku lewati tanpa Joe. Dari sekian banyak janji yang sudah biasa hanya terucap dan dilupakan, yang satu ini yang menurutku paling menyakitkan. Yaitu, ketika dia berjanji untuk bersikap sedikit lebih dewasa, tentang kesungguhannya kepadaku tanpa ada perempuan lain lagi. Kala janji itu terucap, aku hanya bisa percaya sampai wanita itu datang.
“Rein, aku mau bicara,” Riri menghampiriku ketika semua mata kuliah di hari senin ini sudah tuntas.
Sinar mentari yang menjingga kini mulai menerobos ke sela-sela jendela kelas. “Sudah sore. Lain waktu, ya,” aku menarik napas sejenak, “Emm, maksudku, ketika aku mau.” Aku membalikkan badan dan bersiap untuk meninggalkan ruangan.
“Ini tentang Joe,” dia masih berusaha menahanku.
Aku kembali menoleh kepadanya, “Urusanku?”
“Tentu saja,” dia menatapku tajam, “Urusanmu.”
Aku menyunggingkan seulas senyum untuk menghargai usahanya bersuara, “Urusanku? Benar, kah? Sepertinya menarik. Baik, bicaralah.”
“Dia selalu membicarakanmu di hadapanku.”
“Lalu?”
“Aku sudah muak, Rein.”
“Jadi, ini yang kau sebut urusanku?”
“Ya, benar.”
“Lucu sekali. Bagaimana bisa disebut urusanku sedangkan aku tak sedikit pun peduli?”
“Dengarkan aku dulu, Rein.” Kulit wajahnya yang cerah kini mulai memerah, “Sungguh, tak kupungkiri, dia sangat mudah membuatku jatuh cinta.”
“Itu memang keahliannya. Luara biasa, bukan?” Aku sedikit menahan tawa yang sebetulnya terbalut luka.
“Aku tahu, dia membuat pengakuan kepadaku bahwa dia sangat sering mempermainkan perempuan. Tapi itu dulu, sungguh. Lalu, dia bersumpah bahwa aku berbeda dari yang lainnya. Dia tak akan tega menjadikan pertemuan denganku diakhiri dengan perpisahan.” Dia berhenti sejenak seakan sedang memungut kata-kata yang terhempas di udara, “Dia juga menyebutkan bahwa kau sama denganku, ya ... berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah ia dekati.”
Napasku tertahan sejenak. Aku sudah menduga bahwa Riri memang berbeda dari yang lainnya. Aku dan dia ... berada di lerung yang sama, relung hati Joe. “Sampai sini, aku masih belum mengerti mana bagian yang menjadi urusanku.”
“Apa kau masih mencintainya?” Tanyanya denga berani.
Aku menatapnya dengan amarah yang terkungkung di kerongkongan, “Sungguh, kali ini bukan urusanmu.”
“Bisakah kau menjauhi Joe?” Pungkasnya terus terang.
Sekali lagi kuamati wajahnya. Terlihat napasnya memburu dengan rona wajah yang merah padam. Gejolak amarah di hatiku semakin membuncah tak tertahan, ada tangis yang dengan susah payah kugenggam. “Maksudmu ... kau ingin menyingkirkanku?”
*BERSAMBUNG*
Sumber Gambar (Cover)
Diubah oleh nanitriani 22-06-2021 21:59
mr..dr memberi reputasi
1
Tutup