- Beranda
- Stories from the Heart
Seumur Hidup Dibalik Penjara
...
TS
blackgaming
Seumur Hidup Dibalik Penjara
Seumur Hidup Dibalik Penjara

Chapter 1

Spoiler for Update Chapter:
Chapter 1
"Ayo masuk! ini rumahmu sekarang!"
Lantai beralaskan tikar plastik. Di dalam ada sekitar delapan orang wanita yang sama bajunya denganku, seragam penjara. Padahal daya tampungnya cuma lima orang.
Ini hari pertamaku di penjara dengan hukuman seumur hidup. Aku seorang istri sekaligus ibu dari tiga orang putri yang cantik-cantik. Banyak yang bilang, anak-anakku bidadari komplek.
Aku duduk di penjara yang sempit ini, dengan perasaan teramat asing, aku berusaha menyesuaikan diri hingga ajal menjemput. Aku akan menghabiskan sisa hidupku di sini dengan hati yang kuat menahan rasa rindu kepada ke tiga putri-putriku.
"Hey! Ini tempat dudukku, sana!"
Seorang wanita berbadan sedikit gemuk menghampiriku. Dengan suara lantang, dia menyuruhku berpindah tempat duduk.
Aku bangkit dan pindah ke sudut. Sementara yang lain hanya melihat dan diam. Apakah takut atau tidak peduli, entahlah.
Pandangan jauh ke depan. Aku mengingat kejadian, kenapa aku bisa di penjara.
Pagi itu ....
"Bunda, aku minta izin ntar pulang sekolah kerumah Vivi belajar kelompok, ya?"
Senyum manis Anisa sudah berseragam sekolah, memelukku dari belakang yang sedang menyiapkan sarapan pagi. Anisa adalah anak bungsuku yang masih duduk di kelas dua SMP.
Aku punya tiga putri yang cantik-cantik, aku sadar itu. Anak pertamaku bernama Halimah yang sedang kuliah semester dua. Anak ke duaku bernama Rani kelas tiga SMA dan baru Anisa si bungsu. Aku hidup bahagia dengan suami yang setia dan cinta keluarga. Alhamdulillah.
Rasanya hidupku sudah sempurna. Putri-putriku rajin beribadah dan berhijab syar'i. Suamiku memang hebat memimpin kami, aku sangat bangga dan bahagia. Ini lah surga duniaku.
"Nasi goreng kesukaan Ayah nih, Bun," ucap suamiku duduk di kursi meja makan lalu menyantap nasi goreng buatanku dengan lahap.
"Yang pelan makannya, Yah," ucapku sambil menuangkan air putih ke gelas. Suamiku membalas dengan senyum kehangatan.
"Bunda, aku bawa bekal ke sekolah, ya," kata Rani sambil duduk dan ikut sarapan.
"Sudah Bunda siapkan, ini!" jawabku sambil menyodorkan nasi yang sudah dibungkus seperti biasa.
"Makasi Bundaku tersayang, mmuuuch." Rani berdiri dan mengecup pipi kananku. Aku tersenyum.
"Dek, nanti kamu pulang sendiri ya, aku ada pelajaran tambahan." Kata Rani kepada Anisa.
"Aku pulang juga langsung kerumah Vivi kak," jawab Rani melanjutkan sarapannya.
Sekolah Rani dan sekolah Anisa berdekatan. Mereka selalu pulang bersama. Kami hidup sangat damai. Aku ibu yang beruntung.
"Bun, tambah nasi gorengnya," suamiku menyodorkan piringnya kepadaku.
"Nasi goreng Bunda emang paling enak ya, Yah," ucap Halima tersenyum melirikku.
"Enak sekali, Bundamu paling hebat masak, bahkan mengalahkan koki dunia."
"Iya, Yah. Aku setuju," timpa Anisa.
Aku hanya tersenyum membalas, dan anakku yang lain ikut tertawa menggodaku. Suasana pagi secerah mentari. Alhamdulillah.
Tok! Tok! Tok!
Tok! Tok! Tok!
"Siapa yang datang pagi ini Bun?" tanya suamiku.
Kami semua terkejut. Suara ketokan itu terdengar memaksa kami supaya cepat membuka pintu.
"Entahlah, Yah, Bunda juga nggak tahu," jawabku, lalu ingin melangkah ke pintu.
"Biar aku saja yang buka, Bun," sahut Halimah dan langsung bangkit dari duduknya melangkah melangkah ke pintu.
Tidak lama kemudian ....
"Hey Halimah! Apa kamu tidak punya malu, merebut tunangan anak saya!"
Kami yang sedang sarapan, terkejut mendengar kata-kata Bu Lili dengan suara lantang memarahi Halimah. Aku, suami dan kedua putriku yang lainya langsung berdiri melangkah ke pintu depan.
Bu Lili adalah tetangga satu gang komplek dengan kami. Rumahnya rumah pertama memasuki gang ini, untuk menuju rumahku harus melewati depan rumahnya. Bu Lili juga punya anak gadis bernama Monik yang seumuran dengan Halimah.
"Ada apa ini Bu Lili? Kenapa ibu marah-marah sama Halimah." Aku berkata dengan melihat sorotan marah di mata Bu Lili memandang Halimah. Sementara itu, Halimah hanya menundukan kepala, matanya berkaca-kaca.
"Gara-gara anakmu ini, Monik diputuskan tunanganya!" Bu Lili menunjuk Halimah dengan penuh emosi.
Aku dan Mas Adam beradu pandang sesaat. Aku bingung, kenapa putriku dituduh merebut tunangan Monik.
"Apa salah anak saya Bu?" Aku juga ikut kurang senang melihat Halimah dibentak-bentak. Kenapa tidak bicara baik-baik. Kalau anakku salah pasti kutegur.
"Sebaiknya kita selesaikan masalah ini di dalam, tidak enak ditonton orang, Bu Lili," ucap suamiku.
Tapi ajakan suamiku tidak diterima baik oleh Bu Lili. Dia tetap memasang muka kesal berdiri di teras depan, dari amarahnya bisa kubaca kalau tunangan Monik memutuskan pertunangan. Tapi kenapa Halimah yang disalahkan?
"Dengar ya! aku tidak akan tinggal diam, dasar munafik, diam-diam tukang merebut tunangan orang." Mata Bu Lili membelalak ke Halimah. Halimah tetap diam menatap lantai.
"Tolong bicara yang sopan, Bu Lili. Halimah tidak mungkin merebut tunangan Monik." Aku masih bernada datar, berusaha sabar.
"Jika Bu Rina berada di posisiku gimana? apa bisa bicara sopan?"
"Betul itu Halimah?" tanya suamiku tegas. Halimah menggelengkan kepala, dia seperti tertekan dengan tuduhan ini.
"Mana ada maling ngaku maling? sebaiknya Pak Adam dan Bu Rina lebih telaten jaga anak gadisnya, masak tidak tau apa yang dilakukan Halimah di luar rumah?" ucap Bu Lili sewot. "Dari luarnya kelihatan baik, tapi di dalam siapa tau?!" sambung bu Lili.
"Tolong kontrol bicaranya, Bu. Dari tadi aku sudah berusaha sabar, sebaiknya panggil tunangan Monik ke sini, biar semuanya jelas."
"Alasan! kalian mau mempermalukan Monik karena diputuskan demi putrimu?"
"Setidaknya masalah ini lebih jelas, dan ...."
Belum selesai kubicara, bu Lili melangkah pergi. Hentakan kakinya memperlihatkan ketidak sukanya. Dalam melangkah dia ngomel-ngomel sendiri. Aku mengurut dada berusaha sabar. Astagfirullahalazimm.
"Halimah, jelaskan kepada kami apa yang terjadi," ucap suamiku.
Di ruang tengah, aku dan suamiku duduk berhadapan dengan Halimah. Sementara itu Anisa dan Rani sudah berangkat ke sekolah.
"Aku tidak tahu Bunda, Ayah. Aku saja tidak mengenal tunangan Monik, mana mungkin aku penyebab putusnya pertunangan mereka," sanggah Halimah.
Aku dan suamiku saling berpandangan sesaat. Aku tahu anakku, dia tidak pernah pacaran atau berteman dekat dengan lelaki. Selesai kuliah langsung pulang tanpa bertandang atau nongkrong bergaul dengan temannya. Halimah anak yang penurut dan tidak banyak neko-neko. Bagaimana mungkin anakku penyebab anak Bu Lili putus tunangan?
"Demi Allah, Bun, Yah. Aku tidak mengenal tunangan Monik."
"Ya sudah, nanti kita bicarakan lagi, sekarang Ayah kerja dulu, kamu juga kuliah bukan?"
"Iya, Yah," jawab Halimah pelan.
Kami mendiamkan dulu masalah ini. Halimah berangkat kuliah dan suamiku berangkat kerja. Keseharianku di rumah membuka warung klontong di depan rumah, semua kulakukan menghilangkan kesepian karena sering sendirian di rumah. Siang baru semua putriku pulang sekolah dan kuliah.
"Assalamualaikum, Bunda."
Aku terkejut mendengar seseorang mengucapkan salam saat aku membereskan barang daganganku di warung. Aku menoleh, ada seorang anak muda gagah berdiri di depan warung menyapaku tersenyum manis. Kulihat di depan warung, terpakir sebuah mobil sedan hitam mengkilat.
"Wa'alaikumsalam, siapa ya?" Aku menjawab dengan heran.
"Perkenalkan, namaku Arya, Bunda. Aku ke sini ingin melamar anak Bunda, Halimah."
Jantungku mau copot mendengar perkataan anak muda ini. Ternyata namanya Arya. Siapa dia yang tiba-tiba ingin melamar putriku? setahuku Halimah tidak pernah pacaran atau punya teman lelaki.
"Bunda ... Bunda ... bisa aku bertemu juga sama Ayah Halimah?" pintanya, aku masih merasa shock mematung.
"Bun, Bunda." Pemuda bernama Arya itu melambaikan tangan di depanku.
"Oh, iya, Nak Arya," sentakku memalingkan mata. "Sejak kapan Nak Arya pacaran dengan Halimah?" Aku sangat penasaran, selama ini Halimah tidak pernah cerita.
"Kami tidak pernah saling kenal, Bunda," jawab Arya.
"Loh, kok bisa tiba-tiba melamar Halimah?"
"Aku menyukai anak Bunda, dan aku yakin dengannya, hanya itu."
Ya Allah, siapa pemuda yang melamar putriku. Dia sangat berani dan sopan. Kalau dia tidak pernah saling kenal dengan Halimah, kenapa tiba melamar? Aku masih bingung.
Aku mengajak Arya masuk dan duduk di ruang tamu. Fari ceritanya, dia sangat menyukai Halimah diam-diam. Dia juga sering melihat Halimah berjalan pulang kuliah melintas di depan rumah Monik saat berkunjung kerumah Monik, dan Arya mencari informasi ke tetangga tentang putriku-Halimah, dan sekarang dia melamar putriku. Intinya, Arya memutuskan tunanganya karena ingin melamar Halimah. Pantas saja Bu Lili marah-marah tadi pagi ke sini. Astagfirullahalazimm.
"Saya tidak bisa memutuskannya sekarang, sebaiknya Nak Arya pulang dulu, nanti akan saya sampaikan pada Ayah Halimah."
Hanya itu keputusanku sementara. Aku masih shock dengan kedatanganya. Halimah jujur tidak mengenal tunangan Monik. Kasihan anakku yang dibentak-bentak yang bukan kesalahannya.
Sepintas aku lihat, Arya pemuda yang gagah dan berada. Cara pakaian dan tutur katanya, dia lelaki yang sopan.
Magrib kami salat berjamaah. Suamiku menjadi imam seperti biasa, aku belum membicarakan kedatangan Arya tadi siang, menunggu selesai magrib dulu.
Selesai sholat magrib, aku menutup warung dulu baru membicarakanya. sampah barang dagangan kusapu, biasanya Halimah yang mengerjakan, tapi tadi dia membaca Al Qur'an dulu, lagian pekerjaan ini tidak begitu berat.
"Ayah! Ayah! Bunda ... tolong Ayah!"
"Ayah!"
"Bunda! cepat ke sini!"
Aku terkejut mendengar teriakan ke tiga putriku menjerit menangis. Perasaanku tidak enak. Ada apa dengan suamiku? Berlari, aku masuk ke rumah.
"Astagfirullahalazimm! Yah, Ayah ... tolong ... tolong!"
Ya Allah, apa yang terjadi dengan suamiku. Menangis, kulihat seluruh pori-pori tubuh suamiku mengeluarkan darah, darah menyelimuti tubuhnya tergeletak di lantai. Putri-putriku menangis memegang ayahnya.
"Ayah!"
"Ayah kenapa Bunda? Tolong Ayah ...."
Mendengar teriakan kami, datanglah Bu Arun dan suaminya. Aku dan anak-anakku histeris melihat jasad suamiku kaku dan tidak bernyawa. Aku kehilangan suamiku untuk selama-lamanya.
Ya Allah, kuatkan hatiku.
Dengan perasaan teramat sedih, aku duduk di keramaian orang-orang melayat. Air mata tidak henti-hentinya ke luar. Aku sangat terpukul kehilangan mas Adam, baru tadi pagi kami sarapan bersama, kini kulihat tubuhnya tidak bernyawa.
"Bu Rina, maaf, bukan maksudku membuat ibu tambah sedih, tapi ... kalau saya perhatikan, sepertinya suami ibu kena santet."
Aku terpana melihat wajah Bu Arun setelah berbisik di sampingku. Disantet? Astagfirullah'alazimm ....
Diubah oleh blackgaming 16-06-2021 14:09
hanihanihan2114 dan 43 lainnya memberi reputasi
40
16.4K
104
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blackgaming
#53
Chapter 13
“Terimaksih, Kak.” Jawab Halimah menerima jeket dari Randi.
Randi membalasnya dengan senyum menatap gadis yang dicintainya gemetar setelah apa yang dialaminya.
“Ayo aku antar pulang, Halimah.” Arya menawarkan diri.
“Tolong jaga Halimah, Teman. Aku akan mengurus dua orang penjahat ini dulu, dan setelah itu nanti pihak kepolisian akan minta keterangan sama Halimah.”
Randi melangkah meninggalkan Arya dan Halimah, dari kejauhan mobil polisi sudah membawa kedua penjahat itu.
“Dari mana Kakak tahu aku disini?” Halimah bertanya saat mereka berjalan menuju mobil Arya terparkir di luar terminal.
“Aku kebetulan lewat depan kampusmu dan melihat kamu naik angkot. Padahal Bunda bilang, Bunda yang antar jemput kamu pulang pergi kampus.”
Mereka masuk mobil, dan mobil dilaju. Halimah masih gemetar, sepertinya dia masih shock dengan apa yang dialaminya.
Dari penjelasan Arya kepada Halimah. Arya mengikuti angkot yang di tumpangi Halimah, karena ada yang menelpon, Arya kehilangan jejak, dia terus mencari hingga berhasil menemukan angkot tersebut dan bertanya.
Dalam perjalanan, Arya selalu curi pandang melirik Halimah yang terpaku melihat keluar jendela mobil. Sesekali Arya tersenyum meski mukanya sedikit perih karena lebam. Dia merasa senang melihat Halimah merasa cemas melihat tangannya berdarah dan membalutkan sapu tangan.
“Kenapa kamu sampai di terminal lama itu, Halimah?” Arya membuka percakapan.
“Bunda sms aku dan mengatakan kaki Bunda sedang terluka disana, Kak,” jawab Halimah.
“Kok aku merasa aneh, kalau Bunda sms pasti berada disana. Sebaiknya kita percepat perjalanan ini, perasaanku tidak enak.”
Arya menancap gas, mobil dilaju lebih cepat. Sangat terlihat sekali Halimah dan Arya mencemaskan Bunda.
Sampai di depan rumah, Arya secepatnya memakir mobil, dan mereka sangat terburu-buru keluar dari mobil.
“Assalamu’alaikum Bunda. Kok pintu terkunci, Kak?” Halimah berusaha membuka pintu.
“Mungkin Bunda tidak di rumah,” jawab Arya.
“Tidak mungkin, motor Bunda ada disini.” Halimah menunjuk ke motor Bunda yang di parkir di teras,
“Ayo lewat pintu belakang, Kak.”
Halimah mengajak Arya lewat samping menuju pintu belakang, disana mereka mendapati pintu belakang terbuka lebar.
“Tidak biasanya Bunda begini, Kak.”
“Tunggu Halimah, biar aku masuk duluan, perasaanku tidak enak.” Arya menyuruh Halimah melangkah di belakangnya.
Mereka masuk kerumah dengan pelan-pelan dan melihat kesekitar, sepi.
“Kak, mungkin dikamar Bunda,” kata Halimah dengan raut wajah cemas.
Mereka masuk ke kamar tapi Bundanya tidak ditemukan.
“Dimana Bundaku, Kak?” Halimah menangis.
“Kita perikas seluruh rumah ini dulu, jangan cemas, aku ada disini, Halimah.” Arya berusaha menenangkan Halimah.
Mereka menuju ke ruang tamu, sampai di ruang tamu, mereka sangat terkajut melihat Bunda pinsan di lantai.
“Bunda! Bunda!” Halimah menjerit menagis melihat Bundanya.
Mereka mengangkat tubuh Bunda dan membaringkannya di kursi panjang tamu.
“Buka pintu, biar udara masuk, kalau bisa pangil Bu Arun.”
Halimah langsung melaksanakan kata-kata Arya, setelah pintu utama dibuka, Halimah menuju rumah Bu Arun di sebelah.
Tidak beberapa lama kemudian, Bu Arun dan suaminya datang kerumah.
“Apa yang terjadi dengan Bu Rina, Halimah?” Bu Arun bertanya dan duduk disamping Bundanya.
“Aku tidak tahu, Bu.” Halimah menjawab dengan linangan air mata.
“Bunda, Bunda,” Halimah memanggilku.
Aku membuka mataku, aku melihat ada Halimah-Arya-Bu Arun dan Pak Arun.
“Halimah.” Aku memanggil putriku dengan memegang kepalaku yang terasa pusing. Aku bangkit dan duduk.
“Bunda kenapa pinsan?” Arya menatapku bertanya.
“Ada penyusup dan membiusku.” Aku menjawab dengan kepala yang masih pusing.
“Penyusup?”
Mereka sangat terkejut mendengar perkataanku, aku menceritakan apa yang aku alami. Halimah juga menceritakan apa yang dialaminya hari ini.
“Astagfirullah’alazim … mungkin ini maksud penjahat itu membiusku. Alhamdulillah kamu selamat, Nak.” Aku langsung memeluk putriku, mulutku tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah.
“Terimakasih Nak Arya.”
Arya menganggukan kepalanya mendengar ucapanku.
“Halimah, adik-adikmu mana?” Aku baru menyadari Anisa dan Rani tidak di rumah.
“Astagfirullah’alazim, tadi mereka bilang menunggu di masjid dekat sekolah.” Halimah juga terkejut dan panik.
“Mana ponsel Bunda?”
Kami mencari ponselku, tapi tidak di temukan.
“Aku takut orang-orang itu juga melakukan kejahatan sama Anisa dan Rani, Ya Allah … lindungi putriku.” Dengan perasaan termat cemas aku terus mengucap.
“Jangan cemas Bunda, pelakunya sudah tertangkap.” Arya berusaha menenangkanku.
Halimah langsung menghubungi adik-adiknya menggunakan ponselnya, setelah menjawab, aku merasa lega, ternyata Anisa dan Rani sudah di mobil Wahyu menuju kerumah. Kenapa Anisa dan Rani bisa di mobil Wahyu? Aku tidak mengerti, sebaiknya aku tanyakan nanti kalau mereka sudah sampai di rumah.
Halimah masuk kekamar mengganti baju dan hijabnya. Aku-Arya, Bu Arun dan suaminya masih duduk di ruang tamu. Aku melihat dekat bibir Arya sedikit lebam dan berdarah.
“Nak Arya, sekali lagi terima kasih, aku tidak tahu bagaimana nasib Halimah kalau Nak Arya tidak datang.” Aku melihatnya menahan perih luka di wajahnya.
“Sama-sama Bunda, aku senang Halimah baik-baik saja. Sepertinya kita akan menunggu berita dari Randi siapa dibalik ini semua.”
“Bu Rina, sebaiknya Ibu cepat menikahkan Halimah agar ada yang menjaganya.”
Kata-kata Bu Arun benar juga, aku akan lebih tenang kalau Halimah ada yang menjaga, tapi untuk sekarang siapa pemuda yang akan dipilih Halimah? Dia belum memutuskan dan yang jelas dia sudah menolak lewat aku lelaki yang menolongnya hari ini.
Arya hanya diam mendengar perkataan Bu Arun, sangat terlihat di raut mukanya dia sangat ingin menjadikan Halimah istrinya. Aku juga tidak keberatan, tapi Halimah merasa tidak enak atau kasihan kepada Monik dan inilah alasan yang bisa aku baca.
“Aku akan membicarakan sama Halimah masalah ini, Bu Arun. Aku juga sependapat dengan Ibu.”
Dari ruang tamu, kami melihat mobil masuk dan parkir di halaman rumahku, Wahyu dan dua lagi puriku keluar dari mobil itu.
“Assalamu’alaikum.” Wahyu mengucapkan salam di pintu, begitu juga Anisa dan Rani.
“Wa’alaikumsalam, ayo masuk Wahyu.”
Wahyu duduk disamping Arya, sejenak mereka saling bertegur sapa.
“Bunda, kenapa tidak jemput kami?” Anisa duduk disampingku bertanya.
Aku menceritakan apa yang aku alami barusan, mendengar penjelasanku, Anisa-Rani dan Wahyu terkejut.
“Bagaimana keadaan Halimah sekarang, Bu Rina?” Wahyu bertanya dan membuat Arya menatapnya dengan penuh arti.
“Alhamdulillah baik, untung ada Nak Arya yang menolong, Wahyu.”
Mendengar jawabanku membuat Wahyu terpana, sepertinya dia cemburu, sebenarnya aku tidak bermaksud membuatnya begitu, tapi aku hanya berkata jujur dan apa adanya.
“Sekarang kalian ganti baju, Nak.” Aku berkata kepada Anisa dan Rani. Mereka menganggukan kepala dan masuk kekamar.
“Oh ya, aku hampir lupa, kenapa Anisa dan Rani bisa bersama Wahyu?”
“Tadi aku sholat dekat masjid sekolah mereka, sebenarnya aku sudah telat sholat zuhur dan orang-orang sepi di masjid. Disitulah aku bertemu mereka dan sudah hampir sore tapi belum juga pulang, makanya aku putuskan mengantar, Bu Rina.”
Aku lega mendengar penjelasan Wahyu, sepertinya dia juga perhatian dengan adik-adik Halimah. Kepada siapa Halimah akan memutuskan pilihannya?
Setelah mendapatiku baik-baik saja, Bu Arun dan suaminya meniggalkan rumahku.
Halimah datang membawakan teh hangat dan meletakkannya di atas meja tamu. Wahyu terpana melihat Halimah yang sama sekali tidak menatapnya, sedangkan Arya menatap Wahyu terpana melihat Halimah.
“Silahkan minum, Kak Arya, Kak Wahyu.” Kali ini putriku bersuara, biasanya dia hanya meletakkan minum dan menundukkan kepala serta berlalu ke dapur.
“Kak Arya, ini untuk mengobati luka di wajah Kakak.” Halimah menyodorkan kotak P3K .
“Terima kasih, Halimah.” Arya menerimanya dan mengobati sendiri luka di wajahnya.
Halimah ikut duduk disampingku, meski tidak menatap kedua pemuda di depannya, sepertinya dia mulai membuka diri berkomunikasi dengan lelaki, mungkin mereka sudah berbuat baik pada keluarga kami.
“Bunda, ponsel Bunda berdering.” Rani menghampiriku.
“Dimana kamu dapat, Nak?” aku bertanya karena tadi tidak menemukannya.
“Di meja kamar Kak Halimah,” jawab Rani.
Dari layar ponsel, itu panggilan dari Randi, aku segera menjawabnya.
Aku sangat terkejut medengar penjelasan Randi di ponsel, aku sangat tidak menyangka, orang yang ada dibalik semua ini adalah orang yang aku kenal, Astagfirullah’alazimm ….
“Bunda, ada apa?” Halimah menatapku yang terpaku.
“Kamu diminta memberi keterangan ke kantor polisi, Nak.” Jawabku dan menggenggam tangan putriku.
“Apa kata Randi, Bunda? Siapa dibalik semua ini?” kata Arya.
Mereka bertiga menatapku menunggu jawaban dari mulutku.
“Assalamu’alaikum.”
Belum sempat aku menjawab, Monik datang dengan linangan air mata.
“Wa’alaikumsalam, Monik?” Halimah menghampiri Monik.
“Halimah, tolong maafkan ibuku.” Monik menangis memohon.
Mendengar perkataan Monik, kami yang ada di ruang tamu terpana melihatnya. Apa maksud dari perkataan maaf Monik?
rinandya dan 2 lainnya memberi reputasi
3